- Beranda
- Stories from the Heart
BADAI SEBELUM PELANGI
...
TS
tiawittami
BADAI SEBELUM PELANGI

1.Murid Baru
Namaku Zerina. Zerina Mia Hartalisya. Kepribadianku berubah sejak penghianatan itu terjadi. Ketika orang-orang yang selalu bersamaku, menjalani hari-hari bersamaku bahkan suka duka selalu bersamaku menghancurkan semuanya.
Ketika pacarmu yang sudah sangat manis denganmu dan sahabatmu yang selalu mendukungmu ternyata hanya berpura-pura baik padamu. Sakit bukan? Kemudian mereka bersama dan meninggalkanmu. Bagaimana rasanya? Sakit saja, kah? Atau ada perasaan lain?
Tidak hanya itu yang terjadi padaku, mereka bahkan merusak nama baikku, membuatku semakin tidak bisa bergerak, tidak ada yang percaya padaku. Mereka yang lain jadi takut padaku.
Namaku bukan lagi Zerina. Aku orang gila, yang gilanya bisa kambuh kapan saja. Orang-orang yang mendekatiku hanya ingin mengambil kesempatan tanpa kutahu apa tujuannya. Yang pasti mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri.
Astaga, kejam sekali hidup ini. Aku harus apa? Mati, kah? Atau terus menjalaninya? Kira-kira apa yang akan kudapat jika aku terus menjalani hidup. Ketulusan, kah? Aah tidak, ketulusan itu semu. Walau aku sangat ingin bertemu dengannya.
***
Kukira setelah aku lulus dan masuk ke sekolah baru semua itu akan lenyap, tapi ternyata tidak. Orang-orang bodoh itu terus mengingatnya bahkan mereka menyebarkan semuanya di sini. Tak mengapa, aku telah terbiasa dengan semua ini, bahkan jika aku harus seperti ini sampai akhir hidupku. Semua pikiran mereka dan semua yang mereka katakan, biarlah, aku terlalu lelah untuk peduli.
Aku suka duniaku, tak ada yang harus kusembunyikan sekarang. Aku tak perlu berpura-pura untuk mendapatkan yang aku inginkan, karena aku tak lagi menginginkannya.
Teman...
Makhluk apa itu? Aku tidak ingin mereka lagi. Mereka semua hidup dalam kepalsuan. Canda tawa itu akan terasa pahit jika kau tau akhirnya. Tak ada ketulusan di sini, semuanya berjalan karena kemauan masing-masing dari orang-orang itu. Aku tak pernah melihat ketulusan, mungkin dia semu, seperti apa dia? Aku jadi ingin bertemu dengannya.
***
Seperti biasa, aku menghabiskan waktu istirahat dengan duduk di atas rumput yang berseberangan dengan lapangan. Tempat ini nyaman, aku bisa bersandar sekaligus merasakan keteduhan pohon rindang ini. Berkali-kali aku melihat orang lewat yang memandangku aneh karena memilih duduk di sini, sedangkan banyak bangku taman yang disediakan sekolah untuk murid-muridnya, abaikan saja.
Kupasang earphone dan memutar lagu yang belakangan ini sering kudengarkan. Walau aku tak tau arti dari lagunya, tapi aku suka. Alunan nadanya membuat ketenanganku di atas level biasanya. Aku tetap berada di sini, sampai istirahat selesai.
Koridor kelas masih lumayan ramai oleh siswa-siswi yang ngobrol dan tertawa, padahal bel masuk sudah berbunyi. Seharusnya tadi aku menunggu beberapa menit setelah bel bunyi, baru berjalan masuk ke kelas, untuk menghindari perhatian mereka yang dari tadi melihatku sambil berbisik dengan teman masing-masing.
Abaikan ini Zerina, mereka hanya orang-orang bodoh yang tidak pandai memilih cerita.
Aku berhenti melangkah ketika sampai di depan pintu kelas, seorang perempuan yang sangat aku kenal itu menghalangi pintu masuk. Kutatap matanya dengan harapan agar dia tidak menghalangi jalanku, dia menatapku balik.
"Apa liat-liat!" katanya dengan suara yang bisa didengar siapa saja yang ada di situ.
"Minggir. Aku mau lewat." pintaku.
"Oo, mau lewat. Silahkan." Salsa menggeser tubuhnya memberiku jalan, dia tak lepas dari menatapku, membuatku tersandung kakinya karena aku pun tak lepas dari manatapnya balik.
Dia membuatku tersungkur di atas lantai dan sekarang aku jadi bahan tertawaan anak-anak di kelasku dan beberapa anak yang melihat dari pintu kelas. Aku marah, apalagi ketika dia menginjak earphone dan hpku yang juga ikut tersungkur bersamaku.
"Ah, sorry, gue gak liat. Sini gue bantu." Salsa mengulurkan tangannya padaku saat anak-anak itu memusatkan perhatiannya pada kami.
Dasar! Pandai sekali dia berpura-pura, aku tak bisa menahan diriku untuk memukul perempuan itu. Kuambil hp yang barusan dia injak dan kupakai untuk memukul kepalanya. Aku tak peduli jika hp ini rusak, yang penting kepala orang ini harus diberi pelajaran.
Salsa berteriak sambil menghalangi gerakanku lagi sampai akhirnya teman-teman bodohnya itu menghentikanku dan mendorongku menjauh dari Salsa.
"Lo gila, ya! Mukulin kepala orang!" teriak Icha sambil menatapku tajam.
"Lo gak papa, Sa?" Salsa menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Dwi, "Gak waras!" teriaknya lagi padaku.
Mereka pergi setelah berhasil membuatku terlihat seperti penjahat sekarang. Anak-anak di kelasku pun tak ada yang berani bicara padaku. Mereka semua menghindar dan memberiku jalan menuju kursiku.
Aku kembali teringat bagaimana dulu aku memukul kepala Ana dengan penggaris besi hingga membuatnya berdarah. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika anak-anak kelas ini menyaksikan itu, mungkin mereka akan menemui wali kelas dan bilang jika mereka ingin pindah kelas, tak ingin sekelas denganku. Tapi percayalah, kejadian itu bukan sepenuhnya salahku.
Aku duduk dan merapihkan buku pelajaran yang tadi belum sempat kubereskan karena aku biasa keluar duluan saat bel istirahat bunyi. Ya, itu ada alasannya, aku menghindari keramaian.
"Ternyata bener, ya. Gilanya bisa kambuh kapan aja."
"Sssstt."
Aku mendengar bisikan itu. Mereka melepaskan pandangannya dariku saat aku menatap ke arah mereka tajam. Aku jadi kesal, harusnya mereka bertanya dulu apa yang terjadi, bukan bicara dibelakangku.
Mulut-mulut itu memang sudah termakan gosip receh, mereka hanya mendengar cerita dari satu pihak dan langsung membenciku, mereka langsung menganggapku benaran gila hingga tak ada yang percaya padaku. Aku mengembuskan napas.
Tenang Zerina, kau tidak perlu kesal dan mencaci mereka. Mereka akan lebih menganggapmu gila jika kau lakukan itu.
***
Setelah melewati waktu yang sulit di sekolah hari ini, aku berniat mengunjungi tempat yang sudah lama tak kukunjungi.
Langkahku terhenti, kupandangi pohon seri yang sudah termakan usia itu. Tumbuh di halaman belakang rumah tua yang tidak dihuni, walaupun begitu pohon ini tetap tumbuh dan berbuah. Aku ingat, waktu kecil aku sering kemari, bermain bersama Ana, memanjat pohon ini untuk mengambil buah kecil bewarna merah yang rasanya sangat aku suka. Manis.
Ugh!
Aku mengusir memori itu, rasanya sakit jika menyadari yang terjadi sekarang. Kulepas tas punggung yang kukenakan dan menjatuhkannya ke atas rumput liar di situ. Dengan agak susah aku memanjat pohon, hingga akhirnya aku bisa duduk santai di dahannya sambil menikmati buahnya.
"Hm, seperti ini rasanya kehidupan remaja. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, tak peduli sedekil apa aku dulu. Aku mau bahagia tanpa merasakan sakitnya penghianatan."
Kumakan buah terakhir yang kudapat, lalu berniat mencari lagi. Sepertinya sudah habis, tidak, aku masih melihat satu di ujung dahan. Aku sudah hampir mendapatkannya, tapi seseorang menggagalkanku.
"Hei!" Suara itu mengejutkanku, hingga membuat kakiku kaget dan melesat dari dahan pohon.
"Aaaakh!"
Aku jatuh hingga membuat dengkul dan lenganku tergores patahan ranting-ranting kecil yang bertumpuk di situ.
"Kamu gak papa?" tanya orang yang membuatku terkejut.
Kutepis tangannya yang ingin menyentuhku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mengambil tas dan buru-buru pergi dari situ.
Jarak rumahku tidak jauh dari tempat itu dan aku sudah berada di rumah sekarang, membersihkan luka dengan alkohol. Untung saja dahan yang kupanjat tadi tidak tinggi dan aku tidak cidera parah. Kalau bukan karena pria tadi, aku mungkin tidak akan jatuh. Kenapa dia bisa ada di sana tiba-tiba.
"Huuh, dasar, harusnya orang itu menangkapku, tega sekali dia." Aku membuang kapas bekas lukaku ke dalam bak sampah.
"Kenapa kamu berharap? Memangnya kamu siapa? Kamu hanyalah orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja." Aku menyalahi diriku sendiri di depan cermin wastafel.
Aku mengembus napas panjang setelah menyadari perbuatanku. Aku tidak boleh menghina diriku karena orang-orang menghinaku. Aku harus meyakini diriku, bukan meyakini ucapan mereka. Perasaanku mulai lagi, sesuatu yang membuatku tidak percaya diri adalah jika diriku mulai menghinaku. Aku selalu berusaha agar tidak seperti itu.
"Please.. I am not crazy.."
"I am not crazy.."
"I am not crazy.."
Suaraku hampir berbisik dan menjadi berbisik pada kalimat terakhir. Aku bangkit dan berdiri dari ringkukkanku, mengambil pil yang hampir menjadi makananku setiap hari. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia selalu saja memanggilku untuk memakannya.
Satu pil berhasil masuk ke mulutku. Pahit. Kuluruskan kakiku di atas kasur dan memejamkan mata, berusaha untuk melupakan hari ini, hingga aku terlelap.
***
Hari ini seperti biasa, jam istirahat di sekolah aku duduk di atas rumput di bawah pohon rindang yang biasa aku tempati.
Hari ini aku membawa headphone dan hp dengan layar retak-retak karena insiden kemarin. Tak masalah, setidaknya hp ini masih mengizinkanku mendengarkan lagu-lagunya.
Kudengar hari ini berita yang sedang hangat dibicarakan oleh cewek-cewek penggosip itu adalah masuknya murid baru. Pastinya karena murid baru itu cowok dan bisa dibilang ganteng menurut mereka. Kalau tidak seperti itu gak mungkin jadi berita hangat.
Mungkin aku satu-satunya wanita yang tidak peduli. Lagian untuk apa? Jika murid baru itu tau tentang diriku, dia juga pasti tidak akan mau berteman denganku.
Aku mengangkat buku bacaanku hingga menutupi wajah, sesuatu di kejauhan sana seolah mengganggu perasaanku. Anak-anak cowok itu pasti sedang membicarakanku. Lalu, aku merasakan kehadiran seseorang di depanku, sedang berdiri menghadapku. Aku menurunkan sedikit buku bacaan dan melihat ke arahnya. Dia melihatku, dengan cepat aku kembali mengangkat buku itu menutupi wajah.
"Hei." Dengan tangan kanannya dia menurunkan buku bacaan yang menutupi wajahku.
Sepertinya aku pernah melihatnya, dia orang yang membuatku jatuh dari pohon kemarin.
"Kamu cewek yang kemarin, kan?"
Aku tak menjawab dan yang terpenting yang harus kalian tau ternyata dia murid barunya.
"Arken." Dia menjulurkan tangan kanannya dan tersenyum padaku untuk berkenalan.
Aku telah berusaha untuk menerimanya, tapi kurasa itu percuma dan akan sia-sia. Dia akan membenciku dan menjauhiku, atau mungkin sekarang dia hanya mempermainkanku dan menjadikanku bahan lelucon karena kuyakin dia ada bersama rombongan cowok itu tadi.
Teett... Teett... Teett...
Akhirnya bel masuk berbunyi, aku berdiri dari duduk dan berjalan meninggalkannya di situ tanpa bicara apapun. Kudengar rombongan cowok di sana tertawa melihat Arken, cowok yang barusan memperkenalkan namanya padaku. Bukannya sudah kubilang, mereka hanya menjadikanku bahan lelucon. Apa itu yang disebut teman? Bukankah aku beruntung karena tidak memiliki teman seperti mereka? Yah, kurasa aku beruntung.
Bersambung
Index
2. Arken
3. Berteman
4. Psikis
5. Hariku
6. Masalahku
7. Wanita Bahagia
8. Wanita Bahagia 2
9. Pentas Seni
10. Pentas Seni 2
11. Memori
12. Reuni
13. Fungsi Hati
14. Hari Terakhir
15. Ana
16. Perasaan Rindu
17. Kematian Ana
18. Teror
Diubah oleh tiawittami 14-01-2020 19:21
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
7.6K
90
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
tiawittami
#63
9. Pentas Seni
Sudah banyak hari kulewati bersama Arken, dia mengenalkanku pada hal-hal baru. Aku merasa seperti lahir kembali setelah lama hibernasi. Semesta jadi terasa begitu hangat karena hadirnya.
Dia mengajariku banyak hal tentang kehidupan, tentang pelangi yang akan terbentuk setelah badai reda, tentang bunga yang akan mekar pada musimnya, juga tentang ulat yang akan sempurna pada waktunya. Dia telah mengajariku bahwa segala sesuatu itu memiliki solusi dan pilihannya ada di tangan kita.
Semesta telah memberikannya padaku, takkan kubiarkan siapapun mengambilnya.
Kini tak ada lagi aku yang sendiri, tak ada lagi aku yang kelam, juga tak ada lagi aku yang tanpa arah, kekosongan telah terisi bersamanya. Dia mengajakku ke berbagai tempat dan melukis kebahagiaan di sana.
Kuingat lagi waktu itu, saat kami bermain timezone setelah pulang sekolah. Kami tak sempat mengganti seragam sekolah waktu itu.
"Kanan kanan, maju dikit, sedikit lagi, lagi lagi, nah, pas." Senangnya aku ketika pencapit itu mengenai sasaran. "Yeay!" seruku.
Kami ber-tos dan Arken mengambil boneka di bawah situ. Dia menunjukkan deretan giginya dan memberikannya padaku.
"Kamu mau es krim?" Dia menawarkanku.
"Mau," kataku dengan senang hati.
Setelah selesai, kami berjalan keluar mall. Kami hanya bermain sebentar di sana, takut bunda nyariin karena kami tak pulang dulu. Arken memiliki alasan kenapa tidak pulang dulu, itu karena jarak mall yang lebih dekat dari sekolah daripada rumah.
"Hm, aku ingat waktu itu ada yang bilang gak suka es krim padaku dan membuangnya ke kotak sampah." Aku berhenti sejenak dari memakan es krimku dan melirik Arken yang barusan menyindirku. Dia tertawa dan menempelkan ujung es krimnya ke hidungku, membuatnya melekat sedikit di situ. "Bener, kan, waktu itu kamu bohong," ucap Arken.
Aku tertawa kecil dan menghapus krim di hidungku. "Aku takut waktu itu kamu udah campur sianida ke es krimnya, makanya kubuang."
"Alasan," katanya, aku tertawa singkat. Arken menggandengku hingga kami sampai di tempat parkir.
Sesampainya di rumah, bunda mengintrogasi kami karena tahu kalau kami tak langsung pulang.
"Dari mana kalian? Pasti abis main, kan. Kenapa gak pulang dulu?" tanya bunda penuh selidik. Aku dan Arken terdiam di tempat, aku tak menjawab sampai akhirnya Arken bersuara.
"Zerina, Nda!" katanya dengan suara yang terdengar meyakinkan. "Tadi dia di hukum lari ngelilingi lapangan sepuluh kali, makanya pulangnya lama."
Aku sempat tak mengerti kenapa dia bilang seperti itu, hingga akhirnya aku ikuti saja caranya. "Iya Bunda," kataku tanpa berpikir lagi.
Alhasil kami disuruh bunda untuk lari mengelilingi komplek. Aku menyesal mengikuti Arken, tak seharusnya kami membohongi bunda. Bunda itu cerdas, dia selalu tahu apakah ucapan seseorang itu benar atau bohong.
"Ayo, Zerina semangat!" Arken malah terlihat bahagia sekali, dia berlari sangat semangat.
Ah, kupikir Arken sengaja berbohong supaya disuruh lari seperti ini. Dia pasti sudah hapal apa yang akan dilakukan bunda, kan. Tak mungkin jika dia tak tahu.
"Gara-gara kamu!" kesalku.
Dia tertawa. "Gak papa, lari sore itu sehat, tau."
"Tapi ini masih siang!" teriakku geram.
Dia tertawa lagi. "Kamu itu kalo marah kayak ngelawak, ya. Lucu," katanya.
"Aku serius!"
"Aaah, masa?"
"Iiish!"
Kusiapkan gepalan tangan untuk meninjunya. Dia tertawa sambil berlari lebih cepat. Kukejar ke mana pun dia berlari. Takkan kulepas meski ke ruang angkasa sekali pun.
Lucu ya, kalau diingat-ingat. Padahal waktu itu aku benar-benar kesal sekali, tapi rasa kesal itu hanya sebentar dan hilang bersamaan dengan air minum yang diberikannya padaku.
"Stop!" perintahnya ketika kami sampai di dapur. "Udah, kita istirahat dulu, ya." Dia memberikan air padaku. Aku menerimanya, ingin kupentung kepalanya dengan botol air itu, tapi aku tak tega. Dia tertawa lagi.
"Sudah larinya?" tanya bunda pada kami yang sedang istirahat di kursi makan.
"Sudah, Nda," kataku dan Arken bersamaan.
Bunda menertawakan kami. "Kalau kurang, besok ulangi lagi, ya," sindir bunda.
Aku suka kok dihukum. Asalkan dihukumnya bareng Arken. Setiap waktu bersamanya itu berasa seperti kura-kura yang dibawa itik terbang, bahagia sekali.
Apalagi saat Arken mengajakku naik perahu waktu itu. Aku tak bisa mengungkapkan kebahagiaannya lewat kata-kata.
Setiap air laut yang kusentuh rasanya seperti mereka adalah kebahagiaan yang tak akan pernah habis. Selalu tersedia kapan pun aku membutuhkannya.
Begitu pula dengan udara yang selalu menemani, mengantarkan tawanya masuk ke dalam pendengaranku begitu pun sebaliknya. Udara itu selalu setia menjadi perantara untuk kebahagiaan kami, tak pernah lelah dan tak meminta balasan. Sungguh ciptaan yang luar biasa, kan.
Lalu, keindahan pasar malam yang juga pernah kami kunjungi. Setiap tanah yang kupijak bersamanya terus melukis kenangan. Setiap tempat, setiap orang yang bicara pada kami, semuanya dapat terekam jelas dalam benakku. Komedi putar itu juga menjadi saksi kalau aku pernah menjerit ketakutan di sana, membuat dia menertawakanku yang sebelumnya sangat keras kepala ingin naik itu.
Kebahagiaan yang tak pernah kudapat sebelumnya. Akhirnya aku bebas dari kedinginan yang terjadi di sepanjang musim. Kini setiap udara sungguh terasa hangat, bersamanya.
Semesta... terimakasih ya, karena sudah mengantarku untuk bertemu dengannya. Terimakasih hadiahnya, aku bisa merasakan bahagia sebelum hidupku berakhir. Oh iya, apa kau sudah mengunci keinginanku sebelumnya? Belum, kan. Aku ingin mengubahnya. Dari menunggu hidup kelam berakhir, menjadi hidup sampai bahagia ini berakhir.
***
Aku terbangun dari lelapku, sudah kurasakan hangatnya mentari yang akan mengawali pagiku. Tepat pada hari ini acara Bulan Bahasa di sekolah diselenggarakan. Aku tak sabar ingin melihat Arken tampil.
Kebahagiaan sudah menungguku di luar. Aku berlari menuju pintu sebelum dia berhasil memencet bel rumahku. Setelah berhari-hari aku tinggal di rumah Arken, aku memutuskan untuk pulang, bagaimana pun juga aku tak ingin menyusahkan bunda di sana. Mereka sangat baik padaku.
Arken melongo melihatku yang sudah membuka pintu sebelum jari hangatnya itu menekan bel. Aku tersenyum dengan mata sipit. "Kamu belum mandi, ya?" katanya.
"Udaaaah...." keluhku, dia memang senang sekali melunturkan senyumku, kemudian tertawa dan membuatku kembali tersenyum karena lelucon recehnya.
"Ternyata hidungku yang belum dibersihin," katanya membuat aku tertawa puas sekali.
Mau seperti apa pun leluconnya, tetap akan terasa lucu bagiku. Karena semuanya berasal dari dirinya. Sesuatu yang keluar dari raga dan jiwanya akan jadi sangat berharga bagiku.
Kami berangkat ke sekolah setelah aku mengunci pintu rumahku. Sudah berapa minggu ya ini berlalu, kurasa sudah banyak sekali hari yang berlalu. Aku tak tahu bagaimana kabar papa dan mama, hpku rusak karena kejadian hari itu. Entah mereka menelponku atau tidak.
Ah, memangnya mereka pernah menelponmu?
Tidak.
Setidaknya papa tak pernah lupa mengirim uang ke rekeningku.
***
Hari ini sekolahku sangat sibuk. Mereka pada latihan, mempersiapkan diri untuk tampil nanti, termasuk Arken. Aku ada di sana, di antara banyaknya siswa-siswi di ruang ekskul musik. Ternyata sebagian besar dari mereka menyukai musik, banyak sekali dukungan untuk masing-masing band dalam grup itu.
Kuramal grup Arken dapat menyaingi grup kakak kelas yang sudah lama menjadi top music di sekolah. Itu pasti, memangnya siswi mana yang tidak tertarik dengan parasnya yang memancarkan aura ketampanan, juga suaranya yang membuat pendengarnya itu jadi mabuk asmara. Ah, aku sekarang jadi senang memuji dia, kan, padahal kemarin-kemarin tidak.
Lihatlah, baru gladi resik saja mereka sudah teriak-teriak memanggil nama Arken yang menjadi vokalis dalam grup band Fahmi dan kawan-kawan. Padahal Arken baru bicara untuk membuka suara. Bagaimana kalau dia sudah bernyanyi. Kuramal lagi mereka akan menjadi lebih gila.
Aku jadi pandai meramal ya sekarang.
Semakin ramai murid yang ingin masuk ke ruang ekskul musik itu. Aku keluar setelah merasa sangat engap dengan lautan manusia di sana. Arken masih di dalam. Biarlah, dia masih banyak urusan dengan para penggemarnya itu.
"Zerina...." aku mendengar suara perempuan memanggilku saat aku berjalan ke toilet, aku kebelet pipis.
Aku berhenti sebentar di tempatku dan menunggu mereka menghampiriku. "Iya?" tanyaku.
Satu di antara tiga perempuan itu memberiku segulung karton berwarna hitam dan spidol putih. "Minta tolong ya, mintain tanda tangan Arken dan teman-teman grupnya di karton ini," pintanya.
Aku menerimanya. "Kenapa gak minta langsung ke mereka?" tanyaku.
"Susah, rame banget. Minta tolong, ya. Kamu kan, deket sama Arken." Aku membaca nametag di bajunya, Dini. Aku tersenyum dan menganggukan kepalaku.
"Ditunggu, ya. 10 IPS 9. Makasih, Zerina."
"Makasih, ya."
Aku hanya tersenyum dan melanjutkan langkahku, menjalankan niatku yang sempat tertunda.
Aku duduk di kantin sebentar untuk membeli minum. Yah, ini untuk pertama kalinya aku jajan di kantin sendirian. Biasanya tidak pernah dan belakangan ini seringnya bersama Arken.
"Nah, di sini ternyata. Di cariin ke mana-mana." Baru saja aku meneguk minumanku, Arken sudah menghampiriku, kali ini bersama teman grupnya. "Minta." Dia meminta minumanku.
"Beli, dong," cibirku sambil menertawakannya dan menjauhkan minumanku darinya.
"Pelit," katanya manyun, lalu memesan satu pada ibu kantin. "Bu, satu ya yang kayak gini," katanya sambil menunjuk minumanku. Padahal kuyakin dia tak tahu apa yang kupesan ini.
Terbukti saat pesanannya siap. Dia meminumnya dan tergambar jelas di wajahnya tentang rasa dari minuman itu. Aku menahan tawa hingga akhirnya tertawa lepas, tak kuasa aku menahannya.
"Kecut," gumamnya sambil menahan rasa itu.
Lihatlah, wajahnya sangat lucu dan tersiksa oleh rasa itu. Aku jadi sulit berhenti tertawa. Itulah alasan kenapa aku tak memberikan minumanku padanya, dia tak suka lemon. Tapi dia malah memesan rasa yang sama sepertiku tanpa bertanya dulu itu rasa apa.
"Kenapa, sih, Ken?" tanya Fahmi yang duduk di sampingnya.
Arken menggeleng. "Nih, buat lo aja." Dia memberikan minumannya pada Fahmi.
Fahmi melihat isi gelas itu. "Lagian, minuman buat cewek diet dipesen." Mereka menertawakan Arken. Lalu Arken mengambil minum Fahmi dan meneguknya.
"Zer, masih suka bawa bom?" Aku menekuk wajah sambil melihat orang yang bicara barusan, Anang.
"Kenapa? Kamu mau dibom lagi?" kataku.
Oh iya, aku lupa. Tentang Fahmi dan kawan-kawan. Merekalah yang dulu pernah ngerjain aku. Sekarang kami sudah saling kenal karena Arken.
Mereka tertawa, lalu Gandhi menunjukkan bekas luka di lengannya. "Nih, lo inget gak?" tanyanya padaku.
Aku ingat, ingat sekali. Aku pernah menggigitnya hingga berdarah, tapi itu kan salah dia. "Sini aku tambahin!" kataku siap menggigit ulang.
"Eh, nggak, nggak. Udah, kapok," katanya bergidik ngeri sambil menarik tangannya. Dia tertawa.
"Lagian, udah tau galak, masih aja digangguin," kata Arken.
"Dia nih, yang mulai duluan." Aku menunjuk Novan yang daritadi anteng dengan mie gorengnya.
Novan menunda makanan yang sudah siap masuk ke mulutnya. "Ya, tapi kan, udah maapan kita," katanya.
"Iyaaa, nah," kata mereka bermaksud agar tak membahas soal itu lagi.
Aku hanya tertawa, dan, oh, iya, aku lupa pesanan Dini dan temannya tadi. Aku membuka karton itu dan terdapat tulisan dengan hiasan di dalamnya.
A F G A N
Arken Fahmi Gandhi Anang Novan
Mereka kepo dan melihat isi karton itu.
"Apa itu?"
"Siapa yang buat?"
"Boleh juga tuh, nama."
"Kamu yang buat?" tanya Arken padaku yang terlihat yakin. Aku menggeleng, membuat keyakinannya itu pudar. Aku tertawa kecil melihat wajah lucunya.
"Tadi ada yang minta tolong aku, suruh mintain tanda tangan kalian di sini, nih." Aku memberikan spidol putih pada mereka.
Dengan semangatnya Novan mengambil spidol itu dan mendahulukan mereka untuk bertandatangan. "Hm, emang, ya, kalo artis, mah, banyak yang mintain tanda tangan gitu. Hahay," katanya dengan ke-PD-an yang kuprediksi sudah mencapai level 99.
Mereka tertawa karena satu temannya itu dan memenuhi tanda tangan mereka di sana. Senangnya menjadi bagian dari mereka, bisa melihat kebahagiaan mereka saja aku jadi ikut senang.
Hingga akhirnya waktu yang sangat dinantikan tiba. Dari awal nama grup mereka di panggil, sudah ramai sekali sorak dari siswa-siswi yang menonton. Mayoritas sorakan itu sudah pasti dari kaum hawa.
Aku duduk di kursi barisan kedua. Untung saja masih tersisa satu di situ. Mereka sudah naik ke panggung yang sudah menanti mereka. Nomor urut terakhir yang mereka dapat itu seakan menambah semangat bagi para penonton, lagi-lagi mereka berteriak dan merapat ke barisan. Orang-orang yang tadinya jauh dari situ serentak bergabung dan memeriahkannya.
Arken mengambil mic-nya dan mulai mengetes suara. "Cek! Oke untuk semua yang menonton boleh bersorak, tapi jangan buat peka teman di sampingnya, ya." Ucapan Arken itu membuat para wanita di situ bersorak lebih keras.
"Dan karena ini acara terakhir sekaligus penutupan, mungkin boleh untuk teman-teman yang ada di belakang sana agar berdiri atau maju untuk memeriahkan acara ini."
Sontak para ciwi-ciwi yang duduk di depan maupun belakang itu langsung pada bangkit dan berlari ke depan, tepat di bawah panggung dan memenuhi kekosongan di sana.
"Untuk kamu yang masih duduk sendirian di kursi boleh berdiri, yuk, ikut bersama teman-teman yang lain." Arken melihat ke arahku yang masih duduk di tempatku. Apa-apaan dia ini. Kubuang pandangan darinya, seketika orang-orang di situ mencari sumber 'kamu' yang diucapkan Arken.
"Hei, sudah ditungguin, nih. Ayo, berdiri, dong," katanya lagi.
Ah, dia ini bisa saja membuatku jadi pusat perhatian. Aku berdiri setelah merasa sudah sangat menjadi pusat perhatian mereka. "Nah, kan, cakep." Arken tersenyum dari atas sana. Dasar dia! Sekarang aku jadi sumber ke-iri-an mereka, nih.
Dia mulai membawakan lagunya. Panasnya siang itu tidak terasa bagi para penonton. Padahal mereka pada maju dan berdiri sehingga tidak tertutup tarup, rasanya matahari malah nambah membakar semangat mereka.
Bersambung...
Dia mengajariku banyak hal tentang kehidupan, tentang pelangi yang akan terbentuk setelah badai reda, tentang bunga yang akan mekar pada musimnya, juga tentang ulat yang akan sempurna pada waktunya. Dia telah mengajariku bahwa segala sesuatu itu memiliki solusi dan pilihannya ada di tangan kita.
Semesta telah memberikannya padaku, takkan kubiarkan siapapun mengambilnya.
Kini tak ada lagi aku yang sendiri, tak ada lagi aku yang kelam, juga tak ada lagi aku yang tanpa arah, kekosongan telah terisi bersamanya. Dia mengajakku ke berbagai tempat dan melukis kebahagiaan di sana.
Kuingat lagi waktu itu, saat kami bermain timezone setelah pulang sekolah. Kami tak sempat mengganti seragam sekolah waktu itu.
"Kanan kanan, maju dikit, sedikit lagi, lagi lagi, nah, pas." Senangnya aku ketika pencapit itu mengenai sasaran. "Yeay!" seruku.
Kami ber-tos dan Arken mengambil boneka di bawah situ. Dia menunjukkan deretan giginya dan memberikannya padaku.
"Kamu mau es krim?" Dia menawarkanku.
"Mau," kataku dengan senang hati.
Setelah selesai, kami berjalan keluar mall. Kami hanya bermain sebentar di sana, takut bunda nyariin karena kami tak pulang dulu. Arken memiliki alasan kenapa tidak pulang dulu, itu karena jarak mall yang lebih dekat dari sekolah daripada rumah.
"Hm, aku ingat waktu itu ada yang bilang gak suka es krim padaku dan membuangnya ke kotak sampah." Aku berhenti sejenak dari memakan es krimku dan melirik Arken yang barusan menyindirku. Dia tertawa dan menempelkan ujung es krimnya ke hidungku, membuatnya melekat sedikit di situ. "Bener, kan, waktu itu kamu bohong," ucap Arken.
Aku tertawa kecil dan menghapus krim di hidungku. "Aku takut waktu itu kamu udah campur sianida ke es krimnya, makanya kubuang."
"Alasan," katanya, aku tertawa singkat. Arken menggandengku hingga kami sampai di tempat parkir.
Sesampainya di rumah, bunda mengintrogasi kami karena tahu kalau kami tak langsung pulang.
"Dari mana kalian? Pasti abis main, kan. Kenapa gak pulang dulu?" tanya bunda penuh selidik. Aku dan Arken terdiam di tempat, aku tak menjawab sampai akhirnya Arken bersuara.
"Zerina, Nda!" katanya dengan suara yang terdengar meyakinkan. "Tadi dia di hukum lari ngelilingi lapangan sepuluh kali, makanya pulangnya lama."
Aku sempat tak mengerti kenapa dia bilang seperti itu, hingga akhirnya aku ikuti saja caranya. "Iya Bunda," kataku tanpa berpikir lagi.
Alhasil kami disuruh bunda untuk lari mengelilingi komplek. Aku menyesal mengikuti Arken, tak seharusnya kami membohongi bunda. Bunda itu cerdas, dia selalu tahu apakah ucapan seseorang itu benar atau bohong.
"Ayo, Zerina semangat!" Arken malah terlihat bahagia sekali, dia berlari sangat semangat.
Ah, kupikir Arken sengaja berbohong supaya disuruh lari seperti ini. Dia pasti sudah hapal apa yang akan dilakukan bunda, kan. Tak mungkin jika dia tak tahu.
"Gara-gara kamu!" kesalku.
Dia tertawa. "Gak papa, lari sore itu sehat, tau."
"Tapi ini masih siang!" teriakku geram.
Dia tertawa lagi. "Kamu itu kalo marah kayak ngelawak, ya. Lucu," katanya.
"Aku serius!"
"Aaah, masa?"
"Iiish!"
Kusiapkan gepalan tangan untuk meninjunya. Dia tertawa sambil berlari lebih cepat. Kukejar ke mana pun dia berlari. Takkan kulepas meski ke ruang angkasa sekali pun.
Lucu ya, kalau diingat-ingat. Padahal waktu itu aku benar-benar kesal sekali, tapi rasa kesal itu hanya sebentar dan hilang bersamaan dengan air minum yang diberikannya padaku.
"Stop!" perintahnya ketika kami sampai di dapur. "Udah, kita istirahat dulu, ya." Dia memberikan air padaku. Aku menerimanya, ingin kupentung kepalanya dengan botol air itu, tapi aku tak tega. Dia tertawa lagi.
"Sudah larinya?" tanya bunda pada kami yang sedang istirahat di kursi makan.
"Sudah, Nda," kataku dan Arken bersamaan.
Bunda menertawakan kami. "Kalau kurang, besok ulangi lagi, ya," sindir bunda.
Aku suka kok dihukum. Asalkan dihukumnya bareng Arken. Setiap waktu bersamanya itu berasa seperti kura-kura yang dibawa itik terbang, bahagia sekali.
Apalagi saat Arken mengajakku naik perahu waktu itu. Aku tak bisa mengungkapkan kebahagiaannya lewat kata-kata.
Setiap air laut yang kusentuh rasanya seperti mereka adalah kebahagiaan yang tak akan pernah habis. Selalu tersedia kapan pun aku membutuhkannya.
Begitu pula dengan udara yang selalu menemani, mengantarkan tawanya masuk ke dalam pendengaranku begitu pun sebaliknya. Udara itu selalu setia menjadi perantara untuk kebahagiaan kami, tak pernah lelah dan tak meminta balasan. Sungguh ciptaan yang luar biasa, kan.
Lalu, keindahan pasar malam yang juga pernah kami kunjungi. Setiap tanah yang kupijak bersamanya terus melukis kenangan. Setiap tempat, setiap orang yang bicara pada kami, semuanya dapat terekam jelas dalam benakku. Komedi putar itu juga menjadi saksi kalau aku pernah menjerit ketakutan di sana, membuat dia menertawakanku yang sebelumnya sangat keras kepala ingin naik itu.
Kebahagiaan yang tak pernah kudapat sebelumnya. Akhirnya aku bebas dari kedinginan yang terjadi di sepanjang musim. Kini setiap udara sungguh terasa hangat, bersamanya.
Semesta... terimakasih ya, karena sudah mengantarku untuk bertemu dengannya. Terimakasih hadiahnya, aku bisa merasakan bahagia sebelum hidupku berakhir. Oh iya, apa kau sudah mengunci keinginanku sebelumnya? Belum, kan. Aku ingin mengubahnya. Dari menunggu hidup kelam berakhir, menjadi hidup sampai bahagia ini berakhir.
***
Aku terbangun dari lelapku, sudah kurasakan hangatnya mentari yang akan mengawali pagiku. Tepat pada hari ini acara Bulan Bahasa di sekolah diselenggarakan. Aku tak sabar ingin melihat Arken tampil.
Kebahagiaan sudah menungguku di luar. Aku berlari menuju pintu sebelum dia berhasil memencet bel rumahku. Setelah berhari-hari aku tinggal di rumah Arken, aku memutuskan untuk pulang, bagaimana pun juga aku tak ingin menyusahkan bunda di sana. Mereka sangat baik padaku.
Arken melongo melihatku yang sudah membuka pintu sebelum jari hangatnya itu menekan bel. Aku tersenyum dengan mata sipit. "Kamu belum mandi, ya?" katanya.
"Udaaaah...." keluhku, dia memang senang sekali melunturkan senyumku, kemudian tertawa dan membuatku kembali tersenyum karena lelucon recehnya.
"Ternyata hidungku yang belum dibersihin," katanya membuat aku tertawa puas sekali.
Mau seperti apa pun leluconnya, tetap akan terasa lucu bagiku. Karena semuanya berasal dari dirinya. Sesuatu yang keluar dari raga dan jiwanya akan jadi sangat berharga bagiku.
Kami berangkat ke sekolah setelah aku mengunci pintu rumahku. Sudah berapa minggu ya ini berlalu, kurasa sudah banyak sekali hari yang berlalu. Aku tak tahu bagaimana kabar papa dan mama, hpku rusak karena kejadian hari itu. Entah mereka menelponku atau tidak.
Ah, memangnya mereka pernah menelponmu?
Tidak.
Setidaknya papa tak pernah lupa mengirim uang ke rekeningku.
***
Hari ini sekolahku sangat sibuk. Mereka pada latihan, mempersiapkan diri untuk tampil nanti, termasuk Arken. Aku ada di sana, di antara banyaknya siswa-siswi di ruang ekskul musik. Ternyata sebagian besar dari mereka menyukai musik, banyak sekali dukungan untuk masing-masing band dalam grup itu.
Kuramal grup Arken dapat menyaingi grup kakak kelas yang sudah lama menjadi top music di sekolah. Itu pasti, memangnya siswi mana yang tidak tertarik dengan parasnya yang memancarkan aura ketampanan, juga suaranya yang membuat pendengarnya itu jadi mabuk asmara. Ah, aku sekarang jadi senang memuji dia, kan, padahal kemarin-kemarin tidak.
Lihatlah, baru gladi resik saja mereka sudah teriak-teriak memanggil nama Arken yang menjadi vokalis dalam grup band Fahmi dan kawan-kawan. Padahal Arken baru bicara untuk membuka suara. Bagaimana kalau dia sudah bernyanyi. Kuramal lagi mereka akan menjadi lebih gila.
Aku jadi pandai meramal ya sekarang.
Semakin ramai murid yang ingin masuk ke ruang ekskul musik itu. Aku keluar setelah merasa sangat engap dengan lautan manusia di sana. Arken masih di dalam. Biarlah, dia masih banyak urusan dengan para penggemarnya itu.
"Zerina...." aku mendengar suara perempuan memanggilku saat aku berjalan ke toilet, aku kebelet pipis.
Aku berhenti sebentar di tempatku dan menunggu mereka menghampiriku. "Iya?" tanyaku.
Satu di antara tiga perempuan itu memberiku segulung karton berwarna hitam dan spidol putih. "Minta tolong ya, mintain tanda tangan Arken dan teman-teman grupnya di karton ini," pintanya.
Aku menerimanya. "Kenapa gak minta langsung ke mereka?" tanyaku.
"Susah, rame banget. Minta tolong, ya. Kamu kan, deket sama Arken." Aku membaca nametag di bajunya, Dini. Aku tersenyum dan menganggukan kepalaku.
"Ditunggu, ya. 10 IPS 9. Makasih, Zerina."
"Makasih, ya."
Aku hanya tersenyum dan melanjutkan langkahku, menjalankan niatku yang sempat tertunda.
Aku duduk di kantin sebentar untuk membeli minum. Yah, ini untuk pertama kalinya aku jajan di kantin sendirian. Biasanya tidak pernah dan belakangan ini seringnya bersama Arken.
"Nah, di sini ternyata. Di cariin ke mana-mana." Baru saja aku meneguk minumanku, Arken sudah menghampiriku, kali ini bersama teman grupnya. "Minta." Dia meminta minumanku.
"Beli, dong," cibirku sambil menertawakannya dan menjauhkan minumanku darinya.
"Pelit," katanya manyun, lalu memesan satu pada ibu kantin. "Bu, satu ya yang kayak gini," katanya sambil menunjuk minumanku. Padahal kuyakin dia tak tahu apa yang kupesan ini.
Terbukti saat pesanannya siap. Dia meminumnya dan tergambar jelas di wajahnya tentang rasa dari minuman itu. Aku menahan tawa hingga akhirnya tertawa lepas, tak kuasa aku menahannya.
"Kecut," gumamnya sambil menahan rasa itu.
Lihatlah, wajahnya sangat lucu dan tersiksa oleh rasa itu. Aku jadi sulit berhenti tertawa. Itulah alasan kenapa aku tak memberikan minumanku padanya, dia tak suka lemon. Tapi dia malah memesan rasa yang sama sepertiku tanpa bertanya dulu itu rasa apa.
"Kenapa, sih, Ken?" tanya Fahmi yang duduk di sampingnya.
Arken menggeleng. "Nih, buat lo aja." Dia memberikan minumannya pada Fahmi.
Fahmi melihat isi gelas itu. "Lagian, minuman buat cewek diet dipesen." Mereka menertawakan Arken. Lalu Arken mengambil minum Fahmi dan meneguknya.
"Zer, masih suka bawa bom?" Aku menekuk wajah sambil melihat orang yang bicara barusan, Anang.
"Kenapa? Kamu mau dibom lagi?" kataku.
Oh iya, aku lupa. Tentang Fahmi dan kawan-kawan. Merekalah yang dulu pernah ngerjain aku. Sekarang kami sudah saling kenal karena Arken.
Mereka tertawa, lalu Gandhi menunjukkan bekas luka di lengannya. "Nih, lo inget gak?" tanyanya padaku.
Aku ingat, ingat sekali. Aku pernah menggigitnya hingga berdarah, tapi itu kan salah dia. "Sini aku tambahin!" kataku siap menggigit ulang.
"Eh, nggak, nggak. Udah, kapok," katanya bergidik ngeri sambil menarik tangannya. Dia tertawa.
"Lagian, udah tau galak, masih aja digangguin," kata Arken.
"Dia nih, yang mulai duluan." Aku menunjuk Novan yang daritadi anteng dengan mie gorengnya.
Novan menunda makanan yang sudah siap masuk ke mulutnya. "Ya, tapi kan, udah maapan kita," katanya.
"Iyaaa, nah," kata mereka bermaksud agar tak membahas soal itu lagi.
Aku hanya tertawa, dan, oh, iya, aku lupa pesanan Dini dan temannya tadi. Aku membuka karton itu dan terdapat tulisan dengan hiasan di dalamnya.
A F G A N
Arken Fahmi Gandhi Anang Novan
Mereka kepo dan melihat isi karton itu.
"Apa itu?"
"Siapa yang buat?"
"Boleh juga tuh, nama."
"Kamu yang buat?" tanya Arken padaku yang terlihat yakin. Aku menggeleng, membuat keyakinannya itu pudar. Aku tertawa kecil melihat wajah lucunya.
"Tadi ada yang minta tolong aku, suruh mintain tanda tangan kalian di sini, nih." Aku memberikan spidol putih pada mereka.
Dengan semangatnya Novan mengambil spidol itu dan mendahulukan mereka untuk bertandatangan. "Hm, emang, ya, kalo artis, mah, banyak yang mintain tanda tangan gitu. Hahay," katanya dengan ke-PD-an yang kuprediksi sudah mencapai level 99.
Mereka tertawa karena satu temannya itu dan memenuhi tanda tangan mereka di sana. Senangnya menjadi bagian dari mereka, bisa melihat kebahagiaan mereka saja aku jadi ikut senang.
Hingga akhirnya waktu yang sangat dinantikan tiba. Dari awal nama grup mereka di panggil, sudah ramai sekali sorak dari siswa-siswi yang menonton. Mayoritas sorakan itu sudah pasti dari kaum hawa.
Aku duduk di kursi barisan kedua. Untung saja masih tersisa satu di situ. Mereka sudah naik ke panggung yang sudah menanti mereka. Nomor urut terakhir yang mereka dapat itu seakan menambah semangat bagi para penonton, lagi-lagi mereka berteriak dan merapat ke barisan. Orang-orang yang tadinya jauh dari situ serentak bergabung dan memeriahkannya.
Arken mengambil mic-nya dan mulai mengetes suara. "Cek! Oke untuk semua yang menonton boleh bersorak, tapi jangan buat peka teman di sampingnya, ya." Ucapan Arken itu membuat para wanita di situ bersorak lebih keras.
"Dan karena ini acara terakhir sekaligus penutupan, mungkin boleh untuk teman-teman yang ada di belakang sana agar berdiri atau maju untuk memeriahkan acara ini."
Sontak para ciwi-ciwi yang duduk di depan maupun belakang itu langsung pada bangkit dan berlari ke depan, tepat di bawah panggung dan memenuhi kekosongan di sana.
"Untuk kamu yang masih duduk sendirian di kursi boleh berdiri, yuk, ikut bersama teman-teman yang lain." Arken melihat ke arahku yang masih duduk di tempatku. Apa-apaan dia ini. Kubuang pandangan darinya, seketika orang-orang di situ mencari sumber 'kamu' yang diucapkan Arken.
"Hei, sudah ditungguin, nih. Ayo, berdiri, dong," katanya lagi.
Ah, dia ini bisa saja membuatku jadi pusat perhatian. Aku berdiri setelah merasa sudah sangat menjadi pusat perhatian mereka. "Nah, kan, cakep." Arken tersenyum dari atas sana. Dasar dia! Sekarang aku jadi sumber ke-iri-an mereka, nih.
Dia mulai membawakan lagunya. Panasnya siang itu tidak terasa bagi para penonton. Padahal mereka pada maju dan berdiri sehingga tidak tertutup tarup, rasanya matahari malah nambah membakar semangat mereka.
Bersambung...
jiyanq dan 2 lainnya memberi reputasi
3