- Beranda
- Stories from the Heart
Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2
...
TS
yanagi92055
Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2
Selamat Datang di Thread Gue
![Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2](https://s.kaskus.id/images/2019/10/17/10668384_20191017013511.jpeg)
Trit Kedua ini adalah lanjutan dari Trit Pertama gue yang berjudul Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 1 . Trit ini akan menceritakan lanjutan pengalaman gue mencari muara cinta gue. Setelah lika liku perjalanan mencari cinta gue yang berakhir secara tragis bagi gue pada masa kuliah, kali ini gue mencoba menceritakan perjalanan cinta gue ketika mulai menapaki karir di dunia kerja. Semoga Gansis sekalian bisa terhibur ya
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI GANSIS READER TRIT GUE. SEBUAH KEBAHAGIAAN BUAT GUE JIKA HASIL KARYA GUE MENDAPATKAN APRESIASI YANG LUAR BIASA SEPERTI INI DARI GANSIS SEMUANYA.
AKAN ADA SEDIKIT PERUBAHAN GAYA BAHASA YA GANSIS, DARI YANG AWALNYA MEMAKAI ANE DI TRIT PERTAMA, SEKARANG AKAN MEMAKAI GUE, KARENA KEBETULAN GUE NYAMANNYA BEGITU TERNYATA. MOHON MAAF KALAU ADA YANG KURANG NYAMAN DENGAN BAHASA SEPERTI ITU YA GANSIS
SO DITUNGGU YA UPDATENYA GANSIS, SEMOGA PADA TETAP SUKA YA DI TRIT LANJUTAN INI. TERIMA KASIH BANYAK
Spoiler for INDEX SEASON 2:
Spoiler for Anata:
Spoiler for MULUSTRASI SEASON 2:
Spoiler for Peraturan:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:31
nacity.ts586 dan 78 lainnya memberi reputasi
77
292K
4.2K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#3071
Decision (Again)
Memasuki bulan Februari, artinya saatnya memenuhi undangan untuk datang ke Upgrading himpunan. Undangan resminya juga sudah gue dapatkan. Tapi ketika gue mengkonfirmasi ke teman-teman seangkatan gue, agak kurang bagus responnya. Gue maklum karena kebetulan memang teman-teman gue banyak yang dari luar kota dan kembali lagi ke daerah asal mereka dan bekerja disana. Atau mungkin juga sudah cukup jauh angkatannya, takutnya agak berbeda pola berpikir dan cara bergaulnya.
Kalau gue, selama itu asyik gue sih bisa-bisa aja ngikutin arus pergaulan anak-anak sekarang. Dari mulai tata bahasa yang makin unik-unik, kebiasaan mereka yang kalau mau memulai sesuatu itu jalanin aja dulu baru mikir resiko belakangan, menggunakan media sosial (yang mana saat itu gue sangat aktif di twitter) dan sebagainya. Makanya banyak akhirnya yang jadi milenial sukses dengan mendirikan start-up yang memberikan impact positif terhadap kemajuan masyarakat belakangan ini. Bahkan sekarang dari empat Unicorn yang ada di tanah air, semua CEO nya belum ada yang mencapai umur 40 tahun. Suatu pencapaian luar biasa. Salah satunya bahkan sudah diangkat menjadi seorang menteri.
Perubahan kultur pergaulan dan pemanfaatan teknologi yang semakin maju membuat generasi yang lebih muda lebih berani untuk unjuk gigi. Makanya dulu gue juga sempat menentang sistem-sistem ospek yang norak dan terlalu pelonco-sentris yang akhirnya menyebabkan makna dari ospek sendiri menjadi bias. Pada himpunan sendiri pun banyak yang gue dan rekan-rekan ubah sistemnya. Tidak konvensional dan terkesan hanya mengikuti “sukses” angkatan terdahulu. Bikin inovasi dong biar bisa dikenang. Hehehe.
Salah satu efeknya adalah perubahan sistematika di upgrading ini. Dulu jaman gue masih ada dikampus, upgrading itu semacam kumpul-kumpul antara pengurus lama dan pengurus baru himpunan, yang tanpa ada pelibatan unsur fisikal didalamnya. Jadi kayak kita mau perpisahan kelas jaman SMA, lalu sekelas jalan dan menginap di tempat wisata, kemudian saling bercengkrama, nyanyi-nyanyi, main kartu dan sebagainya. Suasana jadi terasa sangat hangat dan bersahabat.
Upgrading yang diadakan oleh jurusan gue kali ini berbeda. Entah dari kapan dimulainya, yang jelas upgrading ini melibatkan unsur fisikal yang sangat banyak. Seperti jurit malam kalau yang berpengalaman ikutan ekskul atau OSIS di SMA, ketika pelantikan biasanya ada sesi seperti ini. Nah upgrading jurusan gue saat itu kurang lebih seperti itu juga, tapi diadakannya siang.
Calon pengurus baru dibagi beberapa kelompok berdasarkan divisinya masing-masing yang mana divisinya juga ada yang berubah nama atau ada divisi baru disesuaikan dengan perkembangan, beda dengan jaman gue dulu. Lalu nanti ada briefing dan tugas-tugas tertentu, kemudian melewati beberapa pos, pake acara bawa-bawa tongkat dengan bendera yang harus dipertahankan. Gobl*k banget dan nggak terlalu guna lah pokoknya. Tapi ya itu tadi, itulah perubahan-perubahan yang ada, dan gue nggak masalahin. Cuma rada aneh aja, apa maknanya?
--
Sabtu malam gue akhirnya menginap dikostan Endy. Gue pun melihat pemandangan yang sama kayak waktu gue menginap tempo hari dikamarnya. Berantakan dan basah dimana-mana. Yaelah, crat crot crat crot aje nih si Vici. Nggak puas apa ya sama pacarnya. Hahaha.
Minggu paginya, gue diantar oleh Endy menggunakan motornya, karena gue nggak bawa kendaraan. Gue sampai dikampus dan kemudian bertanya kepada panitia yang ada.
Kami sampai ditujuan sesaat kemudian, karena jaraknya nggak terlalu jauh. Kala itu sepertinya paginya abis hujan. Banyak tanah dan rumput yang lembab dan basah. Jadi kondisinya agak sedikit licin jalanannya. Endy berangkat lagi karena ada urusan, katanya nanti dia akan balik kesitu lagi setelah urusannya selesai. Lokasinya itu ada dikebun, lebih tepatnya hutan kecil gitu, kontur tanahnya melandai, jadi berbentuk lereng.
Disana udah ada beberapa alumni. Termasuk ada Putra, salah seorang mantan ketua himpunan, ada Herman juga, tapi anak ini belum lulus, ada juga beberapa alumni lain angkatan Herman yang nggak terlalu gue kenal. Ada juga Teguh, Ari, dan Doni yang seangkatan sama Dee. Tapi nggak ada angkatan Diani disitu. Haha. Ya ngapain angkatan sampah diajak-ajak ye kan. Nggak lama setelah gue sampai, Benu datang. Untungnya nggak ada alumni yang lebih tua dari angkatan Benu. Males banget soalnya otaknya pada tukang pelonco rata-rata. Adanya malah bisa berantem gue sama mereka karena beda pemikiran.
“Wah ada bang Ija, apa kabar bang?” sapa Herman.
“Haha, baik Man. Udah lulus lo?” kata gue.
“Belum bang. Dikit lagi tapi. Haha.”
“Haha iya lah santai aja.”
Gue juga menyapa anak-anak GMRD Regency yang ada disitu. Mereka semua udah lulus. Tapi disana gue nggak melihat ada Yudha.
“Si Yudha mana?” tanya gue.
“Kayaknya ada urusan dulu sama ceweknya deh bang.” Kata Ari.
“Oh yang waktu abis ngasih kejutan ulang tahun nggak keluar-keluar lagi dari kamar ya? hahaha.” Kata gue.
“Naah, itu lo inget bang. Hahaha.” Kata Teguh.
“Urusan ngamar-ngamar mana gue lupa bro. hahaha.” Kata gue.
“Suseh deh emang kalau jadi orang populer mah.” Sahut Benu.
“Wah iya dong, mumpung masih muda, budayakan eksplorasi bro. Hehehe.” Balas gue.
“T*i lo Ja, masih aje begini bahasan lo. hahaha.” Kata Benu.
“Pokoknya abang kita yang satu ini emang paling yahud lah ya urusan dengan cewek.” Kata Teguh.
“Eh, terus gimana ini? Ada briefing apa dari panitia? Disuruh apa kita disini?” tanya gue.
“Nah, itu dia bang, kita juga nggak tau ini. Dibebasin gitu kita sama panitia.” Jawab Putra.
“Lah, gimana? Untung yang datang alumninya pada waras nih, kalau datang yang angkatan diatas si Benu dan keatasnya lagi, bisa abis-abisan dikerjain nih anak-anak. Hahaha.” Kata gue.
“Haha bener juga sih bang. Kalau yang datang itu angkatan yang lebih tua lagi yang pikirannya masih kolot, bisa kacau semua nih. Haha.” Kata Herman.
Tidak lama kemudian, kelompok pertama datang dari arah sebelah kanan kami. Posisi kami para alumni ada ditempat yang agak lebih tinggi dari jalan yang dilewati kelompok pertama ini, dan kelompok-kelompok selanjutnya. Kelompok ini berada kurang lebih sekitar 10-20 meter didepan kami para alumni. Tapi letaknya mereka lebih rendah dari kami, sehingga para peserta ini agak mendongak keatas dikit untuk melihat kami.
Kami yang masih bingung mau ngapain, berunding sebentar. Akhirnya gue mengidekan untuk tebak-tebakan nama alumni atau mana alumni yang nggak dikenal, nanti kalau ada peserta yang nggak kenal, langsung suruh kenalan sama alumni yang nggak dikenalnya itu. Jadi jauh dari yang namanya perpeloncoan norak yang bisa bikin trauma anak orang. Namanya upgrading itu biar bisa saling akrab dan saling mengenal satu sama lain kan, itu isu utamanya.
“Selamat! Kalian udah bisa sampai di pos terakhir, Pos Alumni.” kata Putra, sedikit berteriak.
“Saya nggak nyangka bakalan INFAK yang masuk sini duluan. Saya kira bakalan BPH ya.” Lanjut dia lagi.
“Makanya, karena kehebatan kalian, jadi harus dikasih yang spesial-spesial. Ya nggak abang-abang?” sahut Herman tiba-tiba ikutan ngomong.
Putra, Herman, Teguh, Doni, Ari dan beberapa alumni lain angkatan Herman yang gue nggak terlalu kenal sudah berada agak sedikit kebawah, lebih mendekat ke peserta. Sementara gue dan Benu masih diatas.
“Ting, mau ikutan turun nggak? Biar lebih jelas kalo mereka mau ngomong apa. Ini soalnya kan luas gini, takutnya nggak kedengeran kalo mau ngomong.” Kata gue.
“Yaudah, sok duluan aja.” Kata Benu.
Sialnya, karena tanah yang agak licin, membuat gue sedikit terpeleset. Bangs*t, bikin malu aja ini didepan adik-adik kelas. Tapi gue berusaha setenang dan se-cool mungkin. Haha.
“Put, INFAK itu divisi apaan ya? Kok jaman gue dulu nggak ada. Haha.” Gue berbisik sebentar ke Putra.
“Informasi dan Komunikasi bang, jadi yang banyak ngurusin soal informasi tentang himpunan, tentang informasi beasiswa, atau kegiatan-kegiatan dijurusan kita, atau lowongan-lowongan gitu bang. Segala sesuatunya yang berhubungan dengan penyampaian informasi dari dan untuk mahasiswa, mereka yang urus, gitu sih bang kurang lebih.”
“Hoo, gitu ya. Dulu ada, tapi belum sekompleks ini sih. Mantap deh kalo gitu. Haha.”
“Wohoo, lo dateng juga bang. Ramein bang.” Kata Teguh.
Lah, kan gue udah dateng daritadi. Ini gimmick apa gimana? Mana pada nyalamin ulang lagi. Buset ini pada akting apa gimana. Tapi yaudah gue ikutin aja permainannya. Hahaha.
“Jadi gimana? Siapa yang mau mulai duluan?” kata gue berbisik.
“Lo aja bang, kan yang paling tua disini lo.” kata Herman.
“Dih, anj*ng. haha. Jangan gue lah, gue baru dateng kali. Lanjut aja dulu.”
Kemudian Benu yang akhirnya turun gue rangkul aja dikit biar sok sibuk dulu gue.
“Ini kebanyakan gimmick nih bocah-bocah. Hahaha.” Bisik gue.
“Biarin aje udah, kita mah ngikut aja.” Bisik benu santai.
Acara dimulai dengan dikomandoi Herman.
“Sebagai pemanasan, buat kelompok kalian, akan gue kasih tugas. Gampang kok. Gue mau tes kalian apakah kalian kenal dengan kami semua yang ada didepan sini? Kalau ya, kalian harus bisa nyebutin nama lengkap kami serta angkatannya pas nanti kami nanya kelompok kalian. Jika ada yang salah, satu orang aja nih ya, kalian mesti terima konsekuensinya. Harusnya sih kalian udah kenal pas ospek dulu. Masa udah dicatetin dibuku masing-masing masih nggak hafal juga? Kami disini pernah jadi asisten dosen waktu praktikum loh. So, nggak ada alasan apapun lagi untuk nggak kenal.” Kata Herman.
Gue cuma mikir, bloon juga nih si Herman. Iya gue emang pernah jadi asisten dosen, tapi nggak diangkatan para peserta ini kan. Bedanya 6-7 tahun soalnya. Ketika gue lulus aja mereka masih SMA. Haha.
“Waktu kalian kami kasih 10 menit, dimulai dari sekarang. Jangan lupa kerjasama timnya.” Tambah Putra.
“Man, lo gobl*k bener. Gue sama Benu kan nggak pernah ngasistenin mereka. Hehe.” bisik gue ke Herman.
“Sengaja bang, sekalian ngetes sepopuler apa nama lo di jurusan ini. Hahaha.” Kata Herman santai.
“Haha anjir amat lo. tapi ya bebas lah, kalo ada yang kenal juga ya bersyukur aja gue mah.” Kata gue.
“Kalo ada yang nggak kenal, ngaku aja, dan maju kesini ya.” kata Herman ke anak-anak itu.
Herman mulai menghitung karena waktunya udah habis. Ketika hitungan mundur dia sampai di angka tujuh, salah seorang peserta dikelompok itu mengangkat tangan.
“Bang, saya ada salah satu alumni yang nggak dikenal.” Katanya.
“Sini maju sayang. Kalo ada yang nggak kenal, ya kenalan lah. Sini, tunjuk siapa yang nggak kamu kenal sayang.” Kata Herman menggoda.
Anj*ng amat si Herman ngegodain cewek ini. Jangan-jangan ini sebenarnya gebetan lain dia. Hahaha. Atau kalo nggak ya objek bullyan kakak kelas.
Cewek itu kemudian maju, memisahkan diri dari kelompoknya. Dia memakai baju lengan panjang bergaris biru putih, lusuh karena banyak bercak tanahnya. Kerudungnya juga berwarna biru saat itu. Intinya dekil banget ini cewek, sama dengan anggota kelompoknya yang lain. Ada 8 orang kelompoknya, dua cowok dan sisanya cewek semua. Herman bilang namanya Emilya.
“Siapa alumni yang nggak kamu kenal, Emi?” kata Putra.
“Saya mau kenal saya abang yang di sana.” Kata dia menunjuk ke gue.
Gue cuma berpikir, kalau seandainya dia nggak kenal gue, harusnya teman-temannya itu juga nggak kenal gue kan? Nyatanya teman-temannya nggak tunjuk tangan, yang artinya teman-temannya itu kenal semua sama gue. Tapi gue nggak ada satupun kenal sama anak-anak dikelompok itu.
“Haha, Edan, langsung dapet mangsa bang?” kata Herman kemudian merangkul gue. gue hanya senyum, lebih ke bingung. Haha.
“Halo!” sapa gue.
“Halo, bang.” Kata cewek ini.
“Eh, main panggil bang aja lo. Emang gue udah tua? Gue yang paling muda di sini. Nih liat muka gue. Paling muda ye kan? Haha.” Kata gue berusaha mencairkan suasana tegang yang meliputi diri anak ini.
“Lanjutin dong kenalannya. Yang kenceng ngomongnya, biar temen lo di bawah sana pada denger dan inget.” Herman menimpali.
“Bang, boleh kenalan ga?” katanya.
“Boleh banget lah.” Kata gue sambil tersenyum meledek.
“Nama saya Emilya Riva Oktariani, bang. Panggil saya, Emi.” Katanya sambil menyodorkan tangannya ke gue.
“Kaku bener kayak kanebo kering lo. Pake saya saya segala lagi. Haha. Gue Ija, seangkatan juga sama lo kok.” Balas gue.
“Lah, dia cemberut. Hahaha.” Gue menunjuk ekspresi dia yang kelihatan nggak nyaman.
“Gue Firzy Andreano. Enam angkatan diatas lo. Panggil aja gue Ija.” Sambung gue.
“Oke, salam kenal bang Ija.” Kata Emi lalu melepaskan tangannya sambil senyum kecil.
“Lho? Gitu doang? Gue belom nulis nomor handphone gue ke tangan lu loh.” Kata gue.
“Nggak usah bang, makasih.”
“Mi, di luar sana orang berebutan buat tau nomor handphone Bang Ija, lo kok nolak gitu aja?” Teguh tiba-tiba menyahut, dan diikuti tawa semua alumni yang ada disitu, termasuk gue.
“Yaudah, sana balik, gabung ke kelompok lo ya.” kata Herman.
“Makasih abang-abang semua.” Katanya sambil sedikit membungkukkan badan.
Selanjutnya, kelompok-kelompok lainnya silih berganti datang. Gue juga sambil mengamati beberapa cewek yang gue pikir cukup good looking walaupun dalam keadaan lusuh sekalipun. Ada Debby dan Depi yang dulu pernah ketemu di GMRD, dan si Debby ini adalah pacarnya Herman. Ketika masuk ke kelompok yang menurut gue adalah bagian terpenting dari himpunan, ada Nindy disitu. Gue sangat kaget, karena angkatan dia baru aja masuk ke jurusan. Tau apa dia soal himpunan? Setahun aja belum dia dilingkungan jurusan ini.
Gue sempat tanya dengan Putra dan Herman mengenai hal ini tapi yang gue dapat jawabannya adalah semua butuh penyegaran dan aturan baru yang nggak saklek dan mengacu pada aturan yang udah ada sebelumnya. Gue bukannya mau menentang kali ini, tapi pengalaman juga penting dalam menjalankan sebuah organisasi.
Contoh, ketika lo memilih ketua OSIS, nggak mungkin kan anak kelas 1 SMA yang baru masuk ke sekolah itu lo pilih jadi ketuanya? Bukan sok mau kalah tua atau gimana, tapi pengalaman dan adaptasi dilingkungan lah yang jadi nilai plusnya kakak kelas dibanding anak yang baru aja masuk. Di jurusan gue pun saat itu seperti itu. Makanya gue agak mempertanyakan gimana rekrutmennya. Oke pada akhirnya gue yang lebih terbuka pemikirannya bisa terima alasannya, tapi teman-teman gue apa bisa? Itu yang gue takutin.
--
Dee sedang berada di ibukota selama satu minggu karena pelatihan dari kantornya. Gue pun di weekend menemaninya. Dan kami sepakat akan buat keputusan mengenai masa depan hubungan kami yang udah sangat dingin dan hambar ini.
Setelah rangkaian pelatihannya selesai di hari jumat, gue langsung menjemputnya. Kala itu gue membawa mobil gue. Gue memenuhi keinginannya untuk berangkat ke pantai anyer. Oke saat itu gue dan dia langsung cabut ke arah sana. Perjalanan agak melelahkan karena berbarengan dengan waktunya pulang kerja dan juga orang-orang yang mau berwisata akhir pekan disana. Gue nggak menyewa penginapan. Jadi kami hanya ada dimobil aja semalaman sampai menunggu sunrise disana.
“Yank, udah mau subuh nih. Bangun yuk.” Kata gue.
“Oh iya ya? dingin juga ya disini.” Kata Dee kemudian memeluk gue.
“Ke masjid dulu yuk dekat situ. Sekalian ibadah terus bersih-bersih, minimal cuci muka dan sikat gigi.” Kata gue.
“Ayo yank.” Katanya.
Kemudian kami melaksanakan ibadah, dan setelahnya bersih-bersih, berganti pakaian dan menyemprotkan beberapa kali parfum yang emang udah tersedia di mobil gue.
Pagi sudah tiba, dan kami mendapatkan spot yang pas untuk melihat sunrise.
“Seandainya aku bisa selalu melihat keindahan alam ini setiap saat bareng kamu yank.” Kata Dee.
“Aku juga mau selalu begitu Dee.” Sahut gue.
“Kamu tau kan, aku nggak pernah ngeraguin cinta kamu ke aku, dan aku yakin kamu juga kayak gitu.”
“Iya Dee.....”
“Tapi ternyata kita kalah sama ego kita masing-masing ya Zi. Dan aku berat banget ngejalaninnya jadinya.”
“Aku juga berat dengan keputusan ini Dee. Aku tetap sayang sama kamu, apapun keadaannya.”
“Yakin kamu kita nggak bakal pisah emang?”
“Aku nggak tau kedepannya gimana, yang jelas untuk saat ini, karena kata sepakat nggak pernah kita temuin, perjalanan kita semakin terjal aja yank.”
“Itu dia yank. Aku sempet mikir untuk mencoba pindah aja ke ibukota ngikutin kamu, tapi hati aku nggak pernah bisa nerima Zi. Aku emang dari awal, bahkan dari jaman kuliah pun udah bilang kan, kalau aku nggak pernah nyaman tinggal di kota besar, apalagi ibukota.”
“Iya, sebelum ketemu aku. Tapi setelah ketemu aku bahkan kamu udah mulai terbiasa dengan kehidupan diibukota yang selalu ramai. Sekarang malah kamunya kayak balik lagi waktu sebelum kamu datang ke kampus kita yank.”
“Ya karena emang akar aku kan dari kampung, jadinya ya kembali kekampung dan hidup disana kayaknya jauh lebih baik dan menentramkan hati. Nggak mudah stres, lebih santai dan ya lebih nikmat aja Zi.”
“Jadi bener ya ini? Udah bulat keputusan kamu Dee?”
“Iya sayang.” ucapnya lirih.
“Aku nggak tau lagi harus gimana Dee buat bisa pertahanin ini semua.” Suara gue agak bergetar.
“Aku tetap akan sayang kamu.” Katanya, sambil menitikkan air mata.
“Aku nggak bisa buat jauh dari kamu.”
“Aku juga.”
“Tapi semuanya harus diakhiri Dee, karena kita nggak bisa kayak gini terus.”
“Aku ngerti banget.” katanya, kali ini tangisnya pecah sejadi-jadinya.
Dee memeluk gue erat dan menangisi keadaan ini cukup lama. Gue pun memeluknya. Gue juga ikutan menitikkan air mata. Sungguh berat melepaskan sebuah hubungan yang sudah melewati pasang surut berulang kali, putus nyambung, senang sedih, dan segalanya sudah dilewati semua bersama-sama. Bahkan perencanaan untuk membawa hubungan ini ke jenjang berikutnya yang lebih serius pun sudah pernah terpikirkan. Tapi kami kalah oleh ego masing-masing. Gue nggak bisa untuk LDR, begitu juga dengan Dee. Dee ingin bertahan dengan keadaan saling berjauhan seperti ini, dia berusaha membohongi perasaannya dengan mencoba untuk terus menjalani hubungan dengan cara ini. Tapi gue nggak ingin kami berdua tersiksa karena raga yang saling berjauhan.
Kami pulang dari pantai dalam keheningan. Pesawat Dee akan berangkat pukul 19.00 malam. Jadi gue memutuskan untuk mengantar langsung ke bandara. Gue harus bersamanya didetik-detik akhir hubungan ini.
“Makasih buat semuanya Zi.” Kata Dee, sambil menangis lagi.
“Aku selalu sayang kamu Dee.” Kata gue.
“Aku juga. Always loving you, sayang.” Dee menutup percakapan kami.
Kami berpelukan dalam hening keadaan. Kami harus melepas segala atribut berbau percintaan yang telah kami sematkan didalam hati masing-masing. Dee bilang dia tidak akan pernah memberitakan kabar duka ini ke siapapun, pun ke teman terdekatnya, Anis. Biarkan ini menjadi kenangan manis untuk dirinya sendiri, bahwa keberadaan gue dihatinya sekian lama, telah menggoreskan sebuah sejarah panjang bagaimana rasanya saling mencinta yang tulus.
Bagaimana sebuah pengorbanan berakhir dengan ujung yang tidak sesuai harapan. Biarkan buku dengan coretan perasaan hati yang telah kami tuliskan bersama selama ini disimpannya dengan rapat dan tak perlu ada siapapun yang ikut haru didalamnya.
Desty Kharisma Uzianti.
Bagaimana sosok ini banyak memberikan gue banyak pelajaran dalam menentukan jalan hidup kedepan, yang akan berakhir pada sebuah muara. Muara pencarian yang ternyata masih harus gue temukan (lagi). Dia yang memberikan gue inspirasi dalam menentukan kriteria yang tepat untuk melengkapi kekurangan gue, memenuhi kekosongan hati gue, menambal keburukan sifat gue, menahan amarah menggebu fisik gue, dan segalanya yang gue butuhkan demi menjadi orang yang lebih baik.
Saat sampai dirumah, Dee memberikan lagu ini untuk gue, Wherever You Are by One Ok Rock
Kalau gue, selama itu asyik gue sih bisa-bisa aja ngikutin arus pergaulan anak-anak sekarang. Dari mulai tata bahasa yang makin unik-unik, kebiasaan mereka yang kalau mau memulai sesuatu itu jalanin aja dulu baru mikir resiko belakangan, menggunakan media sosial (yang mana saat itu gue sangat aktif di twitter) dan sebagainya. Makanya banyak akhirnya yang jadi milenial sukses dengan mendirikan start-up yang memberikan impact positif terhadap kemajuan masyarakat belakangan ini. Bahkan sekarang dari empat Unicorn yang ada di tanah air, semua CEO nya belum ada yang mencapai umur 40 tahun. Suatu pencapaian luar biasa. Salah satunya bahkan sudah diangkat menjadi seorang menteri.
Perubahan kultur pergaulan dan pemanfaatan teknologi yang semakin maju membuat generasi yang lebih muda lebih berani untuk unjuk gigi. Makanya dulu gue juga sempat menentang sistem-sistem ospek yang norak dan terlalu pelonco-sentris yang akhirnya menyebabkan makna dari ospek sendiri menjadi bias. Pada himpunan sendiri pun banyak yang gue dan rekan-rekan ubah sistemnya. Tidak konvensional dan terkesan hanya mengikuti “sukses” angkatan terdahulu. Bikin inovasi dong biar bisa dikenang. Hehehe.
Salah satu efeknya adalah perubahan sistematika di upgrading ini. Dulu jaman gue masih ada dikampus, upgrading itu semacam kumpul-kumpul antara pengurus lama dan pengurus baru himpunan, yang tanpa ada pelibatan unsur fisikal didalamnya. Jadi kayak kita mau perpisahan kelas jaman SMA, lalu sekelas jalan dan menginap di tempat wisata, kemudian saling bercengkrama, nyanyi-nyanyi, main kartu dan sebagainya. Suasana jadi terasa sangat hangat dan bersahabat.
Upgrading yang diadakan oleh jurusan gue kali ini berbeda. Entah dari kapan dimulainya, yang jelas upgrading ini melibatkan unsur fisikal yang sangat banyak. Seperti jurit malam kalau yang berpengalaman ikutan ekskul atau OSIS di SMA, ketika pelantikan biasanya ada sesi seperti ini. Nah upgrading jurusan gue saat itu kurang lebih seperti itu juga, tapi diadakannya siang.
Calon pengurus baru dibagi beberapa kelompok berdasarkan divisinya masing-masing yang mana divisinya juga ada yang berubah nama atau ada divisi baru disesuaikan dengan perkembangan, beda dengan jaman gue dulu. Lalu nanti ada briefing dan tugas-tugas tertentu, kemudian melewati beberapa pos, pake acara bawa-bawa tongkat dengan bendera yang harus dipertahankan. Gobl*k banget dan nggak terlalu guna lah pokoknya. Tapi ya itu tadi, itulah perubahan-perubahan yang ada, dan gue nggak masalahin. Cuma rada aneh aja, apa maknanya?
--
Sabtu malam gue akhirnya menginap dikostan Endy. Gue pun melihat pemandangan yang sama kayak waktu gue menginap tempo hari dikamarnya. Berantakan dan basah dimana-mana. Yaelah, crat crot crat crot aje nih si Vici. Nggak puas apa ya sama pacarnya. Hahaha.
Minggu paginya, gue diantar oleh Endy menggunakan motornya, karena gue nggak bawa kendaraan. Gue sampai dikampus dan kemudian bertanya kepada panitia yang ada.
Kami sampai ditujuan sesaat kemudian, karena jaraknya nggak terlalu jauh. Kala itu sepertinya paginya abis hujan. Banyak tanah dan rumput yang lembab dan basah. Jadi kondisinya agak sedikit licin jalanannya. Endy berangkat lagi karena ada urusan, katanya nanti dia akan balik kesitu lagi setelah urusannya selesai. Lokasinya itu ada dikebun, lebih tepatnya hutan kecil gitu, kontur tanahnya melandai, jadi berbentuk lereng.
Disana udah ada beberapa alumni. Termasuk ada Putra, salah seorang mantan ketua himpunan, ada Herman juga, tapi anak ini belum lulus, ada juga beberapa alumni lain angkatan Herman yang nggak terlalu gue kenal. Ada juga Teguh, Ari, dan Doni yang seangkatan sama Dee. Tapi nggak ada angkatan Diani disitu. Haha. Ya ngapain angkatan sampah diajak-ajak ye kan. Nggak lama setelah gue sampai, Benu datang. Untungnya nggak ada alumni yang lebih tua dari angkatan Benu. Males banget soalnya otaknya pada tukang pelonco rata-rata. Adanya malah bisa berantem gue sama mereka karena beda pemikiran.
“Wah ada bang Ija, apa kabar bang?” sapa Herman.
“Haha, baik Man. Udah lulus lo?” kata gue.
“Belum bang. Dikit lagi tapi. Haha.”
“Haha iya lah santai aja.”
Gue juga menyapa anak-anak GMRD Regency yang ada disitu. Mereka semua udah lulus. Tapi disana gue nggak melihat ada Yudha.
“Si Yudha mana?” tanya gue.
“Kayaknya ada urusan dulu sama ceweknya deh bang.” Kata Ari.
“Oh yang waktu abis ngasih kejutan ulang tahun nggak keluar-keluar lagi dari kamar ya? hahaha.” Kata gue.
“Naah, itu lo inget bang. Hahaha.” Kata Teguh.
“Urusan ngamar-ngamar mana gue lupa bro. hahaha.” Kata gue.
“Suseh deh emang kalau jadi orang populer mah.” Sahut Benu.
“Wah iya dong, mumpung masih muda, budayakan eksplorasi bro. Hehehe.” Balas gue.
“T*i lo Ja, masih aje begini bahasan lo. hahaha.” Kata Benu.
“Pokoknya abang kita yang satu ini emang paling yahud lah ya urusan dengan cewek.” Kata Teguh.
“Eh, terus gimana ini? Ada briefing apa dari panitia? Disuruh apa kita disini?” tanya gue.
“Nah, itu dia bang, kita juga nggak tau ini. Dibebasin gitu kita sama panitia.” Jawab Putra.
“Lah, gimana? Untung yang datang alumninya pada waras nih, kalau datang yang angkatan diatas si Benu dan keatasnya lagi, bisa abis-abisan dikerjain nih anak-anak. Hahaha.” Kata gue.
“Haha bener juga sih bang. Kalau yang datang itu angkatan yang lebih tua lagi yang pikirannya masih kolot, bisa kacau semua nih. Haha.” Kata Herman.
Tidak lama kemudian, kelompok pertama datang dari arah sebelah kanan kami. Posisi kami para alumni ada ditempat yang agak lebih tinggi dari jalan yang dilewati kelompok pertama ini, dan kelompok-kelompok selanjutnya. Kelompok ini berada kurang lebih sekitar 10-20 meter didepan kami para alumni. Tapi letaknya mereka lebih rendah dari kami, sehingga para peserta ini agak mendongak keatas dikit untuk melihat kami.
Kami yang masih bingung mau ngapain, berunding sebentar. Akhirnya gue mengidekan untuk tebak-tebakan nama alumni atau mana alumni yang nggak dikenal, nanti kalau ada peserta yang nggak kenal, langsung suruh kenalan sama alumni yang nggak dikenalnya itu. Jadi jauh dari yang namanya perpeloncoan norak yang bisa bikin trauma anak orang. Namanya upgrading itu biar bisa saling akrab dan saling mengenal satu sama lain kan, itu isu utamanya.
“Selamat! Kalian udah bisa sampai di pos terakhir, Pos Alumni.” kata Putra, sedikit berteriak.
“Saya nggak nyangka bakalan INFAK yang masuk sini duluan. Saya kira bakalan BPH ya.” Lanjut dia lagi.
“Makanya, karena kehebatan kalian, jadi harus dikasih yang spesial-spesial. Ya nggak abang-abang?” sahut Herman tiba-tiba ikutan ngomong.
Putra, Herman, Teguh, Doni, Ari dan beberapa alumni lain angkatan Herman yang gue nggak terlalu kenal sudah berada agak sedikit kebawah, lebih mendekat ke peserta. Sementara gue dan Benu masih diatas.
“Ting, mau ikutan turun nggak? Biar lebih jelas kalo mereka mau ngomong apa. Ini soalnya kan luas gini, takutnya nggak kedengeran kalo mau ngomong.” Kata gue.
“Yaudah, sok duluan aja.” Kata Benu.
Sialnya, karena tanah yang agak licin, membuat gue sedikit terpeleset. Bangs*t, bikin malu aja ini didepan adik-adik kelas. Tapi gue berusaha setenang dan se-cool mungkin. Haha.
“Put, INFAK itu divisi apaan ya? Kok jaman gue dulu nggak ada. Haha.” Gue berbisik sebentar ke Putra.
“Informasi dan Komunikasi bang, jadi yang banyak ngurusin soal informasi tentang himpunan, tentang informasi beasiswa, atau kegiatan-kegiatan dijurusan kita, atau lowongan-lowongan gitu bang. Segala sesuatunya yang berhubungan dengan penyampaian informasi dari dan untuk mahasiswa, mereka yang urus, gitu sih bang kurang lebih.”
“Hoo, gitu ya. Dulu ada, tapi belum sekompleks ini sih. Mantap deh kalo gitu. Haha.”
“Wohoo, lo dateng juga bang. Ramein bang.” Kata Teguh.
Lah, kan gue udah dateng daritadi. Ini gimmick apa gimana? Mana pada nyalamin ulang lagi. Buset ini pada akting apa gimana. Tapi yaudah gue ikutin aja permainannya. Hahaha.
“Jadi gimana? Siapa yang mau mulai duluan?” kata gue berbisik.
“Lo aja bang, kan yang paling tua disini lo.” kata Herman.
“Dih, anj*ng. haha. Jangan gue lah, gue baru dateng kali. Lanjut aja dulu.”
Kemudian Benu yang akhirnya turun gue rangkul aja dikit biar sok sibuk dulu gue.
“Ini kebanyakan gimmick nih bocah-bocah. Hahaha.” Bisik gue.
“Biarin aje udah, kita mah ngikut aja.” Bisik benu santai.
Acara dimulai dengan dikomandoi Herman.
“Sebagai pemanasan, buat kelompok kalian, akan gue kasih tugas. Gampang kok. Gue mau tes kalian apakah kalian kenal dengan kami semua yang ada didepan sini? Kalau ya, kalian harus bisa nyebutin nama lengkap kami serta angkatannya pas nanti kami nanya kelompok kalian. Jika ada yang salah, satu orang aja nih ya, kalian mesti terima konsekuensinya. Harusnya sih kalian udah kenal pas ospek dulu. Masa udah dicatetin dibuku masing-masing masih nggak hafal juga? Kami disini pernah jadi asisten dosen waktu praktikum loh. So, nggak ada alasan apapun lagi untuk nggak kenal.” Kata Herman.
Gue cuma mikir, bloon juga nih si Herman. Iya gue emang pernah jadi asisten dosen, tapi nggak diangkatan para peserta ini kan. Bedanya 6-7 tahun soalnya. Ketika gue lulus aja mereka masih SMA. Haha.
“Waktu kalian kami kasih 10 menit, dimulai dari sekarang. Jangan lupa kerjasama timnya.” Tambah Putra.
“Man, lo gobl*k bener. Gue sama Benu kan nggak pernah ngasistenin mereka. Hehe.” bisik gue ke Herman.
“Sengaja bang, sekalian ngetes sepopuler apa nama lo di jurusan ini. Hahaha.” Kata Herman santai.
“Haha anjir amat lo. tapi ya bebas lah, kalo ada yang kenal juga ya bersyukur aja gue mah.” Kata gue.
“Kalo ada yang nggak kenal, ngaku aja, dan maju kesini ya.” kata Herman ke anak-anak itu.
Herman mulai menghitung karena waktunya udah habis. Ketika hitungan mundur dia sampai di angka tujuh, salah seorang peserta dikelompok itu mengangkat tangan.
“Bang, saya ada salah satu alumni yang nggak dikenal.” Katanya.
“Sini maju sayang. Kalo ada yang nggak kenal, ya kenalan lah. Sini, tunjuk siapa yang nggak kamu kenal sayang.” Kata Herman menggoda.
Anj*ng amat si Herman ngegodain cewek ini. Jangan-jangan ini sebenarnya gebetan lain dia. Hahaha. Atau kalo nggak ya objek bullyan kakak kelas.
Cewek itu kemudian maju, memisahkan diri dari kelompoknya. Dia memakai baju lengan panjang bergaris biru putih, lusuh karena banyak bercak tanahnya. Kerudungnya juga berwarna biru saat itu. Intinya dekil banget ini cewek, sama dengan anggota kelompoknya yang lain. Ada 8 orang kelompoknya, dua cowok dan sisanya cewek semua. Herman bilang namanya Emilya.
“Siapa alumni yang nggak kamu kenal, Emi?” kata Putra.
“Saya mau kenal saya abang yang di sana.” Kata dia menunjuk ke gue.
Gue cuma berpikir, kalau seandainya dia nggak kenal gue, harusnya teman-temannya itu juga nggak kenal gue kan? Nyatanya teman-temannya nggak tunjuk tangan, yang artinya teman-temannya itu kenal semua sama gue. Tapi gue nggak ada satupun kenal sama anak-anak dikelompok itu.
“Haha, Edan, langsung dapet mangsa bang?” kata Herman kemudian merangkul gue. gue hanya senyum, lebih ke bingung. Haha.
“Halo!” sapa gue.
“Halo, bang.” Kata cewek ini.
“Eh, main panggil bang aja lo. Emang gue udah tua? Gue yang paling muda di sini. Nih liat muka gue. Paling muda ye kan? Haha.” Kata gue berusaha mencairkan suasana tegang yang meliputi diri anak ini.
“Lanjutin dong kenalannya. Yang kenceng ngomongnya, biar temen lo di bawah sana pada denger dan inget.” Herman menimpali.
“Bang, boleh kenalan ga?” katanya.
“Boleh banget lah.” Kata gue sambil tersenyum meledek.
“Nama saya Emilya Riva Oktariani, bang. Panggil saya, Emi.” Katanya sambil menyodorkan tangannya ke gue.
“Kaku bener kayak kanebo kering lo. Pake saya saya segala lagi. Haha. Gue Ija, seangkatan juga sama lo kok.” Balas gue.
“Lah, dia cemberut. Hahaha.” Gue menunjuk ekspresi dia yang kelihatan nggak nyaman.
“Gue Firzy Andreano. Enam angkatan diatas lo. Panggil aja gue Ija.” Sambung gue.
“Oke, salam kenal bang Ija.” Kata Emi lalu melepaskan tangannya sambil senyum kecil.
“Lho? Gitu doang? Gue belom nulis nomor handphone gue ke tangan lu loh.” Kata gue.
“Nggak usah bang, makasih.”
“Mi, di luar sana orang berebutan buat tau nomor handphone Bang Ija, lo kok nolak gitu aja?” Teguh tiba-tiba menyahut, dan diikuti tawa semua alumni yang ada disitu, termasuk gue.
“Yaudah, sana balik, gabung ke kelompok lo ya.” kata Herman.
“Makasih abang-abang semua.” Katanya sambil sedikit membungkukkan badan.
Selanjutnya, kelompok-kelompok lainnya silih berganti datang. Gue juga sambil mengamati beberapa cewek yang gue pikir cukup good looking walaupun dalam keadaan lusuh sekalipun. Ada Debby dan Depi yang dulu pernah ketemu di GMRD, dan si Debby ini adalah pacarnya Herman. Ketika masuk ke kelompok yang menurut gue adalah bagian terpenting dari himpunan, ada Nindy disitu. Gue sangat kaget, karena angkatan dia baru aja masuk ke jurusan. Tau apa dia soal himpunan? Setahun aja belum dia dilingkungan jurusan ini.
Gue sempat tanya dengan Putra dan Herman mengenai hal ini tapi yang gue dapat jawabannya adalah semua butuh penyegaran dan aturan baru yang nggak saklek dan mengacu pada aturan yang udah ada sebelumnya. Gue bukannya mau menentang kali ini, tapi pengalaman juga penting dalam menjalankan sebuah organisasi.
Contoh, ketika lo memilih ketua OSIS, nggak mungkin kan anak kelas 1 SMA yang baru masuk ke sekolah itu lo pilih jadi ketuanya? Bukan sok mau kalah tua atau gimana, tapi pengalaman dan adaptasi dilingkungan lah yang jadi nilai plusnya kakak kelas dibanding anak yang baru aja masuk. Di jurusan gue pun saat itu seperti itu. Makanya gue agak mempertanyakan gimana rekrutmennya. Oke pada akhirnya gue yang lebih terbuka pemikirannya bisa terima alasannya, tapi teman-teman gue apa bisa? Itu yang gue takutin.
--
Dee sedang berada di ibukota selama satu minggu karena pelatihan dari kantornya. Gue pun di weekend menemaninya. Dan kami sepakat akan buat keputusan mengenai masa depan hubungan kami yang udah sangat dingin dan hambar ini.
Setelah rangkaian pelatihannya selesai di hari jumat, gue langsung menjemputnya. Kala itu gue membawa mobil gue. Gue memenuhi keinginannya untuk berangkat ke pantai anyer. Oke saat itu gue dan dia langsung cabut ke arah sana. Perjalanan agak melelahkan karena berbarengan dengan waktunya pulang kerja dan juga orang-orang yang mau berwisata akhir pekan disana. Gue nggak menyewa penginapan. Jadi kami hanya ada dimobil aja semalaman sampai menunggu sunrise disana.
“Yank, udah mau subuh nih. Bangun yuk.” Kata gue.
“Oh iya ya? dingin juga ya disini.” Kata Dee kemudian memeluk gue.
“Ke masjid dulu yuk dekat situ. Sekalian ibadah terus bersih-bersih, minimal cuci muka dan sikat gigi.” Kata gue.
“Ayo yank.” Katanya.
Kemudian kami melaksanakan ibadah, dan setelahnya bersih-bersih, berganti pakaian dan menyemprotkan beberapa kali parfum yang emang udah tersedia di mobil gue.
Pagi sudah tiba, dan kami mendapatkan spot yang pas untuk melihat sunrise.
“Seandainya aku bisa selalu melihat keindahan alam ini setiap saat bareng kamu yank.” Kata Dee.
“Aku juga mau selalu begitu Dee.” Sahut gue.
“Kamu tau kan, aku nggak pernah ngeraguin cinta kamu ke aku, dan aku yakin kamu juga kayak gitu.”
“Iya Dee.....”
“Tapi ternyata kita kalah sama ego kita masing-masing ya Zi. Dan aku berat banget ngejalaninnya jadinya.”
“Aku juga berat dengan keputusan ini Dee. Aku tetap sayang sama kamu, apapun keadaannya.”
“Yakin kamu kita nggak bakal pisah emang?”
“Aku nggak tau kedepannya gimana, yang jelas untuk saat ini, karena kata sepakat nggak pernah kita temuin, perjalanan kita semakin terjal aja yank.”
“Itu dia yank. Aku sempet mikir untuk mencoba pindah aja ke ibukota ngikutin kamu, tapi hati aku nggak pernah bisa nerima Zi. Aku emang dari awal, bahkan dari jaman kuliah pun udah bilang kan, kalau aku nggak pernah nyaman tinggal di kota besar, apalagi ibukota.”
“Iya, sebelum ketemu aku. Tapi setelah ketemu aku bahkan kamu udah mulai terbiasa dengan kehidupan diibukota yang selalu ramai. Sekarang malah kamunya kayak balik lagi waktu sebelum kamu datang ke kampus kita yank.”
“Ya karena emang akar aku kan dari kampung, jadinya ya kembali kekampung dan hidup disana kayaknya jauh lebih baik dan menentramkan hati. Nggak mudah stres, lebih santai dan ya lebih nikmat aja Zi.”
“Jadi bener ya ini? Udah bulat keputusan kamu Dee?”
“Iya sayang.” ucapnya lirih.
“Aku nggak tau lagi harus gimana Dee buat bisa pertahanin ini semua.” Suara gue agak bergetar.
“Aku tetap akan sayang kamu.” Katanya, sambil menitikkan air mata.
“Aku nggak bisa buat jauh dari kamu.”
“Aku juga.”
“Tapi semuanya harus diakhiri Dee, karena kita nggak bisa kayak gini terus.”
“Aku ngerti banget.” katanya, kali ini tangisnya pecah sejadi-jadinya.
Dee memeluk gue erat dan menangisi keadaan ini cukup lama. Gue pun memeluknya. Gue juga ikutan menitikkan air mata. Sungguh berat melepaskan sebuah hubungan yang sudah melewati pasang surut berulang kali, putus nyambung, senang sedih, dan segalanya sudah dilewati semua bersama-sama. Bahkan perencanaan untuk membawa hubungan ini ke jenjang berikutnya yang lebih serius pun sudah pernah terpikirkan. Tapi kami kalah oleh ego masing-masing. Gue nggak bisa untuk LDR, begitu juga dengan Dee. Dee ingin bertahan dengan keadaan saling berjauhan seperti ini, dia berusaha membohongi perasaannya dengan mencoba untuk terus menjalani hubungan dengan cara ini. Tapi gue nggak ingin kami berdua tersiksa karena raga yang saling berjauhan.
Kami pulang dari pantai dalam keheningan. Pesawat Dee akan berangkat pukul 19.00 malam. Jadi gue memutuskan untuk mengantar langsung ke bandara. Gue harus bersamanya didetik-detik akhir hubungan ini.
“Makasih buat semuanya Zi.” Kata Dee, sambil menangis lagi.
“Aku selalu sayang kamu Dee.” Kata gue.
“Aku juga. Always loving you, sayang.” Dee menutup percakapan kami.
Kami berpelukan dalam hening keadaan. Kami harus melepas segala atribut berbau percintaan yang telah kami sematkan didalam hati masing-masing. Dee bilang dia tidak akan pernah memberitakan kabar duka ini ke siapapun, pun ke teman terdekatnya, Anis. Biarkan ini menjadi kenangan manis untuk dirinya sendiri, bahwa keberadaan gue dihatinya sekian lama, telah menggoreskan sebuah sejarah panjang bagaimana rasanya saling mencinta yang tulus.
Bagaimana sebuah pengorbanan berakhir dengan ujung yang tidak sesuai harapan. Biarkan buku dengan coretan perasaan hati yang telah kami tuliskan bersama selama ini disimpannya dengan rapat dan tak perlu ada siapapun yang ikut haru didalamnya.
Desty Kharisma Uzianti.
Bagaimana sosok ini banyak memberikan gue banyak pelajaran dalam menentukan jalan hidup kedepan, yang akan berakhir pada sebuah muara. Muara pencarian yang ternyata masih harus gue temukan (lagi). Dia yang memberikan gue inspirasi dalam menentukan kriteria yang tepat untuk melengkapi kekurangan gue, memenuhi kekosongan hati gue, menambal keburukan sifat gue, menahan amarah menggebu fisik gue, dan segalanya yang gue butuhkan demi menjadi orang yang lebih baik.
FIN SEASON 2
hendra024 dan 35 lainnya memberi reputasi
36
Tutup
![Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2](https://s.kaskus.id/images/2019/10/14/10668384_20191014114347.jpg)
![Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2](https://s.kaskus.id/images/2019/11/11/10668384_20191111104352.png)
Mulustrasi Dwina, 98,66% mirip, tapi Dwina tinggi kurus langsing
Mulustrasi Rinda, 85% mirip cewek ini, baik badan maupun mukanya
Mulustrasi Dinar, 99,17% mirip, tapi Dinar tinggi semampai dan matanya lebih lebar
serta apresiasi cendol

) Sungguh Tuhan sangat baik pada gue dengan mengirimkan informasi melalui orang ini.