Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja
Rekan kerja

Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
erman123Avatar border
OkkyVanessaMAvatar border
manik.01Avatar border
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.4KAnggota
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#171
Rekan Kerja (part 13)
Kukurruyuuuuuukkk...

Suara ayam jago berkokok terdengar untuk ke sekian kali, menandakan petang telah menjelma pagi.
Kegaduhan di ruang tengah juga telah kudengar sedari beberapa menit yang lalu.
Ya, sampai saat ini mataku masih terjaga.
Aku tak tidur semalaman. Bergelimpungan kesana-kemari menanti kabar yang tak kunjung datang.

Rasa kesal, bingung, takut, bercampur jadi satu dalam benak. Benar-benar tak kuasa aku menjelaskan semuanya pada keluarga, termasuk pada ibu. Entah ini nanti jadi bagaimana ceritanya. Ah, jadi ngeri sendiri.

Tak ada komunikasi sama Adel, tak ada pemberitahuan sedikitpun, tahu-tahu nyelonong langsung kesana.

Oh, seramnya ....

Malah Sefti yang semalam menemani chat-ku dalam kegelisahan.

Dari semalam, tanganku tak henti mengutik HP yang terus tercolok charger. Membaca berulang kali chat kiriman dari Sefti, lalu berganti masuk ke chat Adel. Masih tak ada tanda-tanda dia menjamah HP-nya. Tak ada sedikitpun kejelasan tentang arah hubungan, bahkan otakku sudah blank, tak tahu lagi harus bagaimana setelah ini.

'Yang gak jelas itu ya kamu, Dan! Sudah tahu dua hari sebelumnya Mbak Diah ngasih tahu kalau mau kesana, malah kamu diem saja nggak langsung ngabarin Adel. Dimana-mana, perempuan itu juga butuh kepastian. Dia sudah aktifin HP-nya malah ganti kamu yang uring-uringan. Sebenarnya mau kamu kek apa, sih?'

Ketikan chat kiriman dari Sefti masih terus kubaca ulang. Ya ... sepertinya memang aku yang bodoh. Tak punya pendirian, juga tak pernah bisa tegas.
Bukankah memilikinya itu sudah impianku sedari dulu? Memang, dulu aku tak pernah sedekat itu dengan teman perempuan selain Adel. Keseringan menghabiskan waktu bersama telah menumbuhkan benih-benih cinta di hati, seakan dulu hanya dia lah satu-satunya gadis yang kutemui di bumi, hingga satu harapan kutumpukan hanya padanya.
Namun rasa tak percaya diri telah membuatku berhenti berharap. Dia perempuan berada yang bercita-cita tinggi. Tak mungkin dia memilihku yang tak ada apa-apanya dibanding temanku yang lain ... yang dulunya kuliah bermobil, dan berpegangan uang saku cukup banyak. Hal yang menjadikanku lebih minder adalah ... di saat kita sudah wisuda dan kembali berjalan pada kehidupan masing-masing. Ia seakan melupakanku yang dulu tak pernah melewatkan seharui pun waktu bersamanya, bahkan ia tak memberi kabar dalam waktu yang lumayan cukup lama.

Tapi, kenapa kedatangannya sebulan lalu yang tiba-tiba, menjadi suatu keanehan tersendiri bagiku? Kita juga belum lama kembali bertukar kabar.

"Dan, Dan, sudah bangun belum?" Mbak Diah berseru sambil mengetuk pintu kamarku berulang kali.

Aku menggeliat lemas, beranjak, segera membukakan pintu kamar.

"Sini'in baju yang mau dipake, biar kusetrika ulang sekalian!" ucapnya lagi, yang membuatku kembali masuk ke kamar dan membuka almari.

Kupilah-pilah tumpukan baju yang sudah tertata rapi. Akhirnya kupilih sebuah kemeja katun warna biru dongker, senada dengan celana levis yang berada di bawahnya.

"Nih!" Kuulurkan sepasang pakaian itu pada Mbak Diah. Ia menerimanya.

Aku keluar dari kamar. Menutup pintu rapat, lantas berjalan melenggang menuju dapur. Dari sana kulihat ibu sedang sibuk melumuri loyang dengan margarin. Ia lalu menuangkan adonan dari wadah mixer ke dalam loyang itu.

"Hadeeeeehh, ibu iniiiii...." Pekikku dengan nada setengah kesal.

"Apa?" tanyanya sambil meletakkan loyang itu ke dalam oven.

"Buat apa sih, bikin-bikin kue lagi. Itu yang di atas buffet udah segitu banyak, masa' mau ditambah lagi. Kita kan cuma mau main, Buuuu....."

"Wis, menengo! (sudah, diam saja!)"

Hadeeeeeeehhh!
Kuremas erat rambut kepalaku dengan perasaan yang campur aduk.
Tambah pusingnya lagi, saat mendengar celetukan dari belakang, "Yo'opo? Wis siap kabeh'a? (Gimana? Sudah siap semua kah?)"

Suara khasnya yang menggelegar sudah dapat kuduga sebelumnya. Itu pasti Pak Dhe Narto, kakak ipar ibu.

Sekilas aku menoleh, nampak Pak Dhe bersama Bu Dhe, lengkap dengan para anak cucunya, datang menghambur ke ruang tengah. Tak berselang lama, datang juga anggota keluarga yang lain.

Elaaaaahh! Aku menghela nafas, bersandar lesu pada tembok.

Mbak Diah yang datang melintas mengambil hanger, cepat-cepat kutarik tangannya dan kubawa ke sudut ruang.

"Haduuuh, Mbak. Nduessoo temen ya ampun, uiiisiinn aku jelas... (Norak banget ya ampun, maluuu aku jelas)" ucapku setengah berbisik padanya.

"Mbuh, Dan. Aku juga nggak tahu kenapa semuanya pada kesini. Ibu sendiri mungkin yang kasih tahu."

"Lah, makanya, Mbak. Kan kita cuma main. Cukup lah kalau hanya sekeluarga saja. Kenapa pake acara berbondong-bondong gitu, ajak-ajak sepupu yanh lain? Haduuuuuhhh, onok Wak Narto pisan. Jelas ngisin-ngisini....(ada Pak dhe Narto lagi. Jelas malu-maluin)"

Mbak Diah diam sejenak. Tampak bingung menjawab. Sejurus kemudian lantas berucap, "aku nyerah, Dan. Nggak tahu, wis. Apa kata ibu nurut saja lah. Udah terlanjur juga, mau gimana lagi."

Haaassh!!
Aku semakin panik tak karuan. Apalagi mendengar sorak sorai tawa keluarga besar di ruang tengah. Berkali-kali mereka memanggilku, namun tak jua kujawab. Akhirnya aku keluar rumah dari pintu dapur. Masuk kembali ke kamar lewat pintu depan. Mengambil HP, dan langsung memeriksanya.

Masih tak bernyawa rasanya kontak si Adel. Shiitt!!

Kupukul tembok kamar saking kesalnya melihat keadaan. Ingin sekali marah, tapi pada siapa?
Di tengah-tengah kegundahan, tiba-tiba, HP di genggaman bergetar. Segera aku melihat layar dan kembali memeriksa. Kupikir Adel, rupanya Sefti.

'Dan, jangan nervous! Hehe'

Ia mengirimku chat beserta beberapa emoticon tersenyum melet. Ah, tak tepat sekali keadaan genting begini malah diledekin!

Aku yang dilanda kebingungan, mulai menekan pict telepon diujung layar bagian tengah. Cepat suara di seberang menjawab panggilan, "Ada apa, Dan?"

Bibirku mengatup rapat. Lidah terasa kelu.
Pikiranku tak lagi mampu fokus. Dengan nada berat, aku menjawab sapanya, "Mbak, kamu di mana? Nganggur, nggak, hari ini?"

----

Akhirnya, Sabtu ini ... aku sekeluarga besar berangkat juga ke Surabaya. Satu mini bus mengantarkan perjalanan kami, dan di sepanjang perjalanan keluarga terus menggodaku bermacam-macam. Termasuk si tukang iseng, Pak Dhe Narto.

Hatiku masih berdebar luar biasa. Sesekali memeriksa handphone, siapa tahu Adel sudah mengaktifkan nomornya. Namun, nihil!

Sepintas aku menoleh ke kursi belakang. Di sana Sefti duduk tersenyum memandangku sambil mengedipkan sebelah matanya. Jari jempolnya diajukan, mengkode bahwa semua akan baik-baik saja.

Yaaa ... semoga semua baik-baik saja seperti yang dia katakan sebelumnya. Entah kenapa, bersama Sefti, aku bisa lebih tenang dan santai. Seolah keadaan pasti akan terjamin baik-baik saja.

*****

"Weeeeeehhh, gelaniiiii ... Ckckck!" Bu dhe Narto terbelalak takjub saat pertama kali turun dari mini bus. Matanya masih tak lepas menatap lamat rumah megah yang ada di depan mata. Begitu pula keriuhan para keponakan ketika melihat kolam besar di tengah taman yang dipenuhi beberapa ikan emas besar.

Semua keluarga turun bergantian, dan Sefti turun paling akhir.

"Wiiiiikkkk, oleh mantu anak'e wong sugih. Gelem ta kiro-kiro wonge karo awakmu,Dan? (wiiikk, dapat menantu anak orang kaya. Mau tidak kira-kira orangnya sama kamu, Dan?)" Pak Dhe Narto mencibir.

Aku tak menjawab, masih terus sibuk dengan HP.

"Belum aktif juga?" Sefti berbisik padaku.

Aku menggeleng.

Seorang satpam yang tadinya membukakan pagar untuk kami, menghampiri kembali setelah mengkonfirmasi si empunya rumah dari bilik posnya.

"Permisi, Pak Dani. Ditunggu sebentar! Bapak-Ibu masih di luar, tapi sudah perjalanan balik," pesannya.

Aku mengangguk kecil, dengan tatapan masih fokus pada HP.

Masih juga centang satu!
Ya ampuunnn ... Mana gak aktif ditelepon. Huft!

Tak lama, seorang pembantu membukakan pintu. Ia tersenyum, lalu mempersilahkan kami semua masuk.
Tanpa banyak bicara, kami semua masuk sesuai permintaanya, lengkap dengan buah tangan yang kami bawa.

"Tamunya siapa, ya? Abah atau Umi?" Seorang lelaki berjenggot tipis berkulit putih muncul tiba-tiba dari belakang si pembantu, menanyai kami dengan wajah keheranan. Sedikit membuatku malu, karena mungkin di pikirannya ... ia melihat kami seperti orang kampung yang sedang mengungsi.

"Ini tamunya Mbak Adel, Mas Adam." Pembantu itu menjawab sambil sedikit membungkukkan badannya.

Bersamaan dengan itu kulihat Adel yang masih mengenakan baju tidurnya, tengah menuruni tangga. Wajahnya yang polos tanpa make up sepertinya memang baru bangun tidur. Ia yang melihat kedatanganku sekeluarga tampak terperanjat kaget, lantas cepat-cepat berbalik menaiki tangga. Berlalu dari hadapan.

Tak lama setelahnya, nada chat di HP-ku berbunyi berulang.

'Maaf, Dan. Ya Allah, ini surprize banget'

Membaca itu, langsung saja kumatikan HP di tangan. Kiriman chat Adel barusan tak membuatku senang sama sekali.

"Monggo, monggo ... silahkan, duduk!" Mas Adam, kakak Adel, tersenyum menyambut sembari duduk di sebuah sofa di depan kami.

"Anu ... Mbak Nur, tolong dong, Mas Wahib sama Pak Bambang suruh mindahin kursi tengah kemari. Tolong ditata buat duduknya tamu!" tukasnya lagi pada pembantu itu.

"Nggak usah repot-repot, Mas. Lungguh nisor'ae luweh enak, adem (duduk bawah saja lebih enak, dingin)." Pak Dhe Narto menimpali sambil langsung meleyehkan tubuhnya pada ubin. Diikuti para ponakan yang lain, yang memang tak kebagian kursi duduk.

Aku menepuk jidatku pelan, benar-benar memalukan. Masih mending duduk, nah itu, tiduran!

"Pak, monggo duduk di atas saja! Nanti masuk angin, masih pagi juga." Mas Adam berseru kembali saat kursi yang diminta sudah ditata oleh para buruhnya.

Pak Dhe Narto tak menjawab, eeeh ... tahunya lagi merem!

"Yok opo wong iki, di bageni masrahno omongan kok malah keturon (gimana orang ini, diberi tanggung jawab jadi pembicara kok malah ketiduran)" Ibu menggerutu kesal. Mendengar itu, Bu Dhe langsung menggoyang-goyangkan lengan suaminya.

"Rombongan habis rekreasi?" Mas Adam mencoba mengalihkan pembicaraan.

Belum sempat salah satu dari kami menjawab, terdengar gemertak langkah Adel menuruni tangga dengan cepatnya.

Gadis itu setengah berlari menghampiri kami, mengenakan jubah ungu muda dengan balutan pasmina polos warna hitam. Ia menyalamiku, bergantian dengan para kerabat yang lain. Bersamaan dengan itu terdengar suara mobil menderu memasuki pelataran. Aku yang gugup bukan main hanya bisa menoleh kesana-kemari. Memperhatikan sekeliling.

Pak Dhe sudah duduk bersandar ke tembok, namun matanya masih terpejam. Sementara para keponakan malah riuh bertingkah, berceloteh dengan ramainya. Belum lagi para emak-emaknya yang ribut sendiri, entah membicarakan apa.

Kulihat raut wajah Mas Adam nampak dongkol melihat kegaduhan para keponakan. Adel yang duduk di depanku hanya menatap sambil sesekali tersenyum. Sementara Sefti ... dia sedang sibuk dengan ponselnya.

Hmmm ... kenapa aku tadi mengajak dia, ya? Tak enak hati sendiri. Para saudara juga mengacuhkannya, termasuk diriku yang sekarang tengah bingung mengambil sikap.

Orangtua Adel masuk. Keduanya sepertinya kaget dengan kedatangan kami. Namun tetap menunjukkan sumringahnya menyambut.

Mas Adam mempersilahkan kedua orangtuanya menduduki sofanya. Ia sendiri berdiri tepat di samping adiknya.

Akhirnya pertemuan dua keluarga dimulai ....

... ... ...

"Oh, maksudnya ... kedatangan keluarga Dani kesini ini sekedar perkenalan, ya?" Mama Adel bertanya, setelah kami semua terdiam membisu beberapa menit yang lalu.

"Nggih, sakjane see, nanggletaken putrine sepisan, Bu... (ya, sebenarnya sih, menanyakan putrinya sekalian, Bu)" Pak Dhe membalas, yang akhirnya kutimpali dengan ucapan, "Nggak, Te. Maksudnya ya itu tadi ... hanya perkenalan."

Aku mendelik sedikit ke Pak Dhe, membuatnya bungkam sesaat, setelah dari tadi berbicara memalukan akibat ceplas-ceplosnya yang asal mangap.

Aah, sudah kuduga bakal begini sebelumnya ....

Abah dan Umi Adel saling berpandangan. Sepintas melirik kepada Mas Adam. Mas Adam agaknya tak enak hati. Entah apa yang kemudian ia bisikkan pada umi-nya.

Sementara Adel dan Sefti di pojokan sedang asyik mengobrol sendiri. Kuharap, Sefti menceritakan kegelisahanku karena sikap Adel yang seenaknya.

"Ehm ... maaf, ya. Nak Dani, saya mau bicara empat mata sama kamu. Boleh?" seru umi Adel kemudian.

Glek!

Sontak syok.

Akhirnya aku mengangguk.

---

Wanita paruh baya itu berjalan mondar-mandir dengan mata menatap awas padaku. Sesekali ia hentikan langkahnya, memandangku begitu lama. Membuatku risih dan akhirnya memilih menundukkan pandangan.

"Jujur saja, kamu yang membuat Adel kemarin pergi dari rumah, bukan?" tanyanya dengan nada lantang. Seolah kesal.

Lho?

Aku terperangah. Menatap wajah Umi Adel. Bingung.

"Oke, tapi tak jadi masalah. Yang penting anak saya pulang, dan kamu sudah bertanggung jawab. Sekarang saya tanya, pekerjaan kamu apa?" Ia bertanya kembali padaku.

Aku masih diam. Masih bingung dengan maksudnya 'tanggung jawab'.

Jangan-jangan benar pikiran ibuku selama ini, kalau dia ....

"Kamu pengangguran?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng.

"Lantas?"

"Saya karyawan biasa, Bu." Aku menjawab lirih.
Pikiranku sedang bingung dan melebar kemana-mana saat ini.

Umi Adel menatapku lamat, mulai dari atas ke bawah. Dikembalikan lagi pandangannya dari bawah ke atas.
Membuatku semakin risih karenanya.

"Kamu tahu, Adel itu anak kesayangan saya. Anak perempuan, pasti saya jaga semampu saya ... dan saya sangat mengecewakan sikap kamu terhadapnya. Kalau memang kamu menginginkannya, yang gentle jadi seorang lelaki. Berani meminta di awal. Bukannya diakhir seperti ini."

"Maaf, Bu. Saya kok jadi bingung ...."

"... lantas saya harus bagaimana? Kok kamu yang jadi bingung? Ya saya, dong! Wong kamu terlanjur boyong keluarga besarmu kemari? Seharusnya cukup kamu saja yang awalnya ke sini. Saya juga belum tahu seluk-beluk kamu. Terus terang, kamu mengecewakan sekali."

Setelah menyahut omonganku, wanita paruh baya itu duduk di balkon. Mengalihkan pandangan ke pelataran.

Rasa penasaran ini sangat menjadi-jadi. Tak enak sendiri. Ingin bicara dan menceritakan semuanya. Bertanya, dan mendapatkan jawaban, namun saran hati mengurungkan.

Siapa tahu Adel sengaja membuat skenario, menyembunyikan sesuatu yang tak ingin diketahui orangtuanya. Mungkin aku memang harus diam dulu daripada ujung-ujungnya Adel yang kena marah keluarganya.

Yaa, kuncinya ada pada dia. Entah apa yang terjadi, dan apa pula yang diinginkannya ....

Umi Adel berpangku tangan. Kembali menatapku seraya berkata, "Saya tak enak lama-lama di sini. Kita kembali turun temui keluargamu."

Aku diam sejenak. Lantas mengangguk pelan.

"Saya tak mau bercakap lama-lama juga dibawah, langsung diakhiri saja pertemuannya. Saya tadi ada janji di luar sama suami, saya cancel karena ada kamu datang."

Lagi-lagi aku mengangguk.

Akhirnya kami berdua turun. Kembali ke ruang tamu.

Kutatap wajah Adel yang sepertinya bimbang, begitu pula Sefti. Ia pasti menerka-nerka apa yang terjadi padaku diatas.

Aku mencubit lengan saudariku, berbisik pada Mbak Diah, menyampaikan agar kami segera berpamit pulang.

Namun ketika hendak berpamitan, Umi Adel nyeletuk padaku, "Besok Minggu kamu free, kan?"

Belum sempat aku menjawab, ia melanjutkan bicaranya lagi, "Biarkan Dani tinggal di sini sehari, ya ... Pak, Bu? Mohon maaf, besok saya ada acara. Saya ingin dia ada disini ...."

Semua keluarga nampak kaget, begitupun ibu. Ibu menatap Mbak Diah dengan pandangan tak enak. Mbak Diah sendiri langsung menggenggam tangan ibu sambil mengangguk kecil.

"Wis talah, wis gerang. Babah talah, wong melok morotuone (Sudahlah, sudah besar. Wong ikut mertuanya)" Suara Pak Dhe nyeletuk menenangkan ibu.

Kulihat kedua orangtua Adel menepis tak peduli. Aku kembali tak enak hati. Lantas kutoleh Sefti yang sedang berdiri di dekat pintu.

Ia tersenyum, sedikit mengangguk. Seolah mengiyakan ajakan Umi Adel agar aku menginap semalam.

Akhirnya keluarga besarku pergi ....

Tinggal aku disini dengan deguban jantung yang kencang luar biasa rasanya.


bersambung saudara ... dilanjut apa tidak, ya? 😂 kemukakan alasannya kalau mau cerita dilanjut. Jan lupa rate, cendolin juga 😚
rnladiyatma
siloh
erman123
erman123 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.