Kaskus

Story

tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
BADAI SEBELUM PELANGI
BADAI SEBELUM PELANGI

1.Murid Baru


Namaku Zerina. Zerina Mia Hartalisya. Kepribadianku berubah sejak penghianatan itu terjadi. Ketika orang-orang yang selalu bersamaku, menjalani hari-hari bersamaku bahkan suka duka selalu bersamaku menghancurkan semuanya.

Ketika pacarmu yang sudah sangat manis denganmu dan sahabatmu yang selalu mendukungmu ternyata hanya berpura-pura baik padamu. Sakit bukan? Kemudian mereka bersama dan meninggalkanmu. Bagaimana rasanya? Sakit saja, kah? Atau ada perasaan lain?

Tidak hanya itu yang terjadi padaku, mereka bahkan merusak nama baikku, membuatku semakin tidak bisa bergerak, tidak ada yang percaya padaku. Mereka yang lain jadi takut padaku.

Namaku bukan lagi Zerina. Aku orang gila, yang gilanya bisa kambuh kapan saja. Orang-orang yang mendekatiku hanya ingin mengambil kesempatan tanpa kutahu apa tujuannya. Yang pasti mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri.

Astaga, kejam sekali hidup ini. Aku harus apa? Mati, kah? Atau terus menjalaninya? Kira-kira apa yang akan kudapat jika aku terus menjalani hidup. Ketulusan, kah? Aah tidak, ketulusan itu semu. Walau aku sangat ingin bertemu dengannya.

***

Kukira setelah aku lulus dan masuk ke sekolah baru semua itu akan lenyap, tapi ternyata tidak. Orang-orang bodoh itu terus mengingatnya bahkan mereka menyebarkan semuanya di sini. Tak mengapa, aku telah terbiasa dengan semua ini, bahkan jika aku harus seperti ini sampai akhir hidupku. Semua pikiran mereka dan semua yang mereka katakan, biarlah, aku terlalu lelah untuk peduli.

Aku suka duniaku, tak ada yang harus kusembunyikan sekarang. Aku tak perlu berpura-pura untuk mendapatkan yang aku inginkan, karena aku tak lagi menginginkannya.

Teman...

Makhluk apa itu? Aku tidak ingin mereka lagi. Mereka semua hidup dalam kepalsuan. Canda tawa itu akan terasa pahit jika kau tau akhirnya. Tak ada ketulusan di sini, semuanya berjalan karena kemauan masing-masing dari orang-orang itu. Aku tak pernah melihat ketulusan, mungkin dia semu, seperti apa dia? Aku jadi ingin bertemu dengannya.

***

Seperti biasa, aku menghabiskan waktu istirahat dengan duduk di atas rumput yang berseberangan dengan lapangan. Tempat ini nyaman, aku bisa bersandar sekaligus merasakan keteduhan pohon rindang ini. Berkali-kali aku melihat orang lewat yang memandangku aneh karena memilih duduk di sini, sedangkan banyak bangku taman yang disediakan sekolah untuk murid-muridnya, abaikan saja.

Kupasang earphone dan memutar lagu yang belakangan ini sering kudengarkan. Walau aku tak tau arti dari lagunya, tapi aku suka. Alunan nadanya membuat ketenanganku di atas level biasanya. Aku tetap berada di sini, sampai istirahat selesai.

Koridor kelas masih lumayan ramai oleh siswa-siswi yang ngobrol dan tertawa, padahal bel masuk sudah berbunyi. Seharusnya tadi aku menunggu beberapa menit setelah bel bunyi, baru berjalan masuk ke kelas, untuk menghindari perhatian mereka yang dari tadi melihatku sambil berbisik dengan teman masing-masing.

Abaikan ini Zerina, mereka hanya orang-orang bodoh yang tidak pandai memilih cerita.

Aku berhenti melangkah ketika sampai di depan pintu kelas, seorang perempuan yang sangat aku kenal itu menghalangi pintu masuk. Kutatap matanya dengan harapan agar dia tidak menghalangi jalanku, dia menatapku balik.

"Apa liat-liat!" katanya dengan suara yang bisa didengar siapa saja yang ada di situ.

"Minggir. Aku mau lewat." pintaku.

"Oo, mau lewat. Silahkan." Salsa menggeser tubuhnya memberiku jalan, dia tak lepas dari menatapku, membuatku tersandung kakinya karena aku pun tak lepas dari manatapnya balik.

Dia membuatku tersungkur di atas lantai dan sekarang aku jadi bahan tertawaan anak-anak di kelasku dan beberapa anak yang melihat dari pintu kelas. Aku marah, apalagi ketika dia menginjak earphone dan hpku yang juga ikut tersungkur bersamaku.

"Ah, sorry, gue gak liat. Sini gue bantu." Salsa mengulurkan tangannya padaku saat anak-anak itu memusatkan perhatiannya pada kami.

Dasar! Pandai sekali dia berpura-pura, aku tak bisa menahan diriku untuk memukul perempuan itu. Kuambil hp yang barusan dia injak dan kupakai untuk memukul kepalanya. Aku tak peduli jika hp ini rusak, yang penting kepala orang ini harus diberi pelajaran.

Salsa berteriak sambil menghalangi gerakanku lagi sampai akhirnya teman-teman bodohnya itu menghentikanku dan mendorongku menjauh dari Salsa.

"Lo gila, ya! Mukulin kepala orang!" teriak Icha sambil menatapku tajam.

"Lo gak papa, Sa?" Salsa menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Dwi, "Gak waras!" teriaknya lagi padaku.

Mereka pergi setelah berhasil membuatku terlihat seperti penjahat sekarang. Anak-anak di kelasku pun tak ada yang berani bicara padaku. Mereka semua menghindar dan memberiku jalan menuju kursiku.

Aku kembali teringat bagaimana dulu aku memukul kepala Ana dengan penggaris besi hingga membuatnya berdarah. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika anak-anak kelas ini menyaksikan itu, mungkin mereka akan menemui wali kelas dan bilang jika mereka ingin pindah kelas, tak ingin sekelas denganku. Tapi percayalah, kejadian itu bukan sepenuhnya salahku.

Aku duduk dan merapihkan buku pelajaran yang tadi belum sempat kubereskan karena aku biasa keluar duluan saat bel istirahat bunyi. Ya, itu ada alasannya, aku menghindari keramaian.

"Ternyata bener, ya. Gilanya bisa kambuh kapan aja."

"Sssstt."

Aku mendengar bisikan itu. Mereka melepaskan pandangannya dariku saat aku menatap ke arah mereka tajam. Aku jadi kesal, harusnya mereka bertanya dulu apa yang terjadi, bukan bicara dibelakangku.

Mulut-mulut itu memang sudah termakan gosip receh, mereka hanya mendengar cerita dari satu pihak dan langsung membenciku, mereka langsung menganggapku benaran gila hingga tak ada yang percaya padaku. Aku mengembuskan napas.

Tenang Zerina, kau tidak perlu kesal dan mencaci mereka. Mereka akan lebih menganggapmu gila jika kau lakukan itu.

***

Setelah melewati waktu yang sulit di sekolah hari ini, aku berniat mengunjungi tempat yang sudah lama tak kukunjungi.

Langkahku terhenti, kupandangi pohon seri yang sudah termakan usia itu. Tumbuh di halaman belakang rumah tua yang tidak dihuni, walaupun begitu pohon ini tetap tumbuh dan berbuah. Aku ingat, waktu kecil aku sering kemari, bermain bersama Ana, memanjat pohon ini untuk mengambil buah kecil bewarna merah yang rasanya sangat aku suka. Manis.

Ugh!

Aku mengusir memori itu, rasanya sakit jika menyadari yang terjadi sekarang. Kulepas tas punggung yang kukenakan dan menjatuhkannya ke atas rumput liar di situ. Dengan agak susah aku memanjat pohon, hingga akhirnya aku bisa duduk santai di dahannya sambil menikmati buahnya.

"Hm, seperti ini rasanya kehidupan remaja. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, tak peduli sedekil apa aku dulu. Aku mau bahagia tanpa merasakan sakitnya penghianatan."

Kumakan buah terakhir yang kudapat, lalu berniat mencari lagi. Sepertinya sudah habis, tidak, aku masih melihat satu di ujung dahan. Aku sudah hampir mendapatkannya, tapi seseorang menggagalkanku.

"Hei!" Suara itu mengejutkanku, hingga membuat kakiku kaget dan melesat dari dahan pohon.

"Aaaakh!"

Aku jatuh hingga membuat dengkul dan lenganku tergores patahan ranting-ranting kecil yang bertumpuk di situ.

"Kamu gak papa?" tanya orang yang membuatku terkejut.

Kutepis tangannya yang ingin menyentuhku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mengambil tas dan buru-buru pergi dari situ.

Jarak rumahku tidak jauh dari tempat itu dan aku sudah berada di rumah sekarang, membersihkan luka dengan alkohol. Untung saja dahan yang kupanjat tadi tidak tinggi dan aku tidak cidera parah. Kalau bukan karena pria tadi, aku mungkin tidak akan jatuh. Kenapa dia bisa ada di sana tiba-tiba.

"Huuh, dasar, harusnya orang itu menangkapku, tega sekali dia." Aku membuang kapas bekas lukaku ke dalam bak sampah.

"Kenapa kamu berharap? Memangnya kamu siapa? Kamu hanyalah orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja." Aku menyalahi diriku sendiri di depan cermin wastafel.

Aku mengembus napas panjang setelah menyadari perbuatanku. Aku tidak boleh menghina diriku karena orang-orang menghinaku. Aku harus meyakini diriku, bukan meyakini ucapan mereka. Perasaanku mulai lagi, sesuatu yang membuatku tidak percaya diri adalah jika diriku mulai menghinaku. Aku selalu berusaha agar tidak seperti itu.

"Please.. I am not crazy.."

"I am not crazy.."

"I am not crazy.."

Suaraku hampir berbisik dan menjadi berbisik pada kalimat terakhir. Aku bangkit dan berdiri dari ringkukkanku, mengambil pil yang hampir menjadi makananku setiap hari. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia selalu saja memanggilku untuk memakannya.

Satu pil berhasil masuk ke mulutku. Pahit. Kuluruskan kakiku di atas kasur dan memejamkan mata, berusaha untuk melupakan hari ini, hingga aku terlelap.

***

Hari ini seperti biasa, jam istirahat di sekolah aku duduk di atas rumput di bawah pohon rindang yang biasa aku tempati.

Hari ini aku membawa headphone dan hp dengan layar retak-retak karena insiden kemarin. Tak masalah, setidaknya hp ini masih mengizinkanku mendengarkan lagu-lagunya.

Kudengar hari ini berita yang sedang hangat dibicarakan oleh cewek-cewek penggosip itu adalah masuknya murid baru. Pastinya karena murid baru itu cowok dan bisa dibilang ganteng menurut mereka. Kalau tidak seperti itu gak mungkin jadi berita hangat.

Mungkin aku satu-satunya wanita yang tidak peduli. Lagian untuk apa? Jika murid baru itu tau tentang diriku, dia juga pasti tidak akan mau berteman denganku.

Aku mengangkat buku bacaanku hingga menutupi wajah, sesuatu di kejauhan sana seolah mengganggu perasaanku. Anak-anak cowok itu pasti sedang membicarakanku. Lalu, aku merasakan kehadiran seseorang di depanku, sedang berdiri menghadapku. Aku menurunkan sedikit buku bacaan dan melihat ke arahnya. Dia melihatku, dengan cepat aku kembali mengangkat buku itu menutupi wajah.

"Hei." Dengan tangan kanannya dia menurunkan buku bacaan yang menutupi wajahku.

Sepertinya aku pernah melihatnya, dia orang yang membuatku jatuh dari pohon kemarin.

"Kamu cewek yang kemarin, kan?"

Aku tak menjawab dan yang terpenting yang harus kalian tau ternyata dia murid barunya.

"Arken." Dia menjulurkan tangan kanannya dan tersenyum padaku untuk berkenalan.

Aku telah berusaha untuk menerimanya, tapi kurasa itu percuma dan akan sia-sia. Dia akan membenciku dan menjauhiku, atau mungkin sekarang dia hanya mempermainkanku dan menjadikanku bahan lelucon karena kuyakin dia ada bersama rombongan cowok itu tadi.

Teett... Teett... Teett...

Akhirnya bel masuk berbunyi, aku berdiri dari duduk dan berjalan meninggalkannya di situ tanpa bicara apapun. Kudengar rombongan cowok di sana tertawa melihat Arken, cowok yang barusan memperkenalkan namanya padaku. Bukannya sudah kubilang, mereka hanya menjadikanku bahan lelucon. Apa itu yang disebut teman? Bukankah aku beruntung karena tidak memiliki teman seperti mereka? Yah, kurasa aku beruntung.

Bersambung


Index
2. Arken
3. Berteman
4. Psikis
5. Hariku
6. Masalahku
7. Wanita Bahagia
8. Wanita Bahagia 2
9. Pentas Seni
10. Pentas Seni 2
11. Memori
12. Reuni
13. Fungsi Hati
14. Hari Terakhir
15. Ana
16. Perasaan Rindu
17. Kematian Ana
18. Teror
Diubah oleh tiawittami 14-01-2020 19:21
someshitnessAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
7.6K
90
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
#68
10. Pentas Seni 2
šŸŽ¶šŸŽ¶šŸŽ¶

Kan kuutarakan kepadamu...
Semua yang ada dihatiku...
Aku mencintai kamu...
Dengarkan janjiku...

šŸŽ¶šŸŽ¶šŸŽ¶
Kan kusayangi kau sampai akhir dunia... Kan kujadikan kamu wanita... Paling bahagia di seluruh dunia... Karena kamulah satu-satunya..

šŸŽ¶šŸŽ¶šŸŽ¶

~Armada - Wanita Paling Berharga~

"Terimakasih... untuk semua yang ada di sini terutama wanita, khususnya kamu, jangan lupa bahagia," ucap Arken dengan suaranya yang menggema dengan mic itu. Aku sadar barusan dia menunjukku, aku tersenyum malu dan siap untuk bahagia.

"Aaaaaaaah!!"

"Siaaaaaaappp!"

"Hiyaaaaa!!"

"Oke, kita lanjut lagu kedua." Arken berucap semangat.

"Kyaaa!"

šŸŽ¶šŸŽ¶šŸŽ¶
Lekuk indah hadirkan pesona
Kemuliaan bagi yang memandang
Setiamu simbol keanggunan
Khas perawan yang kaumiliki

šŸŽ¶šŸŽ¶šŸŽ¶
Aku lah pengagum ragamu
Tak ingin ku menyakitimu
Lindungi dari sengat dunia
Yang mengancam
Nodai sucinya lahirmu

šŸŽ¶šŸŽ¶šŸŽ¶
Karena wanita ingin dimengerti
Lewat tutur lembut dan laku agung
Karena wanita ingin dimengerti
Manjakan dia dengan kasih sayang

šŸŽ¶šŸŽ¶šŸŽ¶

~Ada Band - Karena Wanita~

***

Akhirnya hari yang sangat meriah itu berakhir. Aku sungguh tak menyangka akan merasa sespesial itu. Oh, dia, sungguh membuatku tak bisa menahan lekukan bibirku untuk tersenyum, senangnya.

"Zerina, Zerina, Zerina!"

Kami berhenti melangkah dan melihat ke sumber suara itu, ternyata mereka yang tadi meminta tanda tangan Arken dan kawan-kawan.

"Kenapa?" kataku.

Dini berbisik di telingaku. "Oh, mau lah, pasti," kataku sambil melihat Arken di sampingku. Dia menaikkan alis, yang berarti 'kenapa?'

"Mereka mau foto sama grup band kalian," kataku.

"Oh, boleh. Woy, Fahmi!" teriak Arken pada teman-temannya yang tadinya berjalan bersama kami. Mereka berhenti dan Arken menyuruhnya kemari untuk Dini dan dua temannya, Wine dan Ola.

Aku yang mengambil foto mereka, kupastikan jika fotonya bagus karena aku seorang photographer yang pro. Hehe.

Ternyata aksi Dini dan teman-temannya itu mengundang keinginan anak-anak lain yang juga ingin berfoto. Tak kusangka. Oke, hari ini aku siap jadi juru foto.

"Mau juga, dong."

"Iya, kami juga, ya."

"Iya, sabar, ya." Mereka menyerahkan hpnya padaku, memintaku untuk mengambilkan gambar mereka dengan AFGAN, Arken, Fahmi, Gandhi, Anang, dan Novan. Gara-gara Dini, Wine, dan Ola, nama band Arken dan kawan-kawan terkenal dengan sebutan AFGAN.

Sudah berapa banyak hp yang ku pegang untuk mereka berfoto, ah, merepotkan. Tapi aku senang, kok, selagi mereka sabar dan menghargaiku.

Lalu aku tak senang lagi menjadi juru foto, gara-gara anak itu, seenaknya saja dia merangkul Arken. Hei, daritadi tidak ada yang berani tahu foto seperti itu, untuk menggandengnya saja tidak ada yang melakukannya. Dasar Salsa!

"Lagi, dong." Dan sesuka hatinya saja menyuruhku, ini sudah yang kelima kalinya mereka berganti gaya tahu. Sangat tidak iklas aku melakukan itu untuk Salsa dan temannya.

"Sebentar, ya."

Aku menurunkan kamera hp itu melihat Arken menjauh dari tempatnya dan berjalan mendekat ke arahku. Dia mengeluarkan hpnya dari saku. "Tolong, ya. Dari tadi juru fotonya belum foto sama sekali," kata Arken pada salah satu cewek di sampingku yang menunggu ingin berfoto juga.

"Oh, iya sini." Cewek itu menerima hp Arken.

"Ayo." Arken menggenggam tanganku untuk berjalan mengikutinya. Lagi-lagi dia membuatku jadi merasa spesial, perasaan apa ini, senaaaaaang sekali. Merasa seperti permaisuri. Ah, dia.

Dia merangkul dan mengundang kepalaku untuk bersandar di bahunya. Coba dengarkan, siapa saja yang berbisik kepo setelah melihat kami, kudengar mereka membicarakan kalau aku dan Arken pacaran. Tapi aku merasa dia lebih dari seorang pacar.

Dan lihatlah bagaimana Salsa, Icha dan Dwi melihat kami. Iri, itulah yang bisa kugambarkan dari tatapan mereka. Senangnya bisa balas dendam atas perbuatan mereka dengan cara seperti ini, ya.

***

Foto itu kupajang di kamarku, aku jadi bisa melihatnya kapan saja saat aku ingin tidur atau bangun tidur. Bersama AFGAN, foto itu tetap ada hingga hari-hari berlalu meninggalkan jauh saat hari pengambilan foto itu. Aku bisa merasakan kenangannya dalam foto itu, manis sekali.

Sore ini aku ingin ke rumah Arken. Aku bosan di rumah walaupun ada papa hari ini, biasanya juga seperti itu, kan. Ada tidak adanya sama saja. Mamaku juga benar-benar tak kembali setelah kejadian hari itu. Terserahlah, aku tak peduli.

Setelah memberi Chimy makan, aku pergi ke rumah Arken. Oh, iya, lupa kuceritakan. Selama aku di rumah Arken, aku tak pernah lupa memberi Chimy makan, karena aku selalu bolak-balik rumah untuk mengambil pakaian ganti.

"Zerina, mau ke mana?" Suara papa menghentikan langkahku yang baru saja membuka pintu rumah.

Aku melihat papa yang berdiri di sana dengan secangkir kopi, dia membuatnya sendiri. "Main, Pa, boleh?" izinku padanya.

"Main? Tumben? Main ke mana?" tanya papa yang kini sudah duduk di kursi ruang tamu dan meletakkan kopinya di meja.

"Ke rumah Arken, di blok D," kataku.

"Arken? Teman sekolahmu?" tanya papa. Aku mengangguk.

"Yasudah, jangan pulang malam-malam ya," kata papa. Aku mengangguk. Dia membuka koran di atas situ dan mulai membacanya.

Aku sudah berada di depan rumah Arken. Kubuka pagar rumahnya dan melihat ada motor yang begitu asing bagiku.

'motor siapa?'

"Arken." Aku masuk dan menemukan seorang perempuan sebaya denganku. "Oh, ada tamu." Aku jadi tidak enak karena main nyelonong masuk. Aku tersenyum padanya, dia melihatku seperti bertanya-tanya, siapa aku?

"Nah, Zerina. Dari mana saja kamu baru keliatan," kata Arken sambil meletakkan minuman di atas meja.

"Dari mata turun ke hati," gurauku, mencontoh gurauannya yang pernah dia katakan padaku.

"Dasar." Dia mencubit pipiku geram. "Nih, kenalin, Nanda, temen SMP aku." Arken memperkenalkanku padanya.

Aku mengulurkan tangan padanya. "Zerina." Dia menerima tanganku, "Nanda," katanya dengan sorot mata yang kurasa tak suka padaku.

"Kamu mau sama Bunda dulu atau ikut belajar?" tanya Arken.

"Bunda di mana?" tanyaku.

"Di belakang, lagi masak."

Aku menghirup wangi masakan bunda. "Pantesan wangi." Aku berjalan meninggalkan ruang tamu.

Rupanya Arken dan teman SMP-nya itu akrab juga, ya. Mereka terlihat begitu dekat, seperti teman dekat.

"Kemarin Nanda liat Arken nyanyi," ucap Nanda, dia seperti anak kecil kalau bicara. "Bagus," tambahnya.

"Masa? Di mana?" tanya Arken.

"Di sosmed." Nanda tersenyum dengan gigi kelincinya. "Ada temen Nanda yang upload vidionya," katanya.

"Iya?" tanya Arken seperti tak percaya. "Ternyata banyak juga yang suka band kami. Kamu suka?" tanya Arken.

"Suka banget."

Aku tersadar kalau dari tadi diam-diam mendengarkan dan memerhatikan mereka. Apa yang kulakukan? Mereka kan, teman sudah sejak lama. Aku tidak boleh egois.

Aku tidak jadi ke dapur menemui bunda, aku balik lagi ke ruang tamu dan bergabung bersama mereka.

"Loh, gak jadi bantuin Bunda?" tanya Arken padaku yang sudah duduk di situ.

Aku menggelengkan kepala. "Aku mau ikut belajar aja," kataku.

"Kamu bantuin Bunda aja." Nanda bicara padaku.

"Gak mau," kataku. Kubalas tatapannya yang menatapku tak suka.

"Aku gak mau belajar sama kamu," kata Nanda.

"Nanda." Arken menegurnya.

"Memangnya kenapa?" tanyaku.

"Gak suka!" seru Nanda.

"Nanda, gak boleh gitu, dong. Belajar bareng-bareng ya," kata Arken.

"Gak mau," kata Nanda. "Nanda gak mau belajar sama orang jahat," sambungnya.

Aku ternganga mendengarnya, dia menganggapku orang jahat?

Arken tertawa. "Dia nggak jahat, tau. Kamu nggak boleh gitu," kata Arken menasihatinya.

Nanda menatapku penuh benci dan takut, dia seperti trauma akan sesuatu. "Nanda pulang aja," katanya sambil membereskan buku-bukunya.

"Loh, belajarnya kan, belum selesai," kata Arken.

"Nanda udah bisa," katanya. "Arken jangan deket-deket sama dia, ya." Dia menunjukku.

Arken hanya tertawa mendengarnya. Yah, apa-apaan si Nanda ini. Dia berkata seolah aku tak mendengar ucapannya.

"Yaudah, kamu hati-hati ya," kata Arken. Nanda sudah berada di atas motornya, dia mengangguk dan meninggalkan rumah Arken.

Aku masih membisu dalam diamku, pandanganku masih tertuju ke arah Nanda yang sudah menghilang termakan jarak.

"Hei." Arken menepuk pundakku. "Sudah, jangan dipikirin. Nanda memang begitu orangnya, tapi dia baik, kok," kata Arken.

"Baik? Dia bilangin aku jahat," kataku.

Arken menangkup kedua pipiku. "Apapun yang dia bilang, aku tau lebih banyak tentang kamu daripada dia, ngerti?" katanya dengan senyum hangat itu. Apapun jadi terasa lebih lega jika dia bicara.

Setiap kata-katanya mampu menenangkan hati siapa saja, juga perilakunya tak sedikitpun menyakiti hati siapa saja. Dialah malaikat yang datang untukku dan takkan kubiarkan pergi.
balona
mmuji1575
jiyanq
jiyanq dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Ikuti KASKUS di
Ā© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.