Kaskus

Story

tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
BADAI SEBELUM PELANGI
BADAI SEBELUM PELANGI

1.Murid Baru


Namaku Zerina. Zerina Mia Hartalisya. Kepribadianku berubah sejak penghianatan itu terjadi. Ketika orang-orang yang selalu bersamaku, menjalani hari-hari bersamaku bahkan suka duka selalu bersamaku menghancurkan semuanya.

Ketika pacarmu yang sudah sangat manis denganmu dan sahabatmu yang selalu mendukungmu ternyata hanya berpura-pura baik padamu. Sakit bukan? Kemudian mereka bersama dan meninggalkanmu. Bagaimana rasanya? Sakit saja, kah? Atau ada perasaan lain?

Tidak hanya itu yang terjadi padaku, mereka bahkan merusak nama baikku, membuatku semakin tidak bisa bergerak, tidak ada yang percaya padaku. Mereka yang lain jadi takut padaku.

Namaku bukan lagi Zerina. Aku orang gila, yang gilanya bisa kambuh kapan saja. Orang-orang yang mendekatiku hanya ingin mengambil kesempatan tanpa kutahu apa tujuannya. Yang pasti mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri.

Astaga, kejam sekali hidup ini. Aku harus apa? Mati, kah? Atau terus menjalaninya? Kira-kira apa yang akan kudapat jika aku terus menjalani hidup. Ketulusan, kah? Aah tidak, ketulusan itu semu. Walau aku sangat ingin bertemu dengannya.

***

Kukira setelah aku lulus dan masuk ke sekolah baru semua itu akan lenyap, tapi ternyata tidak. Orang-orang bodoh itu terus mengingatnya bahkan mereka menyebarkan semuanya di sini. Tak mengapa, aku telah terbiasa dengan semua ini, bahkan jika aku harus seperti ini sampai akhir hidupku. Semua pikiran mereka dan semua yang mereka katakan, biarlah, aku terlalu lelah untuk peduli.

Aku suka duniaku, tak ada yang harus kusembunyikan sekarang. Aku tak perlu berpura-pura untuk mendapatkan yang aku inginkan, karena aku tak lagi menginginkannya.

Teman...

Makhluk apa itu? Aku tidak ingin mereka lagi. Mereka semua hidup dalam kepalsuan. Canda tawa itu akan terasa pahit jika kau tau akhirnya. Tak ada ketulusan di sini, semuanya berjalan karena kemauan masing-masing dari orang-orang itu. Aku tak pernah melihat ketulusan, mungkin dia semu, seperti apa dia? Aku jadi ingin bertemu dengannya.

***

Seperti biasa, aku menghabiskan waktu istirahat dengan duduk di atas rumput yang berseberangan dengan lapangan. Tempat ini nyaman, aku bisa bersandar sekaligus merasakan keteduhan pohon rindang ini. Berkali-kali aku melihat orang lewat yang memandangku aneh karena memilih duduk di sini, sedangkan banyak bangku taman yang disediakan sekolah untuk murid-muridnya, abaikan saja.

Kupasang earphone dan memutar lagu yang belakangan ini sering kudengarkan. Walau aku tak tau arti dari lagunya, tapi aku suka. Alunan nadanya membuat ketenanganku di atas level biasanya. Aku tetap berada di sini, sampai istirahat selesai.

Koridor kelas masih lumayan ramai oleh siswa-siswi yang ngobrol dan tertawa, padahal bel masuk sudah berbunyi. Seharusnya tadi aku menunggu beberapa menit setelah bel bunyi, baru berjalan masuk ke kelas, untuk menghindari perhatian mereka yang dari tadi melihatku sambil berbisik dengan teman masing-masing.

Abaikan ini Zerina, mereka hanya orang-orang bodoh yang tidak pandai memilih cerita.

Aku berhenti melangkah ketika sampai di depan pintu kelas, seorang perempuan yang sangat aku kenal itu menghalangi pintu masuk. Kutatap matanya dengan harapan agar dia tidak menghalangi jalanku, dia menatapku balik.

"Apa liat-liat!" katanya dengan suara yang bisa didengar siapa saja yang ada di situ.

"Minggir. Aku mau lewat." pintaku.

"Oo, mau lewat. Silahkan." Salsa menggeser tubuhnya memberiku jalan, dia tak lepas dari menatapku, membuatku tersandung kakinya karena aku pun tak lepas dari manatapnya balik.

Dia membuatku tersungkur di atas lantai dan sekarang aku jadi bahan tertawaan anak-anak di kelasku dan beberapa anak yang melihat dari pintu kelas. Aku marah, apalagi ketika dia menginjak earphone dan hpku yang juga ikut tersungkur bersamaku.

"Ah, sorry, gue gak liat. Sini gue bantu." Salsa mengulurkan tangannya padaku saat anak-anak itu memusatkan perhatiannya pada kami.

Dasar! Pandai sekali dia berpura-pura, aku tak bisa menahan diriku untuk memukul perempuan itu. Kuambil hp yang barusan dia injak dan kupakai untuk memukul kepalanya. Aku tak peduli jika hp ini rusak, yang penting kepala orang ini harus diberi pelajaran.

Salsa berteriak sambil menghalangi gerakanku lagi sampai akhirnya teman-teman bodohnya itu menghentikanku dan mendorongku menjauh dari Salsa.

"Lo gila, ya! Mukulin kepala orang!" teriak Icha sambil menatapku tajam.

"Lo gak papa, Sa?" Salsa menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Dwi, "Gak waras!" teriaknya lagi padaku.

Mereka pergi setelah berhasil membuatku terlihat seperti penjahat sekarang. Anak-anak di kelasku pun tak ada yang berani bicara padaku. Mereka semua menghindar dan memberiku jalan menuju kursiku.

Aku kembali teringat bagaimana dulu aku memukul kepala Ana dengan penggaris besi hingga membuatnya berdarah. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika anak-anak kelas ini menyaksikan itu, mungkin mereka akan menemui wali kelas dan bilang jika mereka ingin pindah kelas, tak ingin sekelas denganku. Tapi percayalah, kejadian itu bukan sepenuhnya salahku.

Aku duduk dan merapihkan buku pelajaran yang tadi belum sempat kubereskan karena aku biasa keluar duluan saat bel istirahat bunyi. Ya, itu ada alasannya, aku menghindari keramaian.

"Ternyata bener, ya. Gilanya bisa kambuh kapan aja."

"Sssstt."

Aku mendengar bisikan itu. Mereka melepaskan pandangannya dariku saat aku menatap ke arah mereka tajam. Aku jadi kesal, harusnya mereka bertanya dulu apa yang terjadi, bukan bicara dibelakangku.

Mulut-mulut itu memang sudah termakan gosip receh, mereka hanya mendengar cerita dari satu pihak dan langsung membenciku, mereka langsung menganggapku benaran gila hingga tak ada yang percaya padaku. Aku mengembuskan napas.

Tenang Zerina, kau tidak perlu kesal dan mencaci mereka. Mereka akan lebih menganggapmu gila jika kau lakukan itu.

***

Setelah melewati waktu yang sulit di sekolah hari ini, aku berniat mengunjungi tempat yang sudah lama tak kukunjungi.

Langkahku terhenti, kupandangi pohon seri yang sudah termakan usia itu. Tumbuh di halaman belakang rumah tua yang tidak dihuni, walaupun begitu pohon ini tetap tumbuh dan berbuah. Aku ingat, waktu kecil aku sering kemari, bermain bersama Ana, memanjat pohon ini untuk mengambil buah kecil bewarna merah yang rasanya sangat aku suka. Manis.

Ugh!

Aku mengusir memori itu, rasanya sakit jika menyadari yang terjadi sekarang. Kulepas tas punggung yang kukenakan dan menjatuhkannya ke atas rumput liar di situ. Dengan agak susah aku memanjat pohon, hingga akhirnya aku bisa duduk santai di dahannya sambil menikmati buahnya.

"Hm, seperti ini rasanya kehidupan remaja. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, tak peduli sedekil apa aku dulu. Aku mau bahagia tanpa merasakan sakitnya penghianatan."

Kumakan buah terakhir yang kudapat, lalu berniat mencari lagi. Sepertinya sudah habis, tidak, aku masih melihat satu di ujung dahan. Aku sudah hampir mendapatkannya, tapi seseorang menggagalkanku.

"Hei!" Suara itu mengejutkanku, hingga membuat kakiku kaget dan melesat dari dahan pohon.

"Aaaakh!"

Aku jatuh hingga membuat dengkul dan lenganku tergores patahan ranting-ranting kecil yang bertumpuk di situ.

"Kamu gak papa?" tanya orang yang membuatku terkejut.

Kutepis tangannya yang ingin menyentuhku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mengambil tas dan buru-buru pergi dari situ.

Jarak rumahku tidak jauh dari tempat itu dan aku sudah berada di rumah sekarang, membersihkan luka dengan alkohol. Untung saja dahan yang kupanjat tadi tidak tinggi dan aku tidak cidera parah. Kalau bukan karena pria tadi, aku mungkin tidak akan jatuh. Kenapa dia bisa ada di sana tiba-tiba.

"Huuh, dasar, harusnya orang itu menangkapku, tega sekali dia." Aku membuang kapas bekas lukaku ke dalam bak sampah.

"Kenapa kamu berharap? Memangnya kamu siapa? Kamu hanyalah orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja." Aku menyalahi diriku sendiri di depan cermin wastafel.

Aku mengembus napas panjang setelah menyadari perbuatanku. Aku tidak boleh menghina diriku karena orang-orang menghinaku. Aku harus meyakini diriku, bukan meyakini ucapan mereka. Perasaanku mulai lagi, sesuatu yang membuatku tidak percaya diri adalah jika diriku mulai menghinaku. Aku selalu berusaha agar tidak seperti itu.

"Please.. I am not crazy.."

"I am not crazy.."

"I am not crazy.."

Suaraku hampir berbisik dan menjadi berbisik pada kalimat terakhir. Aku bangkit dan berdiri dari ringkukkanku, mengambil pil yang hampir menjadi makananku setiap hari. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia selalu saja memanggilku untuk memakannya.

Satu pil berhasil masuk ke mulutku. Pahit. Kuluruskan kakiku di atas kasur dan memejamkan mata, berusaha untuk melupakan hari ini, hingga aku terlelap.

***

Hari ini seperti biasa, jam istirahat di sekolah aku duduk di atas rumput di bawah pohon rindang yang biasa aku tempati.

Hari ini aku membawa headphone dan hp dengan layar retak-retak karena insiden kemarin. Tak masalah, setidaknya hp ini masih mengizinkanku mendengarkan lagu-lagunya.

Kudengar hari ini berita yang sedang hangat dibicarakan oleh cewek-cewek penggosip itu adalah masuknya murid baru. Pastinya karena murid baru itu cowok dan bisa dibilang ganteng menurut mereka. Kalau tidak seperti itu gak mungkin jadi berita hangat.

Mungkin aku satu-satunya wanita yang tidak peduli. Lagian untuk apa? Jika murid baru itu tau tentang diriku, dia juga pasti tidak akan mau berteman denganku.

Aku mengangkat buku bacaanku hingga menutupi wajah, sesuatu di kejauhan sana seolah mengganggu perasaanku. Anak-anak cowok itu pasti sedang membicarakanku. Lalu, aku merasakan kehadiran seseorang di depanku, sedang berdiri menghadapku. Aku menurunkan sedikit buku bacaan dan melihat ke arahnya. Dia melihatku, dengan cepat aku kembali mengangkat buku itu menutupi wajah.

"Hei." Dengan tangan kanannya dia menurunkan buku bacaan yang menutupi wajahku.

Sepertinya aku pernah melihatnya, dia orang yang membuatku jatuh dari pohon kemarin.

"Kamu cewek yang kemarin, kan?"

Aku tak menjawab dan yang terpenting yang harus kalian tau ternyata dia murid barunya.

"Arken." Dia menjulurkan tangan kanannya dan tersenyum padaku untuk berkenalan.

Aku telah berusaha untuk menerimanya, tapi kurasa itu percuma dan akan sia-sia. Dia akan membenciku dan menjauhiku, atau mungkin sekarang dia hanya mempermainkanku dan menjadikanku bahan lelucon karena kuyakin dia ada bersama rombongan cowok itu tadi.

Teett... Teett... Teett...

Akhirnya bel masuk berbunyi, aku berdiri dari duduk dan berjalan meninggalkannya di situ tanpa bicara apapun. Kudengar rombongan cowok di sana tertawa melihat Arken, cowok yang barusan memperkenalkan namanya padaku. Bukannya sudah kubilang, mereka hanya menjadikanku bahan lelucon. Apa itu yang disebut teman? Bukankah aku beruntung karena tidak memiliki teman seperti mereka? Yah, kurasa aku beruntung.

Bersambung


Index
2. Arken
3. Berteman
4. Psikis
5. Hariku
6. Masalahku
7. Wanita Bahagia
8. Wanita Bahagia 2
9. Pentas Seni
10. Pentas Seni 2
11. Memori
12. Reuni
13. Fungsi Hati
14. Hari Terakhir
15. Ana
16. Perasaan Rindu
17. Kematian Ana
18. Teror
Diubah oleh tiawittami 14-01-2020 19:21
someshitnessAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
7.6K
90
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
#70
12. Reuni
Waktu itu, pagi-pagi buta, di mana butiran embun belum pergi meninggalkan bumi. Saat matahari belum menunjukkan sinar hangatnya. Aku berjalan dengan langkah riang terkadang sedikit melompat menikmati wanginya aroma bunga-bunga yang tumbuh subur di kompek kami, aku mau ke rumah Arken.

Aku lihat Arken sedang memegang selang air dan menyemprot mobilnya, dia sedang mencuci mobil rupanya. Aku menggenggam pagar rumahnya. "Yang nyuci pasti belum mandi," ejekku.

Dia sedikit terkejut karena mendengar suaraku yang tiba-tiba muncul, lalu dia mencari sumber suaraku. "Heh, pagi-pagi buta udah keluyuran, mau ke mana?" kata Arken melihatku.

Aku membuka pagar rumahnya dan masuk. "Menyapa embun pagi, hehe," kataku.

"Heleh, sok-sokan, kena air sedikit aja kedinginan." Dia malah mengejekku.

"Enak aja, aku udah mandi, tau." protesku.

"Masa?"

"Iyalah," kataku.

Lalu dia menatapku dengan tatapan entah apa itu. "Eleh, bohong, kan." Dia mengarahkan selang air itu ke arahku.

"Arken! Iih, aku udah mandi!" Aku mencoba menghindar dari kejailannya, tapi dia malah melanjutkan. "Arkeeeen!" Kukejar dia dan kurebut selang airnya. Aku sudah terlanjur basah, kubasahi saja sekalian.

"Yang belum mandi itu kamuuuu!" Gantian kuarahkan airnya ke dia.

Akhirnya kami malah jadi main air di sini. Gara-gara Arken, aku jadi mandi lagi, dasar. Namun, ternyata main air seperti ini seru juga, ya. Aku tak menyangka kalau seasyik ini.

Ada-ada saja, kami jadi seperti anak remaja yang masa kecilnya kurang bahagia. Main air sambil kejar-kejaran di halaman rumah, di pagi-pagi buta, saat cuaca masih dingin-dinginya, dan entah mengapa rasa dingin itu tak terasa bagiku untuk saat-saat seperti ini.

Rasa dinginnya kalah dengan suara tawa kami. Semoga saja tidak ada tetangga yang keganggu dengan suara itu. Arken sungguh membuatku tertawa lepas, mengundang bunda keluar dan melihat halaman rumahnya yang kini becek karena ulah kami.

"Astagfirullah! Arken, Zerina." Suara bunda itu menghentikan aku dan Arken.

Aku berhenti dengan selang air yang masih kupegang, bunda mematikan kerannya. Dia menggelengkan kepala melihat kelakuan kami.

"Zerina, Nda!" seru Arken sambil menunjukku.

"Kamu duluan!" protesku.

"Iya biarin, kan aku belum mandi," cengirnya.

"Zerina tadi udah mandi, Nda. Terus Arken nyiram aku, makanya kubalas," jelasku pada bunda.

Alhasil, Arken mendapat hukuman. Dia disuruh bunda jordir 25 kali. Aku menutup mulutku, mencoba menahan tawa melihat Arken. Ada-ada saja dia, harusnya dia sudah tahu bunda itu seperti apa, tapi sepertinya dia malah lebih senang dihukum.

"Zerina yang bener, dong. Aku udah 20 kali nih aturan," keluhnya.

"Mana ada, baru 7 kali," ejekku.

"Kamu korupsi," katanya. Membuatku jadi sulit berhenti tertawa. Dari tadi aku ngitungnya ngulang-ngulang terus dengan alasan lupa udah sampe berapa.

Hingga akhirnya sampai juga dihitungan ke-25. Aku tersenyum lucu melihatnya yang kini terbaring di halaman rumah. "Sehat aku gara-gara dihukum bunda," kata Arken. Aku cuma bisa tertawa.

"Sudah?" tanya bunda yang kini sudah berdiri lagi di ambang pintu.

"Udah, Bunda," jawabku.

"Sudah 25 kali?" tanyanya memastikan.

"Lebih, Nda. Zerina, korupsi ngitungnya." Arken mengadu.

Bunda tersenyum dan memberikan handuk pada kami. Walaupun begitu bunda itu tetap perhatian, menurutku dia tipe orang yang disiplin, pokoknya siapa pun yang berbohong dan berulah musti dihukum. Namun, walaupun begitu, Arken tetap saja suka berulah, dia tidak pernah kapok dengan hukuman bundanya.

Juga, meskipun akhirnya Arken dihukum, tetap saja bermain air tadi itu seru. Dia tidak keberatan dengan hukumannya, yang penting kami bahagia. Masa kecilku terasa seperti baru dimulai.

Selesai dari masalah itu, aku dan Arken pergi jalan-jalan naik sepeda. Biasanya kami hanya mengelilingi komplek, tapi sekarang Arken membawaku keluar komplek.

"Kita mau ke mana?" tanyaku.

"Beli minum, aku haus," katanya.

"Kenapa gak minum di rumah?"

"Di rumah gak ada es, bunda gak ngebolehin minum es," curhatnya.

"Kalo kamu beli es, aku bilangin bunda."

"Jangan, dong. Aku turunin, nih." Dia mengancamku.

"Jangaaaan," keluhku yang termakan dengan ancaman yang sebenarnya tak kan mungkin dia lakukan. Dia tertawa.

Kami sampai di tempat jualan minuman dengan es batu yang mengundang dahaga. "Kamu mau rasa apa?" tanya Arken.

"Lemon."

Arken bergidik ngeri mendengar jawabanku. Aku tersenyum, lucu melihat ekspresi wajahnya, dia sungguh sangat tidak menyukai lemon. Dia pernah bilang, jika ada jin yang mau memberi satu permintaan padanya, dia akan minta jin itu untuk memusnahkan lemon dari muka bumi.

Kami duduk di situ sambil menikmati minumannya, dan daritadi Arken memerhatikanku yang sangat lancar meminum es lemon itu. "Mau?" kutawari dia.

Dia menggeleng, menolak dengan sangat senang hati. "Enakan punyaku," katanya. Aku tertawa.

"Kamu suka banget, sih, rasa kayak gitu," herannya. "Emangnya kamu diet?"

"Nggak, lah. Jadi lidi aku kalo diet dengan badan kayak gini."

"Tapi kamu emang agak gendut."

Aku memukul meja di depanku dan mengulurkan es lemon itu padanya, "Ngomong apa barusan!" kataku dengan tatapan berapi-api.

"I-iya, iya, nggak. Nggak gendut kok," katanya bergidik ngeri. Memang, ya. Cewek itu sensitif banget kalau udah dibilang gendut.

"Kamu, tuh, gendut. Nih, diet." Aku memberinya es itu.

"Mana ada. Aku loh, sering olahraga, emangnya kamu," cibirnya.

"La la la, gak denger, pake headset," gurauku.

Dia tersenyum paksa melihatku, aku tersenyum balik, lalu dengan geram dia mencubit kedua pipiku. "Iiiish," gemasnya.

"Oh, iya, nanti malam aku ada acara reuni SMP, tau," kata Arken. Aku memasang ekspresi berpikir. "Kamu mau ikut?" tanyanya.

"Ngapain? Aku, kan, bukan alumni."

"Gak papa, acaranya juga cuma temu kangen aja. Nanti kuajak Nanda, deh, biar kamu ada temen," katanya.

"Nanda? Kamu gak inget terakhir kali aku sama dia gimana?" kataku, mengajaknya untuk mengingat hari itu.

Kuingat lagi hari itu, ketika aku dan Nanda membantu bunda membuat makan siang. Baru saja bunda meninggalkan kami sebentar, kami sudah rebutan buat ngangkat piring berisi telur dadar.

"Aku aja," kataku.

"Aku. Mending kamu duduk aja, deh, di situ," kata Nanda.

"Kamu aja yang duduk, ngapain nyuruh aku."

"Kamu itu gak bisa!"

"Kamu juga!"

"Gak usah ngikutin aku!"

"Siapa yang ngikutin kamu. GR."

"Udah, deh!"

Akibat tarik-tarikkan itu, akhirnya telur dadar yang harusnya sudah siap di makan malah terlempar dan mengenai Arken yang barusan berdiri dekat situ.

Kami terdiam untuk beberapa saat, sampai akhirnya bunda kembali dan melihat yang terjadi. Dia memasang ekspresi meminta penjelasan, mengapa itu bisa terjadi.

"Dia, bunda!" Kompak aku dan Nanda saling menunjuk, tak ada yang mau mengakui kesalahan masing-masing.

Hasilnya kami dihukum, disuruh berdiri dengan satu kaki sambil menjewer telinga selama satu menit, membuat Arken menertawakan kami dengan bahagia sekali.

Arken tertawa untuk kedua kalinya karena kejadian itu. "Gak lucuuu," keluhku. "Nanda itu yang gak mau ngalah," kataku.

"Berarti kamu yang harus ngalah," katanya.

"Gak mau," balasku.

"Yaudah, berarti dua-duanya kena hukuman."

Aku menekuk wajah dan menghabiskan es-ku. Lalu Arken menasehatiku. "Zerlin... nih, ya, satu hal yang harus kamu tau. Nanda itu punya trauma, jadi kalau bisa, kamu maklum, ya, sama dia," kata Arken.

Mendengar ucapan Arken, membuatku merasa kasihan juga sama Nanda. Pantas saja dia seperti itu, tapi, bagaimana denganku?

Deg

Deg

Tidak. Aku masih ingin melukis bahagia bersamanya. Waktuku masih lama, tak mungkin secepat ini, kan. Dia tak akan kemana-mana, dia masih akan bersamaku.

"Hei." Arken menepuk pipiku pelan.

Aku kembali dalam ragaku, memangnya ke mana aku beberapa detik yang lalu? Berjalan di alam bawah sadar.

"Kamu denger aku?" tanya Arken.

"Denger, kok."

"Apa?" tesnya.

"Aku mau ikut kamu reuni," jawabku.

Dia tertawa. "Aku tanya apa, jawabnya apa. Kamu ngelindur?" Arken mencubit hidungku. Aku hanya tersenyum.

"Pokoknya ikut," kataku.

"Iya, Zerlin ikut, kok."

***

Kami pergi bersama malam itu, mereka reuninya di puncak sekalian bakar-bakar dan makan-makan. Kami bertiga bersama Nanda di dalam mobil Arken.

"Arken, kok, ngajak orang jahat ini, sih?" ucap Nanda. Siapa lagi kalau bukan aku yang dia maksud.

"Iya, kasian dia di rumah sendirian," kata Arken sambil tertawa. Aku mencibir padanya.

"Biarin aja aturan," kata Nanda sebal.

"Nanda, kok, kamu yang jadi jahat sama aku?" protesku.

"Jangan sok kenal, deh, panggil-panggil nama aku." Dia protes balik.

"Kita, kan, udah kenalan," kataku.

"Gak usah sok baik!" kata Nanda terlihat emosi padahal tatapannya sayu. Aku tertawa saja, dan kalau kudengar, suara Nanda itu nggak judes atau ketus, dia sepertinya hanya sulit mengontrol emosi.

Lalu kami sampai di tempat tujuan. Arken bertemu dengan temannya, dia izin meninggalkan kami sebentar. Ternyata ramai juga anak-anak yang kumpul, dan ada Airi juga di situ.

"Zerina." Airi menyapaku. Aku tersenyum padanya. "Aku seneng ketemu kamu di sini," katanya.

"Masa?" tanyaku bahagia.

"Mukaku kurang meyakinkan, ya?" tanyanya.

Aku tertawa. "Nggak, kok."

Aku merasa lebih akrab dengan Airi daripada Nanda, dan kurasa Nanda juga tak suka dengan Airi. Terbukti dengan cara mereka bertatapan saat ini. Ternyata bukan cuma aku yang tak disuka Nanda.

"Bentar, ya, aku ambilin minum." Airi sudah ingin beranjak.

"Nggak usah, Ai," cegahku.

"Gak papa." Dia pergi mengambil apa yang dia tawarkan. Terus Nanda malah ingin pergi juga.

"Nanda, mau ke mana?" tanyaku ketika Nanda menjauh dariku.

"Udah kubilang jangan panggil nama aku!" kesalnya.

"Kan, Arken bilang kamu harus temenin aku. Aku gak kenal siapa-siapa, loh, di sini," kataku.

"Terserah, siapa suruh kamu ikut." Dia meninggalkanku.

"Nanda...." Aku menggenggam lengannya. Dia menariknya dan mengelus-elus lengan yang barusan kugenggam. "Kenapa? Aku cuma pegang doang," protesku karena dia melihatku seolah aku ini kuman.

"Kamu ke mana gitu, kek, gak usah ikutin aku," katanya.

"Terus aku harus ke mana?"

"Kamu bisa gak, sih, gak pura-pura baik. Kamu tetep orang jahat di hidup aku, tau."

Nanda bicara serius sekali, dia sungguh anggap aku ini jahat. Ya, harusnya aku ngerti kenapa dia seperti itu, aku pernah merasa seperti itu. Namun, sekarang aku memang baik sama dia. Aku gak pura-pura.

"Kamu yang jahat karena anggap aku jahat," kataku.

"Kamu!"

"Kamu."

"Kamu!"

Lalu Arken menarikku. "Zerina!" Sepertinya dia marah padaku. Mungkin suara kami bertengkar terdengar sampai ujung sana.

"Apa? Kamu mau marahin aku?"

"Aku pernah bilang apa sama kamu?" Dia ingin aku ingat nasihatnya.

Nanda yang biasanya ngoceh, kali ini dia langsung pergi tanpa bicara apa pun.

"Nanda." Arken memanggilnya, "Kamu tunggu sini, ya, sebentar... " kata Arken dan mengejar Nanda yang tak tahu mau ke mana.

Aku duduk di bangku kayu dekat situ, aku menyesel ikut ke sini. Harusnya aku memang tak ikut. Kuusap mataku dengan punggung tangan.

"Mba? Kenapa?" Seorang laki-laki yang aku tak tahu siapa, barusan dia ingin lewat, kini berdiri di depanku dan memerhatikanku.

Aku nunduk dan menutup wajahku dengan kedua tangan, tak suka siapa pun melihatku sekarang.

"Mba?" Dia masih saja di situ. Aku tak ingin bicara ataupun melihat siapapun.

"Woy, lo apain?" Itu suara Arken.

"Gak gua apa-apain, Ken, sumpah. Udah nangis dari tadi."

Arken duduk di sampingku. "Lin? Kamu diapain sama dia?" Arken bertanya seolah aku anak kecil yang barusan dinakalin oleh teman sebaya.

"Woy, bukan gua." Temannya itu membela dirinya yang tak bersalah.

Aku tak tahu apa saja yang berlaku di situ, aku masih menutup wajahku dan hanya mendengar suara mereka.

"Zerlin... ngomong, dong. Eh, ada es lemon, tau."

Dia kira aku anak kecil yang bisa dirayu dengan minuman favorit. Aku sudah terlanjur malu karena menangis di sini.

"Yaudah, yuk, pulang," ajak Arken.

Gara-gara aku dia tak jadi ikut acara reuni. Aku jadi merasa bersalah, padahal dia selalu baik sama aku. Aku gak tau harus gimana. Perjalanan pulang ini saja terasa sunyi sekali. Nanda juga tak bersuara di situ.

Harusnya aku mengingat ucapan bunda.

Kita harus tetap jadi baik walaupun orang itu jahat sama kita.
mmuji1575
arston977
jiyanq
jiyanq dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.