Kaskus

Story

tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
BADAI SEBELUM PELANGI
BADAI SEBELUM PELANGI

1.Murid Baru


Namaku Zerina. Zerina Mia Hartalisya. Kepribadianku berubah sejak penghianatan itu terjadi. Ketika orang-orang yang selalu bersamaku, menjalani hari-hari bersamaku bahkan suka duka selalu bersamaku menghancurkan semuanya.

Ketika pacarmu yang sudah sangat manis denganmu dan sahabatmu yang selalu mendukungmu ternyata hanya berpura-pura baik padamu. Sakit bukan? Kemudian mereka bersama dan meninggalkanmu. Bagaimana rasanya? Sakit saja, kah? Atau ada perasaan lain?

Tidak hanya itu yang terjadi padaku, mereka bahkan merusak nama baikku, membuatku semakin tidak bisa bergerak, tidak ada yang percaya padaku. Mereka yang lain jadi takut padaku.

Namaku bukan lagi Zerina. Aku orang gila, yang gilanya bisa kambuh kapan saja. Orang-orang yang mendekatiku hanya ingin mengambil kesempatan tanpa kutahu apa tujuannya. Yang pasti mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri.

Astaga, kejam sekali hidup ini. Aku harus apa? Mati, kah? Atau terus menjalaninya? Kira-kira apa yang akan kudapat jika aku terus menjalani hidup. Ketulusan, kah? Aah tidak, ketulusan itu semu. Walau aku sangat ingin bertemu dengannya.

***

Kukira setelah aku lulus dan masuk ke sekolah baru semua itu akan lenyap, tapi ternyata tidak. Orang-orang bodoh itu terus mengingatnya bahkan mereka menyebarkan semuanya di sini. Tak mengapa, aku telah terbiasa dengan semua ini, bahkan jika aku harus seperti ini sampai akhir hidupku. Semua pikiran mereka dan semua yang mereka katakan, biarlah, aku terlalu lelah untuk peduli.

Aku suka duniaku, tak ada yang harus kusembunyikan sekarang. Aku tak perlu berpura-pura untuk mendapatkan yang aku inginkan, karena aku tak lagi menginginkannya.

Teman...

Makhluk apa itu? Aku tidak ingin mereka lagi. Mereka semua hidup dalam kepalsuan. Canda tawa itu akan terasa pahit jika kau tau akhirnya. Tak ada ketulusan di sini, semuanya berjalan karena kemauan masing-masing dari orang-orang itu. Aku tak pernah melihat ketulusan, mungkin dia semu, seperti apa dia? Aku jadi ingin bertemu dengannya.

***

Seperti biasa, aku menghabiskan waktu istirahat dengan duduk di atas rumput yang berseberangan dengan lapangan. Tempat ini nyaman, aku bisa bersandar sekaligus merasakan keteduhan pohon rindang ini. Berkali-kali aku melihat orang lewat yang memandangku aneh karena memilih duduk di sini, sedangkan banyak bangku taman yang disediakan sekolah untuk murid-muridnya, abaikan saja.

Kupasang earphone dan memutar lagu yang belakangan ini sering kudengarkan. Walau aku tak tau arti dari lagunya, tapi aku suka. Alunan nadanya membuat ketenanganku di atas level biasanya. Aku tetap berada di sini, sampai istirahat selesai.

Koridor kelas masih lumayan ramai oleh siswa-siswi yang ngobrol dan tertawa, padahal bel masuk sudah berbunyi. Seharusnya tadi aku menunggu beberapa menit setelah bel bunyi, baru berjalan masuk ke kelas, untuk menghindari perhatian mereka yang dari tadi melihatku sambil berbisik dengan teman masing-masing.

Abaikan ini Zerina, mereka hanya orang-orang bodoh yang tidak pandai memilih cerita.

Aku berhenti melangkah ketika sampai di depan pintu kelas, seorang perempuan yang sangat aku kenal itu menghalangi pintu masuk. Kutatap matanya dengan harapan agar dia tidak menghalangi jalanku, dia menatapku balik.

"Apa liat-liat!" katanya dengan suara yang bisa didengar siapa saja yang ada di situ.

"Minggir. Aku mau lewat." pintaku.

"Oo, mau lewat. Silahkan." Salsa menggeser tubuhnya memberiku jalan, dia tak lepas dari menatapku, membuatku tersandung kakinya karena aku pun tak lepas dari manatapnya balik.

Dia membuatku tersungkur di atas lantai dan sekarang aku jadi bahan tertawaan anak-anak di kelasku dan beberapa anak yang melihat dari pintu kelas. Aku marah, apalagi ketika dia menginjak earphone dan hpku yang juga ikut tersungkur bersamaku.

"Ah, sorry, gue gak liat. Sini gue bantu." Salsa mengulurkan tangannya padaku saat anak-anak itu memusatkan perhatiannya pada kami.

Dasar! Pandai sekali dia berpura-pura, aku tak bisa menahan diriku untuk memukul perempuan itu. Kuambil hp yang barusan dia injak dan kupakai untuk memukul kepalanya. Aku tak peduli jika hp ini rusak, yang penting kepala orang ini harus diberi pelajaran.

Salsa berteriak sambil menghalangi gerakanku lagi sampai akhirnya teman-teman bodohnya itu menghentikanku dan mendorongku menjauh dari Salsa.

"Lo gila, ya! Mukulin kepala orang!" teriak Icha sambil menatapku tajam.

"Lo gak papa, Sa?" Salsa menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Dwi, "Gak waras!" teriaknya lagi padaku.

Mereka pergi setelah berhasil membuatku terlihat seperti penjahat sekarang. Anak-anak di kelasku pun tak ada yang berani bicara padaku. Mereka semua menghindar dan memberiku jalan menuju kursiku.

Aku kembali teringat bagaimana dulu aku memukul kepala Ana dengan penggaris besi hingga membuatnya berdarah. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika anak-anak kelas ini menyaksikan itu, mungkin mereka akan menemui wali kelas dan bilang jika mereka ingin pindah kelas, tak ingin sekelas denganku. Tapi percayalah, kejadian itu bukan sepenuhnya salahku.

Aku duduk dan merapihkan buku pelajaran yang tadi belum sempat kubereskan karena aku biasa keluar duluan saat bel istirahat bunyi. Ya, itu ada alasannya, aku menghindari keramaian.

"Ternyata bener, ya. Gilanya bisa kambuh kapan aja."

"Sssstt."

Aku mendengar bisikan itu. Mereka melepaskan pandangannya dariku saat aku menatap ke arah mereka tajam. Aku jadi kesal, harusnya mereka bertanya dulu apa yang terjadi, bukan bicara dibelakangku.

Mulut-mulut itu memang sudah termakan gosip receh, mereka hanya mendengar cerita dari satu pihak dan langsung membenciku, mereka langsung menganggapku benaran gila hingga tak ada yang percaya padaku. Aku mengembuskan napas.

Tenang Zerina, kau tidak perlu kesal dan mencaci mereka. Mereka akan lebih menganggapmu gila jika kau lakukan itu.

***

Setelah melewati waktu yang sulit di sekolah hari ini, aku berniat mengunjungi tempat yang sudah lama tak kukunjungi.

Langkahku terhenti, kupandangi pohon seri yang sudah termakan usia itu. Tumbuh di halaman belakang rumah tua yang tidak dihuni, walaupun begitu pohon ini tetap tumbuh dan berbuah. Aku ingat, waktu kecil aku sering kemari, bermain bersama Ana, memanjat pohon ini untuk mengambil buah kecil bewarna merah yang rasanya sangat aku suka. Manis.

Ugh!

Aku mengusir memori itu, rasanya sakit jika menyadari yang terjadi sekarang. Kulepas tas punggung yang kukenakan dan menjatuhkannya ke atas rumput liar di situ. Dengan agak susah aku memanjat pohon, hingga akhirnya aku bisa duduk santai di dahannya sambil menikmati buahnya.

"Hm, seperti ini rasanya kehidupan remaja. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, tak peduli sedekil apa aku dulu. Aku mau bahagia tanpa merasakan sakitnya penghianatan."

Kumakan buah terakhir yang kudapat, lalu berniat mencari lagi. Sepertinya sudah habis, tidak, aku masih melihat satu di ujung dahan. Aku sudah hampir mendapatkannya, tapi seseorang menggagalkanku.

"Hei!" Suara itu mengejutkanku, hingga membuat kakiku kaget dan melesat dari dahan pohon.

"Aaaakh!"

Aku jatuh hingga membuat dengkul dan lenganku tergores patahan ranting-ranting kecil yang bertumpuk di situ.

"Kamu gak papa?" tanya orang yang membuatku terkejut.

Kutepis tangannya yang ingin menyentuhku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mengambil tas dan buru-buru pergi dari situ.

Jarak rumahku tidak jauh dari tempat itu dan aku sudah berada di rumah sekarang, membersihkan luka dengan alkohol. Untung saja dahan yang kupanjat tadi tidak tinggi dan aku tidak cidera parah. Kalau bukan karena pria tadi, aku mungkin tidak akan jatuh. Kenapa dia bisa ada di sana tiba-tiba.

"Huuh, dasar, harusnya orang itu menangkapku, tega sekali dia." Aku membuang kapas bekas lukaku ke dalam bak sampah.

"Kenapa kamu berharap? Memangnya kamu siapa? Kamu hanyalah orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja." Aku menyalahi diriku sendiri di depan cermin wastafel.

Aku mengembus napas panjang setelah menyadari perbuatanku. Aku tidak boleh menghina diriku karena orang-orang menghinaku. Aku harus meyakini diriku, bukan meyakini ucapan mereka. Perasaanku mulai lagi, sesuatu yang membuatku tidak percaya diri adalah jika diriku mulai menghinaku. Aku selalu berusaha agar tidak seperti itu.

"Please.. I am not crazy.."

"I am not crazy.."

"I am not crazy.."

Suaraku hampir berbisik dan menjadi berbisik pada kalimat terakhir. Aku bangkit dan berdiri dari ringkukkanku, mengambil pil yang hampir menjadi makananku setiap hari. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia selalu saja memanggilku untuk memakannya.

Satu pil berhasil masuk ke mulutku. Pahit. Kuluruskan kakiku di atas kasur dan memejamkan mata, berusaha untuk melupakan hari ini, hingga aku terlelap.

***

Hari ini seperti biasa, jam istirahat di sekolah aku duduk di atas rumput di bawah pohon rindang yang biasa aku tempati.

Hari ini aku membawa headphone dan hp dengan layar retak-retak karena insiden kemarin. Tak masalah, setidaknya hp ini masih mengizinkanku mendengarkan lagu-lagunya.

Kudengar hari ini berita yang sedang hangat dibicarakan oleh cewek-cewek penggosip itu adalah masuknya murid baru. Pastinya karena murid baru itu cowok dan bisa dibilang ganteng menurut mereka. Kalau tidak seperti itu gak mungkin jadi berita hangat.

Mungkin aku satu-satunya wanita yang tidak peduli. Lagian untuk apa? Jika murid baru itu tau tentang diriku, dia juga pasti tidak akan mau berteman denganku.

Aku mengangkat buku bacaanku hingga menutupi wajah, sesuatu di kejauhan sana seolah mengganggu perasaanku. Anak-anak cowok itu pasti sedang membicarakanku. Lalu, aku merasakan kehadiran seseorang di depanku, sedang berdiri menghadapku. Aku menurunkan sedikit buku bacaan dan melihat ke arahnya. Dia melihatku, dengan cepat aku kembali mengangkat buku itu menutupi wajah.

"Hei." Dengan tangan kanannya dia menurunkan buku bacaan yang menutupi wajahku.

Sepertinya aku pernah melihatnya, dia orang yang membuatku jatuh dari pohon kemarin.

"Kamu cewek yang kemarin, kan?"

Aku tak menjawab dan yang terpenting yang harus kalian tau ternyata dia murid barunya.

"Arken." Dia menjulurkan tangan kanannya dan tersenyum padaku untuk berkenalan.

Aku telah berusaha untuk menerimanya, tapi kurasa itu percuma dan akan sia-sia. Dia akan membenciku dan menjauhiku, atau mungkin sekarang dia hanya mempermainkanku dan menjadikanku bahan lelucon karena kuyakin dia ada bersama rombongan cowok itu tadi.

Teett... Teett... Teett...

Akhirnya bel masuk berbunyi, aku berdiri dari duduk dan berjalan meninggalkannya di situ tanpa bicara apapun. Kudengar rombongan cowok di sana tertawa melihat Arken, cowok yang barusan memperkenalkan namanya padaku. Bukannya sudah kubilang, mereka hanya menjadikanku bahan lelucon. Apa itu yang disebut teman? Bukankah aku beruntung karena tidak memiliki teman seperti mereka? Yah, kurasa aku beruntung.

Bersambung


Index
2. Arken
3. Berteman
4. Psikis
5. Hariku
6. Masalahku
7. Wanita Bahagia
8. Wanita Bahagia 2
9. Pentas Seni
10. Pentas Seni 2
11. Memori
12. Reuni
13. Fungsi Hati
14. Hari Terakhir
15. Ana
16. Perasaan Rindu
17. Kematian Ana
18. Teror
Diubah oleh tiawittami 14-01-2020 19:21
someshitnessAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
7.6K
90
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
#55
8. Wanita Bahagia 2
Aku membantu bunda menyedot debu di karpet depan TV. "Arken ke mana ya, Bunda?" Sejak tadi Arken tidak kelihatan. 

Bunda menghentikan kegiatannya yang sedang merapikan bantal sofa. Dia melihat ke arah kamar Arken dan mengajakku ke sana. "Sini, biasanya dia diam di kamarnya kalau abis bunda kerjain." 

Aku ber-o ria. Bunda mencoba membuka pintu kamar Arken, tapi terkunci. Dia mengetuknya. "Arken."

Tak ada jawaban. "Mungkin dia ngambek, Bunda," kataku. Bunda menempelkan satu telinganya ke pintu, mencoba mendengar sesuatu. 

"Arken... janganlah marah, Bunda janji deh, gak akan nyuruh kamu ke gudang lagi," kata Bunda dari depan pintu itu. Masih tak ada jawaban dari Arken. 

"Arken..." aku membantu bunda memanggilnya dan tetap tak ada jawaban. "Mungkin dia tidur, Nda."

"Masa? Tapi Arken gak pernah kunci pintu kalau tidur." Bunda mencoba mendorong pintu itu lagi. "Arken." Bunda mengetuk pintunya. 

"Arken!" Kulihat bunda yang agak cemas. "Buka pintunya dong, sayang." Bunda terus mengetuk pintu itu.

Aku membantu bunda mengetuknya. "Ken," panggilku.

Dengan situasi bunda yang sedang cemas seperti ini, bahkan mungkin pikirannya sama sepertiku yang beranggapan jika Arken kenapa-napa. Padahal Arken dalam kondisi yang sangat baik sekali. Dengan santainya, dia berdiri di sebelah kami sambil memakan es krim. Aku dan bunda melongo melihatnya yang menatap kami penuh selidik.

"Kalian ngapain di depan kamarku?" tanya Arken penuh curiga. "Mau ngerjain aku lagi ya?" Dia mengusir kami dari pintu kamarnya. Aku dan bunda mundur beberapa langkah. Dia terus memerhatikan kami dengan tatapan penuh selidik. 

"Hm, untung aja pintunya kukunci," katanya kemudian. Dia mengeluarkan kunci dari sakunya. Bunda mengembuskan napas sambil menggelengkan kepalanya. Tanpa berkata apapun lagi, bunda pergi dan melanjutkan menyedot debu yang sempat tertunda. Aku tertawa kecil sambil menutup mulutku, lucu. 

Arken bingung, untung saja dia tak tahu apa yang kami lakukan. Kalau saja dia tahu, sudah pasti dia akan tertawa terbahak-bahak. "Bunda kenapa, sih? Kok jadi dia yang marah," kata Arken. Aku hanya tertawa sambil menggelengkan kepala tak mau kasih tahu dia. 

***

Sudah tiga putaran kami berlari. "Ayo, Zerina, lebih cepat." kata Arken yang berlari kecil di depanku. 

Kami berada di stadion, mengeluarkan keringat dengan berlari kecil di antara banyak orang. Di sini lumayan ramai, aku tak menyangka, ternyata banyak juga orang yang suka berlari seperti ini. 

"Aku capek," kataku. "Perutku malah kerasa nyeri." Aku berhenti mendadak di situ hingga membuat seseorang menabrakku.

"Et, et." 

"Aduh, maap mba, gak ke-rem. Mba berenti mendadak, sih," kata cowok dengan jersey bola yang barusan menabrakku. 

"Maklum mba, dia jomblo. Suka nabrak-nabrak jadinya." Teman-temannya yang juga berlari bersamanya itu menertawakannya. 

"I-iya, maaf," sesalku karena berhenti mendadak.

Arken yang melihatku langsung mengajakku menepi dari arena berlari. "Kamu gak papa?" Dia meluruskan kakiku. 

"Orang-orang itu ngetawain aku," kataku sambil melihat ke arah mereka yang melanjutkan larinya. Arken melihat ke arah yang kulihat.

"Bukan kamu, mereka ngetawain temennya, kamu GR," kata Arken tersenyum, dia menarik sudut bibirku untuk senyum dengan jarinya. "Senyum," pintanya.

Lalu langit menjadi gelap karena awan yang berjalan dari arah selatan. "Ayuk, lari lagi ke sana. Nanti kalau hujan kita gak bisa berteduh di sini," kata Arken. 

Arken menuntunku berlari. Orang-orang juga pada mempercepat langkahnya supaya dapat berteduh di rest area yang letaknya di dekat pintu masuk. Rintikan hujan mulai berjatuhan, pertanda kalau sebentar lagi hujan akan deras. 

Lalu Arken berhenti dan berjongkok di depanku. "Kamu lama larinya, aku gendong aja biar cepet," katanya. Dia menyadari langkahku yang melambat, ini karena kakiku sakit dan perutku juga kerasa nyeri. "Buruan, keburu deres hujannya," katanya terdengar panik. Aku malu, di sini ramai orang. 

"Aku bisa lari," kataku bohong.

"Iiish, nanti kamu sakit!" Arken bangun dan menggendongku paksa. 

Kyaa!

Aku berpegangan di pundaknya. Dia menggendongku di belakang. Namun, hujannya tak pengertian, kami jadi kebasahan, padahal sebentar lagi kami sampai di sana. 

Arken menurunkanku, kami berteduh bersama orang-orang yang juga kehujanan. "Duduk sini." Dia menyuruhku duduk di bangku yang hanya tersisa satu sedangkan dia berjongkok di depanku. "Kamu gak papa, kan? Jangan sakit ya," katanya, dia menggenggam tanganku, hangat. Aku mengangguk, mengiyakan permintaannya. 

Dia mengusap wajahku, hanya tatapan khawatir yang bisa kulihat dari wajahnya. 

Untuk ragaku, jangan sakit ya. Dia sudah berusaha untukmu. Jadi, bertahanlah..

Kami pulang setelah hujan lumayan reda. Walaupun hari itu Arken membawa mobil, kami tetap menunggu sampai hujan reda karena tempat parkirnya yang cukup jauh.

***

Malamnya, Arken mengajakku keluar lagi. Awalnya tidak dizinkan sama bunda, tapi akhirnya boleh. Padahal tadi sore kami kehujanan kan, tapi kami tak merasa drop sedikit pun. Entah karena perasaanku saja atau karena momen seperti ini tak boleh di sia-siakan.

Sekarang aku sedang duduk di tepi puncak, memandangi indahnya kota dari ketinggian, ternyata indah ya. Kukira aku takkan punya kesempatan untuk pergi ke tempat seperti ini. Dengan angin malam yang lembut menyisir seluruh penjuru, kerlap-kerlip lampu yang tak lelah menghias kota, dan ramainya suara kendaraan yang menanti waktu istirahatnya.

Aku tak punya kata yang bisa mewakilkan bahagiaku. Kurasa cukup bahagia sekarang, dan jika diizinkan, apa aku boleh mengganti keinginanku. Aku ingin tetap hidup sampai bahagia ini berakhir.

Blurp!

Sebuah gelembung air pecah di samping wajahku, gelembung itu berasal dari belakangku. "Arken." Aku melihatnya yang telah kembali dengan mainan barunya. Dari mana dia dapat benda itu?

"Aku bisa buat gelembung lebih bagus dari Spongebob," katanya, dia meniupnya, membuat malam yang indah ini jadi lebih indah dengan mainan barunya. "Kamu mana bisa." Dia meledekku.

Aku melihat sosoknya, dia selalu punya cara untuk membuat aku senang melihatnya. "Aku bisa, pinjem." Dia meninggikan wadah berisi air gelembung itu saat aku merebut darinya.

"Et, ini punyaku." Dia mencibir sambil masih meniup gelembung-gelembung itu.

"Pinjem," kataku.

"Ambil sendiri kalau bisa." Dia sengaja membuatku lompat-lompat demi merebut mainannya. "Ayo dong, katanya bisa," ucapnya, siapa lagi kalau bukan Arken yang suka meledek.

"Pinjeeeeem...." rengekku yang hampir prustasi karena tak bisa merebut darinya.

"Usahaaaa doong...." Dia malah mengikuti cara bicaraku, aku memasang wajah murung. "Nih, deh...." Dia memberikannya padaku.

"Hehe..." Aku tersenyum dan mengambil itu dari tangannya.

"Ehe, tidak semudah itu, Zerina." Dia tertawa sambil menarik mainannya kembali.

"Arkeeeen... " Aku jadi kembali berusaha merebut darinya. "Ayolah, sebentar saja."

"Utututu kasian, gak nyampe ya." Dengan tawanya itu dia kembali meledekku, tapi aku bisa apa, aku hanya bisa ikut tertawa melihat wajahnya yang lucu.

Lalu kutahan kedua tangannya agar dia tak bisa lagi menggerakannya, "Aku dapet," kataku.

"Kamu dapet gelembungnya apa tangaku?" Dia masih tak ingin memberikannya padaku.

"Dua-duanyaaa."

"Mana? mana? Orang masih di aku, geh."

Aku melepas satu tanganku darinya dan mengambil gelembung di tangan kirinya yang kutahan. "Et, gak bisa, gak bisa, kan." Dia tertawa sambil mengangkat tangannya. Kugoyangkan tangannya itu. "Eh, tumpah, tumpah, jangan digoyangin," pintanya.

Hingga aku cukup lelah karena berputar dan melompat, akhirnya kudapatkan juga benda itu darinya. Aku mencibir ke arahnya.

Kutiup gelembungnya, aku tidak menghasilkan banyak gelembung. Arken menertawakanku. "Sini dong, aku ajarin."

"Nggak, aku bisa." Aku menjauh darinya dan meniup gelembung itu, ternyata susah, ya.

"Eh!"

Aku kaget dan reflek menjauhkan gelembungnya. Arken menangkapku dari belakang. "Kamu gak bisa, kan," katanya.

"Susah," kataku.

Dia tertawa. "Gini, nih." Dia mengambil tanganku yang memegang peniup gelembung dan meniupnya perlahan. Ternyata begitu cara menghasilkan gelembung yang berkualitas. "Coba kamu tiup, pelan-pelan," katanya.

Aku meniupnya, itulah pertama kali aku bermain gelembung. Kukira aku hanya bisa melihatnya di film Spongebob, ternyata aku bisa membuatnya sendiri, dan aku sadar selama gelembung terbentuk itulah Arken memelukku.

Senangnya aku malam itu, kami menghabiskan air gelembungnya sebelum pulang. Arken bilang padaku. "Kalau kamu senang, berarti aku berhasil," ucapnya.

"Kok?"

"Iya, tugasku, kan, buat kamu senang," tambahnya.

Aku tertawa. "Makasih, Arken...."

Hm, ternyata jalani hidup seperti ini menyenangkan, ya.

Ke mana saja kau selama ini?

Selama ini yang banyak kutahu hanyalah rumah, sekolah, dan jalanan menuju sekolah. Tanpa mengerti apa itu angin malam, lampu kota, suara kendaraan malam, dan gelembung. Ternyata masih ada orang-orang baik, seperti: Arken dan bunda.

Aku sudah bertekad. Aku akan meninggalkan masa kelam itu.

Ya, aku ingin meninggalkan masa kelam itu.

Bersambung...
medina12
jiyanq
jiyanq dan medina12 memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.