- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#137
Rekan Kerja (part 11)
Kutatap profil pict yang terpampang pada kontak WhatsApp gadis itu. Wajah imutnya memang menggemaskan dilihat. Tak hanya imut, dia sebenarnya juga cantik ....
Foto itu seolah tersenyum memandang, membuatku enggan beralih menatap layar ponsel. Entah kenapa, ada suatu daya yang membuat ketertarikan sendiri kala menatap senyum itu. Menawan, serta meneduhkan ....
Baru kali ini aku bisa menatap begitu lama wajah Sefti, meski via layar handphone.
Dia cantik, dia smart, dia energic, tapi sedikit cerewet sepertinya. Ha ha ha..
Dia memang baik, dan aku suka pribadinya.
Sama halnya seperti Rian, dia juga trainerku di kantor. Meskipun masih belum banyak yang diajarkannya padaku, tapi kukagumi caranya menjalankan tugas di tempat kerja dengan penuh rasa semangat. Dia rajin, dia cekatan, dia benar-benar totalitas.
Sangat berbanding terbalik dengan tunangannya itu, yang memang bekerja dengan semaunya ... bahkan sekarang non-shift, masih saja dia suka melimpahkan berkasnya padaku.
Ah, aku jadi merindukan kerja shift-shift'an ... lebih terkontrol dan hanya fokus dengan gudang bagianku sendiri.
Seeetttt ... Dakk!!
HP-ku melayang spontan, dan langsung terjatuh ke lantai. Membuatku terkesiap dari tempat duduk. Refleks kaget saat mengetahui Rian yang tengah merebut HP itu dari genggaman. Beruntung tangannya gagal menarik, hingga terpental-lah benda itu darinya.
Cepat aku beringsut untuk memungut. Apa daya tangan gesitnya melesat duluan.
Rian menggenggam HP-ku, lantas menatap layar benda pipih itu dengan lancang.
"Sudah kuduga," ucapnya dengan senyum sinis menyeringai.
Lagi, lelaki itu melesatkan HP-ku. Kali ini menujuku. Dengan cepat aku menangkapnya agar tak kembali terjatuh untuk ke sekian kali.
"Hebat! Aku udah diem, ya ... kayaknya kau mancing-mancing terus. Apa kau tak tahu ya, gadis itu sudah punya ikatan denganku?"
Deg!
Ya Tuhan, aku kaget. Tersadar jika sedari tadi aku sibuk memandang wajah calonnya dari layar ponselku.
"Maaf, mas ... aku tak ada maksud ...."
"... tak ada maksud apa?" Rian menyahut kasar, membuatku terdiam karena tak enak hati.
Rian lalu mengambil ponselnya dari saku, menatap sejenak, lalu tersenyum-senyum sendiri.
"Cantik, ya? Memang cantik dia. Trus ... opo koen seneng? (Apa kamu suka?)" tanyanya kemudian, dengan nada seperti mengejek.
Aku menggeleng dan menjawab, "nggak, Mas."
"Apa?? Enggak? Nggak salah maksudmu? Ciihh!" Kembali ia tertawa dengan sinisnya.
"Dia memang baik sama siapa saja. Dia juga selalu tersenyum dengan siapapun. Simpan saja rasa GR-mu! Tak mungkin ia suka dengan lelaki sepertimu," ucapnya ketus.
Kutatap wajah Rian yang terlihat sangat marah itu. Sama sekali tak ingin kujawab bicaranya, karena kurasa percuma.
"Kamu gak bisa cari wanita lain? Bukannya dia sudah bilang padamu kalau dia itu tunanganku?"
"Nggih, Mas. Saya tahu. Saya juga tak menaruh hati padanya. Tadi saya hanya melihat-lihat kontak saja."
"Alasan!!" Rian semakin meninggikan suaranya. Lagi-lagi aku terdiam.
"Daritadi kulihat dirimu senyum-senyum gak jelas mantengin HP. Aku juga sudah tahu gelagatmu dari beberapa minggu kemarin. Banyak yang laporan bagaimana sikapmu saat di dekatnya. Kuakui, lelaki mana sih yang tak suka dia. Banyak yang GR karena sikap manisnya, sama seperti dirimu. Picek matane opo saking gak payune naksir calone uwong? (Buta matanya apa terlalu tidak laku sampai naksir calon orang)"
Tanganku mendadak berat, ingin mengepal dan mendaratkan pukulan kepadanya. Mendengar ucapan itu, hatiku jadi kesal tak karuan. Kutarik napas dalam, lalu melepas panjang. Mencoba redam amarah dan menekankan sabarku dalam-dalam.
Aku tak menyalahkan. Aku tahu bagaimana perasaannya, dan aku paham dimana salahku. Setidaknya memilih diam itu akan lebih baik. Karena menjelaskan pun terasa percuma ....
"Kebagian cutt-off malah gak masuk, kau tahu admin di sini hanya kau dan aku? Sengaja yaaa kau limpahkan pekerjaanmu padaku? Memang kau disini bos?"
Kutelan ludah, menghela nafas sejenak. Sedetik terdiam, kemudian kubalas perkatannya, "maaf, Mas. Baru kemarin saya cuti. Itu pun kerjaan tak begitu menumpuk."
Rian membuka mulutnya hendak berkata, tapi segera kutimpali, "tapi, Mas ... jika dibuat iri-irian, kerjaan samean sering saya handle. Bahkan tak satu pun berkas yang sudah samean kerjakan. Memang, Mas ... saya sadar jika seorang trainer berhak menyuruh-nyuruh. Perlu samean ingat, Mas ... saya kerja dalam masa training tiga bulan. Apa samean ingat, samean ngerjain saya sudah berapa bulan?"
Kali ini ganti Rian yang terdiam. Dia alihkan pandangannya ke dinding penyekat dengan bibir meruncing. Nampaknya kesal mendengar penuturanku. Namun, akhirnya ia kembali menatap tajam padaku.
"Sekarang kutanya, kau kemarin kemana? Kalau memang kau sudah berniat cuti, kenapa tak sedari kemarin meminta izin? Orang sekantor pantang sakit di akhir bulan!"
"Iya kalau yang ngasih sehat samean, Mas? Kepala saya memang pusing, mau pecah. Samean setiap hari pulang pada jamnya. Tapi saya, tidak." Kusahut lantang bicara Rian dengan pasti. Kutahu dia sedang mengalihkan omongan, tapi aku tak mau dicari-cari kesalahanku mengenai pekerjaan, karena setidaknya, aku sudah berusaha memaksimalkan kinerja selama ini.
Kembali kududuki kursi, mencomot mouse di hadapan, dan tak mau lagi menggubris gak jelas.
Sementara lelaki itu masih saja berdiri di depan meja kerjaku. Entah bagaimana ekspresinya kini, aku tak peduli dan tak mau tahu. Sejenak kemudian ia kembali pada mejanya, dengan sedikit hentakan sepatu dan tendangan kaki di sudut meja yang sengaja ia buat.
Aku menatapnya sekilas, lalu kembali menatap monitor.
Aku tahu dia cemburu ... tapi aku tak berniat macam-macam pada hubungannya.
****
"Heeeyy, Pak Dani!"
Teriakan itu membuatku menujukan mata ke arah suara si pemanggil.
Dari suaranya sudah bisa ditebak. Benar, pak Ipul, alias pak Syaiful.
"Ada apa, Pak?" tanyaku sembari berjalan mendekat ke pak Ipul yang tengah berjalan menghampiri.
"Anu, Pak ... mau nanya."
"Ah, pak, pak ... biasanya juga MAS manggilnya," ucapku lirih sembari tertawa.
Pak Ipul ikut tertawa, lalu menyenggol kecil lenganku. "Panggilan 'mas' itu kan,dulu ... sekarang samean sudah jadi orang dalam, mestine 'pak' manggile," seloroh Pak Ipul, membuatku semakin mengencangkan tawaku.
Pria itu memiringkan tangan kirinya ketelinga, membisik lirih, "opo meneh ngeneki onok perlune. Dadi yo tak 'pak, pak' . Ha ha ha... (apalagi seperti ini ada perlunya. Jadi kupanggil 'pak,pak'."
Glek! Aku langsung mengernyitkan dahi. Ucapan itu sedikit membuatku heran. "Memang, ada kepentingan apa, Pak Ipul?"
Pak Ipul menoleh kesana-kemari, lantas menggiringku menepi. Ia lalu menepuk pundakku, seraya berkata lirih, "anu, Mas Dani ... di gudang,kan, sedang membutuhkan orang. Tolong dong, nitip anak saya! Dia baru lulus SMA tahun kemarin. Bisa nggak, Mas? Apa butuh Sarjana saja, ya?"
Aku terhenyak mendengarnya. "Lho, Pak? Ngapunten, nggih... itu bukan tugas saya, Pak. Saya tak bisa dititipi, wong saya disini bukan siapa-siapa. Saya kerja juga belum lama, gitu lo."
"Nggih, Mas. Tapi, kan ... samean orang dalam, Mas. Pasti bisa nitipin ke siapa gitu..."
"Nitip ke siapa, Pak? Maaf sekali lagi nggih, Pak. Saya benar-benar tak tahu."
"Alah, Mas. Tolong!"
Aku semakin bingung mendengar rengekan pak Ipul. Dia yang biasanya cerah ceria penuh rasa humor, mendadak bermuka melas seperti begitu tak berdaya.
"Besok saya bawakan surat lamarannya nggih, Mas. Nyuwun tulung, Mas... (minta tolong)"
Aku masih diam.
Bagaimana ini? Kalau aku menerimanya, lantas kuberikan pada siapa surat lamaran itu nanti?
"Suwun nggih, Mas, sakderenge... (makasih ya, Mas, sebelumnya)"
Belum sempat aku menjawab omongan pak Ipul, beliau menjabat tanganku erat, lantas melangkah pergi dengan terburu-buru.
Haduuuuuhhh, gimana, sih?
Aku masih berdiri mematung seperti orang bego.
****
Jam 19.37 WIB.
Aku menepikan motor ke halaman rumah, dikejutkan suara gadis kecil berteriak kegirangan.
"Om... Om..." Kinara berlari menghampiriku seraya memperlihatkan boneka ditangannya.
Sepertinya, mainannya baru.
Aku hanya tersenyum sambil mengusek pelan kepala ponakanku itu. Lalu kulangkahkan kaki masuk ke rumah, kemudian melepas kedua sepatuku.
"Bagus nggak, Om?" tanya gadis itu, kembali mempertontonkan boneka barbienya kepadaku.
Aku tersenyum lagi,lalu menjawab, "bagus. Tapi, lebih bagus lagi kalau tidak beli. Kan, Kinar sudah besar. Fokus belajar lebih baik. Ganti adeknya yang beli mainan ...."
"Huuuuuu ...."
"Leeeh, jelek banget bibir manyun gitu. Kan bener, kata Om. Sayang uangnya, mending ditabung."
Gadis kecil itu masih melancipkan bibirnya, membuatku tak tahan mendekap tawa karena ekspresi lucunya.
"Tapi, ini dibelikan Ayah,kok. Uangku tetep kutabung," celetuknya kemudian, yang membuatku kaget bukan main.
Kutarik kecil lengan Kinara agar mendekat padaku, lalu kubisiki lirih, "tadi Ayah Kinara kesini?"
Kinara mengangguk.
"Ngapain? Sama siapa? Bilang apa aja sama kamu?"
Kinara tak menjawab, malah bersenandung tak karuan sambil memutar-mutar ujung rambut bonekanya.
Sementara aku sendiri tengah menunggu omongannya dengan sangat penasaran.
"Dan!" tiba-tiba, suara mbak Diah berseru mengagetkanku.
Aku tersentak menoleh Mbak Diah yang sedang menimang Bobi di gendongan. Beranjak dari duduk, sambil membuka beberapa kancing seragamku...
"Sabtu depan libur, kan?" tanya mbak Diah lirih.
"Ya. Ada apa, Mbak?"
Mbak Diah lebih mendekat padaku, seraya berkata,"itu ... ibu ngajak ke rumah Adel."
Lho? Kok?
Aku cepat-cepat menggiring Mbak Diah agak ke luar. Lantas berbisik, "Kok bisa? Memang samean bicara apa, kok ibu mau-mau saja ngajak ke sana ...."
"Alaaaah, kamu ini banyak omong! Sudahlah, yang penting pikiran ibu sudah berpaling. Diamkan saja!" sahut mbak Diah.
"T-tapi....."
"Sssttt! Udah sana, mandi. Jangan banyak bicara padaku, ibu masih melek,lho! Nanti dikira ibu, kita sekongkol lagi..."
Seusai berkata begitu, Mbak Diah berlalu sambil menarik tangan Kinara.
Kini ganti aku yang bingung ....
Aku ini beneran mau lamaran apa nggak, sih? Kok aku jadi ragu sama si Adel.
Hatiku masih belum manteb juga, seiring hilangnya perasaan karena sikap tertutupnya.
Lalu, gimana besok lusa? Kan, sudah Sabtu?
Puyeng mode ON.
Foto itu seolah tersenyum memandang, membuatku enggan beralih menatap layar ponsel. Entah kenapa, ada suatu daya yang membuat ketertarikan sendiri kala menatap senyum itu. Menawan, serta meneduhkan ....
Baru kali ini aku bisa menatap begitu lama wajah Sefti, meski via layar handphone.
Dia cantik, dia smart, dia energic, tapi sedikit cerewet sepertinya. Ha ha ha..
Dia memang baik, dan aku suka pribadinya.
Sama halnya seperti Rian, dia juga trainerku di kantor. Meskipun masih belum banyak yang diajarkannya padaku, tapi kukagumi caranya menjalankan tugas di tempat kerja dengan penuh rasa semangat. Dia rajin, dia cekatan, dia benar-benar totalitas.
Sangat berbanding terbalik dengan tunangannya itu, yang memang bekerja dengan semaunya ... bahkan sekarang non-shift, masih saja dia suka melimpahkan berkasnya padaku.
Ah, aku jadi merindukan kerja shift-shift'an ... lebih terkontrol dan hanya fokus dengan gudang bagianku sendiri.
Seeetttt ... Dakk!!
HP-ku melayang spontan, dan langsung terjatuh ke lantai. Membuatku terkesiap dari tempat duduk. Refleks kaget saat mengetahui Rian yang tengah merebut HP itu dari genggaman. Beruntung tangannya gagal menarik, hingga terpental-lah benda itu darinya.
Cepat aku beringsut untuk memungut. Apa daya tangan gesitnya melesat duluan.
Rian menggenggam HP-ku, lantas menatap layar benda pipih itu dengan lancang.
"Sudah kuduga," ucapnya dengan senyum sinis menyeringai.
Lagi, lelaki itu melesatkan HP-ku. Kali ini menujuku. Dengan cepat aku menangkapnya agar tak kembali terjatuh untuk ke sekian kali.
"Hebat! Aku udah diem, ya ... kayaknya kau mancing-mancing terus. Apa kau tak tahu ya, gadis itu sudah punya ikatan denganku?"
Deg!
Ya Tuhan, aku kaget. Tersadar jika sedari tadi aku sibuk memandang wajah calonnya dari layar ponselku.
"Maaf, mas ... aku tak ada maksud ...."
"... tak ada maksud apa?" Rian menyahut kasar, membuatku terdiam karena tak enak hati.
Rian lalu mengambil ponselnya dari saku, menatap sejenak, lalu tersenyum-senyum sendiri.
"Cantik, ya? Memang cantik dia. Trus ... opo koen seneng? (Apa kamu suka?)" tanyanya kemudian, dengan nada seperti mengejek.
Aku menggeleng dan menjawab, "nggak, Mas."
"Apa?? Enggak? Nggak salah maksudmu? Ciihh!" Kembali ia tertawa dengan sinisnya.
"Dia memang baik sama siapa saja. Dia juga selalu tersenyum dengan siapapun. Simpan saja rasa GR-mu! Tak mungkin ia suka dengan lelaki sepertimu," ucapnya ketus.
Kutatap wajah Rian yang terlihat sangat marah itu. Sama sekali tak ingin kujawab bicaranya, karena kurasa percuma.
"Kamu gak bisa cari wanita lain? Bukannya dia sudah bilang padamu kalau dia itu tunanganku?"
"Nggih, Mas. Saya tahu. Saya juga tak menaruh hati padanya. Tadi saya hanya melihat-lihat kontak saja."
"Alasan!!" Rian semakin meninggikan suaranya. Lagi-lagi aku terdiam.
"Daritadi kulihat dirimu senyum-senyum gak jelas mantengin HP. Aku juga sudah tahu gelagatmu dari beberapa minggu kemarin. Banyak yang laporan bagaimana sikapmu saat di dekatnya. Kuakui, lelaki mana sih yang tak suka dia. Banyak yang GR karena sikap manisnya, sama seperti dirimu. Picek matane opo saking gak payune naksir calone uwong? (Buta matanya apa terlalu tidak laku sampai naksir calon orang)"
Tanganku mendadak berat, ingin mengepal dan mendaratkan pukulan kepadanya. Mendengar ucapan itu, hatiku jadi kesal tak karuan. Kutarik napas dalam, lalu melepas panjang. Mencoba redam amarah dan menekankan sabarku dalam-dalam.
Aku tak menyalahkan. Aku tahu bagaimana perasaannya, dan aku paham dimana salahku. Setidaknya memilih diam itu akan lebih baik. Karena menjelaskan pun terasa percuma ....
"Kebagian cutt-off malah gak masuk, kau tahu admin di sini hanya kau dan aku? Sengaja yaaa kau limpahkan pekerjaanmu padaku? Memang kau disini bos?"
Kutelan ludah, menghela nafas sejenak. Sedetik terdiam, kemudian kubalas perkatannya, "maaf, Mas. Baru kemarin saya cuti. Itu pun kerjaan tak begitu menumpuk."
Rian membuka mulutnya hendak berkata, tapi segera kutimpali, "tapi, Mas ... jika dibuat iri-irian, kerjaan samean sering saya handle. Bahkan tak satu pun berkas yang sudah samean kerjakan. Memang, Mas ... saya sadar jika seorang trainer berhak menyuruh-nyuruh. Perlu samean ingat, Mas ... saya kerja dalam masa training tiga bulan. Apa samean ingat, samean ngerjain saya sudah berapa bulan?"
Kali ini ganti Rian yang terdiam. Dia alihkan pandangannya ke dinding penyekat dengan bibir meruncing. Nampaknya kesal mendengar penuturanku. Namun, akhirnya ia kembali menatap tajam padaku.
"Sekarang kutanya, kau kemarin kemana? Kalau memang kau sudah berniat cuti, kenapa tak sedari kemarin meminta izin? Orang sekantor pantang sakit di akhir bulan!"
"Iya kalau yang ngasih sehat samean, Mas? Kepala saya memang pusing, mau pecah. Samean setiap hari pulang pada jamnya. Tapi saya, tidak." Kusahut lantang bicara Rian dengan pasti. Kutahu dia sedang mengalihkan omongan, tapi aku tak mau dicari-cari kesalahanku mengenai pekerjaan, karena setidaknya, aku sudah berusaha memaksimalkan kinerja selama ini.
Kembali kududuki kursi, mencomot mouse di hadapan, dan tak mau lagi menggubris gak jelas.
Sementara lelaki itu masih saja berdiri di depan meja kerjaku. Entah bagaimana ekspresinya kini, aku tak peduli dan tak mau tahu. Sejenak kemudian ia kembali pada mejanya, dengan sedikit hentakan sepatu dan tendangan kaki di sudut meja yang sengaja ia buat.
Aku menatapnya sekilas, lalu kembali menatap monitor.
Aku tahu dia cemburu ... tapi aku tak berniat macam-macam pada hubungannya.
****
"Heeeyy, Pak Dani!"
Teriakan itu membuatku menujukan mata ke arah suara si pemanggil.
Dari suaranya sudah bisa ditebak. Benar, pak Ipul, alias pak Syaiful.
"Ada apa, Pak?" tanyaku sembari berjalan mendekat ke pak Ipul yang tengah berjalan menghampiri.
"Anu, Pak ... mau nanya."
"Ah, pak, pak ... biasanya juga MAS manggilnya," ucapku lirih sembari tertawa.
Pak Ipul ikut tertawa, lalu menyenggol kecil lenganku. "Panggilan 'mas' itu kan,dulu ... sekarang samean sudah jadi orang dalam, mestine 'pak' manggile," seloroh Pak Ipul, membuatku semakin mengencangkan tawaku.
Pria itu memiringkan tangan kirinya ketelinga, membisik lirih, "opo meneh ngeneki onok perlune. Dadi yo tak 'pak, pak' . Ha ha ha... (apalagi seperti ini ada perlunya. Jadi kupanggil 'pak,pak'."
Glek! Aku langsung mengernyitkan dahi. Ucapan itu sedikit membuatku heran. "Memang, ada kepentingan apa, Pak Ipul?"
Pak Ipul menoleh kesana-kemari, lantas menggiringku menepi. Ia lalu menepuk pundakku, seraya berkata lirih, "anu, Mas Dani ... di gudang,kan, sedang membutuhkan orang. Tolong dong, nitip anak saya! Dia baru lulus SMA tahun kemarin. Bisa nggak, Mas? Apa butuh Sarjana saja, ya?"
Aku terhenyak mendengarnya. "Lho, Pak? Ngapunten, nggih... itu bukan tugas saya, Pak. Saya tak bisa dititipi, wong saya disini bukan siapa-siapa. Saya kerja juga belum lama, gitu lo."
"Nggih, Mas. Tapi, kan ... samean orang dalam, Mas. Pasti bisa nitipin ke siapa gitu..."
"Nitip ke siapa, Pak? Maaf sekali lagi nggih, Pak. Saya benar-benar tak tahu."
"Alah, Mas. Tolong!"
Aku semakin bingung mendengar rengekan pak Ipul. Dia yang biasanya cerah ceria penuh rasa humor, mendadak bermuka melas seperti begitu tak berdaya.
"Besok saya bawakan surat lamarannya nggih, Mas. Nyuwun tulung, Mas... (minta tolong)"
Aku masih diam.
Bagaimana ini? Kalau aku menerimanya, lantas kuberikan pada siapa surat lamaran itu nanti?
"Suwun nggih, Mas, sakderenge... (makasih ya, Mas, sebelumnya)"
Belum sempat aku menjawab omongan pak Ipul, beliau menjabat tanganku erat, lantas melangkah pergi dengan terburu-buru.
Haduuuuuhhh, gimana, sih?
Aku masih berdiri mematung seperti orang bego.
****
Jam 19.37 WIB.
Aku menepikan motor ke halaman rumah, dikejutkan suara gadis kecil berteriak kegirangan.
"Om... Om..." Kinara berlari menghampiriku seraya memperlihatkan boneka ditangannya.
Sepertinya, mainannya baru.
Aku hanya tersenyum sambil mengusek pelan kepala ponakanku itu. Lalu kulangkahkan kaki masuk ke rumah, kemudian melepas kedua sepatuku.
"Bagus nggak, Om?" tanya gadis itu, kembali mempertontonkan boneka barbienya kepadaku.
Aku tersenyum lagi,lalu menjawab, "bagus. Tapi, lebih bagus lagi kalau tidak beli. Kan, Kinar sudah besar. Fokus belajar lebih baik. Ganti adeknya yang beli mainan ...."
"Huuuuuu ...."
"Leeeh, jelek banget bibir manyun gitu. Kan bener, kata Om. Sayang uangnya, mending ditabung."
Gadis kecil itu masih melancipkan bibirnya, membuatku tak tahan mendekap tawa karena ekspresi lucunya.
"Tapi, ini dibelikan Ayah,kok. Uangku tetep kutabung," celetuknya kemudian, yang membuatku kaget bukan main.
Kutarik kecil lengan Kinara agar mendekat padaku, lalu kubisiki lirih, "tadi Ayah Kinara kesini?"
Kinara mengangguk.
"Ngapain? Sama siapa? Bilang apa aja sama kamu?"
Kinara tak menjawab, malah bersenandung tak karuan sambil memutar-mutar ujung rambut bonekanya.
Sementara aku sendiri tengah menunggu omongannya dengan sangat penasaran.
"Dan!" tiba-tiba, suara mbak Diah berseru mengagetkanku.
Aku tersentak menoleh Mbak Diah yang sedang menimang Bobi di gendongan. Beranjak dari duduk, sambil membuka beberapa kancing seragamku...
"Sabtu depan libur, kan?" tanya mbak Diah lirih.
"Ya. Ada apa, Mbak?"
Mbak Diah lebih mendekat padaku, seraya berkata,"itu ... ibu ngajak ke rumah Adel."
Lho? Kok?
Aku cepat-cepat menggiring Mbak Diah agak ke luar. Lantas berbisik, "Kok bisa? Memang samean bicara apa, kok ibu mau-mau saja ngajak ke sana ...."
"Alaaaah, kamu ini banyak omong! Sudahlah, yang penting pikiran ibu sudah berpaling. Diamkan saja!" sahut mbak Diah.
"T-tapi....."
"Sssttt! Udah sana, mandi. Jangan banyak bicara padaku, ibu masih melek,lho! Nanti dikira ibu, kita sekongkol lagi..."
Seusai berkata begitu, Mbak Diah berlalu sambil menarik tangan Kinara.
Kini ganti aku yang bingung ....
Aku ini beneran mau lamaran apa nggak, sih? Kok aku jadi ragu sama si Adel.
Hatiku masih belum manteb juga, seiring hilangnya perasaan karena sikap tertutupnya.
Lalu, gimana besok lusa? Kan, sudah Sabtu?
Puyeng mode ON.
erman123 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Tutup