- Beranda
- Stories from the Heart
Jangan Panggil Aku Ibu
...
TS
shirazy02
Jangan Panggil Aku Ibu

(Warning : 21+ akan ada tindak kekerasan dalam cerita, namun sarat moral, mengantarkan banyak kejutan tak terduga di dalamnya)
part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
part 7
part 8
part 9
part 10
part 11
part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
part 1
Suara carut-marut beberapa ayam jantan yang berkokok, mulai menyadarkanku dari lelapnya tidur. Membuatku beranjak segera membuka jendela kamar. Terlihat seberkas cahaya matahari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur. Tak tertinggal suara merdunya burung-burung dari balik dedaunan yang tengah bersenandung.
Seharusnya suasana pagi yang dingin nan sejuk ini menambah nikmat tersendiri untukku, namun nyatanya, sangat berbeda dengan suasana hatiku.
Kutengok jam dinding dari balik tirai. Jam 05.30. Baru sadar bahwa hanya dua jam saja aku mampu tertidur?
Dengan mata yang masih terasa berat, kulangkahkan kakiku keluar kamar. Mematikan lampu tengah dan teras yang masih menyala. Lalu membuka bilik-bilik jendela, terakhir membuka pintu utama.
Haidar masih saja bergelut dengan mimpinya. Kubiarkan ia terlelap tidur. Masih penasaran ke-diam-annya semalam. Tumben ia tak rewel, tak seperti biasanya.....
Sementara, Mas Agus ... entah kemana ia. Gelas berisi teh di atas meja masih tak tersentuh sama sekali. Sepertinya ia tak pulang lagi.
Kutarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan seiring penatnya kepala yang kurasakan.
Sudah tiga hari ini, Mas Agus tak pulang. Membuatku khawatir dan berpikir yang macam-macam. Uang yang ia beri padaku sepekan yang lalu sudah menipis. Aku semakin dibuat pusing karena tak ada lagi orang yang bisa kutoleh disini.
"He, Wati! Jangan ngutang lagi, ya! Boleh ngutang, tapi, lunasin dulu tunggakannya! Jebol anakku kalau dirimu ngutang mulu."
Dari warung seberang jalan, Mak Minah berteriak kencang sembari mengacungkan sapu halamannya itu padaku.
Aku langsung membalikkan badan, pergi dari ruang tamu dengan langkah cepat menuju kembali ke kamar. Tak terasa air mata mulai menitik. Betapa malunya aku sebagai perempuan diteriaki seperti itu disaat banyak para tetangga belanja di warungnya.
Bagaimana aku bisa melunasi hutang, sementara uang yang kukantongi sekarang saja tersisa hanya enam ribu rupiah.
Kuseka air mataku yang kian mengucur, lalu mengalihkan pandangan kembali menatap Haidar yang masih terlelap.
Oh, Tuhan ... aku tak sanggup lagi.
Mas Agus, kamu dimana?
Lagi-lagi air mataku menitik.
Belum usai kesedihanku, pagi-pagi sekali Bu Rina datang. Ia marah, menyuruhku segera meninggalkan rumah. Kami memang menunggak biaya sewa lima bulan, dan aku tahu Mas Agus sudah berusaha untuk itu. Tapi, bagaimana lagi ... penghasilannya sebagai kuli angkut di pasar hanya cukup untuk menutup hutang yang lain dan makan seadanya.
Tak mau terus bersitegang, lantas kutegaskan pada Bu Rina jika Mas Agus sudah tiga hari ini tak pulang. Namun, sudah tak ada lagi rasa iba terpancar dari raut wajahnya.
"Saya sudah lima bulan bersabar, Wati. Suamimu tak juga memberi uang yang dijanjikan meski sekedar menyicil. Saya ini sudah tidak punya suami. Beda dengan kamu. Masih untung kamu ada yang menafkahi. Harapan saya cuma di rumah ini. Kalau kamu tak bisa membantu perekonomian saya, silahkan kamu pergi! Saya sudah cukup menunggu. Saya ini juga dalam keadaan butuh!"
Ucapan Bu Rina lantang terdengar, membuat dadaku sesak seolah tak mampu lagi berkata.
Tiba-tiba, Haidar menangis kencang dari dalam kamarnya. Aku yang kaget, segera berlari melihat apa yang terjadi. Bayi delapan bulanku mendadak memelototkan kedua mata. Tangisannya terhenti, dan tangannya menggenggam erat, lurus kencang.
"Bu ... Bu Rina! Tolong!" Aku berteriak histeris sambil menggendong Haidar. Saking paniknya, aku berjalan mondar-mandir tak jelas di dalam kamar, mencoba menyusuinya. Tetap ia tak berekspresi.
"Kenapa, Wati?" Bu Rina yang baru menghampiri, tampak khawatir memandangku.
"Haidar! Coba lihat, Bu! Ini Haidar kenapa? Ia juga tak mau menyusu," pekikku sambil membawa Haidar mendekat pada Bu Rina.
"A-ayo ke puskesmas saja, Wat!"
Akhirnya, aku dibonceng Bu Rina pergi dengan motornya.
Kepalaku terasa penuh, sementara tanganku terus menutupi Haidar dengan selimut. Matanya masih saja membulat, membuatku semakin menangis karena cemasnya. Kucoba menyusuinya, memaksanya. Tetap saja bibirnya mengatup tak berekspresi.
Ya ampun, Mas Agus ... cepat pulang, Maaaasss!
Tak kuasa aku menahan kesedihan yang teramat sangat kali ini.
Sesampainya di puskesmas, kusuruh para petugas cepat membawa Haidar masuk untuk diperiksa. Sementara Bu Rina ada di loket antrian.
"Tolong banget, Mas! Tolong anak saya!" Aku tak sanggup berkata lagi saking bingungnya.
Selagi Haidar diperiksa, tiba-tiba, aku dikagetkan lagi dengan Bu Rina yang datang sambil menyenggol pundakku.
"Wati, kamu ada KIS gak?" tanyanya.
"Apa itu, Bu?"
"Aduuuhh, kalau ngomongmu begitu, kayaknya kamu nggak punya. Kamu minta tolong ke kelurahan, deh! Aku juga tak ada duit buat bayar nanti."
"La-lalu? Haidar bagaimana, Bu?"
"Sudahlah! Ada petugasnya, kan? Ayo!"
Tanpa banyak pertimbangan lagi, aku pun menurut apa kata Bu Rina. Pergi bersamanya menuju ke kelurahan.
Setelah lama berkutat di dalam kantor kelurahan, akhirnya kudapatkan secarik surat dari sana, sebagai pengantar sementara selagi kartu KIS belum ada. Tak menunggu waktu lagi, segera kami kembali berangkat ke puskesmas.
Bu Rina langsung menuju loket, sementara aku bergegas menuju tempat dimana Haidar diperiksa.
Namun, pemandangan yang ada lebih mengagetkanku.
Haidar terbujur kaku, dengan tali perban melilit di sekitar dagu ke kepalanya.
Kurasakan kepalaku semakin pening, pandanganku seketika kabur.
****
Sudah tujuh hari kepergian anakku, Haidar. Namun ingatan tentangnya masih membekas. Saat wajah lucunya menangis, saat bayi menggemaskan itu tersenyum, semua itu masih terkenang jelas dalam ingatan.
Kuputuskan menutup kenangan tentangnya. Agar tak lagi ada tangis terbendung. Aku sudah capek, pikiranku sudah kalut.
Lalu, aku berdiri, mulai berkemas. Baju-bajunya, karpet tidurnya, nipple mainannya, sepatu dan kaos kakinya, semua kujadikan satu pada sebuah kotak kardus besar. Lalu, kotak kardus itu kusimpan di atas lemari pakaian.
Saat itu juga, tiba-tiba suamiku datang. Ia berteriak dari luar memanggilku.
Segera aku berlari untuk memastikan, apa benar itu dia?
Ya ... memang benar. Ia datang dengan pemandangan yang nampak janggal. Ditangannya mendekap bayi dalam gendongan, lengkap beserta tas besar yang ia kalungkan menyamping ketubuhnya.
"Haidar! Lihat, Ayah bawa adek buat Haidar! Rumah bakalan rame ini." Ia berseru sambil masuk ke dalam rumah.
Aku hanya tercengang menatapnya dari balik tirai ruang tengah.
Laki-laki itu tampak sumringah dengan bayi yang ia gendong. Sekilas ia melirikku, lalu bertanya lagi, "Mana anak kita Haidar, Bu? Aku punya berita baik. Ibu pasti senang!"
Aku masih tak percaya dengan apa yang diucapnya barusan. Hanya bisa terdiam dengan mata lurus ke depan.
Anak siapa itu? Kemana ia pergi selama ini?
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 07-02-2020 19:33
manik.01 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
21.5K
242
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#77
Jangan Panggil Aku Ibu (part 9)
Aku mendengkus ke sekian kali, dengan mata menerawang dan duduk menggapit dua kaki. Masih bersama sosok wanita itu di sebelah, pahlawan kesiangan yang suka ikut campur urusanku dengan embel-embel 'peduli', seperti yang ia bilang pada yang lainnya.
Kami duduk satu kursi, bersebelahan, dengan mengambil tempat di ujung yang berbeda. Sementara Tomi, duduk di sampingku persis, di antara aku dan perempuan itu. Kedua tangan Tomi menggelayut lenganku, seraya menempelkan kepalanya. Seakan menenangkan. Seakan bersiap untuk membela.
"Saya hanya ingin menyelamatkan Tomi, Pak," ucap Sari dua jam yang lalu, saat Pak RT datang ke kediamanku atas laporan seseorang. Orang itu pun berada di sini pula, bersama kami, di tempat ini.
"Hidup Tomi terancam jika masih bersamanya," tegas Sari lagi, dengan mata menangis dan tangan memegang pipi.
Masih kuingat jelas kejadian itu. Sesekali aku tersenyum menampakkan kepuasan. Terserah apa kata dia, yang pasti aku sudah puas memberinya pelajaran dengan tangan kosong.
Ya ... dua jam lalu, aku menggampar sebelah pipinya. Karena ia membalas, akhirnya kembali kugampar ia berulang. Kita berkelahi dan saling berteriak, sampai-sampai orang yang tak sengaja melintas melihat kami. Lantas mengadu ke Pak RT.
"Jangan percaya omongannya, Pak! Dia mengada-ada. Mana mungkin saya ingin membahayakan nyawa Tomi?" Aku mencoba membela diri di hadapan Ketua RT.
"Dia hanya terlalu iri dengan saya, Pak. Entah apa yang dia iri, dari awal sudah nggak enak hati sama saya," lanjutku lagi.
Wanita itu menyeringai. Lantas menyahut, "eeh, aku iri katamu? Iya, kek, kalau situ orang kaya yang bahagia banget gitu, masih pantes. Kalau situ cuantik kinyis-kinyis semlohay gitu, masih boleh dibilang iri. Emang yang saya iri dari kamu apa? Bukannya situ yang dari awal gak enak hati, gara-gara si Faizal minta tolong Tomi ngerjain tugas?"
"Lah, itu! itu yang buat dia iri, Pak. Tomi pinter, sementara anaknya bodoh? Dia iri sekali dengan kelebihan Tomi." Tak kupedulikan ocehan Sari, terus menatap tajam meyakinkan Pak RT.
Pertikaian kami yang saling membela diri masing-masing, membuat Pak RT pusing tak mampu mengakhiri permasalahan. Disuruh damai pun, kami sama-sama ogah.
Lagi-lagi aku mendengkus, menatap awang-awang dengan pikiran tak terurus. Bodoh amat, mau begini-begitu. Sudah pusing semuanya!
Entah berapa lama lagi aku harus berkutat dengan orang-orang ini, aku sudah tak tahan ingin segera pergi. Bahkan terik matahari kurasa seakan menembus atap rumah berventilasi kecil ini ... membuat keringat di sekujur badan terus mengucur, seolah menyiksaku dalam ketidak betahan menanti Pak Lurah pulang.
Setelah lama pergulatan batin memburu, sebuah mobil hitam kulihat memasuki area pelataran.
"Nah, itu Pak Lurah!" Pak RT berseru sembari beranjak dari duduknya.
Tomi semakin mendekap erat lenganku. Takut. Sementara si Sari ... ia tampak bermuka panik dengan bawah bibir menggigit.
Tujuh orang yang ada di dalam ruang tamu, termasuk dua orang yang sebelumnya ada di kediaman Pak Lurah, saling menyambut kedatangan tuannya dengan anggukan kecil, disertai jabatan tangan.
Setelah dua orang yang datang lebih awal mengutarakan kedatangannya, akhirnya, perang membela harga diri dimulai kembali ....
"Siapa yang tak kesal, Pak, saya dibilang sinting. Berkali-kali dia berkata seperti itu di depan banyak orang. Saya tak pernah mau mencampuri kehidupannya, tapi dia yang selalu masuk ke kehidupan saya, mencari masalah sama saya dengan mengajak orang lain untuk membenci saya," tukasku pada Pak Lurah, saat ditanya kenapa aku memulai pukulan padanya.
"Bohong, Pak. Apa manfaatnya untuk saya, bila saya mengajak orang lain membencinya? Kalau saya pernah bilang 'sinting', iya benar. Karena dia suka marah-marah gak jelas, Pak. Tapi, saya juga dibilang 'setan', Pak, sama dia. Bukannya dia yang 'setan' ... karena hampir meninggalkan anak asuhnya di rumah sendirian," Sari ngos-ngosan berkata dengan nada bergetar dan mata berkaca.
Bah! Semakin ingin membuang muka saja.
"Benar, saudara Wati berusaha kabur meninggalkan anak itu?" Pak Lurah berucap enteng sambil menyilangkan kakinya ke atas.
"Benar, Pak. Banyak saksinya. Lebih baik Tomi dipulangkan saja ke Ibunya. Saya khawatir, Pak! Atau lebih baik penjarakan saja dia, biar ada efek jera," sahut Sari lantang.
"Enggak ... enggak!" Tanpa kupinta, Tomi berteriak sambil mencengkeram lenganku erat.
Entah kenapa, mataku jadi mengkristal. Suasana berubah hening, seakan menunggu jawaban yang terlontar dari mulut.
"Iya, Pak. Saya khilaf," akuku, yang kemudian diiringi dengan linangan pertama di pipi.
Lalu, kuceritakan semua kisahku mulai dari awal sampai terjadinya masalah hari ini. Semua yang ada di dalam ruang, terdiam. sementara Tomi, masih menangis sesenggukan di sampingku.
Inilah kali pertama aku memberitahunya tentang kejadian sebenarnya, didengarkan Tomi sendiri, pun di depan banyak orang.
"Sekarang terserah, bagaimana baiknya. Saya pun pusing, dan jujur merasa berdosa. Kalau memang Tomi ingin kembali ke Ibunya, saya ikhlas."
Mendengar penuturanku, Tomi malah meraung-raung, menolak untuk dipulangkan.
"Kalau Tomi tak mau pulang ke Ibunya, saya sebenarnya tak jadi masalah. Tapi, tolong bantu saya meminta tanggung jawab selayaknya dari sang Ibu, karena saya bekerja pun hanya cukup untuk kebutuhan makan," lanjutku lagi.
Lurah berbadan tinggi besar itu, menatapku tamat. Menundukkan pandanganku yang mulai berperasaan tak enak.
Tak lama setelah itu, Pak RT beserta lima orang yang lain, disuruhnya pulang. Termasuk Sari. Kini hanya bersisa aku, Tomi, serta dua orang rekan Pak Lurah di ruang tamu.
Aku semakin was-was. Batinku terus bergejolak, menanti hasil akhir yang diutarakan. Sementara Pak Lurah, terus saja melihatku awas. Lagi-lagi aku menundukkan pandangan.
Hampir sepuluh menitan kami terdiam di tempat, tak lama kemudian Pak Lurah berbisik pada salah satu rekannya yang memakai baju dinas cokelat.
Sementara Tomi masih mendekap erat, membuatku semakin gerah karena panas hawa yang ada.
"Tomi, lepasin! Bibi keringetan dari tadi," ucapku lirih, yang akhirnya dimengerti oleh Tomi.
Setelah Tomi melepaskan tangannya, rekan Pak Lurah pun bersuara, "saudari Wati, boleh saya bicara empat mata? Di sana," katanya sambil menunjuk ke luar pintu.
Tanpa menjawab, kuanggukkan kepala pelan. Sedikit takut juga, kemudian aku berpesan pada Tomi, "kamu tunggu, ya? Kalau diajak bicara Pak Lurah aneh-aneh, belain Bibi, ya?"
Tomi mengangguk.
Kualihkan pandanganku menatap lelaki berpakaian cokelat itu. Tersenyum, lalu beranjak, mengekor di belakangnya.
Sepanjang langkah berjalan, otakku terus berputar. Harus bicara apakah jika nanti ditanya? Kuharap jawabanku tak salah. Tapi ... kenapa juga harus dipisahkan dengan Tomi? Jangan-jangan Tomi di dalam mau dipengaruhi sama si Lurah?
Sekelebat pertanyaan batin mulai penuh dalam bayangan, sampai tak sadar, aku diam saja saat ditegur oleh rekan Pak Lurah.
"Eh, iya, Pak. Ehm ... maaf, Pak. Apa tadi, ya?" tanyaku gelagapan, saat kami terdiam di sebuah gazebo yang terletak di halaman rumah Pak Lurah.
"Silahkan, saudari duduk!" Rekan Pak Lurah tersenyum, mempersilahkanku duduk lebih dulu.
Aku pun menurut, duduk dalam gazebo, yang lalu diikuti olehnya.
"Nama saya Wahyu." Ia mengulurkan tangan padaku.
Gemetar, tanganku pun menjabat tangannya.
Wahyu tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke pelataran.
Duh, kok jadi aneh gini?
"Aku panggil 'Neng' saja, ya ... biar enak," seru Wahyu lagi, sambil tersenyum memandang kembali.
Aku mulai menelan ludah.
"Neng Wati, maaf sebelumnya. Saya nggak bisa lama-lama, ya? Karena ditunggu Pak Lurah juga ...."
"Iya, Pak Wahyu. Langsung saja, ada apa?" Aku mulai gak sabar mendengar kabar dari mulut lelaki muda itu.
"Jadi, maksudnya bagaimana? Tomi dipulangkan saja, atau masih dalam pengasuhan Neng Wati? Saya kok, sedikit prihatin juga."
"Itu terserah Tomi, Pak Wahyu. Dia mau ikut saya, tak apa juga. Cuma, ya ... itu tadi, lho! Bantu saya meminta tanggung jawab Ibunya."
Wahyu manggut-manggut, terdiam sejenak, kemudian berkata, "gini lho, Neng. Kan, kondisi Neng Wati juga seperti ini, kan? Kita juga tak tahu, Ibu Tomi itu sikapnya bagaimana nanti setelah kita menuntut tanggung jawab? Nah, menalangi kejadian seperti ini ... agar hidup Neng tak terlalu merasa dibebani. Bagaimana kalau Neng dibantu sama Pak Lurah?"
Mendengar itu, mataku berbinar penuh asa. Senyumku terkembang. Akhirnya, ada juga yang mau mengerti keadaanku.
"Ya, Pak Wahyu. Saya mau. Saya butuh sekali pekerjaan yang layak. Tak enak hidup seperti ini. Orang tak punya selalu direndahkan. Tak ada yang suka. Saya berterima kasih sekali jika bisa dibantu, Pak Wahyu." Kupaksa menjabat tangan laki-laki di depanku itu saking girangnya.
"Jadi, saya akan dipekerjakan di mana?" tanyaku lagi, menunggu jawaban dengan penuh harapan.
Laki-laki itu malah menundukkan pandangan, seperti berpikir. Sementara aku harap-harap cemas menunggu ucapan yang ia lontarkan.
"Anu, Neng ... kalau Neng dipersunting Pak Lurah bagaimana? Neng bersedia?" Ia berucap lirih sambil memandang lekat ke arahku.
Heeeeehh?
Aku nyengir seketika.
Dipersunting? Maksudnya?
Wah, wah, gila itu Pak Lurah. Tua-tua masih jelalatan juga!
Senyumku hilang, dengan pandangan berubah kesal.
"Maaf, ya, Neng. Ambil sisi positifnya dulu! Pak Lurah hanya niat membantu, ikhlas. Kalau pun Pak Lurah mau, beliau bisa lo ... mau perempuan mana saja, masih muda dan cantik pun, tinggal pilih. Ini Pak Lurah malah mau menikah sama Neng Wati, berarti, kan ... memang niatnya baik."
Kuembuskan napas panjang.
Mulai menepiskan rasa negatif. Lantas kucoba alihkan pandangan menatap rumah Pak Lurah ....
Hmmm ... benar juga apa yang dibilang si Wahyu. Lurah, kan, banyak duit. Mau nikah sama siapa saja, asal dia suka, jelas tinggal pilih. Lagipula ... rumah segedhe ini cuma dihuni dia, doang?
Wah, kesempatan bagus buatku merubah nasib!
"Gimana, Neng Wati? Saya ditunggu, nih!"
Ucapan Wahyu sontak membuyarkan lamunanku.
"Gimana, Neng? Mau saja, lah. Jangan sampai Pak Lurah berubah pikiran! Dia tak suka dibuat nunggu," lanjutnya lagi. Cemas.
Duh, masa iya langsung jawab? Inginku, sih ... jual mahal dulu.
"Wahyu!"
Teriakan dari teras rumah serentak mengagetkanku dan Wahyu yang sedang duduk berhadapan. Kami berdua langsung beranjak, kala melihat si Lurah berdiri tegap sambil berkacak pinggang. Menatap ke arah kami.
"Neng, terima ya, Neng? Pak Lurah gampang berubah pikiran," ucapnya lirih padaku. Sesaat sebelum melangkah pergi.
Sepintas kulihat, wajah itu berkeringat panik. Mungkin takut dengan sosok yang berdiri tak jauh di sana.
Sementara aku ... masih terdiam di tempat. Memandang Wahyu yang berjalan tergesa menuju Pak Lurah berada.
Duh, jadi bingung dengan keadaan. Semua terkesan sangat terburu, dan tampak aneh sekali bagiku.
Lantas aku harus menjawab apa?
(bersambung)
Kami duduk satu kursi, bersebelahan, dengan mengambil tempat di ujung yang berbeda. Sementara Tomi, duduk di sampingku persis, di antara aku dan perempuan itu. Kedua tangan Tomi menggelayut lenganku, seraya menempelkan kepalanya. Seakan menenangkan. Seakan bersiap untuk membela.
"Saya hanya ingin menyelamatkan Tomi, Pak," ucap Sari dua jam yang lalu, saat Pak RT datang ke kediamanku atas laporan seseorang. Orang itu pun berada di sini pula, bersama kami, di tempat ini.
"Hidup Tomi terancam jika masih bersamanya," tegas Sari lagi, dengan mata menangis dan tangan memegang pipi.
Masih kuingat jelas kejadian itu. Sesekali aku tersenyum menampakkan kepuasan. Terserah apa kata dia, yang pasti aku sudah puas memberinya pelajaran dengan tangan kosong.
Ya ... dua jam lalu, aku menggampar sebelah pipinya. Karena ia membalas, akhirnya kembali kugampar ia berulang. Kita berkelahi dan saling berteriak, sampai-sampai orang yang tak sengaja melintas melihat kami. Lantas mengadu ke Pak RT.
"Jangan percaya omongannya, Pak! Dia mengada-ada. Mana mungkin saya ingin membahayakan nyawa Tomi?" Aku mencoba membela diri di hadapan Ketua RT.
"Dia hanya terlalu iri dengan saya, Pak. Entah apa yang dia iri, dari awal sudah nggak enak hati sama saya," lanjutku lagi.
Wanita itu menyeringai. Lantas menyahut, "eeh, aku iri katamu? Iya, kek, kalau situ orang kaya yang bahagia banget gitu, masih pantes. Kalau situ cuantik kinyis-kinyis semlohay gitu, masih boleh dibilang iri. Emang yang saya iri dari kamu apa? Bukannya situ yang dari awal gak enak hati, gara-gara si Faizal minta tolong Tomi ngerjain tugas?"
"Lah, itu! itu yang buat dia iri, Pak. Tomi pinter, sementara anaknya bodoh? Dia iri sekali dengan kelebihan Tomi." Tak kupedulikan ocehan Sari, terus menatap tajam meyakinkan Pak RT.
Pertikaian kami yang saling membela diri masing-masing, membuat Pak RT pusing tak mampu mengakhiri permasalahan. Disuruh damai pun, kami sama-sama ogah.
Lagi-lagi aku mendengkus, menatap awang-awang dengan pikiran tak terurus. Bodoh amat, mau begini-begitu. Sudah pusing semuanya!
Entah berapa lama lagi aku harus berkutat dengan orang-orang ini, aku sudah tak tahan ingin segera pergi. Bahkan terik matahari kurasa seakan menembus atap rumah berventilasi kecil ini ... membuat keringat di sekujur badan terus mengucur, seolah menyiksaku dalam ketidak betahan menanti Pak Lurah pulang.
Setelah lama pergulatan batin memburu, sebuah mobil hitam kulihat memasuki area pelataran.
"Nah, itu Pak Lurah!" Pak RT berseru sembari beranjak dari duduknya.
Tomi semakin mendekap erat lenganku. Takut. Sementara si Sari ... ia tampak bermuka panik dengan bawah bibir menggigit.
Tujuh orang yang ada di dalam ruang tamu, termasuk dua orang yang sebelumnya ada di kediaman Pak Lurah, saling menyambut kedatangan tuannya dengan anggukan kecil, disertai jabatan tangan.
Setelah dua orang yang datang lebih awal mengutarakan kedatangannya, akhirnya, perang membela harga diri dimulai kembali ....
"Siapa yang tak kesal, Pak, saya dibilang sinting. Berkali-kali dia berkata seperti itu di depan banyak orang. Saya tak pernah mau mencampuri kehidupannya, tapi dia yang selalu masuk ke kehidupan saya, mencari masalah sama saya dengan mengajak orang lain untuk membenci saya," tukasku pada Pak Lurah, saat ditanya kenapa aku memulai pukulan padanya.
"Bohong, Pak. Apa manfaatnya untuk saya, bila saya mengajak orang lain membencinya? Kalau saya pernah bilang 'sinting', iya benar. Karena dia suka marah-marah gak jelas, Pak. Tapi, saya juga dibilang 'setan', Pak, sama dia. Bukannya dia yang 'setan' ... karena hampir meninggalkan anak asuhnya di rumah sendirian," Sari ngos-ngosan berkata dengan nada bergetar dan mata berkaca.
Bah! Semakin ingin membuang muka saja.
"Benar, saudara Wati berusaha kabur meninggalkan anak itu?" Pak Lurah berucap enteng sambil menyilangkan kakinya ke atas.
"Benar, Pak. Banyak saksinya. Lebih baik Tomi dipulangkan saja ke Ibunya. Saya khawatir, Pak! Atau lebih baik penjarakan saja dia, biar ada efek jera," sahut Sari lantang.
"Enggak ... enggak!" Tanpa kupinta, Tomi berteriak sambil mencengkeram lenganku erat.
Entah kenapa, mataku jadi mengkristal. Suasana berubah hening, seakan menunggu jawaban yang terlontar dari mulut.
"Iya, Pak. Saya khilaf," akuku, yang kemudian diiringi dengan linangan pertama di pipi.
Lalu, kuceritakan semua kisahku mulai dari awal sampai terjadinya masalah hari ini. Semua yang ada di dalam ruang, terdiam. sementara Tomi, masih menangis sesenggukan di sampingku.
Inilah kali pertama aku memberitahunya tentang kejadian sebenarnya, didengarkan Tomi sendiri, pun di depan banyak orang.
"Sekarang terserah, bagaimana baiknya. Saya pun pusing, dan jujur merasa berdosa. Kalau memang Tomi ingin kembali ke Ibunya, saya ikhlas."
Mendengar penuturanku, Tomi malah meraung-raung, menolak untuk dipulangkan.
"Kalau Tomi tak mau pulang ke Ibunya, saya sebenarnya tak jadi masalah. Tapi, tolong bantu saya meminta tanggung jawab selayaknya dari sang Ibu, karena saya bekerja pun hanya cukup untuk kebutuhan makan," lanjutku lagi.
Lurah berbadan tinggi besar itu, menatapku tamat. Menundukkan pandanganku yang mulai berperasaan tak enak.
Tak lama setelah itu, Pak RT beserta lima orang yang lain, disuruhnya pulang. Termasuk Sari. Kini hanya bersisa aku, Tomi, serta dua orang rekan Pak Lurah di ruang tamu.
Aku semakin was-was. Batinku terus bergejolak, menanti hasil akhir yang diutarakan. Sementara Pak Lurah, terus saja melihatku awas. Lagi-lagi aku menundukkan pandangan.
Hampir sepuluh menitan kami terdiam di tempat, tak lama kemudian Pak Lurah berbisik pada salah satu rekannya yang memakai baju dinas cokelat.
Sementara Tomi masih mendekap erat, membuatku semakin gerah karena panas hawa yang ada.
"Tomi, lepasin! Bibi keringetan dari tadi," ucapku lirih, yang akhirnya dimengerti oleh Tomi.
Setelah Tomi melepaskan tangannya, rekan Pak Lurah pun bersuara, "saudari Wati, boleh saya bicara empat mata? Di sana," katanya sambil menunjuk ke luar pintu.
Tanpa menjawab, kuanggukkan kepala pelan. Sedikit takut juga, kemudian aku berpesan pada Tomi, "kamu tunggu, ya? Kalau diajak bicara Pak Lurah aneh-aneh, belain Bibi, ya?"
Tomi mengangguk.
Kualihkan pandanganku menatap lelaki berpakaian cokelat itu. Tersenyum, lalu beranjak, mengekor di belakangnya.
Sepanjang langkah berjalan, otakku terus berputar. Harus bicara apakah jika nanti ditanya? Kuharap jawabanku tak salah. Tapi ... kenapa juga harus dipisahkan dengan Tomi? Jangan-jangan Tomi di dalam mau dipengaruhi sama si Lurah?
Sekelebat pertanyaan batin mulai penuh dalam bayangan, sampai tak sadar, aku diam saja saat ditegur oleh rekan Pak Lurah.
"Eh, iya, Pak. Ehm ... maaf, Pak. Apa tadi, ya?" tanyaku gelagapan, saat kami terdiam di sebuah gazebo yang terletak di halaman rumah Pak Lurah.
"Silahkan, saudari duduk!" Rekan Pak Lurah tersenyum, mempersilahkanku duduk lebih dulu.
Aku pun menurut, duduk dalam gazebo, yang lalu diikuti olehnya.
"Nama saya Wahyu." Ia mengulurkan tangan padaku.
Gemetar, tanganku pun menjabat tangannya.
Wahyu tersenyum kecil, lalu mengalihkan pandangannya ke pelataran.
Duh, kok jadi aneh gini?
"Aku panggil 'Neng' saja, ya ... biar enak," seru Wahyu lagi, sambil tersenyum memandang kembali.
Aku mulai menelan ludah.
"Neng Wati, maaf sebelumnya. Saya nggak bisa lama-lama, ya? Karena ditunggu Pak Lurah juga ...."
"Iya, Pak Wahyu. Langsung saja, ada apa?" Aku mulai gak sabar mendengar kabar dari mulut lelaki muda itu.
"Jadi, maksudnya bagaimana? Tomi dipulangkan saja, atau masih dalam pengasuhan Neng Wati? Saya kok, sedikit prihatin juga."
"Itu terserah Tomi, Pak Wahyu. Dia mau ikut saya, tak apa juga. Cuma, ya ... itu tadi, lho! Bantu saya meminta tanggung jawab Ibunya."
Wahyu manggut-manggut, terdiam sejenak, kemudian berkata, "gini lho, Neng. Kan, kondisi Neng Wati juga seperti ini, kan? Kita juga tak tahu, Ibu Tomi itu sikapnya bagaimana nanti setelah kita menuntut tanggung jawab? Nah, menalangi kejadian seperti ini ... agar hidup Neng tak terlalu merasa dibebani. Bagaimana kalau Neng dibantu sama Pak Lurah?"
Mendengar itu, mataku berbinar penuh asa. Senyumku terkembang. Akhirnya, ada juga yang mau mengerti keadaanku.
"Ya, Pak Wahyu. Saya mau. Saya butuh sekali pekerjaan yang layak. Tak enak hidup seperti ini. Orang tak punya selalu direndahkan. Tak ada yang suka. Saya berterima kasih sekali jika bisa dibantu, Pak Wahyu." Kupaksa menjabat tangan laki-laki di depanku itu saking girangnya.
"Jadi, saya akan dipekerjakan di mana?" tanyaku lagi, menunggu jawaban dengan penuh harapan.
Laki-laki itu malah menundukkan pandangan, seperti berpikir. Sementara aku harap-harap cemas menunggu ucapan yang ia lontarkan.
"Anu, Neng ... kalau Neng dipersunting Pak Lurah bagaimana? Neng bersedia?" Ia berucap lirih sambil memandang lekat ke arahku.
Heeeeehh?
Aku nyengir seketika.
Dipersunting? Maksudnya?
Wah, wah, gila itu Pak Lurah. Tua-tua masih jelalatan juga!
Senyumku hilang, dengan pandangan berubah kesal.
"Maaf, ya, Neng. Ambil sisi positifnya dulu! Pak Lurah hanya niat membantu, ikhlas. Kalau pun Pak Lurah mau, beliau bisa lo ... mau perempuan mana saja, masih muda dan cantik pun, tinggal pilih. Ini Pak Lurah malah mau menikah sama Neng Wati, berarti, kan ... memang niatnya baik."
Kuembuskan napas panjang.
Mulai menepiskan rasa negatif. Lantas kucoba alihkan pandangan menatap rumah Pak Lurah ....
Hmmm ... benar juga apa yang dibilang si Wahyu. Lurah, kan, banyak duit. Mau nikah sama siapa saja, asal dia suka, jelas tinggal pilih. Lagipula ... rumah segedhe ini cuma dihuni dia, doang?
Wah, kesempatan bagus buatku merubah nasib!
"Gimana, Neng Wati? Saya ditunggu, nih!"
Ucapan Wahyu sontak membuyarkan lamunanku.
"Gimana, Neng? Mau saja, lah. Jangan sampai Pak Lurah berubah pikiran! Dia tak suka dibuat nunggu," lanjutnya lagi. Cemas.
Duh, masa iya langsung jawab? Inginku, sih ... jual mahal dulu.
"Wahyu!"
Teriakan dari teras rumah serentak mengagetkanku dan Wahyu yang sedang duduk berhadapan. Kami berdua langsung beranjak, kala melihat si Lurah berdiri tegap sambil berkacak pinggang. Menatap ke arah kami.
"Neng, terima ya, Neng? Pak Lurah gampang berubah pikiran," ucapnya lirih padaku. Sesaat sebelum melangkah pergi.
Sepintas kulihat, wajah itu berkeringat panik. Mungkin takut dengan sosok yang berdiri tak jauh di sana.
Sementara aku ... masih terdiam di tempat. Memandang Wahyu yang berjalan tergesa menuju Pak Lurah berada.
Duh, jadi bingung dengan keadaan. Semua terkesan sangat terburu, dan tampak aneh sekali bagiku.
Lantas aku harus menjawab apa?
(bersambung)
i4munited dan 6 lainnya memberi reputasi
7