- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#189
Rekan Kerja (part 14)
Aku duduk tercenung di sebuah kursi, di taman halaman samping. Memandang air mancur yang berada di tengah kolam ikan, sambil berpangku tangan.
Sendirian ....
Tetesan embun yang membasahi dedaunan, menambah segarnya suasana pagi ini. Namun tidak dengan suasana hatiku.
Sedari kemarin, aku bagaikan sebuah patung yang kemana-mana tak dianggap. Tak ada yang membalas sapaku meski aku sering berlalu-lalang di hadapan orang tuanya. Kecuali para buruh yang bekerja di rumah ini ketika mengantarkan makanan dan minuman untukku. Adel tak keluar kamar sama sekali semenjak keluargaku pulang kemarin. Memang tak diperbolehkan, itu yang ia ketik via chat, dan aku tak menghiraukan. Bahkan ketika berbondong-bondong chat dikirimkannya padaku, aku masih malas menanggapi ....
Situasi ini membuatku gila!
Apa sebenarnya tujuan mereka menginginkanku bermalam semalam, jika pada akhirnya membuatku merasa diasingkan?
"Mas!"
Sebuah suara berseru dari halaman belakang. Mengagetkanku yang tengah menstabilkan suasana hati.
Kuinjak puntung rokok yang baru saja kubuang, dan setengah berlari menghampiri sosok yang samar tertangkap pandangan.
Oh, rupanya Mas Adam. Sejak keluargaku pulang kemarin, baru kali ini aku melihatnya. Entah kemana saja dia.
Mas Adam melambaikan tangan kembali padaku. Aku pun menghampirinya.
Lelaki itu habis berenang. Sekujur tubuhnya basah, dan memang ada sebuah kolam renang cukup besar di hadapanku kini.
"Suka kopi, kan?" tanyanya sembari menunjuk sebuah tempat duduk di ujung kolam.
Belum aku menjawab, ia sudah melangkah berlalu, seakan menyuruhku untuk membuntutinya.
"Ayo, temani ngopi!" serunya lagi saat sampai di tempat yang di tuju.
Aku menuruti, menghampiri dan mengambil duduk di sebuah kursi di sebelahnya.
Semilir angin semakin segar terasa saat berada di sini ....
Lelaki itu menuangkan kopi dari teko kecil ke sebuah cangkir, lalu ia menyodorkannya padaku. Ia pun melakukan hal yang sama pada cangkir satunya.
"Sudah sarapan? Kamu suka makan apa kalau pagi biasanya?" tanyanya lagi.
Aku diam sejenak, lantas menjawab, "apa saja yang dimasak ibu buat makan, ya saya makan, Mas."
"Oh, gitu. Kupikir by request." Mas Adam meniup kopinya, lalu meminumnya.
"Eh, sudah hangat rupanya. Ayo minum! Biar gak keburu dingin."
Aku mengangguk. Meneguk sedikit kopi di cangkir milikku.
Kami terdiam beberapa saat, membuatku sedikit tak enak dan bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Namun, keheningan kami sirna seketika, saat Mbak Nur datang membawakan dua piring nasi goreng di meja kami. Lengkap dengan teh hangat sebagai penyanding.
"Monggo, Mas Adam ... Mas Dani," ujarnya, lalu pergi berlalu.
"Eh, Mbak, Mbak!"
"Nggih, Mas Adam?"
"Tanya dong tamunya, suka nggak dia sama sarapan ini? Kalau nggak suka, ya buatkan yang dia minta!"
Mendengar itu, aku segera menyahut, "Ndak, Mas. Ini saja sudah kelihatan sedap. Saya suka kok nasi goreng hangat-hangat."
Mbak Nur mengusapkan kedua tangannya pada celemek,sembari tersenyum, kemudian mengucapkan permisi. Berlalu.
"Ndang ... yok, makan!" ajak laki-laki itu sembari melahap langsung makanan di piringnya.
Aku mengiyakan, mendekatkan piringku, lalu membuka sebuah tisue yang membungkus sendok itu.
Sepintas memandang agak sedikit aneh, sih ... masa iya laki-laki itu makan dengan keadaan celana basah seperti itu. Kenapa tak ganti pakaian terlebih dulu? Kebiasaan, atau memang sedang lapar-laparnya?
Tak mau bertanya aneh-aneh, segera kusantap makanan di tangan.
Berdua kembali tak berkata sampai piring bersih tak bersisa.
Mas Adam meletakkan piringnya di meja, dan aku melakukan hal yang sama. Kembali ia menawarkan untuk segera minum teh hangat yang disediakan, kembali pula aku tersenyum mengiyakan.
Lelaki itu diam sejenak, kemudian menyodorkan Marlboronya padaku, setelah ia mengambilnya sebatang terlebih dulu.
Ia nyalakan api pada sudut rokoknya, menghisap, lalu menghembuskan panjang ....
"Aku nggak mau munafik," serunya tiba-tiba sambil merontokkan puing rokok ke dalam asbak. "Masa mudaku dulu juga nakal, sama saja. Tapi, aku tak pernah sampai mengecewakan orang tua para mantan pacar," lanjutnya lagi.
Omongan itu spontan membuatku mengurungkan diri untuk mengambil rokok dari sakuku, kaget bin malas meradang tiba-tiba.
Kenapa berkata begitu? Maksudnya apa? Jelas ini ujung-ujungnya menanyakan hubunganku dengan adiknya.
"Sebelum mengajaknya berpacaran, aku harus kenal dulu siapa orang tuanya. Biar ada kesan tanggung jawabnya kalau mengajaknya bepergian. Aku mana pernah janjian di luar untuk nge-date? Kupastikan dia keluar dari rumahnya bersamaku. Yaaaa, kau dan aku pasti sama lah yaaa, tapi bedanya ... aku tak pernah sampai mengajaknya menginap. Bahkan membawanya pergi bermalam."
Masih, aku terdiam. Dan mungkin memang itu yang bisa kulakukan kini.
"Ayo, rokoknya. Rilex aja!" Kembali ia menyodorkan rokoknya itu padaku.
"Nggak, makasih. Sudah tadi," jawabku asal. Padahal setelah makan aku memang selalu mensesap rokok.
Merasa sakit, iya memang. Tapi, tak ingin sedikitpun aku ingin membuka omongan sebelum akhirnya bertatap muka dengan si Adel. Entah kenapa, rasa kesalku semakin menjadi-jadi. Semua orang di rumah ini pasti menilaiku sangat buruk!
****
'Lalu kamu jawab apa, Dan?'
'Tak ada.'
'Kenapa diam? Itu kesempatanmu bercerita sama kakaknya. Cuma dia lho, yang mau nyapa kamu.'
'Wis, babah. Tak rasak-rasakne dewe, (sudah, biarkan. Biar kurasakan sendiri)'
'Hadeeeehh, bodoh! Trus Adel gak mbok chat? (trus Adel nggak kamu chat?)'
'Aku di-bom chat terus. Muales aku nanggapi.'
'Wis, Dan. Timbang awakmu nang kunu gak onok tindakan gawe nyelesaino masalah, mending pamito mulih' (Sudah, Dan. Daripada disitu kamu nggak ada tindakan untuk menyelesaikan masalah, mending kamu pamit pulang)
Aku masih tertegun membaca chat dari Sefti. Jariku ikut mematung. Kolom hijau diatas bertuliskan 'mengetik', membuatku terpaku menanti chat lanjutan dari Sefti.
'Pulang saja!'
'Pak Dika menanyaiku tentang perkembanganmu belajar autocad. Mending kamu pulang deh, aku isi training, lebih bermanfaat.'
'Daripada di sana gak dianggap'
Chat beruntun itu diakhiri dengan beberapa emoticon tertawa melet.
Aku tertawa kecil setelah membaca itu, merasa lucu.
"Chat sama siapa? Kayak seneng banget senyum-senyum."
Suara Adel yang datang dari belakang membuatku terperanjat di tempat.
Aku menoleh padanya, memastikan bahwa itu benar dirinya.
Ada perasaan takjub saat memandangnya kali ini. Baru pertama kali aku melihat kepalanya tak berbungkus jilbab. Rambutnya yang ikal alami terurai cantik dengan ujung kemerahan. Eh, kenapa rambutnya persis seperti Sefti?
Perempuan itu duduk di kursi, tepat di sebelahku. Matanya melirik kesana-kemari.
"Mas Adam tadi pamitan kamu nggak, keluarnya?"
Aku menggeleng. Padahal memang berpamitan keluar, namun entah kemana ia tak bilang. Aku hanya malas menjawab omongan perempuan ini.
"Abah-Umi keluarnya pasti lama. Pulang sore, jadi aku bebas keluar kamar," serunya lagi.
Aku masa bodoh.
"Dan, terima kasih kamu datang di waktu yang tepat. Sebenarnya hari ini pertemuan pertamaku dengan keluarga Alex. Alhamdulillah ... sepertinya kamu berhasil menggagalkan semuanya."
Aku memilih tak berkomentar. Kufokuskan pandangan ke pos satpam, bergeming.
"Dan, kamu masih marah karena HP yang tak kuaktifkan kemarin-kemarin?" Dia mencoba menebak kediamanku.
Kali ini kutolehkan kembali wajahku padanya, memandangnya penuh kekesalan. Kurasa ia tahu kalau perasaanku sedang buruk.
"Apa yang kau sembunyikan dariku? Sandiwara apa yang kau mainkan pada semua orang?" kutanyakan poin utama padanya, berharap ia segera menjawab pada intinya saja.
Wajah perempuan itu tak kaget, tak juga seperti ketakutan. Malah terkesan ikut bingung mendengar pertanyaanku.
"Maksud kamu sandiwara apa, Dan? Kau tahu bagaimana aku. Tak mungkin aku melakukan hal konyol itu. Apa gunanya?"
"Dulu dan sekarang itu waktu yang tak sama, bukan? Dulu kau masih menyusu ibumu, sekarang tinggimu sudah menyerupai ibumu. Begitu juga sifatmu. Meski sudah setahun lost contact, pola pikirmu pun jelas berubah. Bahkan aku nyaris meragukanmu yang sekarang. Kau sudah tak lagi sama."
"Meragukan sikapku yang seperti apa? Dani, setahun di banding empat tahun kita bersama satu universitas, lebih lama waktu yang mana? Kurasa empat tahun kamu mengenaliku itu sudah cukup terwakilkan daripada tenggang setahun kita loss contact. Kalaupun berubah pasti yaa tak jauh. Berubah seperti apa, sih?" Perempuan itu terdengar tak tahu-menahu, membuatku kembali bergeming. Semakin malas menanggapi.
"Lalu, ceritakan! apa yang dimaksud dengan sandiwara? Mama bicara apa saja denganmu? Kalau kau tak bercerita, seterusnya ini bakal menjadi salah paham."
Kata-kata itu semakin membuatku bertambah malas. Bisa-bisanya ia berkata seperti itu, sementara di sini aku merasa diriku menjadi korban?
Kulihat sekilas perut Adel yang nampaknya memang sedikit membuncit. Badannya juga lebih gemukan. Membuat otak meledak bak lava yang meluber ke perbukitan.
Kita beradu mulut lumayan lama, membuat bibir Adel berucap sumpah-sumpah segala demi meyakinkanku.
"Kuakui kau memang pintar. Sedari kuliah dulu kau memang berpikiran tajam. Tapi setahuku, orang pintar bisa menyelesaikan masalahnya sendiri pakai otak, bukan malah memanfaatkan otaknya untuk membodohi orang bodoh agar nampak bodoh di hadapan orang lain," ucapku kembali, setelah sekian detik kita mencoba membisu.
Kupikir ia sadar kesalahannya, malah menampik dengan berkata, "Tolong yang jelas bicaramu! Sebenarnya ada apa? Aku benar-benar tak mengerti."
Haaassh! Percuma berdebat panjang lebar.
Aku menegakkan punggung, sedikit menggeser tempat dudukku yang mulai panas terasa. Panas seperti otakku sekarang.
Lagi-lagi perkataannya tak membuatku puas.
Setiap aku bertanya, maka ia pasti kembali memberi sebuah pertanyaan padaku. Seperti itu terus ... diputar-putar.
Tak mau terus-menerus dengan pikiran sepeeti ini, lantas aku beranjak dari duduk. Menunduk sekilas, lalu kembali menegakkan pandang.
"Maaf, aku harus pulang sekarang. Aku ada kesibukan," seruku lirih.
Daripada berlama-lama dalam tekanan batin, pergi saja ... mungkin suasana hati berubah membaik.
Adel menarik tanganku, ikut beranjak, dan berkata, "Kesibukan apa, sih? kamu mau pulang ... sementara di rumah tak ada siapa-siapa yang kamu pamiti?"
Kuhela nafas panjang. Memang tak sopan rasanya, tapi jika ada keluarganya,aku merasa tak berdaya sama sekali. Lebih tak enak lagi.
Lalu, kulepas genggaman tangan Adel. Tanpa menolehnya, aku menjawab, "Maaf. Kerjaanku di luar sana sudah membuatku pusing. Aku tak mau menambah beban kepalaku dengan berkutat lama-lama di sini."
Sejurus kemudian, terdengar isaknya. Pecah sudah tangis perempuan itu. Hatiku sedikit tak tega, sehingga aku tak berani menoleh pdanya. Tak berani juga berkata.
"Tunggulah sampai orang tuaku pulang. Mereka menyuruhmu ada di sini, mungkin ada yang akan dibahas," serunya dalam isak tangis.
Bahas? Apa yang dibahas? Sedari kemarin serumah juga tak ada yang dibahas. Malah aku diacuhkan seperti sampah. Entah apa maksudnya, mungkin sekedar mengetes kesabaranku.
Tapi kali ini memang aku sedang tak bisa sabar. Semua anggota rumah ini menancapkan luka di hati tanpa mereka sadar.
"Tolong, tunggu sebentar lagi! Mungkin saja keluarga Alex kemari saat ini. Tolong jangan permainkan perasaanku, Dan!" Kembali ia menarik tanganku, mencegahku pergi dengan isak tangisnya yang menyayat. Seolah isaknya itu akan membuatku iba padanya.
Lagi-lagi aku menampik tangannya. Tanpa menoleh, tanpa rasa kasihan.
"Maafkan aku ...."
Kata terakhir itu menjadi pengiring kepergianku. Kulangkahkan kaki menuju pagar depan, mempercepat jalan sebelum mobil orang tua atau kakaknya datang. Dia tak memanggilku. Tak pula kembali mencegah. Mungkin tahu jika aku sudah lelah dengan semuanya. Kuharap begitu ....
Pak Satpam yang ada di luar menanyai, kujawab halus, menipunya. Kubilang padanya ingin jalan-jalan sekitar komplek sebentar. Akhirnya ia bukakan pagar untukku.
Akhirnya, bebas sudah ....
Kulangkahkan kaki lebih cepat dari sebelumnya, setengah berlari menuju pintu keluar komplek.
Sesekali kuseka keringat sambil memijit-mijit layar hape.
'Aku otw pulang'
Kukirim chat itu untuk Sefti.
Entah kenapa aku selalu ingin mengirim kabar padanya, meski hanya sebatas ucapan mau tidur.
Sepintas kemudian, lagi-lagi isi kepalaku bergejolak. Otakku masih panas mengingat kejadian tadi, apalagi kemarin. Antara dipermainkan atau mempermainkan, sebenarnya siapa lakonnya? Aku atau dia?
Kenapa aku harus menunggu orang tuanya pulang? Jangan-jangan orang tuanya pulang bersama keluarga Alex, yang katanya lelaki yang menjadi calon perjodohan.
Jangan-jangan aku disuruh tetap di sini, untuk kemudian dipermalukan di depan keluarga lelaki itu?
Bisa jadi!!
Benar sudah langkahku. Sebelum aku dipermalukan dan membuat sakit hati orang tuaku satu-satunya, lebih baik kuakhiri semua dari awal. Agar sama malunya. Keluarganya ... juga keluargaku.
Aku menghela nafas panjang. Berat terasa ....
Entah, apa aku harus mengakhirinya saja? Bisakah aku berbuat setega demikian?
Sendirian ....
Tetesan embun yang membasahi dedaunan, menambah segarnya suasana pagi ini. Namun tidak dengan suasana hatiku.
Sedari kemarin, aku bagaikan sebuah patung yang kemana-mana tak dianggap. Tak ada yang membalas sapaku meski aku sering berlalu-lalang di hadapan orang tuanya. Kecuali para buruh yang bekerja di rumah ini ketika mengantarkan makanan dan minuman untukku. Adel tak keluar kamar sama sekali semenjak keluargaku pulang kemarin. Memang tak diperbolehkan, itu yang ia ketik via chat, dan aku tak menghiraukan. Bahkan ketika berbondong-bondong chat dikirimkannya padaku, aku masih malas menanggapi ....
Situasi ini membuatku gila!
Apa sebenarnya tujuan mereka menginginkanku bermalam semalam, jika pada akhirnya membuatku merasa diasingkan?
"Mas!"
Sebuah suara berseru dari halaman belakang. Mengagetkanku yang tengah menstabilkan suasana hati.
Kuinjak puntung rokok yang baru saja kubuang, dan setengah berlari menghampiri sosok yang samar tertangkap pandangan.
Oh, rupanya Mas Adam. Sejak keluargaku pulang kemarin, baru kali ini aku melihatnya. Entah kemana saja dia.
Mas Adam melambaikan tangan kembali padaku. Aku pun menghampirinya.
Lelaki itu habis berenang. Sekujur tubuhnya basah, dan memang ada sebuah kolam renang cukup besar di hadapanku kini.
"Suka kopi, kan?" tanyanya sembari menunjuk sebuah tempat duduk di ujung kolam.
Belum aku menjawab, ia sudah melangkah berlalu, seakan menyuruhku untuk membuntutinya.
"Ayo, temani ngopi!" serunya lagi saat sampai di tempat yang di tuju.
Aku menuruti, menghampiri dan mengambil duduk di sebuah kursi di sebelahnya.
Semilir angin semakin segar terasa saat berada di sini ....
Lelaki itu menuangkan kopi dari teko kecil ke sebuah cangkir, lalu ia menyodorkannya padaku. Ia pun melakukan hal yang sama pada cangkir satunya.
"Sudah sarapan? Kamu suka makan apa kalau pagi biasanya?" tanyanya lagi.
Aku diam sejenak, lantas menjawab, "apa saja yang dimasak ibu buat makan, ya saya makan, Mas."
"Oh, gitu. Kupikir by request." Mas Adam meniup kopinya, lalu meminumnya.
"Eh, sudah hangat rupanya. Ayo minum! Biar gak keburu dingin."
Aku mengangguk. Meneguk sedikit kopi di cangkir milikku.
Kami terdiam beberapa saat, membuatku sedikit tak enak dan bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Namun, keheningan kami sirna seketika, saat Mbak Nur datang membawakan dua piring nasi goreng di meja kami. Lengkap dengan teh hangat sebagai penyanding.
"Monggo, Mas Adam ... Mas Dani," ujarnya, lalu pergi berlalu.
"Eh, Mbak, Mbak!"
"Nggih, Mas Adam?"
"Tanya dong tamunya, suka nggak dia sama sarapan ini? Kalau nggak suka, ya buatkan yang dia minta!"
Mendengar itu, aku segera menyahut, "Ndak, Mas. Ini saja sudah kelihatan sedap. Saya suka kok nasi goreng hangat-hangat."
Mbak Nur mengusapkan kedua tangannya pada celemek,sembari tersenyum, kemudian mengucapkan permisi. Berlalu.
"Ndang ... yok, makan!" ajak laki-laki itu sembari melahap langsung makanan di piringnya.
Aku mengiyakan, mendekatkan piringku, lalu membuka sebuah tisue yang membungkus sendok itu.
Sepintas memandang agak sedikit aneh, sih ... masa iya laki-laki itu makan dengan keadaan celana basah seperti itu. Kenapa tak ganti pakaian terlebih dulu? Kebiasaan, atau memang sedang lapar-laparnya?
Tak mau bertanya aneh-aneh, segera kusantap makanan di tangan.
Berdua kembali tak berkata sampai piring bersih tak bersisa.
Mas Adam meletakkan piringnya di meja, dan aku melakukan hal yang sama. Kembali ia menawarkan untuk segera minum teh hangat yang disediakan, kembali pula aku tersenyum mengiyakan.
Lelaki itu diam sejenak, kemudian menyodorkan Marlboronya padaku, setelah ia mengambilnya sebatang terlebih dulu.
Ia nyalakan api pada sudut rokoknya, menghisap, lalu menghembuskan panjang ....
"Aku nggak mau munafik," serunya tiba-tiba sambil merontokkan puing rokok ke dalam asbak. "Masa mudaku dulu juga nakal, sama saja. Tapi, aku tak pernah sampai mengecewakan orang tua para mantan pacar," lanjutnya lagi.
Omongan itu spontan membuatku mengurungkan diri untuk mengambil rokok dari sakuku, kaget bin malas meradang tiba-tiba.
Kenapa berkata begitu? Maksudnya apa? Jelas ini ujung-ujungnya menanyakan hubunganku dengan adiknya.
"Sebelum mengajaknya berpacaran, aku harus kenal dulu siapa orang tuanya. Biar ada kesan tanggung jawabnya kalau mengajaknya bepergian. Aku mana pernah janjian di luar untuk nge-date? Kupastikan dia keluar dari rumahnya bersamaku. Yaaaa, kau dan aku pasti sama lah yaaa, tapi bedanya ... aku tak pernah sampai mengajaknya menginap. Bahkan membawanya pergi bermalam."
Masih, aku terdiam. Dan mungkin memang itu yang bisa kulakukan kini.
"Ayo, rokoknya. Rilex aja!" Kembali ia menyodorkan rokoknya itu padaku.
"Nggak, makasih. Sudah tadi," jawabku asal. Padahal setelah makan aku memang selalu mensesap rokok.
Merasa sakit, iya memang. Tapi, tak ingin sedikitpun aku ingin membuka omongan sebelum akhirnya bertatap muka dengan si Adel. Entah kenapa, rasa kesalku semakin menjadi-jadi. Semua orang di rumah ini pasti menilaiku sangat buruk!
****
'Lalu kamu jawab apa, Dan?'
'Tak ada.'
'Kenapa diam? Itu kesempatanmu bercerita sama kakaknya. Cuma dia lho, yang mau nyapa kamu.'
'Wis, babah. Tak rasak-rasakne dewe, (sudah, biarkan. Biar kurasakan sendiri)'
'Hadeeeehh, bodoh! Trus Adel gak mbok chat? (trus Adel nggak kamu chat?)'
'Aku di-bom chat terus. Muales aku nanggapi.'
'Wis, Dan. Timbang awakmu nang kunu gak onok tindakan gawe nyelesaino masalah, mending pamito mulih' (Sudah, Dan. Daripada disitu kamu nggak ada tindakan untuk menyelesaikan masalah, mending kamu pamit pulang)
Aku masih tertegun membaca chat dari Sefti. Jariku ikut mematung. Kolom hijau diatas bertuliskan 'mengetik', membuatku terpaku menanti chat lanjutan dari Sefti.
'Pulang saja!'
'Pak Dika menanyaiku tentang perkembanganmu belajar autocad. Mending kamu pulang deh, aku isi training, lebih bermanfaat.'
'Daripada di sana gak dianggap'
Chat beruntun itu diakhiri dengan beberapa emoticon tertawa melet.
Aku tertawa kecil setelah membaca itu, merasa lucu.
"Chat sama siapa? Kayak seneng banget senyum-senyum."
Suara Adel yang datang dari belakang membuatku terperanjat di tempat.
Aku menoleh padanya, memastikan bahwa itu benar dirinya.
Ada perasaan takjub saat memandangnya kali ini. Baru pertama kali aku melihat kepalanya tak berbungkus jilbab. Rambutnya yang ikal alami terurai cantik dengan ujung kemerahan. Eh, kenapa rambutnya persis seperti Sefti?
Perempuan itu duduk di kursi, tepat di sebelahku. Matanya melirik kesana-kemari.
"Mas Adam tadi pamitan kamu nggak, keluarnya?"
Aku menggeleng. Padahal memang berpamitan keluar, namun entah kemana ia tak bilang. Aku hanya malas menjawab omongan perempuan ini.
"Abah-Umi keluarnya pasti lama. Pulang sore, jadi aku bebas keluar kamar," serunya lagi.
Aku masa bodoh.
"Dan, terima kasih kamu datang di waktu yang tepat. Sebenarnya hari ini pertemuan pertamaku dengan keluarga Alex. Alhamdulillah ... sepertinya kamu berhasil menggagalkan semuanya."
Aku memilih tak berkomentar. Kufokuskan pandangan ke pos satpam, bergeming.
"Dan, kamu masih marah karena HP yang tak kuaktifkan kemarin-kemarin?" Dia mencoba menebak kediamanku.
Kali ini kutolehkan kembali wajahku padanya, memandangnya penuh kekesalan. Kurasa ia tahu kalau perasaanku sedang buruk.
"Apa yang kau sembunyikan dariku? Sandiwara apa yang kau mainkan pada semua orang?" kutanyakan poin utama padanya, berharap ia segera menjawab pada intinya saja.
Wajah perempuan itu tak kaget, tak juga seperti ketakutan. Malah terkesan ikut bingung mendengar pertanyaanku.
"Maksud kamu sandiwara apa, Dan? Kau tahu bagaimana aku. Tak mungkin aku melakukan hal konyol itu. Apa gunanya?"
"Dulu dan sekarang itu waktu yang tak sama, bukan? Dulu kau masih menyusu ibumu, sekarang tinggimu sudah menyerupai ibumu. Begitu juga sifatmu. Meski sudah setahun lost contact, pola pikirmu pun jelas berubah. Bahkan aku nyaris meragukanmu yang sekarang. Kau sudah tak lagi sama."
"Meragukan sikapku yang seperti apa? Dani, setahun di banding empat tahun kita bersama satu universitas, lebih lama waktu yang mana? Kurasa empat tahun kamu mengenaliku itu sudah cukup terwakilkan daripada tenggang setahun kita loss contact. Kalaupun berubah pasti yaa tak jauh. Berubah seperti apa, sih?" Perempuan itu terdengar tak tahu-menahu, membuatku kembali bergeming. Semakin malas menanggapi.
"Lalu, ceritakan! apa yang dimaksud dengan sandiwara? Mama bicara apa saja denganmu? Kalau kau tak bercerita, seterusnya ini bakal menjadi salah paham."
Kata-kata itu semakin membuatku bertambah malas. Bisa-bisanya ia berkata seperti itu, sementara di sini aku merasa diriku menjadi korban?
Kulihat sekilas perut Adel yang nampaknya memang sedikit membuncit. Badannya juga lebih gemukan. Membuat otak meledak bak lava yang meluber ke perbukitan.
Kita beradu mulut lumayan lama, membuat bibir Adel berucap sumpah-sumpah segala demi meyakinkanku.
"Kuakui kau memang pintar. Sedari kuliah dulu kau memang berpikiran tajam. Tapi setahuku, orang pintar bisa menyelesaikan masalahnya sendiri pakai otak, bukan malah memanfaatkan otaknya untuk membodohi orang bodoh agar nampak bodoh di hadapan orang lain," ucapku kembali, setelah sekian detik kita mencoba membisu.
Kupikir ia sadar kesalahannya, malah menampik dengan berkata, "Tolong yang jelas bicaramu! Sebenarnya ada apa? Aku benar-benar tak mengerti."
Haaassh! Percuma berdebat panjang lebar.
Aku menegakkan punggung, sedikit menggeser tempat dudukku yang mulai panas terasa. Panas seperti otakku sekarang.
Lagi-lagi perkataannya tak membuatku puas.
Setiap aku bertanya, maka ia pasti kembali memberi sebuah pertanyaan padaku. Seperti itu terus ... diputar-putar.
Tak mau terus-menerus dengan pikiran sepeeti ini, lantas aku beranjak dari duduk. Menunduk sekilas, lalu kembali menegakkan pandang.
"Maaf, aku harus pulang sekarang. Aku ada kesibukan," seruku lirih.
Daripada berlama-lama dalam tekanan batin, pergi saja ... mungkin suasana hati berubah membaik.
Adel menarik tanganku, ikut beranjak, dan berkata, "Kesibukan apa, sih? kamu mau pulang ... sementara di rumah tak ada siapa-siapa yang kamu pamiti?"
Kuhela nafas panjang. Memang tak sopan rasanya, tapi jika ada keluarganya,aku merasa tak berdaya sama sekali. Lebih tak enak lagi.
Lalu, kulepas genggaman tangan Adel. Tanpa menolehnya, aku menjawab, "Maaf. Kerjaanku di luar sana sudah membuatku pusing. Aku tak mau menambah beban kepalaku dengan berkutat lama-lama di sini."
Sejurus kemudian, terdengar isaknya. Pecah sudah tangis perempuan itu. Hatiku sedikit tak tega, sehingga aku tak berani menoleh pdanya. Tak berani juga berkata.
"Tunggulah sampai orang tuaku pulang. Mereka menyuruhmu ada di sini, mungkin ada yang akan dibahas," serunya dalam isak tangis.
Bahas? Apa yang dibahas? Sedari kemarin serumah juga tak ada yang dibahas. Malah aku diacuhkan seperti sampah. Entah apa maksudnya, mungkin sekedar mengetes kesabaranku.
Tapi kali ini memang aku sedang tak bisa sabar. Semua anggota rumah ini menancapkan luka di hati tanpa mereka sadar.
"Tolong, tunggu sebentar lagi! Mungkin saja keluarga Alex kemari saat ini. Tolong jangan permainkan perasaanku, Dan!" Kembali ia menarik tanganku, mencegahku pergi dengan isak tangisnya yang menyayat. Seolah isaknya itu akan membuatku iba padanya.
Lagi-lagi aku menampik tangannya. Tanpa menoleh, tanpa rasa kasihan.
"Maafkan aku ...."
Kata terakhir itu menjadi pengiring kepergianku. Kulangkahkan kaki menuju pagar depan, mempercepat jalan sebelum mobil orang tua atau kakaknya datang. Dia tak memanggilku. Tak pula kembali mencegah. Mungkin tahu jika aku sudah lelah dengan semuanya. Kuharap begitu ....
Pak Satpam yang ada di luar menanyai, kujawab halus, menipunya. Kubilang padanya ingin jalan-jalan sekitar komplek sebentar. Akhirnya ia bukakan pagar untukku.
Akhirnya, bebas sudah ....
Kulangkahkan kaki lebih cepat dari sebelumnya, setengah berlari menuju pintu keluar komplek.
Sesekali kuseka keringat sambil memijit-mijit layar hape.
'Aku otw pulang'
Kukirim chat itu untuk Sefti.
Entah kenapa aku selalu ingin mengirim kabar padanya, meski hanya sebatas ucapan mau tidur.
Sepintas kemudian, lagi-lagi isi kepalaku bergejolak. Otakku masih panas mengingat kejadian tadi, apalagi kemarin. Antara dipermainkan atau mempermainkan, sebenarnya siapa lakonnya? Aku atau dia?
Kenapa aku harus menunggu orang tuanya pulang? Jangan-jangan orang tuanya pulang bersama keluarga Alex, yang katanya lelaki yang menjadi calon perjodohan.
Jangan-jangan aku disuruh tetap di sini, untuk kemudian dipermalukan di depan keluarga lelaki itu?
Bisa jadi!!
Benar sudah langkahku. Sebelum aku dipermalukan dan membuat sakit hati orang tuaku satu-satunya, lebih baik kuakhiri semua dari awal. Agar sama malunya. Keluarganya ... juga keluargaku.
Aku menghela nafas panjang. Berat terasa ....
Entah, apa aku harus mengakhirinya saja? Bisakah aku berbuat setega demikian?
Diubah oleh shirazy02 30-11-2019 19:05
erman123 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup