Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Jangan Panggil Aku Ibu
Jangan Panggil Aku Ibu

(Warning : 21+ akan ada tindak kekerasan dalam cerita, namun sarat moral, mengantarkan banyak kejutan tak terduga di dalamnya)


part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
part 7
part 8
part 9
part 10
part 11
part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16

part 1

Suara carut-marut beberapa ayam jantan yang berkokok, mulai menyadarkanku dari lelapnya tidur. Membuatku beranjak segera membuka jendela kamar. Terlihat seberkas cahaya matahari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur. Tak tertinggal suara merdunya burung-burung dari balik dedaunan yang tengah bersenandung.

Seharusnya suasana pagi yang dingin nan sejuk ini menambah nikmat tersendiri untukku, namun nyatanya, sangat berbeda dengan suasana hatiku.

Kutengok jam dinding dari balik tirai. Jam 05.30. Baru sadar bahwa hanya dua jam saja aku mampu tertidur?

Dengan mata yang masih terasa berat, kulangkahkan kakiku keluar kamar. Mematikan lampu tengah dan teras yang masih menyala. Lalu membuka bilik-bilik jendela, terakhir membuka pintu utama.

Haidar masih saja bergelut dengan mimpinya. Kubiarkan ia terlelap tidur. Masih penasaran ke-diam-annya semalam. Tumben ia tak rewel, tak seperti biasanya.....

Sementara, Mas Agus ... entah kemana ia. Gelas berisi teh di atas meja masih tak tersentuh sama sekali. Sepertinya ia tak pulang lagi.

Kutarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan seiring penatnya kepala yang kurasakan.

Sudah tiga hari ini, Mas Agus tak pulang. Membuatku khawatir dan berpikir yang macam-macam. Uang yang ia beri padaku sepekan yang lalu sudah menipis. Aku semakin dibuat pusing karena tak ada lagi orang yang bisa kutoleh disini.

"He, Wati! Jangan ngutang lagi, ya! Boleh ngutang, tapi, lunasin dulu tunggakannya! Jebol anakku kalau dirimu ngutang mulu."
Dari warung seberang jalan, Mak Minah berteriak kencang sembari mengacungkan sapu halamannya itu padaku.

Aku langsung membalikkan badan, pergi dari ruang tamu dengan langkah cepat menuju kembali ke kamar. Tak terasa air mata mulai menitik. Betapa malunya aku sebagai perempuan diteriaki seperti itu disaat banyak para tetangga belanja di warungnya.
Bagaimana aku bisa melunasi hutang, sementara uang yang kukantongi sekarang saja tersisa hanya enam ribu rupiah.

Kuseka air mataku yang kian mengucur, lalu mengalihkan pandangan kembali menatap Haidar yang masih terlelap.
Oh, Tuhan ... aku tak sanggup lagi.
Mas Agus, kamu dimana?

Lagi-lagi air mataku menitik.

Belum usai kesedihanku, pagi-pagi sekali Bu Rina datang. Ia marah, menyuruhku segera meninggalkan rumah. Kami memang menunggak biaya sewa lima bulan, dan aku tahu Mas Agus sudah berusaha untuk itu. Tapi, bagaimana lagi ... penghasilannya sebagai kuli angkut di pasar hanya cukup untuk menutup hutang yang lain dan makan seadanya.

Tak mau terus bersitegang, lantas kutegaskan pada Bu Rina jika Mas Agus sudah tiga hari ini tak pulang. Namun, sudah tak ada lagi rasa iba terpancar dari raut wajahnya.

"Saya sudah lima bulan bersabar, Wati. Suamimu tak juga memberi uang yang dijanjikan meski sekedar menyicil. Saya ini sudah tidak punya suami. Beda dengan kamu. Masih untung kamu ada yang menafkahi. Harapan saya cuma di rumah ini. Kalau kamu tak bisa membantu perekonomian saya, silahkan kamu pergi! Saya sudah cukup menunggu. Saya ini juga dalam keadaan butuh!"

Ucapan Bu Rina lantang terdengar, membuat dadaku sesak seolah tak mampu lagi berkata.

Tiba-tiba, Haidar menangis kencang dari dalam kamarnya. Aku yang kaget, segera berlari melihat apa yang terjadi. Bayi delapan bulanku mendadak memelototkan kedua mata. Tangisannya terhenti, dan tangannya menggenggam erat, lurus kencang.

"Bu ... Bu Rina! Tolong!" Aku berteriak histeris sambil menggendong Haidar. Saking paniknya, aku berjalan mondar-mandir tak jelas di dalam kamar, mencoba menyusuinya. Tetap ia tak berekspresi.

"Kenapa, Wati?" Bu Rina yang baru menghampiri, tampak khawatir memandangku.

"Haidar! Coba lihat, Bu! Ini Haidar kenapa? Ia juga tak mau menyusu," pekikku sambil membawa Haidar mendekat pada Bu Rina.

"A-ayo ke puskesmas saja, Wat!"

Akhirnya, aku dibonceng Bu Rina pergi dengan motornya.

Kepalaku terasa penuh, sementara tanganku terus menutupi Haidar dengan selimut. Matanya masih saja membulat, membuatku semakin menangis karena cemasnya. Kucoba menyusuinya, memaksanya. Tetap saja bibirnya mengatup tak berekspresi.

Ya ampun, Mas Agus ... cepat pulang, Maaaasss!

Tak kuasa aku menahan kesedihan yang teramat sangat kali ini.

Sesampainya di puskesmas, kusuruh para petugas cepat membawa Haidar masuk untuk diperiksa. Sementara Bu Rina ada di loket antrian.

"Tolong banget, Mas! Tolong anak saya!" Aku tak sanggup berkata lagi saking bingungnya.

Selagi Haidar diperiksa, tiba-tiba, aku dikagetkan lagi dengan Bu Rina yang datang sambil menyenggol pundakku.

"Wati, kamu ada KIS gak?" tanyanya.

"Apa itu, Bu?"

"Aduuuhh, kalau ngomongmu begitu, kayaknya kamu nggak punya. Kamu minta tolong ke kelurahan, deh! Aku juga tak ada duit buat bayar nanti."

"La-lalu? Haidar bagaimana, Bu?"

"Sudahlah! Ada petugasnya, kan? Ayo!"

Tanpa banyak pertimbangan lagi, aku pun menurut apa kata Bu Rina. Pergi bersamanya menuju ke kelurahan.

Setelah lama berkutat di dalam kantor kelurahan, akhirnya kudapatkan secarik surat dari sana, sebagai pengantar sementara selagi kartu KIS belum ada. Tak menunggu waktu lagi, segera kami kembali berangkat ke puskesmas.
Bu Rina langsung menuju loket, sementara aku bergegas menuju tempat dimana Haidar diperiksa.

Namun, pemandangan yang ada lebih mengagetkanku.

Haidar terbujur kaku, dengan tali perban melilit di sekitar dagu ke kepalanya.

Kurasakan kepalaku semakin pening, pandanganku seketika kabur.

****

Sudah tujuh hari kepergian anakku, Haidar. Namun ingatan tentangnya masih membekas. Saat wajah lucunya menangis, saat bayi menggemaskan itu tersenyum, semua itu masih terkenang jelas dalam ingatan.

Kuputuskan menutup kenangan tentangnya. Agar tak lagi ada tangis terbendung. Aku sudah capek, pikiranku sudah kalut.

Lalu, aku berdiri, mulai berkemas. Baju-bajunya, karpet tidurnya, nipple mainannya, sepatu dan kaos kakinya, semua kujadikan satu pada sebuah kotak kardus besar. Lalu, kotak kardus itu kusimpan di atas lemari pakaian.

Saat itu juga, tiba-tiba suamiku datang. Ia berteriak dari luar memanggilku.

Segera aku berlari untuk memastikan, apa benar itu dia?
Ya ... memang benar. Ia datang dengan pemandangan yang nampak janggal. Ditangannya mendekap bayi dalam gendongan, lengkap beserta tas besar yang ia kalungkan menyamping ketubuhnya.

"Haidar! Lihat, Ayah bawa adek buat Haidar! Rumah bakalan rame ini." Ia berseru sambil masuk ke dalam rumah.

Aku hanya tercengang menatapnya dari balik tirai ruang tengah.

Laki-laki itu tampak sumringah dengan bayi yang ia gendong. Sekilas ia melirikku, lalu bertanya lagi, "Mana anak kita Haidar, Bu? Aku punya berita baik. Ibu pasti senang!"

Aku masih tak percaya dengan apa yang diucapnya barusan. Hanya bisa terdiam dengan mata lurus ke depan.

Anak siapa itu? Kemana ia pergi selama ini?

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 07-02-2020 19:33
g3nk_24Avatar border
tien212700Avatar border
manik.01Avatar border
manik.01 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
21.5K
242
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#73
Jangan Panggil Aku Ibu (part 8)
Byuuuuurrr!!

Aku terkesiap membuka mata kala guyuran air itu tepat membasahi muka. Lantas dengan cepat kuberdiri, diiringi napas megap-megap tak beraturan.

"Selamet bener kutemuin kau di sini. Coba gak ketemu, udah kulaporin kau ke Polisi." Pak Sudar, yang kini tepat berdiri di depanku, berseru lantang dengan sebuah gayung di tangan.

Di sampingnya, ada si Tomi tengah menangis sesenggukan. Ia terus terisak dengan menggosok-gosokkan tangan kirinya pada kedua mata.

"Ada apa, Pak?" Seorang penjual minuman dingin bertanya pada Pak Sudar. Bersamaan dengan itu, seluruh orang di terminal langsung berkerumun padaku.

"Nah, ini ...." Pak Sudar menunjuk tepat ke wajahku sambil menatap pada orang-orang.

"Nih, emak yang mau lari dari tanggung jawabnya. Ya ini, nih! Tengah malem nyamperin rumah, nangis-nangis minta si Nyonya ngebeli barang-barangnya dia. Eeh, tahu-tahunya, anaknya mau ditinggal minggat. Liat, nih, bocah ... nangis mulu. Nggak kasihan, apa?" lanjut Pak Sudar keras, membuatku tengah gemetar. Takut dihakimi sekitar.

"Emak apaan, sih? Tega bener ...."

"Dari semalem nih, disini. Katanya mau ke Jawa Tengah."

"Lah iya, untung semalem nggak ada bis jurusan luar kota, ya? Sempet curiga maling, makanya kupantau terus semaleman dari warung."

"Untung masih tidur, ya? Coba kalau dah bangun dari pagi tadi, mungkin dah pergi dia naik bis."

"Bener-bener nggak ada hati, ya?"

Beberapa perkataan tak enak saling menghujam ke telinga. Membuatku menangis karena merasa terpojok.

"Eh, Wati. Aku nggak jadi beli barang-barangmu. Males jadinya kalo tau begini. Ambil anakmu, nih! Punya pikiran waras dikit,napa? Sudah gila kau, ya?" Pak Sudar masih saja berkata menyudutkanku, membuat orang di sekitar saling menyoraki kesal. Tomi sendiri langsung menghambur ke pangkuan, memelukku erat sambil terus mengisakkan tangis.

"Ja-ngan pe-pergi, Bi ... T-Tomi j-janji ng-nggak na-na-nakal," ucapnya dalam tangis.

"Huuuuu ...." Seisi terminal saling mencibir. Ada yang melempariku dengan kulit kacang.

"Dasar emak bodoh! Nggak mikir dia, ntar tua ikut siapa. Bodoh dipelihara!"

"Iya, kayak gak ada nyesel-nyeselnya, tuh, muka. Pengen gue gites, aja!"

Semua mulut saling mengolok padaku. Tak segan-segan ada yang melempar kepalaku dengan botol mineral. Sementara Tomi terus memelukku erat.

"A-ayo B-Bi, pulang. Na-nanti Bi-Bibi kena lem-lempar t-terus," seru Tomi terbata, sambil mengoyakkan pelukan, berharap aku menuruti omongannya.

"Ayo, naek ke mobil. Kuantar sampai rumah kau. Nanti minggat lagi kau!" celoteh Pak Sudar sambil mencengkeram lengan kiriku.

Akhirnya, aku naik ke bak pick-up bersama Tomi. Sepanjang perjalanan, Tomi terus mendekapku kencang ....

****

Mobil terparkir tak jauh dari depan kontrakan. Dari jalanan, sudah berkumpul para warga menunggu kedatangan kami. Kutelungkupkan topi jaketku, sambil menundukkan kepala, berjalan melintasi mereka begitu saja. Namun tiba-tiba, langkahku dicegah oleh seseorang.

Bu Sudar!

"Kamu itu ya ... perempuan tak tahu malu! Anak sekecil itu mau kau tinggalkan sendiri? Kalau sudah tak sanggup merawat, kembalikan pada orang tuanya. Jangan ditinggal seenakmu saja! Kualat ntar kamu," ucapnya penuh emosi.

Bu Lastri yang juga ada di balik kerumunan, menghampiri, sambil menyodorkan sebuah amplop.

"Gak perlu kau kembalikan uangku, Wat, jika ujungnya kau telantarkan si Tomi. Kuikhlaskan lahir batin, daripada anak tak berdosa yang kena imbasnya. Nih, terima!" Bu Lastri memasukkan amplop itu ke dalam jaketku dengan kasar.

Semua warga yang lain ikut bersorak kesal. Air mataku lagi-lagi menetes.

Melihat itu, Tomi yang masih memeluk, langsung menggiringku masuk ke dalam rumah.
Namun sampai di depan pintu, langkahku terhenti kembali kala melihat celana cokelat-cokelat bersepatu. Kuberanikan mendongak kepala, tampak Bu Anjar dan Bu Nita sama berdiri di depanku. Wajah kedua Guru itu tampak gelisah, membuatku tak enak dan segera menjatuhkan badan ke hadapan mereka. Bersimpuh di depannya, sambil menangis, memukul tanah berulang dengan tangan telanjang.

Mungkin hanya mereka yang bisa mengerti perasaanku, dan tak gampang mengadili seperti yang lain.

"Maafkan saya, Buuuu. Saya tak bisa menjadi pengasuh Tomi yang baiiikkk ... hu hu hu. Saya harus bagaimana, Bu? Saya streeeesss ...."

Bersamaan dengan itu, Tomi menjerit. Menangis lagi. Ia lalu menarik tanganku, dan berkata, "tolong bantu Bibi berdiri! Tolong bangunkan Bibi!"

Sementara mulut di sekitar masih menamparkan hujat karena gusarnya.

Mendengar beberapa perkataan tak enak di telinga, entah mengapa ... kepala mendadak pening luar biasa. Kanan-kiri tampak bergoyang dipandang. Kucoba berpegang pada sebuah tangan, masih saja samar dan semakin berputar. Perlahan mataku terkatup, bersamaan dengan itu ... kudengar Tomi menjerit begitu kerasnya.

"Bibiiiiiii ...."

****

"Tahu alamat ini?"

"Nggak. Tapi kalau Kecamatannya, pernah denger, sih."

"Ah, lihat google map saja, kan, beres."

"Ya. Tapi, kita tunggu Bu Wati sampai sadar dulu, apa bener alamatnya yang ini?"

Aku mendengar jelas suara Bu Anjar dan Bu Nita dari ruang tamu, karena memang hanya sebuah penyekat papanlah yang memisahkan ruangan dengan kamar yang kutiduri sekarang.

Aku mengerti apa yang mereka bahas. Pasti mengenai surat yang kutuliskan untuk Tomi. Aku memang menuliskan alamat Ibunda Tomi di isi surat itu, berharap Tomi bisa menemukan Ibunya melalui pertolongan orang lain.

Masih kupejamkan mata, tak mau kubuka sedikit pun. Menghindar dari beberapa perkataan serangan yang mungkin saja bisa melukai hati. Meski tak ada lagi gemuruh suara warga yang kudengar, namun aku masih mendengar suara si Sari ada di sini. Di rumahku bersama kedua Guru itu.

Aku sedikit kesal, saat bibir Sari menuturkan kata-kata yang tak pantas diutarakan.

"Saya sering lihat Tomi dikasari ...."

"Sering juga dia disuruh bekerja keras ...."

"Melihat omongan dan perilakunya, Mbak Wati ini memang sepertinya kurang waras, Bu."

Berbagai pernyataan bodoh ia sampaikan pada Bu Guru, membuatku malu sekaligus malas bila bertatap muka. Lantas memilih pura-pura masih pingsan saja, agar bisa kudengar dengan leluasa apa yang mereka bicarakan, sambil menata perasaan pelan-pelan agar tak mudah emosi.

Sementara tangan dan kakiku ... masih lemas, sedari tadi dipijat terus sama Tomi yang ada di sampingku.

"Bibi, ayo bangun! Nanti kalau bangun, Tomi janji nggak nakal lagi. Terusss, Tomi nggak sekolah saja, bantu Bibi saja. Biar Bibi nggak mikir biaya. Nanti malah ninggalin Tomi lagi."

Suara lirih bocah tujuh tahun itu terdengar mengharu, membuat bibirku bergetar memendam sedih.

Ia masih terus memijatku, sambil sesekali menciumkan minyak kapak ke hidung.

"Kita nanti kerja bersama, ya, Bi. Tomi nggak mau pulang ke Ibu. Tomi maunya sama Bibi," lanjutnya lirih.

Kali ini keluar setetes air dari pelupuk mata. Mungkin Tomi melihatnya, sampai ia berkata, "kok, bisa nangis ya, padahal belum sadar?"

Kebingungan Tomi seketika sirna kala Bu guru memanggil namanya.

"Tomi, sini!"

Tanpa menjawab, ia segera berlari menemui mereka di ruang tamu.

Perlahan, kubuka mataku. Sambil menaikkan posisi tidurku, agar lebih bisa menangkap jelas obrolan mereka.

"Ya, Bu?"

"Tomi, bagaimana? Setuju kalau Tomi pulang ke ibu kandung Tomi? Jadi, gini ... mungkin saat ini Bibi Wati sedang sakit. Biar dirawat di rumah sakit dulu sampai sembuh."

Tak terdengar jawaban dari mulut Tomi. Aku pun bingung. Maksudnya apa Bu guru bicara begitu?

"Nanti Bu Anjar dan Bu Nita bantu nyariin rumah ibu kandung Tomi. Ya? Mau, ya?"

Tomi tak menjawab apa-apa. Tak lama setelah itu, kudengar suara si Sari nyeletuk, "Tomi, mau saja pulang! Kamu mau ... disiksa Bibimu terus? Pulang saja!"

Grrrrrr! Kugigit bibirku reflek mendengar ucapannya itu.

"Maaf, Bibi Sari. Saya tak mau pulang," ucap Tomi lirih.

Aku semakin menaikkan posisi tidurku.

"Ibu saya sudah membuang saya. Saya tak diharapkan beliau. Mana mungkin saya kembali. Bibi Wati tak pernah jahat sama saya. Saya dipukul karena saya nakal. Bibi orangnya sebenarnya baik, buktinya mau menerima Tomi yang terbuang? Sampai kapan pun, Tomi tak akan pergi dari Bibi Wati. Kalau Tomi pulang ke Ibu Tomi, nanti malah lebih parah lagi dari sebelumnya. Tomi kecil saja, ia tak mau. Apa lagi saat kini Tomi besar. Tomi lebih takut bersama Ibu, daripada takut bersama Bibi," lanjutnya lagi.

"Bibi bukannya jahat, kok. Memang caranya mendidik Tomi seperti itu, biar Tomi lebih mengerti."

Tes ....

Lagi-lagi, aku meneteskan air mata. Anak seperti itu masih bisa saja membelaku?
Ya, Tuhan ... bodohnya aku ini. Mengapa aku setega itu pada anak sebaik Tomi? Kenapa aku tak bercermin diri sebelumnya?

"Tapi, Tomi ... Ibu Tomi pasti punya suatu alasan kenapa ia belum siap menerima Tomi saat Tomi lahir. Sekarang kalau lihat Tomi besar, pasti ia senang," bujuk Bu Nita.

"Nggak mau, Bu. Mana mungkin Tomi kembali pada orang yang telah meninggalkan Tomi. Kalau pun Ibu Tomi punya hati, kenapa ia tak coba menjemput?" Suara Tomi terdengar menahan tangis.

"Nggak menjemput karena nggak tahu alamat Tomi," tegas Bu Anjar.

"Kalau benar butuh anaknya, meski tak tahu ada di mana, pasti ada kemauan mencari. Tapi, dia tidak. Pokoknya Tomi nggak mau. Ibu Tomi cuma Bibi Wati. Bibi Wati saja masih mau pulang setelah berusaha meninggalkan Tomi. Itulah beda Ibu Tomi sama Bibi Wati. Hik's!" Bibir Tomi mulai tersedu. Bersamaan dengan itu,berkali-kali air mataku jatuh menggenang.

"Baiklah, Tomi. Ibu tak memaksa Tomi. Tapi, Ibu usahakan menemukan alamat Ibu kandung kamu. Ibu juga ingin mendengar kesaksian dari mulut Ibu kamu sendiri. Setelah itu, kamu bebas menilai dan memilih mau ikut siapa. Maaf, Nak ... Ibu mengkhawatirkanmu," ucap Bu Anjar lirih.

Hening lagi.

"Bibi sudah sadar, Tom?" Bu Nita mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Belum."

"Kamu sanggup jaga sendiri? Sudah jam tiga, Bu Nita harus pulang."

"Ya, Bu."

Aku cepat-cepat menghapus air mata, sambil menurunkan posisi tidurku ke semula. Masih pura-pura belum siuman.

Deru langkah bersepatu itu terdengar berhenti di ambang pintu kamar, dan aku masih terpejam dalam diam.

"Tomi, jaga Bibi baik-baik, ya!" pesan Bu Nita kemudian.

"Ya, Bu."

"Tetap Ibu cari tahu tentang orang tua kandungmu. Kamu semangat ya, Nak," seru Bu Anjar.

Akhirnya, kedua Guru itu pergi juga, kala kudengar suara motor tengah melaju.

"Eh, Tomi. Sini!"

Kali ini ganti kudengar Sari berseru.

"Tomi, kamu jangan bodoh, ya! Ingat, sebaik-baiknya Bibi Watimu mengasuh, lebih baik diasuh ibu kandung sendiri. Pikirkan, Tomi! Bibi Sari khawatir terhadapmu."

Mendengar itu, langsung kubuka kedua mataku lebar.

"Ikut saja Bu Anjar pergi mencari alamat Ibu kamu. Bibi Sari lebih menjamin, kamu bakal bahagia bareng Ibu kamu sendiri."

Aku mulai beranjak dari kasur, dengan napas tersengal karena kesal yang tiba-tiba muncul.

"Bener, Tomi. Percaya sama Bibi Sari, ya? Bibi Watimu itu udah sinting. Kamu nanti jadi gak karu-karuan ...."

Tak menunggu lama lagi, kulangkahkan kaki keluar kamar.

Perempuan itu nampak memunggungiku dengan badan menjongkok, dan kedua tangan memegang pundak Tomi, seolah sedang betul-betul meyakinkannya.

"Heeeh, Setan!!"

Aku berteriak kasar pada sosok di depanku itu, sambil memelototkan kedua mata gusar.

Sari yang membalikkan badannya, langsung kaget menatap.

Kedua tanganku saling mencengkeram. Rasanya ingin sekali memberi ia pelajaran ....

(bersambung)

thanks untuk yang mengikuti thread sejauh ini. Krisan di kolom komentar sangat memacu semangat saya berimajinasi
corongalam
i4munited
oceu
oceu dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.