- Beranda
- Stories from the Heart
Jangan Panggil Aku Ibu
...
TS
shirazy02
Jangan Panggil Aku Ibu

(Warning : 21+ akan ada tindak kekerasan dalam cerita, namun sarat moral, mengantarkan banyak kejutan tak terduga di dalamnya)
part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
part 7
part 8
part 9
part 10
part 11
part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
part 1
Suara carut-marut beberapa ayam jantan yang berkokok, mulai menyadarkanku dari lelapnya tidur. Membuatku beranjak segera membuka jendela kamar. Terlihat seberkas cahaya matahari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur. Tak tertinggal suara merdunya burung-burung dari balik dedaunan yang tengah bersenandung.
Seharusnya suasana pagi yang dingin nan sejuk ini menambah nikmat tersendiri untukku, namun nyatanya, sangat berbeda dengan suasana hatiku.
Kutengok jam dinding dari balik tirai. Jam 05.30. Baru sadar bahwa hanya dua jam saja aku mampu tertidur?
Dengan mata yang masih terasa berat, kulangkahkan kakiku keluar kamar. Mematikan lampu tengah dan teras yang masih menyala. Lalu membuka bilik-bilik jendela, terakhir membuka pintu utama.
Haidar masih saja bergelut dengan mimpinya. Kubiarkan ia terlelap tidur. Masih penasaran ke-diam-annya semalam. Tumben ia tak rewel, tak seperti biasanya.....
Sementara, Mas Agus ... entah kemana ia. Gelas berisi teh di atas meja masih tak tersentuh sama sekali. Sepertinya ia tak pulang lagi.
Kutarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan seiring penatnya kepala yang kurasakan.
Sudah tiga hari ini, Mas Agus tak pulang. Membuatku khawatir dan berpikir yang macam-macam. Uang yang ia beri padaku sepekan yang lalu sudah menipis. Aku semakin dibuat pusing karena tak ada lagi orang yang bisa kutoleh disini.
"He, Wati! Jangan ngutang lagi, ya! Boleh ngutang, tapi, lunasin dulu tunggakannya! Jebol anakku kalau dirimu ngutang mulu."
Dari warung seberang jalan, Mak Minah berteriak kencang sembari mengacungkan sapu halamannya itu padaku.
Aku langsung membalikkan badan, pergi dari ruang tamu dengan langkah cepat menuju kembali ke kamar. Tak terasa air mata mulai menitik. Betapa malunya aku sebagai perempuan diteriaki seperti itu disaat banyak para tetangga belanja di warungnya.
Bagaimana aku bisa melunasi hutang, sementara uang yang kukantongi sekarang saja tersisa hanya enam ribu rupiah.
Kuseka air mataku yang kian mengucur, lalu mengalihkan pandangan kembali menatap Haidar yang masih terlelap.
Oh, Tuhan ... aku tak sanggup lagi.
Mas Agus, kamu dimana?
Lagi-lagi air mataku menitik.
Belum usai kesedihanku, pagi-pagi sekali Bu Rina datang. Ia marah, menyuruhku segera meninggalkan rumah. Kami memang menunggak biaya sewa lima bulan, dan aku tahu Mas Agus sudah berusaha untuk itu. Tapi, bagaimana lagi ... penghasilannya sebagai kuli angkut di pasar hanya cukup untuk menutup hutang yang lain dan makan seadanya.
Tak mau terus bersitegang, lantas kutegaskan pada Bu Rina jika Mas Agus sudah tiga hari ini tak pulang. Namun, sudah tak ada lagi rasa iba terpancar dari raut wajahnya.
"Saya sudah lima bulan bersabar, Wati. Suamimu tak juga memberi uang yang dijanjikan meski sekedar menyicil. Saya ini sudah tidak punya suami. Beda dengan kamu. Masih untung kamu ada yang menafkahi. Harapan saya cuma di rumah ini. Kalau kamu tak bisa membantu perekonomian saya, silahkan kamu pergi! Saya sudah cukup menunggu. Saya ini juga dalam keadaan butuh!"
Ucapan Bu Rina lantang terdengar, membuat dadaku sesak seolah tak mampu lagi berkata.
Tiba-tiba, Haidar menangis kencang dari dalam kamarnya. Aku yang kaget, segera berlari melihat apa yang terjadi. Bayi delapan bulanku mendadak memelototkan kedua mata. Tangisannya terhenti, dan tangannya menggenggam erat, lurus kencang.
"Bu ... Bu Rina! Tolong!" Aku berteriak histeris sambil menggendong Haidar. Saking paniknya, aku berjalan mondar-mandir tak jelas di dalam kamar, mencoba menyusuinya. Tetap ia tak berekspresi.
"Kenapa, Wati?" Bu Rina yang baru menghampiri, tampak khawatir memandangku.
"Haidar! Coba lihat, Bu! Ini Haidar kenapa? Ia juga tak mau menyusu," pekikku sambil membawa Haidar mendekat pada Bu Rina.
"A-ayo ke puskesmas saja, Wat!"
Akhirnya, aku dibonceng Bu Rina pergi dengan motornya.
Kepalaku terasa penuh, sementara tanganku terus menutupi Haidar dengan selimut. Matanya masih saja membulat, membuatku semakin menangis karena cemasnya. Kucoba menyusuinya, memaksanya. Tetap saja bibirnya mengatup tak berekspresi.
Ya ampun, Mas Agus ... cepat pulang, Maaaasss!
Tak kuasa aku menahan kesedihan yang teramat sangat kali ini.
Sesampainya di puskesmas, kusuruh para petugas cepat membawa Haidar masuk untuk diperiksa. Sementara Bu Rina ada di loket antrian.
"Tolong banget, Mas! Tolong anak saya!" Aku tak sanggup berkata lagi saking bingungnya.
Selagi Haidar diperiksa, tiba-tiba, aku dikagetkan lagi dengan Bu Rina yang datang sambil menyenggol pundakku.
"Wati, kamu ada KIS gak?" tanyanya.
"Apa itu, Bu?"
"Aduuuhh, kalau ngomongmu begitu, kayaknya kamu nggak punya. Kamu minta tolong ke kelurahan, deh! Aku juga tak ada duit buat bayar nanti."
"La-lalu? Haidar bagaimana, Bu?"
"Sudahlah! Ada petugasnya, kan? Ayo!"
Tanpa banyak pertimbangan lagi, aku pun menurut apa kata Bu Rina. Pergi bersamanya menuju ke kelurahan.
Setelah lama berkutat di dalam kantor kelurahan, akhirnya kudapatkan secarik surat dari sana, sebagai pengantar sementara selagi kartu KIS belum ada. Tak menunggu waktu lagi, segera kami kembali berangkat ke puskesmas.
Bu Rina langsung menuju loket, sementara aku bergegas menuju tempat dimana Haidar diperiksa.
Namun, pemandangan yang ada lebih mengagetkanku.
Haidar terbujur kaku, dengan tali perban melilit di sekitar dagu ke kepalanya.
Kurasakan kepalaku semakin pening, pandanganku seketika kabur.
****
Sudah tujuh hari kepergian anakku, Haidar. Namun ingatan tentangnya masih membekas. Saat wajah lucunya menangis, saat bayi menggemaskan itu tersenyum, semua itu masih terkenang jelas dalam ingatan.
Kuputuskan menutup kenangan tentangnya. Agar tak lagi ada tangis terbendung. Aku sudah capek, pikiranku sudah kalut.
Lalu, aku berdiri, mulai berkemas. Baju-bajunya, karpet tidurnya, nipple mainannya, sepatu dan kaos kakinya, semua kujadikan satu pada sebuah kotak kardus besar. Lalu, kotak kardus itu kusimpan di atas lemari pakaian.
Saat itu juga, tiba-tiba suamiku datang. Ia berteriak dari luar memanggilku.
Segera aku berlari untuk memastikan, apa benar itu dia?
Ya ... memang benar. Ia datang dengan pemandangan yang nampak janggal. Ditangannya mendekap bayi dalam gendongan, lengkap beserta tas besar yang ia kalungkan menyamping ketubuhnya.
"Haidar! Lihat, Ayah bawa adek buat Haidar! Rumah bakalan rame ini." Ia berseru sambil masuk ke dalam rumah.
Aku hanya tercengang menatapnya dari balik tirai ruang tengah.
Laki-laki itu tampak sumringah dengan bayi yang ia gendong. Sekilas ia melirikku, lalu bertanya lagi, "Mana anak kita Haidar, Bu? Aku punya berita baik. Ibu pasti senang!"
Aku masih tak percaya dengan apa yang diucapnya barusan. Hanya bisa terdiam dengan mata lurus ke depan.
Anak siapa itu? Kemana ia pergi selama ini?
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 07-02-2020 19:33
manik.01 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
21.5K
242
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#102
Jangan Panggil Aku Ibu (part 11)
Adzan subuh berkumandang ketika rasa kantuk baru saja mengantarkanku ke alam mimpi. Disusul kokokan beberapa ayam jantan saling bersahutan dari seberang. Aku pun beranjak, pergi bersisir, lalu mencuci muka. Malam ini telah sukses membuatku sangat lelah begadang tanpa arti.
"Selamat pagi, Bu." Asri, pembantu yang sudah empat tahunan mengabdi di rumah ini, menyambutku manis ketika kulangkahkan kaki ke luar kamar. Usianya dua puluh empat tahun. Jauh lebih muda dariku. Awal kami berjumpa, ia sudah sangat ramah dan kami gampang akrab. Mungkin karenanya, aku akan menjadi betah tinggal di sini.
"Tomi sudah bangun?" tanyaku.
"Belum, Bu. Semalam tidur dengan Bapak di kamar," jawabnya kalem.
Aku tercenung sejenak. Mengingat semalaman penuh menunggunya menyusul tidur. Namun sekian lama menanti, tak jua kudapati ia masuk ke kamar. Kupikir Pak Lurah ada kerepotan yang mengharuskannya pergi. Ah, jadi teringat lagi tentang sosok Madina.
Ketika Asri hendak berlalu, kutarik tangannya pelan dan memojokkannya. "Ada apa, Bu?" tanyanya. Kututup mulutnya sambil berdesis, "Sstt! Jangan keras-keras, ya?"
Asri terdiam. Lalu mengekor di belakang. Kuajak ia masuk ke dalam kamar, kemudian mengambil HP Pak Lurah dari balik jaket. "Kamu bisa make HP yang gak ada tombolnya ini? Ini kayak iklan di TV sepertinya. Makenya ditotol-totol gitu." Kutunjukkan HP itu pada Asri, membuat gadis itu sejenak tertegun.
"Gimana?" tanyaku lagi. Harap-harap cemas takut terburu Pak Lurah bangun. Asri masih diam. Tak lama setelah itu ia berucap, "Memang kenapa, Bu?" Mendengar perkataannya, aku menjadi semakin bingung harus bercerita bagaimana.
"Aku nggak bisa cerita, As. Aku butuh nomor seseorang untuk kusalin. Nomor itu ada di HP ini," tukasku sambil menyodorkan HP itu padanya. Terlihat sekali, tangan Asri begitu berat untuk mengambilnya dariku. "Nomor siapa, Bu?" tanyanya kemudian.
Krieekk!
Pintu kamar terbuka, dan kami berdua langsung syok saat menatap Pak Lurah sudah ada di hadapan. Seperti halnya Pak Lurah, ia begitu tercengang melihat Asri berada di dalam kamar. Apalagi tengah memegang HPnya!
"A-aku menyuruhnya kemari, untuk mengantarkan HP ini pada Bapak." Dengan cepat kuambil ulasan ala kadar agar ia tak menuduh Asri yang bukan-bukan. Sekilas kutatap, wajah Asri begitu sangat bingung dan takut.
"Asri, tunggu apa? Berikan HPnya ke Bapak!" ujarku sambil menelan ludah. Asri lalu berjalan menuju Pak Lurah, dan langsung memberikan benda pipih itu sebelum akhirnya berlalu. Syukurlah, aku berhasil menyelamatkannya. Lebih khawatir lagi kalau ia jujur dan tak bisa menutupiku yang tengah penasaran.
"Ehm, aku buatkan kopi, ya, Pak?" tawarku lirih. Sebelum ia menjawab, aku lebih dulu memilih berlalu dari hadapan. Tentunya dalam keadaan sangat deg-degan. Sesampainya di dapur, kutemui kembali Asri di sana. Ada juga Bu Ardan, yang baru kemarin kuketahui dari Asri bahwa ia sering membantu masak. Mungkin bisa dibilang, juru masak. Keduanya saling menatap. Sekilas kulihat, tangan Bu Ardan mencolek kecil pinggang Asri, ditambahi dengan sebuah kerling mata. Sedetik kemudian, Asri menyingkir dari ruangan sembari membawa sewadah apel. Pemandangan yang membuatku merasa tak nyaman.
"Aku mau buatkan Pak Lurah kopi," ujarku pada Bu Ardan. Wanita paruh baya itu tak berkata apapun, kecuali tangan yang menunjuk pada sebuah jejeran wadah bertoples yang ada di samping rak. Sikapnya dingin sekali.
Aku berjalan gontai mengambil sebuah cangkir dan lepek dari rak. Kemudian memasak air seperlunya. Sambil menunggu air matang, kubuka beberapa toples di samping. Mencari keberadaan si kopi dan gula. Gulanya ketemu, kopinya yang tak ada.
"Bu Ardan, wadah kopi di sebelah mana, ya?" tanyaku. Namun wanita itu tetap berwajah dingin. Terus mengaduk sup dan terkesan mengabaikan.
"Bu Ardan?" Kucoba panggil ia lagi. Barulah kemudian ia melirikku, meski tak ada sedikitpun senyum yang tampak. "Wadah kopi?" lanjutku, yang akhirnya membuat ia menghampiri. Lalu membuka laci di sampingku.
Trak! Ia langsung membanting rentengan kopi itu ke lantai. Masih dengan wajah tanpa ekspresinya. Waaah, rada gila ini orang, gumamku sedikit kesal. Lalu kuambil rentengan kopi itu, membukanya satu dan menuangkan dalam wadah cangkir. Beruntung kemudian, air dengan cepatnya mendidih. Segera kuguyurkan mulut teko ke dalam cangkir. Setelah siap saji, cepat-cepat aku melangkah pergi dari tempat. Ah, memuakkan pandangan!
"Ini kopinya!" Kusuguhkan secangkir kopi yang masih mengepul ke meja makan, saat kuketahui ia sudah duduk di sana memangku Tomi. Tak ada kata-kata apapun yang terlontar, bahkan untuk memandangku sedikit. Membuatku bertambah muak dikelilingi banyak wajah dingin.
"Bi, Tomi disuruh Bapak sekolah," ucap Tomi tiba-tiba. Aku tersenyum dan berkata, "Ya sekolah, dong! Bapak, kan, mintanya begitu. Biar Tomi tambah pintar." Kuambil duduk di kursi sebelah Tomi sambil menuangkan sedikit kopi ke lepek.
"Ini, minumlah!" pintaku lirih. Pak Lurah melirik sekilas, lalu membuang pandangan kembali. Melihatnya seperti itu, lagi-lagi dongkol yang kurasa. Aku semakin yakin, ia menikahiku bukan karena ada perasaan. Baru saja beranjak dari duduk, mulut dingin itu berucap, "Singkirkan kopi ini dariku!" Benar-benar membuatku terhenyak dam sakit hati.
Kutatap wajah itu lamat-lamat. Mendadak mata ini berair. Belum juga kusampaikan perkataanku, Pak Lurah lebih dulu berlalu setelah tadinya mendudukkan Tomi di sebuah kursi. Kini tinggal kami berdua di meja makan. Aku dan Tomi. Si bocah polos itu terus menatapku yang berdiri di sebelahnya, lalu turun dan memelukku erat. "Jangan menangis, Bibi!" ucapnya.
Tak. Aku tak menangisi perkataan lelaki itu. Aku hanya kesal karena telah menerima ajakannya untuk menikah.
****
Memasuki Minggu ke-dua pernikahan, sama halnya seperti kehidupanku sebelum-sebelumnya. Benar aku telah syah menikah, namun masih terkesan hampa. Menjadi seorang istri Lurah ternyata tak seindah yang kubayangkan. Tadinya, aku merasa kehidupanku akan bertabur kesenangan, namun akhirnya tetap saja pikiranku tak bisa berpikir bahagia. Mungkin bedanya, aku kini sudah tak lagi memikirkan mencari nafkah. Makan tinggal makan, semua sudah sedia. Tapi urusan uang, aku harus menunggu sampai ia ingat sendiri siapa aku di dalam rumah ini. Pak Lurah terlalu cuek, juga begitu dingin. Bahkan ia tak bersedia untuk kulayani perihal makanan ataupun menyiapkan pakaian. Tidak demikian dengan Tomi. Kurasa ia lebih mementingkan Tomi daripada aku. Ia selalu mendengarkan Tomi. Senang bercengkerama dengan Tomi, sehingga aku mulai banyak menduga, apa jangan-jangan Tomi itu adalah anaknya?
Aku sedang duduk di teras rumah hari ini, sengaja menanti di depan. Siapa tahu bertemu Wahyu barang sekejap. Ya, kehadiran Wahyu yang tak selalu luput dari pandangan selalu membuatku kesal. Kata Asri, ia setiap hari ke mari, namun tak pernah mau masuk. Sepertinya sengaja menghindariku. Ia yang awalnya memintaku untuk menjadi istri Pak Lurah, aku yakin ia tahu ada sesuatu di balik semua ini.
Baru saja kubatin, mobil itu masuk ke pelataran. Tomi lebih dulu turun dari kendaraan, lalu disusul Pak Lurah. Kupicingkan mata menatap mobil yang terparkir jauh dari halaman. Tak seperti biasanya berhenti di situ.
"Bibiiiiiii!" Tomi menghambur ke pelukan dengan girangnya. Aku beranjak dari duduk, masih menatap ke arah mobil. "Ada Pak Wahyu di situ, Tom?" tanyaku lirih. Tomi mengangguk dan berkata bahwa si Wahyu yang saat itu menyupir. Benar apa yang kurasa. Ia seolah menghindar.
Ketika Pak Lurah masuk ke rumah begitu saja melewati, inilah kesempatanku. Aku yakin, Wahyu di ujung sana sedang menanti Pak Lurah kembali. Baiklah, selagi suami dinginku itu asyik menikmati makannya, giliranku yang menemui Wahyu dan bertanya-tanya.
Kucepatkan langkahku menghampiri mobil yang terparkir persis di balik gerbang itu. Sekilas berlari, lalu berganti melangkah lagi. Hingga akhirnya sampai di depan mobil.
Tok, tok, tok! Kuketuk keras kaca mobil berwarna hitam itu. Aku tak bisa melihat Wahyu di dalamnya, sehingga kuketuk lebih keras lagi saking gemasnya. "Buka, Wahyu!" teriakku. "Buka atau pecah nanti kaca ini. Kau pikir aku tak bisa berkata pada Pak Lurah? Kau yang akan kena nanti," lanjutku sambil terus menggedor kaca.
Akhirnya kaca mobil terbuka sedikit. Tak puas, kumarahi dia sampai mau membuka seluruh kacanya. Akhirnya ia menurut. Wajahku langsung syok melihat apa yang tertangkap penglihatan. Di kursi belakang, ada seorang perempuan berjilbab sedang duduk memandangku. Wajahnya putih ayu meski tak bermake-up. Perempuan itu melayangkan senyumnya, namun tak kutanggapi. Aku ingat betul, Pak Lurah tadi keluar mobil dari pintu belakang. Sedangkan Tomi dari pintu depan. Jadi, Pak Lurah duduk di samping perempuan ini!
"I-ini Bu Dina. Rekan Pak Lurah mengurusi proyek jembatan Kaliwungu. Beliau carik Kaliwungu." Wahyu tampak gelagapan berkata. Sedangkan mataku langsung melotot mendengar nama itu. Dina ... apakah sama dengan Madina?
Napasku terengah lelah bersamaan dengan hati yang kurasa begitu terbeban. Seperti ingin sekali menjerit di depan keduanya dan segera menanyakan. Ah, aku tak kuasa ... apakah harus kuutarakan hari ini juga, atau kupendam saja?
(bersambung)
"Selamat pagi, Bu." Asri, pembantu yang sudah empat tahunan mengabdi di rumah ini, menyambutku manis ketika kulangkahkan kaki ke luar kamar. Usianya dua puluh empat tahun. Jauh lebih muda dariku. Awal kami berjumpa, ia sudah sangat ramah dan kami gampang akrab. Mungkin karenanya, aku akan menjadi betah tinggal di sini.
"Tomi sudah bangun?" tanyaku.
"Belum, Bu. Semalam tidur dengan Bapak di kamar," jawabnya kalem.
Aku tercenung sejenak. Mengingat semalaman penuh menunggunya menyusul tidur. Namun sekian lama menanti, tak jua kudapati ia masuk ke kamar. Kupikir Pak Lurah ada kerepotan yang mengharuskannya pergi. Ah, jadi teringat lagi tentang sosok Madina.
Ketika Asri hendak berlalu, kutarik tangannya pelan dan memojokkannya. "Ada apa, Bu?" tanyanya. Kututup mulutnya sambil berdesis, "Sstt! Jangan keras-keras, ya?"
Asri terdiam. Lalu mengekor di belakang. Kuajak ia masuk ke dalam kamar, kemudian mengambil HP Pak Lurah dari balik jaket. "Kamu bisa make HP yang gak ada tombolnya ini? Ini kayak iklan di TV sepertinya. Makenya ditotol-totol gitu." Kutunjukkan HP itu pada Asri, membuat gadis itu sejenak tertegun.
"Gimana?" tanyaku lagi. Harap-harap cemas takut terburu Pak Lurah bangun. Asri masih diam. Tak lama setelah itu ia berucap, "Memang kenapa, Bu?" Mendengar perkataannya, aku menjadi semakin bingung harus bercerita bagaimana.
"Aku nggak bisa cerita, As. Aku butuh nomor seseorang untuk kusalin. Nomor itu ada di HP ini," tukasku sambil menyodorkan HP itu padanya. Terlihat sekali, tangan Asri begitu berat untuk mengambilnya dariku. "Nomor siapa, Bu?" tanyanya kemudian.
Krieekk!
Pintu kamar terbuka, dan kami berdua langsung syok saat menatap Pak Lurah sudah ada di hadapan. Seperti halnya Pak Lurah, ia begitu tercengang melihat Asri berada di dalam kamar. Apalagi tengah memegang HPnya!
"A-aku menyuruhnya kemari, untuk mengantarkan HP ini pada Bapak." Dengan cepat kuambil ulasan ala kadar agar ia tak menuduh Asri yang bukan-bukan. Sekilas kutatap, wajah Asri begitu sangat bingung dan takut.
"Asri, tunggu apa? Berikan HPnya ke Bapak!" ujarku sambil menelan ludah. Asri lalu berjalan menuju Pak Lurah, dan langsung memberikan benda pipih itu sebelum akhirnya berlalu. Syukurlah, aku berhasil menyelamatkannya. Lebih khawatir lagi kalau ia jujur dan tak bisa menutupiku yang tengah penasaran.
"Ehm, aku buatkan kopi, ya, Pak?" tawarku lirih. Sebelum ia menjawab, aku lebih dulu memilih berlalu dari hadapan. Tentunya dalam keadaan sangat deg-degan. Sesampainya di dapur, kutemui kembali Asri di sana. Ada juga Bu Ardan, yang baru kemarin kuketahui dari Asri bahwa ia sering membantu masak. Mungkin bisa dibilang, juru masak. Keduanya saling menatap. Sekilas kulihat, tangan Bu Ardan mencolek kecil pinggang Asri, ditambahi dengan sebuah kerling mata. Sedetik kemudian, Asri menyingkir dari ruangan sembari membawa sewadah apel. Pemandangan yang membuatku merasa tak nyaman.
"Aku mau buatkan Pak Lurah kopi," ujarku pada Bu Ardan. Wanita paruh baya itu tak berkata apapun, kecuali tangan yang menunjuk pada sebuah jejeran wadah bertoples yang ada di samping rak. Sikapnya dingin sekali.
Aku berjalan gontai mengambil sebuah cangkir dan lepek dari rak. Kemudian memasak air seperlunya. Sambil menunggu air matang, kubuka beberapa toples di samping. Mencari keberadaan si kopi dan gula. Gulanya ketemu, kopinya yang tak ada.
"Bu Ardan, wadah kopi di sebelah mana, ya?" tanyaku. Namun wanita itu tetap berwajah dingin. Terus mengaduk sup dan terkesan mengabaikan.
"Bu Ardan?" Kucoba panggil ia lagi. Barulah kemudian ia melirikku, meski tak ada sedikitpun senyum yang tampak. "Wadah kopi?" lanjutku, yang akhirnya membuat ia menghampiri. Lalu membuka laci di sampingku.
Trak! Ia langsung membanting rentengan kopi itu ke lantai. Masih dengan wajah tanpa ekspresinya. Waaah, rada gila ini orang, gumamku sedikit kesal. Lalu kuambil rentengan kopi itu, membukanya satu dan menuangkan dalam wadah cangkir. Beruntung kemudian, air dengan cepatnya mendidih. Segera kuguyurkan mulut teko ke dalam cangkir. Setelah siap saji, cepat-cepat aku melangkah pergi dari tempat. Ah, memuakkan pandangan!
"Ini kopinya!" Kusuguhkan secangkir kopi yang masih mengepul ke meja makan, saat kuketahui ia sudah duduk di sana memangku Tomi. Tak ada kata-kata apapun yang terlontar, bahkan untuk memandangku sedikit. Membuatku bertambah muak dikelilingi banyak wajah dingin.
"Bi, Tomi disuruh Bapak sekolah," ucap Tomi tiba-tiba. Aku tersenyum dan berkata, "Ya sekolah, dong! Bapak, kan, mintanya begitu. Biar Tomi tambah pintar." Kuambil duduk di kursi sebelah Tomi sambil menuangkan sedikit kopi ke lepek.
"Ini, minumlah!" pintaku lirih. Pak Lurah melirik sekilas, lalu membuang pandangan kembali. Melihatnya seperti itu, lagi-lagi dongkol yang kurasa. Aku semakin yakin, ia menikahiku bukan karena ada perasaan. Baru saja beranjak dari duduk, mulut dingin itu berucap, "Singkirkan kopi ini dariku!" Benar-benar membuatku terhenyak dam sakit hati.
Kutatap wajah itu lamat-lamat. Mendadak mata ini berair. Belum juga kusampaikan perkataanku, Pak Lurah lebih dulu berlalu setelah tadinya mendudukkan Tomi di sebuah kursi. Kini tinggal kami berdua di meja makan. Aku dan Tomi. Si bocah polos itu terus menatapku yang berdiri di sebelahnya, lalu turun dan memelukku erat. "Jangan menangis, Bibi!" ucapnya.
Tak. Aku tak menangisi perkataan lelaki itu. Aku hanya kesal karena telah menerima ajakannya untuk menikah.
****
Memasuki Minggu ke-dua pernikahan, sama halnya seperti kehidupanku sebelum-sebelumnya. Benar aku telah syah menikah, namun masih terkesan hampa. Menjadi seorang istri Lurah ternyata tak seindah yang kubayangkan. Tadinya, aku merasa kehidupanku akan bertabur kesenangan, namun akhirnya tetap saja pikiranku tak bisa berpikir bahagia. Mungkin bedanya, aku kini sudah tak lagi memikirkan mencari nafkah. Makan tinggal makan, semua sudah sedia. Tapi urusan uang, aku harus menunggu sampai ia ingat sendiri siapa aku di dalam rumah ini. Pak Lurah terlalu cuek, juga begitu dingin. Bahkan ia tak bersedia untuk kulayani perihal makanan ataupun menyiapkan pakaian. Tidak demikian dengan Tomi. Kurasa ia lebih mementingkan Tomi daripada aku. Ia selalu mendengarkan Tomi. Senang bercengkerama dengan Tomi, sehingga aku mulai banyak menduga, apa jangan-jangan Tomi itu adalah anaknya?
Aku sedang duduk di teras rumah hari ini, sengaja menanti di depan. Siapa tahu bertemu Wahyu barang sekejap. Ya, kehadiran Wahyu yang tak selalu luput dari pandangan selalu membuatku kesal. Kata Asri, ia setiap hari ke mari, namun tak pernah mau masuk. Sepertinya sengaja menghindariku. Ia yang awalnya memintaku untuk menjadi istri Pak Lurah, aku yakin ia tahu ada sesuatu di balik semua ini.
Baru saja kubatin, mobil itu masuk ke pelataran. Tomi lebih dulu turun dari kendaraan, lalu disusul Pak Lurah. Kupicingkan mata menatap mobil yang terparkir jauh dari halaman. Tak seperti biasanya berhenti di situ.
"Bibiiiiiii!" Tomi menghambur ke pelukan dengan girangnya. Aku beranjak dari duduk, masih menatap ke arah mobil. "Ada Pak Wahyu di situ, Tom?" tanyaku lirih. Tomi mengangguk dan berkata bahwa si Wahyu yang saat itu menyupir. Benar apa yang kurasa. Ia seolah menghindar.
Ketika Pak Lurah masuk ke rumah begitu saja melewati, inilah kesempatanku. Aku yakin, Wahyu di ujung sana sedang menanti Pak Lurah kembali. Baiklah, selagi suami dinginku itu asyik menikmati makannya, giliranku yang menemui Wahyu dan bertanya-tanya.
Kucepatkan langkahku menghampiri mobil yang terparkir persis di balik gerbang itu. Sekilas berlari, lalu berganti melangkah lagi. Hingga akhirnya sampai di depan mobil.
Tok, tok, tok! Kuketuk keras kaca mobil berwarna hitam itu. Aku tak bisa melihat Wahyu di dalamnya, sehingga kuketuk lebih keras lagi saking gemasnya. "Buka, Wahyu!" teriakku. "Buka atau pecah nanti kaca ini. Kau pikir aku tak bisa berkata pada Pak Lurah? Kau yang akan kena nanti," lanjutku sambil terus menggedor kaca.
Akhirnya kaca mobil terbuka sedikit. Tak puas, kumarahi dia sampai mau membuka seluruh kacanya. Akhirnya ia menurut. Wajahku langsung syok melihat apa yang tertangkap penglihatan. Di kursi belakang, ada seorang perempuan berjilbab sedang duduk memandangku. Wajahnya putih ayu meski tak bermake-up. Perempuan itu melayangkan senyumnya, namun tak kutanggapi. Aku ingat betul, Pak Lurah tadi keluar mobil dari pintu belakang. Sedangkan Tomi dari pintu depan. Jadi, Pak Lurah duduk di samping perempuan ini!
"I-ini Bu Dina. Rekan Pak Lurah mengurusi proyek jembatan Kaliwungu. Beliau carik Kaliwungu." Wahyu tampak gelagapan berkata. Sedangkan mataku langsung melotot mendengar nama itu. Dina ... apakah sama dengan Madina?
Napasku terengah lelah bersamaan dengan hati yang kurasa begitu terbeban. Seperti ingin sekali menjerit di depan keduanya dan segera menanyakan. Ah, aku tak kuasa ... apakah harus kuutarakan hari ini juga, atau kupendam saja?
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 12-12-2019 21:10
i4munited dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup