Kaskus

Story

tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
BADAI SEBELUM PELANGI
BADAI SEBELUM PELANGI

1.Murid Baru


Namaku Zerina. Zerina Mia Hartalisya. Kepribadianku berubah sejak penghianatan itu terjadi. Ketika orang-orang yang selalu bersamaku, menjalani hari-hari bersamaku bahkan suka duka selalu bersamaku menghancurkan semuanya.

Ketika pacarmu yang sudah sangat manis denganmu dan sahabatmu yang selalu mendukungmu ternyata hanya berpura-pura baik padamu. Sakit bukan? Kemudian mereka bersama dan meninggalkanmu. Bagaimana rasanya? Sakit saja, kah? Atau ada perasaan lain?

Tidak hanya itu yang terjadi padaku, mereka bahkan merusak nama baikku, membuatku semakin tidak bisa bergerak, tidak ada yang percaya padaku. Mereka yang lain jadi takut padaku.

Namaku bukan lagi Zerina. Aku orang gila, yang gilanya bisa kambuh kapan saja. Orang-orang yang mendekatiku hanya ingin mengambil kesempatan tanpa kutahu apa tujuannya. Yang pasti mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri.

Astaga, kejam sekali hidup ini. Aku harus apa? Mati, kah? Atau terus menjalaninya? Kira-kira apa yang akan kudapat jika aku terus menjalani hidup. Ketulusan, kah? Aah tidak, ketulusan itu semu. Walau aku sangat ingin bertemu dengannya.

***

Kukira setelah aku lulus dan masuk ke sekolah baru semua itu akan lenyap, tapi ternyata tidak. Orang-orang bodoh itu terus mengingatnya bahkan mereka menyebarkan semuanya di sini. Tak mengapa, aku telah terbiasa dengan semua ini, bahkan jika aku harus seperti ini sampai akhir hidupku. Semua pikiran mereka dan semua yang mereka katakan, biarlah, aku terlalu lelah untuk peduli.

Aku suka duniaku, tak ada yang harus kusembunyikan sekarang. Aku tak perlu berpura-pura untuk mendapatkan yang aku inginkan, karena aku tak lagi menginginkannya.

Teman...

Makhluk apa itu? Aku tidak ingin mereka lagi. Mereka semua hidup dalam kepalsuan. Canda tawa itu akan terasa pahit jika kau tau akhirnya. Tak ada ketulusan di sini, semuanya berjalan karena kemauan masing-masing dari orang-orang itu. Aku tak pernah melihat ketulusan, mungkin dia semu, seperti apa dia? Aku jadi ingin bertemu dengannya.

***

Seperti biasa, aku menghabiskan waktu istirahat dengan duduk di atas rumput yang berseberangan dengan lapangan. Tempat ini nyaman, aku bisa bersandar sekaligus merasakan keteduhan pohon rindang ini. Berkali-kali aku melihat orang lewat yang memandangku aneh karena memilih duduk di sini, sedangkan banyak bangku taman yang disediakan sekolah untuk murid-muridnya, abaikan saja.

Kupasang earphone dan memutar lagu yang belakangan ini sering kudengarkan. Walau aku tak tau arti dari lagunya, tapi aku suka. Alunan nadanya membuat ketenanganku di atas level biasanya. Aku tetap berada di sini, sampai istirahat selesai.

Koridor kelas masih lumayan ramai oleh siswa-siswi yang ngobrol dan tertawa, padahal bel masuk sudah berbunyi. Seharusnya tadi aku menunggu beberapa menit setelah bel bunyi, baru berjalan masuk ke kelas, untuk menghindari perhatian mereka yang dari tadi melihatku sambil berbisik dengan teman masing-masing.

Abaikan ini Zerina, mereka hanya orang-orang bodoh yang tidak pandai memilih cerita.

Aku berhenti melangkah ketika sampai di depan pintu kelas, seorang perempuan yang sangat aku kenal itu menghalangi pintu masuk. Kutatap matanya dengan harapan agar dia tidak menghalangi jalanku, dia menatapku balik.

"Apa liat-liat!" katanya dengan suara yang bisa didengar siapa saja yang ada di situ.

"Minggir. Aku mau lewat." pintaku.

"Oo, mau lewat. Silahkan." Salsa menggeser tubuhnya memberiku jalan, dia tak lepas dari menatapku, membuatku tersandung kakinya karena aku pun tak lepas dari manatapnya balik.

Dia membuatku tersungkur di atas lantai dan sekarang aku jadi bahan tertawaan anak-anak di kelasku dan beberapa anak yang melihat dari pintu kelas. Aku marah, apalagi ketika dia menginjak earphone dan hpku yang juga ikut tersungkur bersamaku.

"Ah, sorry, gue gak liat. Sini gue bantu." Salsa mengulurkan tangannya padaku saat anak-anak itu memusatkan perhatiannya pada kami.

Dasar! Pandai sekali dia berpura-pura, aku tak bisa menahan diriku untuk memukul perempuan itu. Kuambil hp yang barusan dia injak dan kupakai untuk memukul kepalanya. Aku tak peduli jika hp ini rusak, yang penting kepala orang ini harus diberi pelajaran.

Salsa berteriak sambil menghalangi gerakanku lagi sampai akhirnya teman-teman bodohnya itu menghentikanku dan mendorongku menjauh dari Salsa.

"Lo gila, ya! Mukulin kepala orang!" teriak Icha sambil menatapku tajam.

"Lo gak papa, Sa?" Salsa menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Dwi, "Gak waras!" teriaknya lagi padaku.

Mereka pergi setelah berhasil membuatku terlihat seperti penjahat sekarang. Anak-anak di kelasku pun tak ada yang berani bicara padaku. Mereka semua menghindar dan memberiku jalan menuju kursiku.

Aku kembali teringat bagaimana dulu aku memukul kepala Ana dengan penggaris besi hingga membuatnya berdarah. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika anak-anak kelas ini menyaksikan itu, mungkin mereka akan menemui wali kelas dan bilang jika mereka ingin pindah kelas, tak ingin sekelas denganku. Tapi percayalah, kejadian itu bukan sepenuhnya salahku.

Aku duduk dan merapihkan buku pelajaran yang tadi belum sempat kubereskan karena aku biasa keluar duluan saat bel istirahat bunyi. Ya, itu ada alasannya, aku menghindari keramaian.

"Ternyata bener, ya. Gilanya bisa kambuh kapan aja."

"Sssstt."

Aku mendengar bisikan itu. Mereka melepaskan pandangannya dariku saat aku menatap ke arah mereka tajam. Aku jadi kesal, harusnya mereka bertanya dulu apa yang terjadi, bukan bicara dibelakangku.

Mulut-mulut itu memang sudah termakan gosip receh, mereka hanya mendengar cerita dari satu pihak dan langsung membenciku, mereka langsung menganggapku benaran gila hingga tak ada yang percaya padaku. Aku mengembuskan napas.

Tenang Zerina, kau tidak perlu kesal dan mencaci mereka. Mereka akan lebih menganggapmu gila jika kau lakukan itu.

***

Setelah melewati waktu yang sulit di sekolah hari ini, aku berniat mengunjungi tempat yang sudah lama tak kukunjungi.

Langkahku terhenti, kupandangi pohon seri yang sudah termakan usia itu. Tumbuh di halaman belakang rumah tua yang tidak dihuni, walaupun begitu pohon ini tetap tumbuh dan berbuah. Aku ingat, waktu kecil aku sering kemari, bermain bersama Ana, memanjat pohon ini untuk mengambil buah kecil bewarna merah yang rasanya sangat aku suka. Manis.

Ugh!

Aku mengusir memori itu, rasanya sakit jika menyadari yang terjadi sekarang. Kulepas tas punggung yang kukenakan dan menjatuhkannya ke atas rumput liar di situ. Dengan agak susah aku memanjat pohon, hingga akhirnya aku bisa duduk santai di dahannya sambil menikmati buahnya.

"Hm, seperti ini rasanya kehidupan remaja. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, tak peduli sedekil apa aku dulu. Aku mau bahagia tanpa merasakan sakitnya penghianatan."

Kumakan buah terakhir yang kudapat, lalu berniat mencari lagi. Sepertinya sudah habis, tidak, aku masih melihat satu di ujung dahan. Aku sudah hampir mendapatkannya, tapi seseorang menggagalkanku.

"Hei!" Suara itu mengejutkanku, hingga membuat kakiku kaget dan melesat dari dahan pohon.

"Aaaakh!"

Aku jatuh hingga membuat dengkul dan lenganku tergores patahan ranting-ranting kecil yang bertumpuk di situ.

"Kamu gak papa?" tanya orang yang membuatku terkejut.

Kutepis tangannya yang ingin menyentuhku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mengambil tas dan buru-buru pergi dari situ.

Jarak rumahku tidak jauh dari tempat itu dan aku sudah berada di rumah sekarang, membersihkan luka dengan alkohol. Untung saja dahan yang kupanjat tadi tidak tinggi dan aku tidak cidera parah. Kalau bukan karena pria tadi, aku mungkin tidak akan jatuh. Kenapa dia bisa ada di sana tiba-tiba.

"Huuh, dasar, harusnya orang itu menangkapku, tega sekali dia." Aku membuang kapas bekas lukaku ke dalam bak sampah.

"Kenapa kamu berharap? Memangnya kamu siapa? Kamu hanyalah orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja." Aku menyalahi diriku sendiri di depan cermin wastafel.

Aku mengembus napas panjang setelah menyadari perbuatanku. Aku tidak boleh menghina diriku karena orang-orang menghinaku. Aku harus meyakini diriku, bukan meyakini ucapan mereka. Perasaanku mulai lagi, sesuatu yang membuatku tidak percaya diri adalah jika diriku mulai menghinaku. Aku selalu berusaha agar tidak seperti itu.

"Please.. I am not crazy.."

"I am not crazy.."

"I am not crazy.."

Suaraku hampir berbisik dan menjadi berbisik pada kalimat terakhir. Aku bangkit dan berdiri dari ringkukkanku, mengambil pil yang hampir menjadi makananku setiap hari. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia selalu saja memanggilku untuk memakannya.

Satu pil berhasil masuk ke mulutku. Pahit. Kuluruskan kakiku di atas kasur dan memejamkan mata, berusaha untuk melupakan hari ini, hingga aku terlelap.

***

Hari ini seperti biasa, jam istirahat di sekolah aku duduk di atas rumput di bawah pohon rindang yang biasa aku tempati.

Hari ini aku membawa headphone dan hp dengan layar retak-retak karena insiden kemarin. Tak masalah, setidaknya hp ini masih mengizinkanku mendengarkan lagu-lagunya.

Kudengar hari ini berita yang sedang hangat dibicarakan oleh cewek-cewek penggosip itu adalah masuknya murid baru. Pastinya karena murid baru itu cowok dan bisa dibilang ganteng menurut mereka. Kalau tidak seperti itu gak mungkin jadi berita hangat.

Mungkin aku satu-satunya wanita yang tidak peduli. Lagian untuk apa? Jika murid baru itu tau tentang diriku, dia juga pasti tidak akan mau berteman denganku.

Aku mengangkat buku bacaanku hingga menutupi wajah, sesuatu di kejauhan sana seolah mengganggu perasaanku. Anak-anak cowok itu pasti sedang membicarakanku. Lalu, aku merasakan kehadiran seseorang di depanku, sedang berdiri menghadapku. Aku menurunkan sedikit buku bacaan dan melihat ke arahnya. Dia melihatku, dengan cepat aku kembali mengangkat buku itu menutupi wajah.

"Hei." Dengan tangan kanannya dia menurunkan buku bacaan yang menutupi wajahku.

Sepertinya aku pernah melihatnya, dia orang yang membuatku jatuh dari pohon kemarin.

"Kamu cewek yang kemarin, kan?"

Aku tak menjawab dan yang terpenting yang harus kalian tau ternyata dia murid barunya.

"Arken." Dia menjulurkan tangan kanannya dan tersenyum padaku untuk berkenalan.

Aku telah berusaha untuk menerimanya, tapi kurasa itu percuma dan akan sia-sia. Dia akan membenciku dan menjauhiku, atau mungkin sekarang dia hanya mempermainkanku dan menjadikanku bahan lelucon karena kuyakin dia ada bersama rombongan cowok itu tadi.

Teett... Teett... Teett...

Akhirnya bel masuk berbunyi, aku berdiri dari duduk dan berjalan meninggalkannya di situ tanpa bicara apapun. Kudengar rombongan cowok di sana tertawa melihat Arken, cowok yang barusan memperkenalkan namanya padaku. Bukannya sudah kubilang, mereka hanya menjadikanku bahan lelucon. Apa itu yang disebut teman? Bukankah aku beruntung karena tidak memiliki teman seperti mereka? Yah, kurasa aku beruntung.

Bersambung


Index
2. Arken
3. Berteman
4. Psikis
5. Hariku
6. Masalahku
7. Wanita Bahagia
8. Wanita Bahagia 2
9. Pentas Seni
10. Pentas Seni 2
11. Memori
12. Reuni
13. Fungsi Hati
14. Hari Terakhir
15. Ana
16. Perasaan Rindu
17. Kematian Ana
18. Teror
Diubah oleh tiawittami 14-01-2020 19:21
someshitnessAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
7.6K
90
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
#69
11. Memori
Dia datang melukis kebahagiaan, menjejakkan kenangan di setiap langkah, membuat memori tak pernah bosan mengingatnya.

Dia sangat baik. Aku suka padanya, mungkin lebih. Dia telah mengembalikanku ke permukaan dari kedalaman yang membuatku merasa sepi, dingin, dan gelap. Dia juga mengembalikan namaku. Aku bukan lagi orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja. Aku Zerina, teman baiknya.

Setiap dia bicara, aku berharap agar waktu melambat. Kuingin lebih lama bersamanya, bahkan jika bisa aku tidak ingin ada malam, yang menjadi penghalang bagi kami.

Ternyata benar, ya. Kalau sudah cinta, ego pun memuncak, tak peduli logika, yang penting bahagia. Padahal aku belum bilang kalau aku cinta. Perasaan itu membuat aku takut. Bagaimana jika apa yang kuinginkan tidak sesuai harapan. Manusia hanya boleh berharap, kan, tidak boleh memaksa.

Aku merasa sangat baik sekarang, menjalin hubungan pertemanan layaknya orang-orang. Anak-anak di sekolah tak lagi melihatku seperti dulu, mereka sadar dari kesalahannya. Aku jadi bisa bernapas dengan lega.

Cuma Nanda saja, yang kurasa tidak suka padaku. Terserah, yang penting aku tidak membencinya. Nanda hanya belum mengenalku lebih dekat, kami hanya butuh waktu.

"Arken,"

Aku memanggilnya yang terlihat sedang sibuk dengan anak-anak tari. Hari ini anak sanggar sekolah kami harus mewakili perlombaan antar sekolah.

"Nah, Zerina, aku lupa tadi mau bilang sama kamu," kata Arken, "aku diminta buat nganterin mereka ke Anjungan Kota sekarang. Kamu bisa tunggu sebentar di sekolah, kan. Nanti aku balik ke sini lagi."

Kalau tak ada Salsa di sana, aku tidak akan keberatan Arken mau pergi selama apa. Aku tak suka padanya, pokoknya dia tetap masuk daftar orang jahat dalam hidupku.

Arken menangkup wajahku dan mengarahkan pandanganku padanya, kurasa dia tahu apa yang sedang kuperhatikan. "Hei, sebentar, kok. Jangan mikirin yang tidak-tidak, aku cuma disuruh nganterin aja," kata Arken.

Aku jadi malu karena ucapannya. "Memangnya siapa yang mikir yang tidak-tidak." Aku menghindar dari pernyataannya.

"Heleeh." Arken malah membuatku merasa tercyduk. "Ekspresi di wajahmu itu tidak bisa membohongiku tau," katanya.

"Kamu aja yang GR," elakku.

"Masa?"

"Arken. Ayo, udah pada siap."

Aku dan Arken menoleh ke sumber suara itu. "Udah? Ayo," jawab Arken. Aku menahan ujung seragamnya sebelum dia berjalan.

"Sebentar, kan?" gumamku.

Dia tertawa. "Memang kalo lama kenapa?"

Aku memasang raut cemberut. Ya, kuakui aku memang mikir yang tidak-tidak tadi dan tak seharusnya aku mencoba menghindar dari pernyataannya. Dia malah membuatku semakin menunjukkan kalau aku tak suka ada Salsa di sana.

Arken mengacak rambutku dan kurasa dia semakin puas menertawakanku. "Iya, sebentar, kok. Tunggu ya," katanya.

"Awas aja kalo lama," gumamku.

Aku tak tahu sejak kapan berani bicara seperti itu padanya, padahal biasanya aku tak pernah memaksanya, apalagi menghambat kegiatannya. Percayalah ini hanya karena aku tak suka dengan Salsa.

"Iyaa, Zerliiin." Dia mengayun nada bicaranya.

Aku tersenyum untuk detik berikutnya dan dia melangkah membuat jarak antara kami. Aku tak tahu mengapa aku suka dipanggilnya dengan sebutan itu, padahal aku tidak suka waktu itu. Biarlah itu jadi panggilan sayangnya padaku.

Aku duduk di kantin, menunggu Arken kembali. Dia lama sekali. Ternyata menunggu itu lelah juga, ya. Padahal tinggal duduk saja. Mungkin ini karena pikiranku yang bekerja terlalu keras sampai-sampai membuat lelah. Benar ya, berpikir itu lebih banyak menguras energi.

Sekolah sudah hampir sepi karena anak-anak pada pulang. Hanya beberapa saja yang masih di sekolah, termasuk aku dan Airi yang sekarang sedang duduk berhadapan, dia menghampiriku barusan.

"Kamu belum pulang?" tanyanya.

"Belum. Kamu juga, kenapa masih di sekolah?" tanyaku balik.

Airi memesan mie goreng dan sepertinya itu cukup untuk menjawab pertanyaanku. Dia tersenyum padaku. "Kamu nungguin Arken, ya?"

"Iya."

"Arken itu baik ya," katanya. Kutatap balik matanya yang menatapku, dia tersenyum. "Bundanya juga. Aku gak nyangka ada orang sebaik mereka," sambungnya.

Aku mencoba mencerna kata-katanya. Apa dia pernah bertemu bunda?

"Kamu mau berbagi cerita dengaku?" katanya lagi.

"Maksudnya?"

"Kamu udah tau kalo bunda Arken itu psikolog?" tanyanya.

Benarkah? Kenapa dia lebih tahu tentang bunda.

"Udah. Barusan kamu kasih tau."

"Hm, emangnya Arken gak kasih tau kamu?"

Aku menggeleng. "Kamu kenal Arken sudah lama, ya?"

Dia mengangguk. "Dia temanku dari SMP."

"Kamu sering main ke rumah dia?"

Tunggu, kenapa aku kepo. Aduh, tak apa lah, lagian dia juga yang mengajakku berbagi cerita.

"Dulu sering banget, tapi semenjak dia pindah, jadi jarang."

Aku ber-o ria.

Airi menyambut pesanannya yang sudah jadi. "Makasih, Bu." Dia tersenyum pada ibu kantin itu.

"Mau makan bareng?" tawarnya.

"Aku udah makan, kok. Makasih."

Aku membalas senyumnya itu, dia menyantap makanannya. Kalau kulihat lagi, ternyata Airi itu orangnya ramah, ya. Aku jadi merasa bersalah karena meninggalkannya di toilet waktu itu.

Hingga akhirnya Arken kembali. Dia menghampiriku dan duduk di sebelahku. "Hai, Airi," sapanya. Airi hanya tersenyum dan melanjutkan makannya.

"Kamu gak makan?" tanya Arken.

"Gak makan gimana? Aku udah abis dua mangkok mie goreng, tau. Nih." Aku menunjuk dua mangkuk bekas aku makan tadi. Sampai habis dua mangkuk karena menunggunya yang lama sekali.

"Masa?" kata Arken meragukanku. "Iyatah, Ai?" Dia bertanya ke Airi.

"Hm, kurang tau. Aku baru duduk di sini," katanya. Dia tak membelaku.

"Nah, berarti kamu bohong," kata Arken dengan seluruh gaya bicara dan tawanya.

"Terserah," kataku.

Dia tertawa dan mengacak rambutku. Ah, dasar. Sekarang dia jadi lebih suka mengacak rambutku, tau.

"Utututu... kasian yang udah capek nungguin. Yaudah, yuk." Dia merangkul leherku lalu mencubit pipiku.

"Airi, duluan ya," kata Arken.

"Duluan ya," kataku juga, mungkin dengan wajah yang memerah karena malu. Dia memang senang sekali membuatku blushing. Ah, dasar.

***

Malam itu, kami boncengan naik sepeda, mau beli nasi goreng di depan komplek.

"Aku boleh nanya?" kataku.

"Boleh, tapi bayar." Arken tertawa. "Satu pertanyaan 50 ribu."

"Mahal banget, itu mah pemerasan namanya," kataku ikut tertawa.

"Ngga, dong. Kan, aku jual jasa menjawab pertanyaan."

"Yaudah aku gak jadi tanya, uangnya buat beli nasi goreng aja."

Dia tertawa. "Yaudah, deh, gratis aja malam ini buat Zerlin."

Aku cuma memastikan, apa benar dia baru pindah ke komplek sekitar rumahku. Dia bilang iya. Katanya dulu dia dan bunda tinggal di daerah Kandis, terus mereka pindah ke luar kota karena ikut Ayahnya dinas. Lalu, karena bunda tidak ingin jauh-jauh dari ibu dan mertuanya, akhirnya ayahnya mengalah dan mereka balik lagi ke sini dan membeli rumah lagi di sini.

Ternyata seperti itu, pantas saja. Karena yang kutahu di komplekku itu tidak ada anak laki-laki sebaya denganku.

Kami sampai di tempat jualan nasi goreng. "Kamu suka pedes?" tanya Arken.

Aku menggeleng. "Nggak," kataku.

"Huu, cemen," cibir Arken padaku.

"Biarin."

"Bang, nasi goreng 2 gak pedes, ya." Arken memesannya.

"Loh, kok dua-duanya gak pedes?"

"Aku juga gak suka, hehe."

Ah, ingin sekali rasanya kugetok kepalanya itu dengan botol kecap abang nasi goreng. Bisa-bisanya dia mencibir ke arahku padahal dia sendiri sama saja. Dasar, untung saja aku sayang.

"Kamu lucu loh, kalo marah." Arken tertawa sambil menunjukku.

Ingin kugigit rasanya jarinya itu, dia langsung menariknya dan menguyek-uyek rambutku. "Iiiih sereem," tawanya yang renyah itu kembali terdengar.
medina12
mmuji1575
jiyanq
jiyanq dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.