- Beranda
- Stories from the Heart
Mengintip Sunrise di Lereng Merapi (cerbung)
...
TS
betiatina
Mengintip Sunrise di Lereng Merapi (cerbung)
Cerita bersambung motivasi

sumber
Lereng Merapi berselimut kabut, lelehan lahar membentuk garis merah yang menghiasi puncaknya terlihat indah. Udara dingin ciri khas lereng gunung sangat terasa. Namun seperti biasa, para penduduk tetap semangat memulai hari. Menaklukkan diri sendiri agar berdamai dengan alam.
Suara kokok ayam membangunkan Pinah dari tidur lelapnya. Mata sembab dan tubuh menggigil telah menjadi kebiasaan dipagi yang dingin. Desiran angin terasa menusuk hingga tulang, tak sedikitpun menyurutkan langkahnya untuk segera beranjak dari dipanbambu reot yang telah setia menopang dirinya semalaman.
Sayup-sayup terdengar Adzan subuh berkumandang dari mushola ujung kampung, suara cempreng lik Sholeh terdengar memanggil semua warga untuk segera menunaikan kewajiban sholat, walau kenyataannya hanya satu shaf yang tetap setia pada barisannya. Yang lain, masih asik meringkuk mesra bersama kain tebal pembungkus raga.
Pinah menggoyangkan tubuh pria berkulit legam yang telah menemani hidupnya selama tigabelas tahun.
"Pakne, ayo bangun sudah Adzan tu, ajak Sando dan Azis ke mushola," ucap Pinah seraya membuka paksa selimut yang dipakai Kasto, suaminya.
"Iya bune, tunggu bentar mau gerak dulu." Kasto beringsut dari tempat tidur.
Berjalan ke kamar Sando dan Azis, segera membangunkan kedua anak lelakinya. Seperti biasa, dua anak bujang itu segera beranjak menuju sumur belakang rumah, menimba air dan berwudhu. Diambilnya sarung kumal miliknya satu-satunya, warnanya telah pudar, pun menggulung dibagian bawah.
Pinah menghela nafas, menyaksikan sarung kedua putranya yang sudah tak layak lagi. Namun untuk membeli yang baru ia belum punya cukup uang. Hanya doa dan harapan yang terus dipanjatkan, agar kelak putranya itu hidup mapan. Tidak lagi terkukung dalam pusara kemiskinan seperti sekarang ini.
Derap langkah mantap membawa ketiga pria beda usia itu menuju mushola. Kasto hanya orang kampung yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Namun baginya akhlak dan ibadah anak-anak harus tetap diutamakan. Dia sadar betul, jika tidak akan mampu membekali anak-anaknya dengan ijazah dari sekolah yang tinggi. Maka, hanya dengan bekal iman dan taqwa ia mengharapkan kebaikan bagi keluarga.
Dua rakaat sholat subuh telah ditunaikan. Mereka pun kembali ke rumah yang lebih layak disebut gubug. Dinding bambu yang sudah tak utuh lagi, berhias lubang-lubang kecil sebagai jalan udara yang menambah hawa dingin semakin terasa.
*****
Pinah melipat mukena, lalu bergegas menuju dapur. Ia jongkok didepan tungku untuk menyalakan api. Udara dingin meninggalkan embun di permukaan kayu bakar, ini cukup menyulitkan Pinah dalam membuat api. Satu, dua, tiga kali gagal. Akhirnya menyala juga setelah nafasnya habis karena meniup api, disumpalnya mulut tungku dengan tas plastik bekas belanja dan api pun segera membesar.
"Le, buruan mandi gantian ya," seru Pinah pada kedua putranya.
"Njih buk." Sando dan Azis menjawab serentak.
Kedua bujang segera mandi dan bersiap untuk sekolah.
Kasto mengedarkan pandangan ke meja ruang makan yang jadi satu dengan dapur. Mejanya masih kosong, belum nampak rebusan ketela dan air teh.
"Tehnya belum ada to bune?" Kasto mengangkat cerek diatas meja yang belum terisi air panas. Menghela nafas, hari ini Kasto akan berangkat ke sungai Senowo lebih awal, ada pesanan pasir lebih banyak. Mungkin ini rejeki anak-anak, setelah mereka merengek minta sepatu baru untuk mengganti sepatu lama yang sudah koyak, juragan pasir menyuruhnya berangkat pagi, pesanan pasir sedang meningkat.
"Belum ada pakne, kayunya basah kena embun jadi api tak kunjung menyala," Pinah mencoba menjelaskan.
"Ya wis, bapak berangkat dulu. Nanti kalau air dan sarapan sudah matang, tolong antar ke sungai ya bune." Kasto beranjak mengambil cangkul, sekop dan baju ganti.
Jalan setapak yang dilewati membawa Kasto ke ujung desa sebelah, dipinggir sungai Senowo ini ia dan warga kampung lainnya biasa mengais rejeki. Mengumpulkan pasir dari gugusan lahar Merapi untuk dibeli oleh para juragan. Jika pasir sudah terkumpul satu truk, biasanya akan dibeli para juragan yang nantinya akan dijual pada para pemilik toko material bangunan atau pemilik depo pasir. Pekerjaan berat ini dijalani Kasto sejak lulus Sekolah Dasar. Ketidakmampuan orang tua dalam menyediakan biaya sekolah, menjadikan Kasto harus puas mengenyam pendidikan SD saja. Dan kini, ia tak punya pilihan lain. Menjadi buruh penambang pasir, mereka menyebutnya tasik (ngentas gesik) yang artinya mengambil pasir.
Bersambung


sumber
Siapalah di dunia ini yang tahu bagaimana nasib seseorang akan berubah? Tentu tak ada satu orang pun yang bisa menerka. Namun dibalik rahasia itu, ada usaha sekeras baja yang ternyata mampu membawa seorang anak manusia menuju jalan hidup berbeda, yang lebih baik tentunya. Adalah Sando, bocah dari keluarga miskin namun semangatnya luar biasa mampu membawa keluarganya menjauh dari kondisi buruk yang melekat erat selama bertahun-tahun. Bukankah impian itu milik semua orang?. Beruntunglah dia tidak berjuang sendirian, ada sahabatnya yang selalu memberi dukungan dan semangat. Aima, gadis manis pemilik cahaya yang menerangi hidup Sando.
Lereng Merapi berselimut kabut, lelehan lahar membentuk garis merah yang menghiasi puncaknya terlihat indah. Udara dingin ciri khas lereng gunung sangat terasa. Namun seperti biasa, para penduduk tetap semangat memulai hari. Menaklukkan diri sendiri agar berdamai dengan alam.
Suara kokok ayam membangunkan Pinah dari tidur lelapnya. Mata sembab dan tubuh menggigil telah menjadi kebiasaan dipagi yang dingin. Desiran angin terasa menusuk hingga tulang, tak sedikitpun menyurutkan langkahnya untuk segera beranjak dari dipanbambu reot yang telah setia menopang dirinya semalaman.
Sayup-sayup terdengar Adzan subuh berkumandang dari mushola ujung kampung, suara cempreng lik Sholeh terdengar memanggil semua warga untuk segera menunaikan kewajiban sholat, walau kenyataannya hanya satu shaf yang tetap setia pada barisannya. Yang lain, masih asik meringkuk mesra bersama kain tebal pembungkus raga.
Pinah menggoyangkan tubuh pria berkulit legam yang telah menemani hidupnya selama tigabelas tahun.
"Pakne, ayo bangun sudah Adzan tu, ajak Sando dan Azis ke mushola," ucap Pinah seraya membuka paksa selimut yang dipakai Kasto, suaminya.
"Iya bune, tunggu bentar mau gerak dulu." Kasto beringsut dari tempat tidur.
Berjalan ke kamar Sando dan Azis, segera membangunkan kedua anak lelakinya. Seperti biasa, dua anak bujang itu segera beranjak menuju sumur belakang rumah, menimba air dan berwudhu. Diambilnya sarung kumal miliknya satu-satunya, warnanya telah pudar, pun menggulung dibagian bawah.
Pinah menghela nafas, menyaksikan sarung kedua putranya yang sudah tak layak lagi. Namun untuk membeli yang baru ia belum punya cukup uang. Hanya doa dan harapan yang terus dipanjatkan, agar kelak putranya itu hidup mapan. Tidak lagi terkukung dalam pusara kemiskinan seperti sekarang ini.
Derap langkah mantap membawa ketiga pria beda usia itu menuju mushola. Kasto hanya orang kampung yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Namun baginya akhlak dan ibadah anak-anak harus tetap diutamakan. Dia sadar betul, jika tidak akan mampu membekali anak-anaknya dengan ijazah dari sekolah yang tinggi. Maka, hanya dengan bekal iman dan taqwa ia mengharapkan kebaikan bagi keluarga.
Dua rakaat sholat subuh telah ditunaikan. Mereka pun kembali ke rumah yang lebih layak disebut gubug. Dinding bambu yang sudah tak utuh lagi, berhias lubang-lubang kecil sebagai jalan udara yang menambah hawa dingin semakin terasa.
*****
Pinah melipat mukena, lalu bergegas menuju dapur. Ia jongkok didepan tungku untuk menyalakan api. Udara dingin meninggalkan embun di permukaan kayu bakar, ini cukup menyulitkan Pinah dalam membuat api. Satu, dua, tiga kali gagal. Akhirnya menyala juga setelah nafasnya habis karena meniup api, disumpalnya mulut tungku dengan tas plastik bekas belanja dan api pun segera membesar.
"Le, buruan mandi gantian ya," seru Pinah pada kedua putranya.
"Njih buk." Sando dan Azis menjawab serentak.
Kedua bujang segera mandi dan bersiap untuk sekolah.
Kasto mengedarkan pandangan ke meja ruang makan yang jadi satu dengan dapur. Mejanya masih kosong, belum nampak rebusan ketela dan air teh.
"Tehnya belum ada to bune?" Kasto mengangkat cerek diatas meja yang belum terisi air panas. Menghela nafas, hari ini Kasto akan berangkat ke sungai Senowo lebih awal, ada pesanan pasir lebih banyak. Mungkin ini rejeki anak-anak, setelah mereka merengek minta sepatu baru untuk mengganti sepatu lama yang sudah koyak, juragan pasir menyuruhnya berangkat pagi, pesanan pasir sedang meningkat.
"Belum ada pakne, kayunya basah kena embun jadi api tak kunjung menyala," Pinah mencoba menjelaskan.
"Ya wis, bapak berangkat dulu. Nanti kalau air dan sarapan sudah matang, tolong antar ke sungai ya bune." Kasto beranjak mengambil cangkul, sekop dan baju ganti.
Jalan setapak yang dilewati membawa Kasto ke ujung desa sebelah, dipinggir sungai Senowo ini ia dan warga kampung lainnya biasa mengais rejeki. Mengumpulkan pasir dari gugusan lahar Merapi untuk dibeli oleh para juragan. Jika pasir sudah terkumpul satu truk, biasanya akan dibeli para juragan yang nantinya akan dijual pada para pemilik toko material bangunan atau pemilik depo pasir. Pekerjaan berat ini dijalani Kasto sejak lulus Sekolah Dasar. Ketidakmampuan orang tua dalam menyediakan biaya sekolah, menjadikan Kasto harus puas mengenyam pendidikan SD saja. Dan kini, ia tak punya pilihan lain. Menjadi buruh penambang pasir, mereka menyebutnya tasik (ngentas gesik) yang artinya mengambil pasir.
Bersambung

Diubah oleh betiatina 28-06-2020 21:29
suciasdhan dan 27 lainnya memberi reputasi
28
3.6K
95
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
betiatina
#3
Mengintip Sunrise di Lereng Merapi (cerbung) part 3
Cerita Bersambung Terbaru

Dua jam pelajaran sudah usai. Sando mengikutinya dengan seksama, semua materi pelajaran Bahasa Indonesia yang disampaikan Bu Hayu diperhatikan oleh Sando. Satu sub-bab tentang cara mengembangkan sebuah paragraf dalam sebuah karangan telah tuntas. Pun tugas-tugasnya telah dilahap habis seperti sarapannya tadi pagi. Tugas membuat satu buah karangan dibuat Sando dengan cepat, karena mata pelajaran ini memang favoritnya.
Bu Hayu yang lemah lembut dan selalu menebar bau harum setiap melewati murid-murid membuatnya menjadi guru idola anak-anak, tak terkecuali Sando. Kepandaiannya menyusun kalimat demi kalimat dalam menyampaikan mata pelajaran, menjadikan murid-murid betah diajar beliau. Dua jam pelajaran terasa kurang. Berbeda sekali dengan beberapa guru lain yang lebih berhasil membuat siswa mengantuk, karena cara mengajar yang garing. Tak heran kenapa Bu Hayu sangat pandai mengajar, karena dia salah satu guru hororer yang sudah berstatus Sarjana Pendidikan dengan nilai kelulusan yang membanggakan.
Dari sanalah, cita-cita Sando berawal. Dia ingin menjadi guru seperti Bu Hayu. Guru yang pintar, disegani dan menginspirasi orang lain. Walau dia sadar, kedua orang tuanya tidak mampu mengantarkannya untuk menuntut ilmu hingga jenjang universitas. Namun tekad sekuat baja telah tertanam kuat dihatinya. Dia akan terus berusaha tanpa mengenal lelah. Kemiskinan tak seharusnya menumpulkan cita-cita.
Bel tanda istirahat berdering dua kali, diikuti siswa-siswi yang mulai beranjak keluar kelas. Ada yang pergi ke kantin, ke perpustakaan, bermain sepakbola di halaman sekolah dan ada yang tetap didalam kelas untuk menghabiskan bekal yang dibawa dari rumah. Sando sendiri berjalan menuju Masjid sekolah untuk menunaikan sholat Dhuha. Berdoa memohon ilmu yang bermanfaat serta kecukupan rejeki untuk keluarga selalu dipanjatkan. Seperti yang diajarkan oleh Pinah, bahwa kebodohan dan kemiskinan bisa dilebur dengan doa dan usaha. Sekuat apapun usaha, jika tidak diiringi dengan doa, apalah daya manusia.
_____
Baru saja hendak meninggalkan Masjid, nampak Salim berlari mencarinya. Nafasnya memburu, terlihat sekali dia lelah. Bahkan keringatnya bercucuran memenuhi jidat dan pipi.
"Ndo ... Sando ..., kamu dicari Pak Ahmad," ujar Salim sambil berusaha mengatur nafas, tangannya memegang lutut. Badannya sedikit membungkuk menopang dirinya sendiri.
"Ada apa Lim? Kok lari-lari?" tanya Sando pada sahabat sekampung yang juga satu kelas itu.
"Pak Ahmad mencarimu Ndo, katanya kamu disuruh ke Kantor Guru sekarang." Salim berusaha menjelaskan maksud dirinya yang berlari demi mencarinya.
"Kenapa?" Sando terlihat kaget, tak biasanya Pak Ahmad wali kelasnya itu mencari pada jam istirahat. Apalagi menyuruhnya datang ke kantor. Ah, Sando mulai berfikir macam-macam. Dia takut dimarahi oleh salah satu guru yang ia segani itu. Guru yang sebentar lagi pensiun tapi semangat mengajarnya yang masih membara.
"Katanya kamu disuruh ikut seleksi lomba," ucap Salim.
"Oh, syukurlah. Kirain kenapa Lim, aku sudah takut tadi." Sando tersenyum pada sahabatnya yang sering menemani jalan kaki saat pulang sekolah itu. Teman satu kampung dengan nasib perekonomian yang tak jauh berbeda, sama-sama anak dari kuli penambang pasir.
"Tak usah takut lah, kan kamu ga buat masalah di sekolah." ucapnya menenangkan. Benar juga apa yang dikatakan Salim, ia tidak perlu takut, toh dia tidak melakukan kesalahan apa-apa.
"Hehehe ..., iya ya Lim. Makasih ya udah lari-lari manggil aku." Sando tersenyum untuk kesekian kali.
"Ya udah, sana cepet ke kantor," suruh Salim.
"Iya, aku duluan ya," Sando beranjak dari teras Masjid menuju Kantor Guru. Dalam hati ada banyak pertanyaan, ada lomba apa kira-kira kok dirinya disuruh ikut.
_____
Di dalam kantor guru nampak beberapa anak sudah berkumpul, empat anak laki-laki dan enam anak perempuan, salah satunya adalah Aima. Aima si gadis manis tetangga Sando yang telah mencuri perhatiannya, karena anaknya cantik, santun dan pintar. Bahkan Sando pernah membayangkan jika sudah dewasa nanti, ingin mempunyai istri seperti dia. Namun sekarang masih sangat belia untuk berbicara cinta, mungkin hanya kagum.
"Baiklah anak-anak semua, hari ini bapak mengumpulkan kalian semua disini karena ada suatu hal. Sekolah kita mendapat undangan mengikuti lomba mata pelajaran tingkat kecamatan." Pak Ahmad mulai membuka pembicaraan perihal maksudnya mengumpulkan anak-anak pada jam istirahat.
"Bagi yang nanti bisa ikut dan menang, bisa melanjutkan lomba lagi di tingkat yang lebih tinggi. Nah bapak lihat, kalian semua ini sepertinya mampu mewakili sekolah untuk mengikutinya. Karena peserta lomba tiap sekolah hanya berjumlah tiga orang, maka nanti kalian semua bisa mengikuti seleksi terlebih dahulu, begitu ya," ucap Pak Ahmad melanjutkan penjelasannya.
"Baik Pak," ucap anak-anak serempak.
"Besok, kalian bisa mengikuti seleksi lomba pada jam sembilan pagi di perpustakaan. Seleksi dilakukan selama tiga hari ya, dengan jadwal mata pelajaran berbeda. Jadwal nanti Bapak bagi, dan kalian silahkan mempersiapkan diri. Baik secara fisik maupun materi. Paham ya?" kata Pak Ahmad melanjutkan penjelasannya.
Anak-anak nampak senang tapi juga terkejut. Karena mereka akan mengikuti seleksi lomba mewakili sekolah. Tentu ini adalah kesempatan baik untuk meningkatkan kemampuan diri yang hanya bisa diikuti beberapa siswa saja. Siswa yang dianggap mampu dan berprestasi.
Begitu juga Sando, dia tak menyangka jika akan diberi kesempatan ikut seleksi ini. Dalam hati ia terus merapalkan doa semoga lolos seleksi, juga bersyukur karena pihak sekolah memilih dirinya.
"Bagaimana nak? Ada pertanyaan,? ujar Pak Ahmad.
Beberapa anak bertanya tentang bagaimana proses seleksi, proses lomba hingga hadiah apa saja yang bisa mereka peroleh. Nampak wajah-wajah sumringah menghiasi muka polos anak-anak kampung ini.
Semoga impian mereka menjadi siswa berprestasi terwujud. Agar bisa membawa nama baik sekolah dan juga orang tua.
Bersambung
sumber gambar

Dua jam pelajaran sudah usai. Sando mengikutinya dengan seksama, semua materi pelajaran Bahasa Indonesia yang disampaikan Bu Hayu diperhatikan oleh Sando. Satu sub-bab tentang cara mengembangkan sebuah paragraf dalam sebuah karangan telah tuntas. Pun tugas-tugasnya telah dilahap habis seperti sarapannya tadi pagi. Tugas membuat satu buah karangan dibuat Sando dengan cepat, karena mata pelajaran ini memang favoritnya.
Bu Hayu yang lemah lembut dan selalu menebar bau harum setiap melewati murid-murid membuatnya menjadi guru idola anak-anak, tak terkecuali Sando. Kepandaiannya menyusun kalimat demi kalimat dalam menyampaikan mata pelajaran, menjadikan murid-murid betah diajar beliau. Dua jam pelajaran terasa kurang. Berbeda sekali dengan beberapa guru lain yang lebih berhasil membuat siswa mengantuk, karena cara mengajar yang garing. Tak heran kenapa Bu Hayu sangat pandai mengajar, karena dia salah satu guru hororer yang sudah berstatus Sarjana Pendidikan dengan nilai kelulusan yang membanggakan.
Dari sanalah, cita-cita Sando berawal. Dia ingin menjadi guru seperti Bu Hayu. Guru yang pintar, disegani dan menginspirasi orang lain. Walau dia sadar, kedua orang tuanya tidak mampu mengantarkannya untuk menuntut ilmu hingga jenjang universitas. Namun tekad sekuat baja telah tertanam kuat dihatinya. Dia akan terus berusaha tanpa mengenal lelah. Kemiskinan tak seharusnya menumpulkan cita-cita.
Bel tanda istirahat berdering dua kali, diikuti siswa-siswi yang mulai beranjak keluar kelas. Ada yang pergi ke kantin, ke perpustakaan, bermain sepakbola di halaman sekolah dan ada yang tetap didalam kelas untuk menghabiskan bekal yang dibawa dari rumah. Sando sendiri berjalan menuju Masjid sekolah untuk menunaikan sholat Dhuha. Berdoa memohon ilmu yang bermanfaat serta kecukupan rejeki untuk keluarga selalu dipanjatkan. Seperti yang diajarkan oleh Pinah, bahwa kebodohan dan kemiskinan bisa dilebur dengan doa dan usaha. Sekuat apapun usaha, jika tidak diiringi dengan doa, apalah daya manusia.
_____
Baru saja hendak meninggalkan Masjid, nampak Salim berlari mencarinya. Nafasnya memburu, terlihat sekali dia lelah. Bahkan keringatnya bercucuran memenuhi jidat dan pipi.
"Ndo ... Sando ..., kamu dicari Pak Ahmad," ujar Salim sambil berusaha mengatur nafas, tangannya memegang lutut. Badannya sedikit membungkuk menopang dirinya sendiri.
"Ada apa Lim? Kok lari-lari?" tanya Sando pada sahabat sekampung yang juga satu kelas itu.
"Pak Ahmad mencarimu Ndo, katanya kamu disuruh ke Kantor Guru sekarang." Salim berusaha menjelaskan maksud dirinya yang berlari demi mencarinya.
"Kenapa?" Sando terlihat kaget, tak biasanya Pak Ahmad wali kelasnya itu mencari pada jam istirahat. Apalagi menyuruhnya datang ke kantor. Ah, Sando mulai berfikir macam-macam. Dia takut dimarahi oleh salah satu guru yang ia segani itu. Guru yang sebentar lagi pensiun tapi semangat mengajarnya yang masih membara.
"Katanya kamu disuruh ikut seleksi lomba," ucap Salim.
"Oh, syukurlah. Kirain kenapa Lim, aku sudah takut tadi." Sando tersenyum pada sahabatnya yang sering menemani jalan kaki saat pulang sekolah itu. Teman satu kampung dengan nasib perekonomian yang tak jauh berbeda, sama-sama anak dari kuli penambang pasir.
"Tak usah takut lah, kan kamu ga buat masalah di sekolah." ucapnya menenangkan. Benar juga apa yang dikatakan Salim, ia tidak perlu takut, toh dia tidak melakukan kesalahan apa-apa.
"Hehehe ..., iya ya Lim. Makasih ya udah lari-lari manggil aku." Sando tersenyum untuk kesekian kali.
"Ya udah, sana cepet ke kantor," suruh Salim.
"Iya, aku duluan ya," Sando beranjak dari teras Masjid menuju Kantor Guru. Dalam hati ada banyak pertanyaan, ada lomba apa kira-kira kok dirinya disuruh ikut.
_____
Di dalam kantor guru nampak beberapa anak sudah berkumpul, empat anak laki-laki dan enam anak perempuan, salah satunya adalah Aima. Aima si gadis manis tetangga Sando yang telah mencuri perhatiannya, karena anaknya cantik, santun dan pintar. Bahkan Sando pernah membayangkan jika sudah dewasa nanti, ingin mempunyai istri seperti dia. Namun sekarang masih sangat belia untuk berbicara cinta, mungkin hanya kagum.
"Baiklah anak-anak semua, hari ini bapak mengumpulkan kalian semua disini karena ada suatu hal. Sekolah kita mendapat undangan mengikuti lomba mata pelajaran tingkat kecamatan." Pak Ahmad mulai membuka pembicaraan perihal maksudnya mengumpulkan anak-anak pada jam istirahat.
"Bagi yang nanti bisa ikut dan menang, bisa melanjutkan lomba lagi di tingkat yang lebih tinggi. Nah bapak lihat, kalian semua ini sepertinya mampu mewakili sekolah untuk mengikutinya. Karena peserta lomba tiap sekolah hanya berjumlah tiga orang, maka nanti kalian semua bisa mengikuti seleksi terlebih dahulu, begitu ya," ucap Pak Ahmad melanjutkan penjelasannya.
"Baik Pak," ucap anak-anak serempak.
"Besok, kalian bisa mengikuti seleksi lomba pada jam sembilan pagi di perpustakaan. Seleksi dilakukan selama tiga hari ya, dengan jadwal mata pelajaran berbeda. Jadwal nanti Bapak bagi, dan kalian silahkan mempersiapkan diri. Baik secara fisik maupun materi. Paham ya?" kata Pak Ahmad melanjutkan penjelasannya.
Anak-anak nampak senang tapi juga terkejut. Karena mereka akan mengikuti seleksi lomba mewakili sekolah. Tentu ini adalah kesempatan baik untuk meningkatkan kemampuan diri yang hanya bisa diikuti beberapa siswa saja. Siswa yang dianggap mampu dan berprestasi.
Begitu juga Sando, dia tak menyangka jika akan diberi kesempatan ikut seleksi ini. Dalam hati ia terus merapalkan doa semoga lolos seleksi, juga bersyukur karena pihak sekolah memilih dirinya.
"Bagaimana nak? Ada pertanyaan,? ujar Pak Ahmad.
Beberapa anak bertanya tentang bagaimana proses seleksi, proses lomba hingga hadiah apa saja yang bisa mereka peroleh. Nampak wajah-wajah sumringah menghiasi muka polos anak-anak kampung ini.
Semoga impian mereka menjadi siswa berprestasi terwujud. Agar bisa membawa nama baik sekolah dan juga orang tua.
Bersambung
sumber gambar
Diubah oleh betiatina 22-01-2020 15:15
suciasdhan dan 8 lainnya memberi reputasi
9