Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja
Rekan kerja

Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
erman123Avatar border
OkkyVanessaMAvatar border
manik.01Avatar border
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.4KAnggota
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#229
Rekan Kerja (part 16)
Kutilik jam dinding di ruang tengah dari pintu kamar yang sedikit terkuak. Samar-samar melihat dengan mata memicing. Pukul 03.07 dini hari, dan mata ini sadar masih terjaga sejak sore tadi.

Di lenganku kini sedang tertidur gadis kecil periang itu. Capek terasa ditindihnya, namun tak kuasa aku memindahkan kepalanya ke atas bantal. Semalam ia minta tidur didekap.

Masih nampak jelas di ingatan ... saat Kinara menangis hebat gara-gara sang ayah berpamitan pulang. Anak ini memang dulu yang paling dekat dengan ayahnya. Sampai tak habis pikir ... kok bisa lelaki itu menyakiti hati mbakku sedemikian. Apa ia tak ingat ada anak perempuannya?

Kubelai pelan rambut halus Kinara, mengecupnya lembut.

"Sabar, Sayang. Om Dani tak akan membiarkanmu sedih, sebisa mungkin akan kubahagiakan kamu kelak," bisikku lirih di telinganya.
Kuharap ia mendengar, meski nyatanya masih bergelut dengan bunga tidur.

Tak banyak yang kuucap semalam. Hanya satu kalimat terlontar, "Kupikir samean bisa belajar dari kesalahan samean."
Ya,cuma itu ... kupikir sedikit sindiran akan membuatnya sedikit waras. Selanjutnta,laki-laki bernama Surya itu diam bergeming. Aku yakin ia sadar bahwa sikapnya telah membuat ibu cemas tak karuan.

Masih mending, jika kemarin ia memanfaatkan setiap waktu untuk menyenangkan keluarganya. Akan tetapi, saat kutanya Kinara kemarin ke mana dan mereka diberi ayahnya apa saja,
dia jawabnya, 'Tak diberi apa-apa, tak kemana-mana'. Jadi intinya, hanya diam saja di rumahnya.

Makin kesalnya lagi, saat Kinar bercerita bahwa setiap ingin makan, ia disuruh ayahnya pergi ke rumah saudaranya, yang memang tak jauh rumahnya dari tempatnya berdiam. Memalukan kami sekali. Seperti itu kok mbak Diah gak minta pulang saja!

Kalau tak mampu menafkahi, tak usah diajak bermalam. Apalagi makan minta-minta. Keterlaluan!
Sepintas aku jadi mengingat Adel ....

Kinara dan Bobi saja yang punya ayah kandung, tidak dijadikan prioritas utama oleh ayahnya. Bagaimana dengan Adel, yang memang sangat tak jelas dengan perubahan badannya yang gemukan? Aku sadar, pasti sangat kebingungan sekali menjadi dia ....

Lho? Kok tiba-tiba jadi mikir? Kenapa malah terkesan iba? bukankah ia licik karena sudah menjadikanku kambing hitam?

Kucopot HP dari charger, mencoba menilik chat beruntun dari Adel. Benar, kali ini aku sangat dibuatnya penasaran. Entah sandiwara apa yang ia mainkan lagi untukku.

Chatnya hanya satu-dua kalimat pendek. Tak begitu penting. Kucoba scroll lagi, dan kutemukan satu kalimat panjang darinya. Pelan, kubaca pesan itu meski mata tak kuat lagi terbuka.

'Dan, sekarang aku sudah tahu alasan kenapa kamu kemarin marah sekali. Aku sudah dengar semua cerita dari mama. Mama sebenarnya nggak tahu apa-apa. Kamu pun sebenarnya salah paham. Tak hanya kamu, seisi rumahku juga sama salah pahamnya. Kalau kamu berkenan, minggu depan kami sekeluarga mau ke rumahmu. Sekadar menegaskan'

Apa lagi maksudnya wanita aneh ini? Selalu membingungkan! Kalau keluarganya saja tak tahu apa-apa, lantas bagaimana dengan diriku?

Kubuang pandangan sekilas, sambil menduga-duga apa yang sebenarnya akan dibahas. Eh, tapi kenapa juga aku bingung? Bukankah ini hanya sebuah bagian dari sandiwaranya?

Ku scroll lagi.
Alah ... banyak basa-basinya. Tak penting!
Fix, kumatikan langsung HP. Entah kenapa, setiap membaca chat darinya, bawaannya males lihat HP lagi.

Tak terasa mata mulai benar-benar berat. Baru jam sekian kurasakan maha dahsyatnya rasa kantuk yang melanda. Lalu, perlahan kedua kelopak mata pun mengatup ....

****

"Om, bangun! Nggak kerja,kah?"

Mata spontan terbuka saking kagetnya. Aku terkesiap, sembari berulang mengerjapkan mata. Masih tersadar jika baru tidur menjelang pagi.

Sepintas pusing menyerang, dan mata masih samar menangkap sosok Kinar yang membangunkanku. Lalu kucoba tundukkan pandang, sambil membelalakkan mata lebar-lebar.

"Kaget, Kinar. Kepala om jadi pusing. Tolong bilang uthi, suruh buatkan kopi pahit," tukasku.

Kinar nampaknya pergi menuruti kataku, terdengar hentakan sepatunya saat berlari.
Wah, sudah pasti mau jam tujuh ini. Kinara sendiri sudah bersiap berangkat sekolah.

Kulirik jam dinding di ruang tengah dari celah pintu kamar. Masih jam 06.25 WIB. Kemudian kuraih HP yang tergeletak di atas kasur, memastikan jam. Memang benar seperti yang kulihat tadi. Masih jam sekian.

"Om, sudah dibuatkan mama, tuh. Ayo bangun!" seru gadis itu lagi dari ambang pintu.

Tak kujawab bicaranya. Beringsut mengambil botol air minum yang ada di nakas, lalu menenggaknya. Setelah itu, melangkahkan kaki ke luar kamar.

Lewat di depan kamar ibu, kudapati pintu kamar itu kini rapat tertutup. Sepertinya dikunci dari dalam.
Wah, jelas masih uring-uringan ini!

Lalu, kucoba menengok dapur. Di sana, Mbak Diah sedang merapikan piring. Ia melirikku sekilas. Tampak olehku kedua kelopak matanya bengap dan sembab. Pasti habis menangis semalaman. Wanita itu meraih dua piring berisi lauk, lalu berkata padaku, "Itu kopimu di meja!" sambil melangkah pergi.

Aku tak menyahut perkataannya. Tahu lah kenapa, jadi nggak enak sendiri melihat suasana rumah gara-gara peristiwa kemarin ....

*****

Kuambil ID card di saku kemeja, lantas mendekatkannya pada mesin ceklok. Selesai!

Lalu, kubalikkan badan. Refleks terkejut ketika Pak Heri sudah berdiri di depan mata. Terlalu dekat denganku malah.

"Pagi, Pak. Mau ceklok?" Kucoba berbasa-basi padanya.

Ia tak tersenyum. Tak juga membalas omonganku. Daripada melihatnya membuatku 'sepaneng', akhirnya kuanggukkan kepalaku pelan, permisi untuk pergi dari hadapannya.

Namun, di saat beberapa langkah kaki tergerak, laki-laki paruh baya itu baru menyerukan namaku.

"Ya, Pak?" Kembali aku membalikkan badan padanya. Penuh rasa penasaran.

Pak Heri berjalan melewatiku seraya berucap, "Pergi ke ruangan saya! Sekarang!"

Glek!

Kutelan ludah pahit, menyambut datangnya pagi yang (sepertinya)  penuh kejutan ini.

****

Pak Heri membuang sebuah amplop coklat besar ke arahku. Amplop itu jatuh tepat di pangkuan.

Tak enak sekali. Padahal dengan beban enteng seperti itu, ia bisa lebih baik untuk menyodorkannya biasa saja.

Aku diam, melirik amplop itu. Seperti surat lamaran. Eh, ternyata dugaanku tak salah! Kulihat ketikan alamat pabrik dari tempelan kertas kecil pada muka amplop.

Aku masih memilih bungkam. Tak jelas apa maksud Pak Heri seperti itu.

"Kamu mau tes Mechanical CO-gen?" tanyanya padaku.

Dahiku berkerut mendengar itu, bingung. Apa maksudnya? Sejenak diam dan berfikir. Beberapa detik kemudian, baru setelahnya aku ingat, jika Sefti pernah berkata demikian padaku. Mungkin bagian itu yang akan di berikan Pak Dika dulu.

Kali ini kulihat amplop coklat di hadapan. Aduh, bodohnya aku. Baru sadar jika itu amplop lamaran kerjaku yang kukirim kedua kali.

"Kenapa diam? Bingung jawab?" pak Heri bertanya lagi.

"Ehm, iya, Pak." Tubuhku mendadak dingin. Ya, kan ... sepaneng!

"Memang kamu tahu kerjanya itu bagaimana?"

Aku diam lagi.

"Sudah ada skill di situ?"

Perlahan, aku menggeleng.

Pak Heri menjentikkan meja berulang dengan jemarinya. Wajahnya memandang dengan begitu fokus, seolah menunggu perkataan yang keluar dari mulutku. Namun aku tetap membisu.

"Aneh, ya ... kok bisa lamaran kamu masuk daftar seleksi yang dipilih. Padahal kamu anak baru kemarin kerja. Belum setahun, kan? Kerjamu juga di bagian admin. Kecuali kamu punya skill dan pengalaman," Pak Heri menghentikan bicaranya. Meraih amplop di depanku, lantas membukanya.

"... padahal Rian lebih tahu segalanya daripada kamu. Kenapa ia tak di utamakan? Kenapa justru kamu?" lanjutnya lagi.

Ia membalik kertas lamaranku. Meraih kaca mata yang terjepit di sakunya, dan mengenakannya. Mata itu kemudian sibuk membaca berkas lamaran di tangan.

"Lulusan kamu saja gak ada skill buat bagian itu. Hmmmm, kenapa asal begitu, ya? Ini jelas pilih kasih! Banyak cari muka kamu ini pasti ...."

Pak Heri lalu melepas kaca matanya, menaruhnya kembali ke tempatnya, dan menyodorkan lamaran itu padaku. Sedangkan amplop cokelatnya ia buang ke tempat sampah di sisinya. "Ini bawa!" tukasnya.

"Lho?" Aku sedikit heran dan bertanya-tanya. "Kenapa memangnya, Pak? Apa karena anggapan bapak, saya berbuat curang dengan cari muka itu?"

"Kok, banyak omong kamu? Yang berkuasa di sini, siapa? Sudah, sana bawa. Semuanya lamaran yang lolos seleksi, saya rekrut ulang. Paham?!!"

Dengan hati sedikit kesal, kuterima juga berkas lamaran itu, kulipat sampai beberapa lipatan, kutaruh ke dalam tas kecil yang kubawa. Nafasku seakan tersengal penuh emosi.

"Kalau kamu tak suka bagianmu yang sekarang karena ada Rian, saya bisa menaruhmu di gudang. Opo milih ngglepung ning mburi? (apa pilih ngadon di belakang) lebih banyak temannya, kalau ada satu yang gak enak hati, masih banyak teman yang lain. Kan, kamu baperan. Elek'an (buruk hati)," ucapnya lagi dengan nada yang seolah menyindir.

Ucapan itu membuatku bertambah kesal tak karuan. Dada seakan penuh dengan berbagai umpatan yang tak sanggup terlontar. Ingin berontak, tapi teringat lagi tentang sikap baik Pak Dika padaku. Kucoba menekankan sabar yang dalam, meski dada rasanya tak bisa tahan.

"Sudah kembali kerja sana!" perintahnya, yang kemudian membuatku beranjak tanpa ba bi bu.

Baru kubuka pintu ruangan, laki-laki itu berseru kembali, "Oh ya, itu foto pak Sujiwo di depan, tolong dicopot saja! Bawa pulang dan pajang buat kenang-kenangan ibumu!"

Grrrrrr!!
Kukepal tanganku erat, seakan menyimpan dendam yang tak bisa kubendung. Entah setan apa yang membuatku pergi dengan menutup pintu ruangan itu begitu kerasnya. Benar-benar diremehkan!

Kini di depanku, terpampang foto almarhum ayah. Pria dengan kumis tebal, foto masa mudanya entah umur berapa itu. Bibirku langsung bergetar dengan kedua mata sayu memandang. Perlahan kuambil bingkai foto itu. Kusapu debu-debu yang membaur di tangan. Lalu berjalan gontai, membawanya menuju ruangan kerja. Hatiku begitu sakit, sehingga mata spontan mengkristal saking kecewanya. Kucoba terawangkan mata ke atas, agar tak luruh air mata yang terkumpul di kelopak. Malah akhirnya menabrak seseorang yang tak sengaja melintas di depan mata.

"Hee, matamu gak ketok'aa? (matamu buta, ya). Untung gak kena bajuku," tegurnya dengan kesal.

Rian!!

Ia sedang membawa segelas kopi, sepertinya dari pantry. Sepatunya ia gesekkan ke permukaan lantai yang sedikit tertumpah kopinya barusan.

"Maaf.," ucapku lirih, sambil mengucek kedua mata. Jangan sampai ia tahu bila aku hampir menangis seperti wanita. Bakal diejek tuntas nantinya.

"Eh, jek ngantuk tah koen? Turuo nek jek ngantuk (masih ngantuk kah, kau? Tidur saja kalau masih ngantuk)" ia mencebik sambil terkekeh memandangku.

Aku tak mempedulikan. Kuambil langkah pergi meninggalkannya. Ia sepertinya mengekor di belakang.

"Jam berapa baru datang? Kena SP, ya? Ha ha ha...." celotehnya dari belakang.

Aku tak menggubris.

"Eh, itu apa yang kau bawa, coba lihat!" Rian berusaha merebut bingkai foto yang kubawa. Dengan cepat, kutangkis tangannya agar tak sampai menyentuh.

"Heeeeii, berani sekali kau!" umpatnya.

Aku masa bodoh, segera memasuki ruangan kerja. Di sana kudapati Feri sedang duduk di depan layar. Ia tersenyum padaku, dan aku tersenyum balik.

Kuletakkan bingkai foto itu di bawah meja kerja, setelah terlebih dulu kurapikan arsip-arsip lawas yang menggunung.

"Apa itu, Mas?" Feri bertanya.

"Bukan apa-apa."

Rian tak juga duduk di kursinya. Ia berdiri berpangku tangan melihatku. Wajahnya datar dengan senyum sinis menyeringai.

Kutatap ia sepintas, lalu kembali melihat monitor. Mengambil berkas dari tangan Feri, dan menelitinya.

Sepertinya sikap cuekku membuat Rian semakin penasaran. Ia menghampiri, mendorongku hingga jatuh dari kursi, dan dengan lancang mengambil bingkai foto almarhum ayah yang kutaruh di bawah meja.
Ketika ia melihat itu, semakin meledak ia tertawa.

"Ha ha ha ... gawe medeni tikus ta iki? (buat nakut-nakutin tikus ya ini?)"

Grrrrrr!!
Amarahku semakin memuncak, mataku seolah merah tak bisa menahan rasa sabar.

Dia ayahku, sosok terbaik yang menjadi panutan. Bisa-bisanya ikut diremehkan seperti itu?

Aku berdiri, dengan perasaan begitu berkecamuk, kubogem mentah wajahnya hingga jatuh tersungkur.

Brugh!

Ia terhuyung tepat di bawah kursinya. Kuhampiri dia, kutarik kemejanya, dan.....

Bruuugh!

Kulayangkan kembali sebuah hantaman ke pipi kirinya.

"Mas, Mas, sudah!" Feri mencoba melerai.

Aku ingat, dia pernah melukai pelipisku dengan cincinnya. Akhirnya aku mendaratkan pukulan lagi, tepat di tempat yang sama sepertiku.

Traasshh!!

Ia pun terjatuh menimpa rak di sampingnya, membuat buku-buku yang ada diatasnya jatuh berhamburan. Menimpanya!

Bersamaan dengan itu, para karyawan kantor yang lain saling berkerumun di ambang pintu. Beberapa suara mulai menggertak dan diantaranya masuk mencoba melerai.

Tak lama security datang.

Nafasku tersengal. Lelah, seiring puasnya batin yang selama ini panas tertekan. Mantap sudah emosi yang terlampiaskan!

"Ayo, Pak!" Security menarik kasar tanganku, membawaku keluar dari ruangan. Kulihat Rian begitu kesakitan, dan aku masih tersenyum bangga tanpa rasa sesal sedikitpun. Selama ini, aku sudah cukup diam tak membalas. Kali ini aku harus bisa memberinya pelajaran. Kalaupun hasil akhirnya membuatku dikeluarkan dari kantor, tak jadi masalah. Yang penting aku lega telah memberi kenangan yang bahkan mungkin tak bisa ia lupakan. Setidaknya ... agar dia lebih bisa menghargai orang lain. Sekalipun itu bukan aku.

(Bersambung lagi yeeee)

thanks untuk yang sudah mengikuti cerita sejauh ini. Jujur, dari kemarin mood lagi buruk. Pen udahan nulis akutuuu, tapi kok gak enak ya, gak nulis meski satu cerita aja. Wkwkwk emoticon-Hammer2
Komen, rate dan cendolin yee
Diubah oleh shirazy02 02-12-2019 11:34
edsixteen
siloh
erman123
erman123 dan 36 lainnya memberi reputasi
37
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.