- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#159
Rekan Kerja (part 12)
Aku berjalan menyusuri koridor, mempercepat sedikit langkah menuju mesin ceklok. Pagi ini hujan deras, dan aku berteduh lumayan lama di persimpangan. Untungnya di saat berganti rintikan gerimis, jam masih menunjukkan pukul 07.50 WIB. Masih ada sepuluh menit lagi untuk bergegas!
Selesai ceklok, kembali aku menjangkahkan kaki lebih lebar, berjalan cepat menuju ruanganku. Lupa belum menata arsip yang akan kusetor kemarin.
Tiba-tiba langkah kuhentikan spontan, ketika mata menatap ada yang tak biasa pada sekeliling.
Tampak beberapa kursi masih bersih tanpa satu pun penghuni. Kukernyitkan dahi, heran. Benar, seperti tak ada yang datang!
Namun kegundahanku sirna seketika saat kulihat Pak Hardi berjalan ke arahku, menghampiri meja kerjanya yang dituju.
"Pagi, Pak." sapaku lirih, masih dengan benak yang begitu heran.
"Pagi, Mas." Pak Hardi menjawab sembari tersenyum.
Tak berselang lama, muncul Pak Faizal, Pak Nurdin, serta Bu Mega. Mereka berjalan dari arah yang sama pula.
Sebenarnya pada kemana semua?
Aku yang penasaran, langsung terbawa untuk datang menghampiri, memeriksa ke sebuah ruangan tempat dimana orang banyak berhambur. Rupanya yang lainnya sama berbaris masuk satu persatu ke ruangan Pak Dika, membuat segudang pertanyaan saling berkelibat dalam pikiran.
"Ngapain kamu di sini?"
Suara seseorang yang tak asing tengah menegur dari belakang. Siapa lagi yang bisa menegurku selantang itu kalau bukan Pak Heri.
"Ehm ... maaf, Pak. Saya hanya bingung kenapa banyak orang kantor saling mengantri masuk ke ruangan Pak Dika." Aku berkata lirih sembari menundukkan kepala.
Laki-laki itu masih berkacak pinggang tanpa menjawab apapun.
Perasaanku jadi tak enak, lantas kuanggukkan kepala pelan, segera pergi meninggalkan tempat.
Aduuuuhh, pagi-pagi kok sudah panas!
Kumasuki langsung ruanganku yang kini memang tak berpintu itu, sambil membuka laci, mengambil sebagian arsip.
Tak kuhiraukan rekan kerja di depan yang sedang memasang wajah juteknya. Pikiranku hanya mengarah pada kerjaan yang harus segera tuntas.
Selesai menata arsip, lalu aku beranjak dari meja kerja. Namun tiba-tiba saja lelaki itu mengagetkanku dengan membuang sesuatu yang tipis -tampak seperti besi- ke arah kardus berisi tumpukan map lawas di samping mejaku.
"Mulai besok, motormu diizinkan masuk ke area pabrik. Itu plat izin masuk berkendara," ucapnya tanpa sedikitpun menoleh padaku.
Aku tak membalas ucapannya. Hatiku sedikit sakit melihat tingkah arogan laki-laki itu. Tak banyak berkomentar, kupungut plat merah yang telah dilemparkannya tadi, lantas kutaruh ke mejaku.
Bapak-anak sama saja!
****
"Makasih, Pak!" aku tersenyum menerima berkas dari Pak Idris, sembari langsung menaiki motor kantor, bergegas pergi.
Namun sampai di PM 08, Pak Syaiful sudah mencegah laju motor yang kukendarakan.
"Pagi, Paaakk..." Ia tersenyum padaku sambil menenteng beberapa form yang dilampiri sesuatu seperti amplop coklat besar dibawahnya.
Aku menatap tangannya sekilas. Menegakkan punggung, menghela nafas. Benar-benar Pak Ipul ini ingin menitipkan lamaran anaknya padaku. Hadeeeehh...
"Ini, Pak. Sekalian nitip yang kemarin itu," ucapnya setengah berbisik.
Pak Ipul menyodorkan berkasnya itu kepadaku. Dengan bimbang akhirnya kuterima juga titipannya.
"Matur suwun, nggih..." Pria itu lantas tertawa ngekeh.
"Anu ... Pak Ipul, sebelumnya maaf. Ini lamarannya saya terima, saya coba kasihkan ke HRD, ya? Masalah dipanggil atau tidaknya, saya gak bisa memastikan," aku berkata dengan perasaan tak enak hati.
"Nggih, Pak. Ngertos kulo. Sing penting kan, ini lamarannya samean yang bawa. Sudah, gitu saja."
"Nggih, Pak. Mpun diarep-arep, nggih... (jangan terlalu diharapkan, ya) Dipanggil syukur, gak dipanggil ya anggap saja belum rejeki."
"Beres, Pak. Masi kulo nggih ngerti (saya juga sudah mengerti)..."
Alhamdulillah...
Kukembangkan senyumku lega mendengar ucapan Pak Ipul. Ada rasa tak enak sendiri kalau sudah dipercaya dititipi, namun nantinya tak membuahkan hasil.
"Nggih semoga saja masuk ya, Pak." Ucapnya lagi penuh harap.
"Nggih, amiiinn..." kucoba membesarkan hati lelaki paruh baya itu.
Dia masih tersenyum sambil manggut-manggut. Hendak aku berpamitan pergi, tiba-tiba saja Pak Ipul nyeletuk, "anu, Pak ... bener, ya, katanya semua orang kantor rata-rata sudah mengajukan pensiun?"
Lho, iya kah?
Mendengar itu aku langsung kaget campur tak percaya.
Pak Ipul yang paham ekspresiku, lantas berkata lagi, "memang orang kantor sudah tua-tua, Pak. Kok yaa dulu ngambil anak muda gak ditaruh kantor. Pada taruh gudang sama produksi semua. Sekarang pensiun satu, jadi pensiun semua..."
"Lho, lho? Bener tah, Pak? Saya masih belum dengar..."
"Lhoalaaah ... tak pikir samean sudah tahu. Wong yo, samean wong njero. Kok yo kasep..." (kupikir anda sudah tahu. Toh, anda juga orang dalam. Kok ya terlambat tahu)
Seketika aku teringat beberapa orang yang sedang mengantri masuk ke ruangan Pak Dika pagi tadi. Sepertinya benar yang dikatakan Pak Ipul.
Nah, kalau semua pada keluar? Lantas kantor diisi siapa?
"Sekarang umur 50 ditebas semua, Pak. Kan dulu umur 55, ya? Sekarang 50 tahun mau tak mau harus mengundurkan diri. Nah,makanya ... saya nitip lamaran sama samean. Di kantor dengar-dengar cuma tinggal samean, si Heri, sama anaknya yang mbegedut itu. Masa saya minta tolong sama kedua orang itu, kan ya ... ndak mungkin, tho?"
Heeeehhh? Aku semakin membelalak tak percaya mendengar penuturan dari Pak Ipul.
Sisa kami bertiga? Ah, yang bener saja...
"Maaf, Pak. Emang bisa ya, mengundurkan diri sebelum mendapatkan pengganti karyawan yang lain. Kalau semua mundur, yang kerja siapa, lho?"
"Lhoalaaaa ... samean iki wong njero kudet temen. (Anda ini orang dalam kudet benar) Lahwong kemarin-kemarin banyak sarjana kesini interview gitu, lho! Kayaknya ada lima belas yang masuk ketrima. Tapi saya nggak paham juga kapan mulai masuknya..."
Hmmm, jadi begitu. Aku hanya manggut-manggut sambil kembali menstarter mesin motor.
"Nggih pun, Pak. Lamarannya saya bawa. Maaf, saya nggak bisa lama-lama ngobrol," pamitku lirih.
Bersamaan dengan itu, Pak Ipul menganggukkan kepala seraya menjabat tanganku erat.
Kulajukan motorku kemudian, masih dengan perasaan yang sangat tak enak.
****
Aku kembali pada ruanganku, namun terhenyak kaget menatap meja kerjaku yang telah diisi oleh seseorang.
"Siapa? Maaf, itu mejaku." Aku bertanya sekaligus memperingatkan laki-laki di depanku itu.
"Heeei, kau bisa sopan tidak, dengan calon karyawan baru?"
Bukannya jawaban enak yang kudapat, malah suara lantang Rian yang berseru.
Aku tak mau menoleh padanya. Lantas kembali bertanya pada laki-laki berpakaian formal itu, "Mas, memang diberi tugas di sini? Apa kerjanya di sini?"
Lelaki yang menduduki kursiku itu mulai berdiri, hendak menjawab, namun lagi-lagi Rian menyahutnya, "dia rekan kerjaku sekarang. Dia calon admin yang baru."
Lagi-lagi aku kaget mendengarnya, tapi masih terheran-heran.
"Benar begitu, Mas? Siapa yang menyuruh Mas di sini?" kulontarkan sebuah pertanyaan lagi padanya.
"Kau tak percaya? Yang menyuruhnya itu..."
"...DIAAAMM!!!" aku membentak keras sembari memukulkan kepalan tanganku pada meja.
"Aku menanyainya, bukan menanyaimu!" bentakku lagi.
Lelaki di depanku itu nampak mengkerut menatap kami. Bersamaan dengan itu, Rian mendekat padaku. Ia balikkan badanku dengan tangannya, lalu menegakkan dadanya dengan kepala mendongak.
"Kau selalu cari gara-gara denganku," ucapnya lirih, tapi dengan nada yang menantang.
Aku diam, namun tersenyum sinis memandangnya.
"Lek koen lanang, ayooo ... diselesaikan! (Kalau kamu laki, ayo diselesaikan)" Rian mendorong tubuhku dengan dadanya hingga menghempas tembok yang hanya selisih dua centi di belakangku.
Aku masih tersenyum, masih menatapnya santai. Lantas kujawab dengan enteng, "Maaf, aku tak mau berdebat. Kita kerja cari uang, tak usah cari masalah." Kudorong pelan dada Rian menjauh dariku, melangkah keluar ruangan, menuju ruangan Pak Dika.
Dari belakang, ia mengumpat tanpa jeda.
Sampai di ruangan Pak Dika, kutanyakan perihal laki-laki yang katanya calon admin baru itu. Rupanya benar, dia yang akan menggantikan posisiku sementara. Tapi aku yang disuruh Pak Dika mentrainingnya.
Aku pun segera mengiyakan.
Kembali kulangkahkan kaki menuju ruang admin, dengan senyum mengembang. Kujabat tangan lelaki itu sambil memperkenalkan namaku. Tanpa banyak berbasa-basi, kuajari dia cara bekerja.
Pukul 15.45 WIB...
"Usahakan satu hari menyelesaikan seperempat form, Mas. Buat pemula nggak masalah lambat, asal teliti. Karena kalau salah, kasihan accountingnya nanti ribet di belakang. Banyak yang mesti diganti, jelas banyak memakan waktu," tuturku. Lelaki bernama Feri itu mengangguk pelan.
"Yang paling penting, fokus. Buat suasana senyaman mungkin, biar betah juga, Mas," lanjutku sambil tertawa kecil.
Agaknya tertawa kecilku itu membuat lelaki di meja depan tak enak hati. Ia menggebrak mejanya, beralih padaku sambil berucap, "ngguyumu gak enak, yo? (Ketawamu tak enak, ya?) Maksudmu apa?"
Lho,lho?
Aku semakin heran menatapnya.
"Jangan terlalu diambil hati lah. Aku nggak niat apa-apa, kok. Kenapa tersindir?"
"Menurutmu apa? Sedari kemarin kau bikin masalah denganku. Aku pikir-pikir, kau memang sengaja cari masalah."
"Sepurane, Mas. (Maaf, Mas) Aku pagi tadi memang sedikit emosi. Itu karena samean yang terlalu banyak omong. Tapi kalau sudah, ya sudah. Gak terus berkelanjutan sampe sekarang. Samean yang baper. Rubahen pikiran samean sing koyok ngunu! (Rubah pola pikir anda yang seperti itu)"
"He, lek koen lanang, ngomongo karepmu opo? Jok kakean cocot (Kamu kalau laki, bilang maumu apa? Jangan banyak bacot)" Nada suara Rian semakin meninggi dengan bola mata melingkar sempurna.
Kali ini aku tak sanggup menahan tawaku melihatnya.
"Diarani tuwek yo tuwek, tapi kok lambene koyok arek cilik, (dinilang tua ya tua, tapi mulutnya kok seperti anak kecil)" seruku lirih.
Selesai berkata begitu, kutatap kembali layar monitor. Tak peduli Rian, tak peduli lagi seseorang yang kini berada di sebelahku.
Rian nampak kesal. Aku tahu itu. Dia kemudian melangkah gontai menuju mejanya, tapi kemudian ...
Dugh!
Bersamaan dengan itu badanku terhempas ke belakang, terlepas dari kursi duduk. Kepalaku mendadak pening dengan tatapan yang tampak kabur. Feri mencoba menolongku sambil berujar untuk menenangkan Rian.
"Biar saja, gak usah ditolong! Sedikit pelajaran agar mulutnya itu tak sembarang berucap." Terdengar jelas ucapan geram Rian ditelinga.
Aku masih tak mau menggerakkan tubuhku. Masih kucoba menenangkan diri sendiri. Sepertinya pelipisku luka robek, setelah dihantam mentah-mentah dengan tangannya. Kupastikan cincin akik ukiran yang melingkar itu penyebabnya.
"Ayo, rene! Balesen aku nek lanang, (ayo, sini. Balas aku kalau laki)" tantangnya.
Aku masih duduk terdiam. Biar dia berkata sepuasnya.
Tak perlu aku membalasnya seperti orang urakan. Aku sadar perkataan terakhirku cukup tak enak, mungkin dia benar-benar tersinggung.
Calon karyawan baru itu terus memintaku beranjak dengan bantuannya, namun kutolak dengan sedikit gelengan.
"Kita lihat, siapa yang mulut anak kecil seperti katamu. Kalau sampai ada yang tahu di luar sana tentang kejadian ini, berarti koen sing lambe bayek. (Kamu yang mulut bayi)" Seusai bicara seperti itu, Rian kembali menendang meja kerjaku. Lantas ia pun berlalu meninggalkan ruangan.
"Mas ... ayo!" lagi-lagi pria disebelahku mencoba membantuku bangkit. Kembali aku menggeleng, sambil berucap, "aku bisa sendiri, kok, Mas. Aku nggak sakit, kok."
Perlahan aku berdiri, sembari tangan masih terus mengusap pelipis. Sudah kuduga darah mengucur, meski sedikit. Feri merogoh sakunya, menyodorkan sapu tangannya padaku.
"Ini, Mas. Buat bersihin darahnya," katanya.
Aku mantap menggeleng sambil menyimpulkan senyum.
"Di depan ruangan sudah ada wastafel, Mas. Biar saya cuci muka," balasku.
Tanpa menunggu lelaki itu berkata, langsung kulangkahkan kaki keluar. Kukucurkan air dari wastafel. Alirannya kali ini kecil, tak seperti biasanya.
Kubasuh segera seluruh wajahku, sambil pelan-pelan menekan bagian pelipis. Tak mau berlama-lama berkutat, kuraih handuk kecil yang tergantung samping wastafel. Membalut kiri-kanan tangan, dengan pandangan menatap kosong ke arah pintu admin gudang.
Marah, pasti ... meskipun sepintas.
Dendam, tak perlu ... aku tak mau berlarut-larut menyakiti diriku dengan penyakit hati.
Perlahan tapi pasti, kita akan jadi rekan kerja yang baik.
Entah kapan ....
****
Aku masih berdiri di halaman rumah, bersandar pada motor bebek yang baru kubeli beberapa hari yang lalu. Masih pula mengenakan seragam.
Tadinya, aku matikan suara mesin motorku saat turun melintas ke halaman. Aku tak ingin membuat para ponakan gaduh menyambut, kebiasaan rutin Kinara. Mana aku dan ibu tak pernah bicara sama sekali sedari beberapa hari yang lalu. Lah, tahu-tahu malah menyetujui maksud lamaranku. Entah apa yang dibicarakan Mbak Diah sampai-sampai ibu bisa berubah pikiran. Padahal dalam hati masih tak begitu berharap ini terjadi sebenarnya, tapi .... akh! Seharusnya aku mampir ngopi saja tadi.
"Heeee, kok nggak dimasukin motornya. Mau kemana lagi, Le?"
Suara itu tiba-tiba mengagetkanku yang tengah melamun dibawah pohon mangga.
Ibu ... baru kali ini terdengar suaranya mengajakku bicara.
"Ya, Bu ... lagi gerah ini," kujawab sebisa mulutku berkata.
Dari balik pintu, si usil Kinara muncul dengan senyum sumringahnya. Ia berlari mendekati, meraih tanganku.
"Sini deh, Om." Dia berucap girang seraya menarikku bersamanya. Mau tak mau kuikuti ke mana langkah keponakan perempuanku itu berjalan. Dia membawaku ke ruang tengah. Menunjuk pada buffet yang ada di paling ujung.
Mataku menatap tak bergerak. Kaget pasti. Nampak disana tiga parsel buah-buahan tertata rapi bersandingan dengan beberapa bingkisan seperti mini tart di dalamnya.
Ini apa-apaan? Aku mendelik kaget, tak mampu berkata.
"Om, besok mau main ke rumah tante, ya? Ini semua buat tante, ya?" Suara Kinara pelan bertanya padaku.
Aku menggeleng pelan, bingung menanggapinya.
"Lho, Om? Habis jatuh, ya? Kok bonyok itu keningnya?"
Kali ini aku tersentak mendengar ucapan Kinara. Lupa jika ada sedikit luka yang tak bisa ditutupi.
"Mari tukaran paling, ya .... (habis bertengkar mungkin, ya)" Suara ibu lebih mengagetkanku dari belakang. Cepat-cepat aku menimpali, "biasa ini, ah. Laki-laki, cerobohnya banyak."
"Emang kena apa?" Ibu nanya lagi.
Aku diam, mengambil botol minuman dari kulkas, menenggaknya.
"Bu, itu apa-apaan? Kok kayak jadi orang lamaran, sih?" Kucoba alihkan perhatian ibu sambil menunjuk rentetan bingkisan di buffet.
"Bawa oleh-oleh gak segini banyak juga, lah. Wah, ketok ndeso temen, (wah, kelihatan kampungan betul)" lanjutku lagi.
"Lho, ya ... arek kok mbingungno (anak kok membingungkan). Lah, kita kesana ini tujuannya mau melamar, kan? Masa' iya, gak bawa apa-apa kesana."
"Ya, enggak lamaran gitu, Bu. Kita main dulu kesana. Nggak langsung kayak gini, Bu."
"Wis ngerti, Le. (Sudah tahu, Nak) Masa' main kesana nggak bawa apa-apa? Ojo ngisin-ngisini ibu talah (jangan membuat malu ibu, dong)..."
Haduuuuhhh....
Aku mulai mengambil HP dari saku. Mulai menghubungi Adel saking bingungnya.
Sial! Centang lagi WA'nya...
Terakhir dilihat dua hari yang lalu. Kebiasaan sekali. Lalu bagaimana bisa aku langsung membawa keluargaku kesana, sementara komunikasi sama dia saja, aku nggak ada sama sekali. Ntar malah malu kesana.
Tak kuhiraukan ibu yang tengah beberes menata kue-kue itu. Kulangkahkan kakiku menuju kamar, sembari mencoba terus menelepon Adel.
Lagi-lagi gak aktif!
'Setelah kamu baca ini, aku harap kamu cepat hubungi balik'
Selesai mengirim chat, kulempar hape pada kasur. Ikut merebahkan badan dengan tangan lepas terlentang.
Mana mungkin aku bicara pada ibu tentang perlakuan membingungkan Adel, sementara beliau sudah menyiapkan segalanya. Bisa dibilang plin-plan juga. Mana orangnya type pemikir. Kalau sudah mikir, selalu sakit.
Sial, lagi-lagi kepalaku pusing ....
Selesai ceklok, kembali aku menjangkahkan kaki lebih lebar, berjalan cepat menuju ruanganku. Lupa belum menata arsip yang akan kusetor kemarin.
Tiba-tiba langkah kuhentikan spontan, ketika mata menatap ada yang tak biasa pada sekeliling.
Tampak beberapa kursi masih bersih tanpa satu pun penghuni. Kukernyitkan dahi, heran. Benar, seperti tak ada yang datang!
Namun kegundahanku sirna seketika saat kulihat Pak Hardi berjalan ke arahku, menghampiri meja kerjanya yang dituju.
"Pagi, Pak." sapaku lirih, masih dengan benak yang begitu heran.
"Pagi, Mas." Pak Hardi menjawab sembari tersenyum.
Tak berselang lama, muncul Pak Faizal, Pak Nurdin, serta Bu Mega. Mereka berjalan dari arah yang sama pula.
Sebenarnya pada kemana semua?
Aku yang penasaran, langsung terbawa untuk datang menghampiri, memeriksa ke sebuah ruangan tempat dimana orang banyak berhambur. Rupanya yang lainnya sama berbaris masuk satu persatu ke ruangan Pak Dika, membuat segudang pertanyaan saling berkelibat dalam pikiran.
"Ngapain kamu di sini?"
Suara seseorang yang tak asing tengah menegur dari belakang. Siapa lagi yang bisa menegurku selantang itu kalau bukan Pak Heri.
"Ehm ... maaf, Pak. Saya hanya bingung kenapa banyak orang kantor saling mengantri masuk ke ruangan Pak Dika." Aku berkata lirih sembari menundukkan kepala.
Laki-laki itu masih berkacak pinggang tanpa menjawab apapun.
Perasaanku jadi tak enak, lantas kuanggukkan kepala pelan, segera pergi meninggalkan tempat.
Aduuuuhh, pagi-pagi kok sudah panas!
Kumasuki langsung ruanganku yang kini memang tak berpintu itu, sambil membuka laci, mengambil sebagian arsip.
Tak kuhiraukan rekan kerja di depan yang sedang memasang wajah juteknya. Pikiranku hanya mengarah pada kerjaan yang harus segera tuntas.
Selesai menata arsip, lalu aku beranjak dari meja kerja. Namun tiba-tiba saja lelaki itu mengagetkanku dengan membuang sesuatu yang tipis -tampak seperti besi- ke arah kardus berisi tumpukan map lawas di samping mejaku.
"Mulai besok, motormu diizinkan masuk ke area pabrik. Itu plat izin masuk berkendara," ucapnya tanpa sedikitpun menoleh padaku.
Aku tak membalas ucapannya. Hatiku sedikit sakit melihat tingkah arogan laki-laki itu. Tak banyak berkomentar, kupungut plat merah yang telah dilemparkannya tadi, lantas kutaruh ke mejaku.
Bapak-anak sama saja!
****
"Makasih, Pak!" aku tersenyum menerima berkas dari Pak Idris, sembari langsung menaiki motor kantor, bergegas pergi.
Namun sampai di PM 08, Pak Syaiful sudah mencegah laju motor yang kukendarakan.
"Pagi, Paaakk..." Ia tersenyum padaku sambil menenteng beberapa form yang dilampiri sesuatu seperti amplop coklat besar dibawahnya.
Aku menatap tangannya sekilas. Menegakkan punggung, menghela nafas. Benar-benar Pak Ipul ini ingin menitipkan lamaran anaknya padaku. Hadeeeehh...
"Ini, Pak. Sekalian nitip yang kemarin itu," ucapnya setengah berbisik.
Pak Ipul menyodorkan berkasnya itu kepadaku. Dengan bimbang akhirnya kuterima juga titipannya.
"Matur suwun, nggih..." Pria itu lantas tertawa ngekeh.
"Anu ... Pak Ipul, sebelumnya maaf. Ini lamarannya saya terima, saya coba kasihkan ke HRD, ya? Masalah dipanggil atau tidaknya, saya gak bisa memastikan," aku berkata dengan perasaan tak enak hati.
"Nggih, Pak. Ngertos kulo. Sing penting kan, ini lamarannya samean yang bawa. Sudah, gitu saja."
"Nggih, Pak. Mpun diarep-arep, nggih... (jangan terlalu diharapkan, ya) Dipanggil syukur, gak dipanggil ya anggap saja belum rejeki."
"Beres, Pak. Masi kulo nggih ngerti (saya juga sudah mengerti)..."
Alhamdulillah...
Kukembangkan senyumku lega mendengar ucapan Pak Ipul. Ada rasa tak enak sendiri kalau sudah dipercaya dititipi, namun nantinya tak membuahkan hasil.
"Nggih semoga saja masuk ya, Pak." Ucapnya lagi penuh harap.
"Nggih, amiiinn..." kucoba membesarkan hati lelaki paruh baya itu.
Dia masih tersenyum sambil manggut-manggut. Hendak aku berpamitan pergi, tiba-tiba saja Pak Ipul nyeletuk, "anu, Pak ... bener, ya, katanya semua orang kantor rata-rata sudah mengajukan pensiun?"
Lho, iya kah?
Mendengar itu aku langsung kaget campur tak percaya.
Pak Ipul yang paham ekspresiku, lantas berkata lagi, "memang orang kantor sudah tua-tua, Pak. Kok yaa dulu ngambil anak muda gak ditaruh kantor. Pada taruh gudang sama produksi semua. Sekarang pensiun satu, jadi pensiun semua..."
"Lho, lho? Bener tah, Pak? Saya masih belum dengar..."
"Lhoalaaah ... tak pikir samean sudah tahu. Wong yo, samean wong njero. Kok yo kasep..." (kupikir anda sudah tahu. Toh, anda juga orang dalam. Kok ya terlambat tahu)
Seketika aku teringat beberapa orang yang sedang mengantri masuk ke ruangan Pak Dika pagi tadi. Sepertinya benar yang dikatakan Pak Ipul.
Nah, kalau semua pada keluar? Lantas kantor diisi siapa?
"Sekarang umur 50 ditebas semua, Pak. Kan dulu umur 55, ya? Sekarang 50 tahun mau tak mau harus mengundurkan diri. Nah,makanya ... saya nitip lamaran sama samean. Di kantor dengar-dengar cuma tinggal samean, si Heri, sama anaknya yang mbegedut itu. Masa saya minta tolong sama kedua orang itu, kan ya ... ndak mungkin, tho?"
Heeeehhh? Aku semakin membelalak tak percaya mendengar penuturan dari Pak Ipul.
Sisa kami bertiga? Ah, yang bener saja...
"Maaf, Pak. Emang bisa ya, mengundurkan diri sebelum mendapatkan pengganti karyawan yang lain. Kalau semua mundur, yang kerja siapa, lho?"
"Lhoalaaaa ... samean iki wong njero kudet temen. (Anda ini orang dalam kudet benar) Lahwong kemarin-kemarin banyak sarjana kesini interview gitu, lho! Kayaknya ada lima belas yang masuk ketrima. Tapi saya nggak paham juga kapan mulai masuknya..."
Hmmm, jadi begitu. Aku hanya manggut-manggut sambil kembali menstarter mesin motor.
"Nggih pun, Pak. Lamarannya saya bawa. Maaf, saya nggak bisa lama-lama ngobrol," pamitku lirih.
Bersamaan dengan itu, Pak Ipul menganggukkan kepala seraya menjabat tanganku erat.
Kulajukan motorku kemudian, masih dengan perasaan yang sangat tak enak.
****
Aku kembali pada ruanganku, namun terhenyak kaget menatap meja kerjaku yang telah diisi oleh seseorang.
"Siapa? Maaf, itu mejaku." Aku bertanya sekaligus memperingatkan laki-laki di depanku itu.
"Heeei, kau bisa sopan tidak, dengan calon karyawan baru?"
Bukannya jawaban enak yang kudapat, malah suara lantang Rian yang berseru.
Aku tak mau menoleh padanya. Lantas kembali bertanya pada laki-laki berpakaian formal itu, "Mas, memang diberi tugas di sini? Apa kerjanya di sini?"
Lelaki yang menduduki kursiku itu mulai berdiri, hendak menjawab, namun lagi-lagi Rian menyahutnya, "dia rekan kerjaku sekarang. Dia calon admin yang baru."
Lagi-lagi aku kaget mendengarnya, tapi masih terheran-heran.
"Benar begitu, Mas? Siapa yang menyuruh Mas di sini?" kulontarkan sebuah pertanyaan lagi padanya.
"Kau tak percaya? Yang menyuruhnya itu..."
"...DIAAAMM!!!" aku membentak keras sembari memukulkan kepalan tanganku pada meja.
"Aku menanyainya, bukan menanyaimu!" bentakku lagi.
Lelaki di depanku itu nampak mengkerut menatap kami. Bersamaan dengan itu, Rian mendekat padaku. Ia balikkan badanku dengan tangannya, lalu menegakkan dadanya dengan kepala mendongak.
"Kau selalu cari gara-gara denganku," ucapnya lirih, tapi dengan nada yang menantang.
Aku diam, namun tersenyum sinis memandangnya.
"Lek koen lanang, ayooo ... diselesaikan! (Kalau kamu laki, ayo diselesaikan)" Rian mendorong tubuhku dengan dadanya hingga menghempas tembok yang hanya selisih dua centi di belakangku.
Aku masih tersenyum, masih menatapnya santai. Lantas kujawab dengan enteng, "Maaf, aku tak mau berdebat. Kita kerja cari uang, tak usah cari masalah." Kudorong pelan dada Rian menjauh dariku, melangkah keluar ruangan, menuju ruangan Pak Dika.
Dari belakang, ia mengumpat tanpa jeda.
Sampai di ruangan Pak Dika, kutanyakan perihal laki-laki yang katanya calon admin baru itu. Rupanya benar, dia yang akan menggantikan posisiku sementara. Tapi aku yang disuruh Pak Dika mentrainingnya.
Aku pun segera mengiyakan.
Kembali kulangkahkan kaki menuju ruang admin, dengan senyum mengembang. Kujabat tangan lelaki itu sambil memperkenalkan namaku. Tanpa banyak berbasa-basi, kuajari dia cara bekerja.
Pukul 15.45 WIB...
"Usahakan satu hari menyelesaikan seperempat form, Mas. Buat pemula nggak masalah lambat, asal teliti. Karena kalau salah, kasihan accountingnya nanti ribet di belakang. Banyak yang mesti diganti, jelas banyak memakan waktu," tuturku. Lelaki bernama Feri itu mengangguk pelan.
"Yang paling penting, fokus. Buat suasana senyaman mungkin, biar betah juga, Mas," lanjutku sambil tertawa kecil.
Agaknya tertawa kecilku itu membuat lelaki di meja depan tak enak hati. Ia menggebrak mejanya, beralih padaku sambil berucap, "ngguyumu gak enak, yo? (Ketawamu tak enak, ya?) Maksudmu apa?"
Lho,lho?
Aku semakin heran menatapnya.
"Jangan terlalu diambil hati lah. Aku nggak niat apa-apa, kok. Kenapa tersindir?"
"Menurutmu apa? Sedari kemarin kau bikin masalah denganku. Aku pikir-pikir, kau memang sengaja cari masalah."
"Sepurane, Mas. (Maaf, Mas) Aku pagi tadi memang sedikit emosi. Itu karena samean yang terlalu banyak omong. Tapi kalau sudah, ya sudah. Gak terus berkelanjutan sampe sekarang. Samean yang baper. Rubahen pikiran samean sing koyok ngunu! (Rubah pola pikir anda yang seperti itu)"
"He, lek koen lanang, ngomongo karepmu opo? Jok kakean cocot (Kamu kalau laki, bilang maumu apa? Jangan banyak bacot)" Nada suara Rian semakin meninggi dengan bola mata melingkar sempurna.
Kali ini aku tak sanggup menahan tawaku melihatnya.
"Diarani tuwek yo tuwek, tapi kok lambene koyok arek cilik, (dinilang tua ya tua, tapi mulutnya kok seperti anak kecil)" seruku lirih.
Selesai berkata begitu, kutatap kembali layar monitor. Tak peduli Rian, tak peduli lagi seseorang yang kini berada di sebelahku.
Rian nampak kesal. Aku tahu itu. Dia kemudian melangkah gontai menuju mejanya, tapi kemudian ...
Dugh!
Bersamaan dengan itu badanku terhempas ke belakang, terlepas dari kursi duduk. Kepalaku mendadak pening dengan tatapan yang tampak kabur. Feri mencoba menolongku sambil berujar untuk menenangkan Rian.
"Biar saja, gak usah ditolong! Sedikit pelajaran agar mulutnya itu tak sembarang berucap." Terdengar jelas ucapan geram Rian ditelinga.
Aku masih tak mau menggerakkan tubuhku. Masih kucoba menenangkan diri sendiri. Sepertinya pelipisku luka robek, setelah dihantam mentah-mentah dengan tangannya. Kupastikan cincin akik ukiran yang melingkar itu penyebabnya.
"Ayo, rene! Balesen aku nek lanang, (ayo, sini. Balas aku kalau laki)" tantangnya.
Aku masih duduk terdiam. Biar dia berkata sepuasnya.
Tak perlu aku membalasnya seperti orang urakan. Aku sadar perkataan terakhirku cukup tak enak, mungkin dia benar-benar tersinggung.
Calon karyawan baru itu terus memintaku beranjak dengan bantuannya, namun kutolak dengan sedikit gelengan.
"Kita lihat, siapa yang mulut anak kecil seperti katamu. Kalau sampai ada yang tahu di luar sana tentang kejadian ini, berarti koen sing lambe bayek. (Kamu yang mulut bayi)" Seusai bicara seperti itu, Rian kembali menendang meja kerjaku. Lantas ia pun berlalu meninggalkan ruangan.
"Mas ... ayo!" lagi-lagi pria disebelahku mencoba membantuku bangkit. Kembali aku menggeleng, sambil berucap, "aku bisa sendiri, kok, Mas. Aku nggak sakit, kok."
Perlahan aku berdiri, sembari tangan masih terus mengusap pelipis. Sudah kuduga darah mengucur, meski sedikit. Feri merogoh sakunya, menyodorkan sapu tangannya padaku.
"Ini, Mas. Buat bersihin darahnya," katanya.
Aku mantap menggeleng sambil menyimpulkan senyum.
"Di depan ruangan sudah ada wastafel, Mas. Biar saya cuci muka," balasku.
Tanpa menunggu lelaki itu berkata, langsung kulangkahkan kaki keluar. Kukucurkan air dari wastafel. Alirannya kali ini kecil, tak seperti biasanya.
Kubasuh segera seluruh wajahku, sambil pelan-pelan menekan bagian pelipis. Tak mau berlama-lama berkutat, kuraih handuk kecil yang tergantung samping wastafel. Membalut kiri-kanan tangan, dengan pandangan menatap kosong ke arah pintu admin gudang.
Marah, pasti ... meskipun sepintas.
Dendam, tak perlu ... aku tak mau berlarut-larut menyakiti diriku dengan penyakit hati.
Perlahan tapi pasti, kita akan jadi rekan kerja yang baik.
Entah kapan ....
****
Aku masih berdiri di halaman rumah, bersandar pada motor bebek yang baru kubeli beberapa hari yang lalu. Masih pula mengenakan seragam.
Tadinya, aku matikan suara mesin motorku saat turun melintas ke halaman. Aku tak ingin membuat para ponakan gaduh menyambut, kebiasaan rutin Kinara. Mana aku dan ibu tak pernah bicara sama sekali sedari beberapa hari yang lalu. Lah, tahu-tahu malah menyetujui maksud lamaranku. Entah apa yang dibicarakan Mbak Diah sampai-sampai ibu bisa berubah pikiran. Padahal dalam hati masih tak begitu berharap ini terjadi sebenarnya, tapi .... akh! Seharusnya aku mampir ngopi saja tadi.
"Heeee, kok nggak dimasukin motornya. Mau kemana lagi, Le?"
Suara itu tiba-tiba mengagetkanku yang tengah melamun dibawah pohon mangga.
Ibu ... baru kali ini terdengar suaranya mengajakku bicara.
"Ya, Bu ... lagi gerah ini," kujawab sebisa mulutku berkata.
Dari balik pintu, si usil Kinara muncul dengan senyum sumringahnya. Ia berlari mendekati, meraih tanganku.
"Sini deh, Om." Dia berucap girang seraya menarikku bersamanya. Mau tak mau kuikuti ke mana langkah keponakan perempuanku itu berjalan. Dia membawaku ke ruang tengah. Menunjuk pada buffet yang ada di paling ujung.
Mataku menatap tak bergerak. Kaget pasti. Nampak disana tiga parsel buah-buahan tertata rapi bersandingan dengan beberapa bingkisan seperti mini tart di dalamnya.
Ini apa-apaan? Aku mendelik kaget, tak mampu berkata.
"Om, besok mau main ke rumah tante, ya? Ini semua buat tante, ya?" Suara Kinara pelan bertanya padaku.
Aku menggeleng pelan, bingung menanggapinya.
"Lho, Om? Habis jatuh, ya? Kok bonyok itu keningnya?"
Kali ini aku tersentak mendengar ucapan Kinara. Lupa jika ada sedikit luka yang tak bisa ditutupi.
"Mari tukaran paling, ya .... (habis bertengkar mungkin, ya)" Suara ibu lebih mengagetkanku dari belakang. Cepat-cepat aku menimpali, "biasa ini, ah. Laki-laki, cerobohnya banyak."
"Emang kena apa?" Ibu nanya lagi.
Aku diam, mengambil botol minuman dari kulkas, menenggaknya.
"Bu, itu apa-apaan? Kok kayak jadi orang lamaran, sih?" Kucoba alihkan perhatian ibu sambil menunjuk rentetan bingkisan di buffet.
"Bawa oleh-oleh gak segini banyak juga, lah. Wah, ketok ndeso temen, (wah, kelihatan kampungan betul)" lanjutku lagi.
"Lho, ya ... arek kok mbingungno (anak kok membingungkan). Lah, kita kesana ini tujuannya mau melamar, kan? Masa' iya, gak bawa apa-apa kesana."
"Ya, enggak lamaran gitu, Bu. Kita main dulu kesana. Nggak langsung kayak gini, Bu."
"Wis ngerti, Le. (Sudah tahu, Nak) Masa' main kesana nggak bawa apa-apa? Ojo ngisin-ngisini ibu talah (jangan membuat malu ibu, dong)..."
Haduuuuhhh....
Aku mulai mengambil HP dari saku. Mulai menghubungi Adel saking bingungnya.
Sial! Centang lagi WA'nya...
Terakhir dilihat dua hari yang lalu. Kebiasaan sekali. Lalu bagaimana bisa aku langsung membawa keluargaku kesana, sementara komunikasi sama dia saja, aku nggak ada sama sekali. Ntar malah malu kesana.
Tak kuhiraukan ibu yang tengah beberes menata kue-kue itu. Kulangkahkan kakiku menuju kamar, sembari mencoba terus menelepon Adel.
Lagi-lagi gak aktif!
'Setelah kamu baca ini, aku harap kamu cepat hubungi balik'
Selesai mengirim chat, kulempar hape pada kasur. Ikut merebahkan badan dengan tangan lepas terlentang.
Mana mungkin aku bicara pada ibu tentang perlakuan membingungkan Adel, sementara beliau sudah menyiapkan segalanya. Bisa dibilang plin-plan juga. Mana orangnya type pemikir. Kalau sudah mikir, selalu sakit.
Sial, lagi-lagi kepalaku pusing ....
erman123 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Tutup