- Beranda
- Stories from the Heart
Jangan Panggil Aku Ibu
...
TS
shirazy02
Jangan Panggil Aku Ibu

(Warning : 21+ akan ada tindak kekerasan dalam cerita, namun sarat moral, mengantarkan banyak kejutan tak terduga di dalamnya)
part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
part 7
part 8
part 9
part 10
part 11
part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
part 1
Suara carut-marut beberapa ayam jantan yang berkokok, mulai menyadarkanku dari lelapnya tidur. Membuatku beranjak segera membuka jendela kamar. Terlihat seberkas cahaya matahari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur. Tak tertinggal suara merdunya burung-burung dari balik dedaunan yang tengah bersenandung.
Seharusnya suasana pagi yang dingin nan sejuk ini menambah nikmat tersendiri untukku, namun nyatanya, sangat berbeda dengan suasana hatiku.
Kutengok jam dinding dari balik tirai. Jam 05.30. Baru sadar bahwa hanya dua jam saja aku mampu tertidur?
Dengan mata yang masih terasa berat, kulangkahkan kakiku keluar kamar. Mematikan lampu tengah dan teras yang masih menyala. Lalu membuka bilik-bilik jendela, terakhir membuka pintu utama.
Haidar masih saja bergelut dengan mimpinya. Kubiarkan ia terlelap tidur. Masih penasaran ke-diam-annya semalam. Tumben ia tak rewel, tak seperti biasanya.....
Sementara, Mas Agus ... entah kemana ia. Gelas berisi teh di atas meja masih tak tersentuh sama sekali. Sepertinya ia tak pulang lagi.
Kutarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan seiring penatnya kepala yang kurasakan.
Sudah tiga hari ini, Mas Agus tak pulang. Membuatku khawatir dan berpikir yang macam-macam. Uang yang ia beri padaku sepekan yang lalu sudah menipis. Aku semakin dibuat pusing karena tak ada lagi orang yang bisa kutoleh disini.
"He, Wati! Jangan ngutang lagi, ya! Boleh ngutang, tapi, lunasin dulu tunggakannya! Jebol anakku kalau dirimu ngutang mulu."
Dari warung seberang jalan, Mak Minah berteriak kencang sembari mengacungkan sapu halamannya itu padaku.
Aku langsung membalikkan badan, pergi dari ruang tamu dengan langkah cepat menuju kembali ke kamar. Tak terasa air mata mulai menitik. Betapa malunya aku sebagai perempuan diteriaki seperti itu disaat banyak para tetangga belanja di warungnya.
Bagaimana aku bisa melunasi hutang, sementara uang yang kukantongi sekarang saja tersisa hanya enam ribu rupiah.
Kuseka air mataku yang kian mengucur, lalu mengalihkan pandangan kembali menatap Haidar yang masih terlelap.
Oh, Tuhan ... aku tak sanggup lagi.
Mas Agus, kamu dimana?
Lagi-lagi air mataku menitik.
Belum usai kesedihanku, pagi-pagi sekali Bu Rina datang. Ia marah, menyuruhku segera meninggalkan rumah. Kami memang menunggak biaya sewa lima bulan, dan aku tahu Mas Agus sudah berusaha untuk itu. Tapi, bagaimana lagi ... penghasilannya sebagai kuli angkut di pasar hanya cukup untuk menutup hutang yang lain dan makan seadanya.
Tak mau terus bersitegang, lantas kutegaskan pada Bu Rina jika Mas Agus sudah tiga hari ini tak pulang. Namun, sudah tak ada lagi rasa iba terpancar dari raut wajahnya.
"Saya sudah lima bulan bersabar, Wati. Suamimu tak juga memberi uang yang dijanjikan meski sekedar menyicil. Saya ini sudah tidak punya suami. Beda dengan kamu. Masih untung kamu ada yang menafkahi. Harapan saya cuma di rumah ini. Kalau kamu tak bisa membantu perekonomian saya, silahkan kamu pergi! Saya sudah cukup menunggu. Saya ini juga dalam keadaan butuh!"
Ucapan Bu Rina lantang terdengar, membuat dadaku sesak seolah tak mampu lagi berkata.
Tiba-tiba, Haidar menangis kencang dari dalam kamarnya. Aku yang kaget, segera berlari melihat apa yang terjadi. Bayi delapan bulanku mendadak memelototkan kedua mata. Tangisannya terhenti, dan tangannya menggenggam erat, lurus kencang.
"Bu ... Bu Rina! Tolong!" Aku berteriak histeris sambil menggendong Haidar. Saking paniknya, aku berjalan mondar-mandir tak jelas di dalam kamar, mencoba menyusuinya. Tetap ia tak berekspresi.
"Kenapa, Wati?" Bu Rina yang baru menghampiri, tampak khawatir memandangku.
"Haidar! Coba lihat, Bu! Ini Haidar kenapa? Ia juga tak mau menyusu," pekikku sambil membawa Haidar mendekat pada Bu Rina.
"A-ayo ke puskesmas saja, Wat!"
Akhirnya, aku dibonceng Bu Rina pergi dengan motornya.
Kepalaku terasa penuh, sementara tanganku terus menutupi Haidar dengan selimut. Matanya masih saja membulat, membuatku semakin menangis karena cemasnya. Kucoba menyusuinya, memaksanya. Tetap saja bibirnya mengatup tak berekspresi.
Ya ampun, Mas Agus ... cepat pulang, Maaaasss!
Tak kuasa aku menahan kesedihan yang teramat sangat kali ini.
Sesampainya di puskesmas, kusuruh para petugas cepat membawa Haidar masuk untuk diperiksa. Sementara Bu Rina ada di loket antrian.
"Tolong banget, Mas! Tolong anak saya!" Aku tak sanggup berkata lagi saking bingungnya.
Selagi Haidar diperiksa, tiba-tiba, aku dikagetkan lagi dengan Bu Rina yang datang sambil menyenggol pundakku.
"Wati, kamu ada KIS gak?" tanyanya.
"Apa itu, Bu?"
"Aduuuhh, kalau ngomongmu begitu, kayaknya kamu nggak punya. Kamu minta tolong ke kelurahan, deh! Aku juga tak ada duit buat bayar nanti."
"La-lalu? Haidar bagaimana, Bu?"
"Sudahlah! Ada petugasnya, kan? Ayo!"
Tanpa banyak pertimbangan lagi, aku pun menurut apa kata Bu Rina. Pergi bersamanya menuju ke kelurahan.
Setelah lama berkutat di dalam kantor kelurahan, akhirnya kudapatkan secarik surat dari sana, sebagai pengantar sementara selagi kartu KIS belum ada. Tak menunggu waktu lagi, segera kami kembali berangkat ke puskesmas.
Bu Rina langsung menuju loket, sementara aku bergegas menuju tempat dimana Haidar diperiksa.
Namun, pemandangan yang ada lebih mengagetkanku.
Haidar terbujur kaku, dengan tali perban melilit di sekitar dagu ke kepalanya.
Kurasakan kepalaku semakin pening, pandanganku seketika kabur.
****
Sudah tujuh hari kepergian anakku, Haidar. Namun ingatan tentangnya masih membekas. Saat wajah lucunya menangis, saat bayi menggemaskan itu tersenyum, semua itu masih terkenang jelas dalam ingatan.
Kuputuskan menutup kenangan tentangnya. Agar tak lagi ada tangis terbendung. Aku sudah capek, pikiranku sudah kalut.
Lalu, aku berdiri, mulai berkemas. Baju-bajunya, karpet tidurnya, nipple mainannya, sepatu dan kaos kakinya, semua kujadikan satu pada sebuah kotak kardus besar. Lalu, kotak kardus itu kusimpan di atas lemari pakaian.
Saat itu juga, tiba-tiba suamiku datang. Ia berteriak dari luar memanggilku.
Segera aku berlari untuk memastikan, apa benar itu dia?
Ya ... memang benar. Ia datang dengan pemandangan yang nampak janggal. Ditangannya mendekap bayi dalam gendongan, lengkap beserta tas besar yang ia kalungkan menyamping ketubuhnya.
"Haidar! Lihat, Ayah bawa adek buat Haidar! Rumah bakalan rame ini." Ia berseru sambil masuk ke dalam rumah.
Aku hanya tercengang menatapnya dari balik tirai ruang tengah.
Laki-laki itu tampak sumringah dengan bayi yang ia gendong. Sekilas ia melirikku, lalu bertanya lagi, "Mana anak kita Haidar, Bu? Aku punya berita baik. Ibu pasti senang!"
Aku masih tak percaya dengan apa yang diucapnya barusan. Hanya bisa terdiam dengan mata lurus ke depan.
Anak siapa itu? Kemana ia pergi selama ini?
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 07-02-2020 19:33
manik.01 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
21.5K
242
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#52
Jangan Panggil Aku Ibu (part 7)
"Apaa?? Ngutang??"
Suara yang terlontar dari bibir Bu Lastri terdengar Cumiak, menyiutkan perasaanku yang retak, dan aku tak bisa berkata lain lagi setelah keperluanku tuntas terutarakan.
"Kalau butuh makan untuk Tomi ... kan, bisa hubungi orang tuanya. Alasannya untuk Tomi terus, sih! Maaf, Wati. Bukannya nggak boleh. Ini hutang kamu udah enam ratus ribu lebih. Daripada memberatkanmu di belakang, jadi aku stop saja sampe segitu dulu," lanjut Bu Lastri lagi. Tangannya lalu meraih sebuah buku dari buffet di belakangnya, kemudian membolak-balik buku itu.
"Itu tadi untuk hutang sembako, ya, Wat ... ini kulihat di catatan suami saya, kamu juga punya hutang duit. Hmmm ... lumayan nih, total uangnya dua juta setengah, lho." Perempuan paruh baya itu geleng-geleng kepala menatapku, sementara aku hanya bisa langsung menundukkan tatapan.
"Kalau kamu janji bayar hutang setelah musim panen, kamu gak bakal dapat apa-apa, Wati. Dengan luas sawah segitu, paling gak uang yang kamu terima nanti kisaran 3 jutaan," tegasnya kemudian.
Tak mau pembicaraan bertambah lebar lagi, aku pun berkata, "ya sudah, Bu. Terima kasih, dan saya mohon maaf." Kemudian kubalikkan badanku, melangkahkan kaki menuju luar pagar dengan mata samar berkaca.
Baru beberapa langkah berjalan, Bu Lastri meneriakiku ....
"Wati, Wati ... sini sebentar!"
Spontan kuhentikan langkahku, sambil mencoba menatap awang-awang. Jangan sampai air mataku menetes di depannya.
Lalu kembali kuberpaling. Mengambil langkah cepat menghampirinya. Sementara Bu Lastri sendiri langsung masuk ke dalam rumahnya.
Entah apa yang akan dibicarakan lagi setelah ini ... yang pasti aku sudah ingin sekali hengkang dari tempat.
Ahh, andai sudah musim panen .... Mungkin aku bisa saja mengajak Tomi mengais buliran padi yang jatuh di bawah mesin.
Lumayan pasti ....
Tak lama seketika, lamunanku buyar, ketika Bu Lastri keluar lagi dengan membopong sebuah bungkusan di tangan.
"Ini, kuberi dua kilo beras. Maaf, cuma segini saja. Kalau tak mengingat Tomi, mana mau saya ngasih." Lalu ia ulurkan bungkusan kresek itu padaku.
Entah kenapa, bukannya senang ... senyumku malah susah sekali terkembang. Kutatap bungkusan beras itu dari tangan Bu Lastri. Tanpa ucap, tanpa tanggap.
"Kok, diem kamu, Wat? Kamu nggak mau kalau diberi? Maunya ngutang?"
Mendengar kata itu, semakin panas lagi hatiku.
"Jangan sombong lah, Wati! Jangan bangga ngumpulin utang mulu. Kasihan Tomi nanti."
Bah! Apa hubungannya sama Tomi? Aku punya hutang, juga, dia bisa apa? Sekelumit umpatan batin bergemuruh dalam hati.
"Nih!"
Tangan Bu Lastri memaksaku mengambil bungkusan beras darinya. Tanganku dikatupkannya erat, seraya berucap, "ayo, bawa yang bener! Pamali kalau sampai beras jatuh ke tanah. Nggak bisa makan nanti."
Wajahnya yang terlihat mengejek itu, membuatku merasa kesal. Kemudian kuhempaskan bungkusan beras itu kembali ke tangannya, memaksanya menerima balik. Sambil menyunggingkan senyum, aku lalu berkata, "maaf, Bu. Saya tak butuh dikasihani."
Bu Lastri menyeringai menatapku.
"Kalau saya punya uang, Bu ... mana mau saya jadi buruh di sawah Ibu? Mana mau saya berhutang? Semua karena keadaan," lanjutku lagi. Air mataku mulai berlinang, bersamaan dengan peningnya kepala kemudian.
"Lho? Kok, kamu tersinggung, sih, saya bantu." Mulut sok pahlawan itu berseru, dengan wajah tanpa dosanya.
"Ibu tak berniat membantu. Ibu terlalu menghina saya!" Kubentak wanita paruh baya itu, sambil menunjuk mukanya persis.
"Eh, eh ... siapa yang menghina?" Bibir tua itu menampik.
Semua yang ada di dalam rumahnya, termasuk pembantu dan anaknya, saling keluar.
"Dengar, Ibu. Tak lama lagi ... saya akan kembali. Saya lunasi semua hutang saya ke Ibu ... dengan catatan, upah saya menggarap sawah yang cair sebulan nanti, simpan kembali untuk biaya perpanjang kontrak rumah setahun lagi," teriakku berapi-api.
Bu Lastri hanya diam, begitu juga semua yang ada di sampingnya.
Tak mau banyak bicara lagi, kuambil jalan kembali pulang. Langkahku berbalik diiringi sebuah gunjingan dari belakang. Aku mendengarnya, tapi aku tak peduli. Emosiku tak bisa lagi kukontrol saat ini ....
****
Tuuutt ... tuuuutt ... tuuuutt ....
"Nggak diangkat-angkat, Mbak," ucap Fatimah lirih.
"Masa', sih?"
"Iya. Bunyi tut tut terus ...."
Aku diam sejenak, mengalihkan pandangan.
"Tuh, kan ... ujung-ujungnya,telepon yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan, gitu ...."
"Coba kirim SMS kalo gitu, Fat!"
"SMS apa lagi, Mbak? Kan, tadi sudah ...."
"Coba sini!" Kurebut hape Fatimah dari tangannya.
"Ini kalau ngetik gimana, sih?" Aku mulai bingung memandang benda pipih milik anak SMP penjual nasi jagung itu.
"Begini, Mbak ...." Ia lalu memberitahu apa yang kumaksud. Kemudian menyerahkan hapenya kembali padaku. "Udah itu ... tinggal ngetik aja," ucapnya lagi.
Kutatap layar hape Fatimah dengan ragu. Sejenak menghela napas ....
Tanganku lalu mencoba mengetik, 'Ibunda Tomi, kenapa tak pernah angkat telepon saya? Kenapa setiap saya SMS tak pernah Ibu gubris? Mohon dengan sangat kesadarannya ... kemampuan saya menafkahi Tomi tidaklah cukup dengan besarnya biaya hidup masa kini. Saya mohon dengan sangat kirimi saya uang, atau Tomi saya kembalikan pada Ibu sekarang juga.'
"Trus, kalau ngirim gimana, nih, Fat?" tanyaku lagi.
Fatimah meraih hapenya dariku. Lalu berkata, "nih, sudah kukirim, Mbak."
"Cepet amat? Nyampe nggak kira-kira?"
"Iya lah. Tinggal klik doank!"
"Trus, dibaca nggak sama ibunya?"
"Yaelaaahh, mana tahu, Mbak. Kalau dihubungi aktif, ya pasti dibaca lah!"
Huufft!
Aku mulai bernapas lega mendengarnya. Semoga saja ada itikad baik dari Ibu kandung Tomi setelah membaca pesanku.
"Makasih, ya, Fat. Aku ngutang dulu pulsanya. Oh ya, ini uang nasi jagungnya," kataku sambil memberi uang delapan ribu rupiah untuk Fatimah.
"Nggak pa pa, Mbak, pulsanya." Ia menerima uang pemberianku, tapi kemudian memberiku sebungkus nasi lagi. "Mbak, ini nasi sisa ambil saja. Buat makan sama Tomi nanti siang. Aku mau pulang, belajar. Ntar ulangan soalnya," katanya.
"Lho, lho? Kamu nggak rugi, Fat?" Aku berusaha menolak pemberian Fatimah, namun ia mengembalikannya lagi padaku.
"Nggak ada rugi, selama kita berbagi," ucapnya sambil tersenyum.
Gadis itu kemudian menggendong kembali dagangannya ke punggung, dengan ditalikan kain seperti jarik, melingkar ke dadanya. Lalu ia berbalik, melambaikan tangan padaku sambil tersenyum.
Aku tersenyum, melambaikan tangan membalasnya ....
Fatimah ... dia gadis berusia dini yang sangat bersemangat. Kedua orang tuanya meninggal, dan kini ia hanya tinggal bersama neneknya. Sehari-hari, ia dan neneknya menjual nasi jagung keliling. Lauk ikan asin, serundeng, sayur mayur, serta sambal bawang sebagai pelengkap. Sederhana, namun nikmat terasa. Nasinya juga cukup banyak. Murah, hanya seharga empat ribu.
Terkadang aku berfikir ... kenapa aku kalah dengan seorang anak SMP seperti-nya? Mungkin hidupku lebih baik darinya, namun kenapa aku merasa keadaanku paling terhimpit di dunia?
Tak berselang lama, sepeda motor yang dikendarai Bu Nita dan Tomi tiba di hadapan. Aku terkesiap dari teras depan, menyambut dengan mengulas senyum.
Ah, untung saja Fatimah memberiku sebungkus nasi lagi. Jadi kedua nasi ini bisa dibuat makan Tomi dan Bu Guru.
"Mari, mari, Bu. Masuk!" seruku sambil menggiring tubuh Tomi masuk ke dalam.
****
Hari kedua terlewat sudah, setelah telepon itu tersambung ....
Huuufft!
Kuhembuskan napas kesal. Setiap hari, setiap saat, selalu digelut tekanan batin. Cincin satu-satunya yang kumiliki ... pemberian Mas Agus dulu, yang beratnya hanya setengah gram, raib sudah terjual demi sesuap nasi. Pikiranku kini buntu, tak ada yang kutoleh lagi. Rasa stres karena tekanan ekonomi membuatku semakin buta melihat Tomi.
Kupukul dia, kucambuk dia, sepuas batinku. Aku merasa, keadaanku seperti ini akibat kedatangannya dalam kehidupanku.
Apalagi mengingat Ibunya yang sudah lepas tangan, membuatku semakin ringan tangan memberinya pelajaran. Terkadang aku berteriak menjadi-jadi, menangis seorang diri, melukai tubuh sendiri dengan sebilah pisau. Tak juga mati-mati.
Namun, setelah aku pikir-pikir lagi ... kenapa aku harus mati hanya demi masalah ini? Aku bisa saja meninggalkan Tomi dan mencari penghidupan sendiri. Dia bukan anakku, kenapa aku jadi repot?
Malam ini, aku bergegas ke rumah Pak Sudar, membuat perjanjian padanya. Kuserahkan seisi rumah padanya, hanya menyisakan kasur Tomi dan peralatan dapur, ditukar dengan uang senilai tiga juta lima ratus ribu.
Rugi memang jika dibandingkan dengan banyaknya barang yang bernilai lumayan. Dua buah lemari, sebuah dipan, satu set kursi tamu ... semua berbahan jati yang baru kubeli beberapa tahun lalu dari pesangon merawat Tomi.
"Ambil semuanya besok pagi saja, Pak," pesanku pada Pak Sudar.
Lantas uang yang baru kuterima,langsung kuberikan ke Bu Lastri sejumlah 3200 sesuai hutangku, dengan syarat upah buruhku diberikan untuk memperpanjang kontrak rumah. Lalu, kembali aku berjalan pulang ... dengan berbagai pikiran, dengan berbagai pergulatan batin.
Sampai di rumah, kucuci mukaku dengan gayung gentong. Mengguyurkan kasar sampai bertumpah di baju lusuhku. Ya ... aku melakukan itu dengan sadar. Benar-benar sadar!
Tak terasa air mataku menitik kembali ....
Cepat-cepat, aku kemudian menuju kamar. Membereskan segala milikku. Baju-baju, bedak,dan kebutuhan yang lain ... menjadikannya satu dalam sebuah tas.
Selesai berkemas, lantas kulangkahkan kakiku menuju kamar Tomi. Bocah itu rupanya sudah terlelap. Ada setitik rasa tak tega melihatnya pulas dalam mimpi. Pelan, kubelai rambutnya, lalu kucium keningnya.
Aku sadar ... sedari Tomi bayi, baru kali ini aku sudi menciumnya.
Maafkan aku, Tomi ... jika selama bersamamu, aku tak selalu berguna ... yang bisanya hanya menyakitimu, menjadikanmu pelampiasan dalam pusingnya menjalani hidup.
Tak menunggu banyak waktu, kuambil sebuah buku tulis dari dalam tasnya. Mulai menuliskan sebuah surat sekaligus pesan terakhir ....
Kini di tanganku hanya bersisa uang tiga ratus ribu. Lantas, kusisakan uang dua ratus untuknya, kuselipkan di bawah tas sekolahnya.
Masih dengan menitikkan air mata, lalu kulangkahkan kakiku pergi ....
Tomi, selamat tinggal! Kukira, ini yang terbaik.
(bersambung)
Suara yang terlontar dari bibir Bu Lastri terdengar Cumiak, menyiutkan perasaanku yang retak, dan aku tak bisa berkata lain lagi setelah keperluanku tuntas terutarakan.
"Kalau butuh makan untuk Tomi ... kan, bisa hubungi orang tuanya. Alasannya untuk Tomi terus, sih! Maaf, Wati. Bukannya nggak boleh. Ini hutang kamu udah enam ratus ribu lebih. Daripada memberatkanmu di belakang, jadi aku stop saja sampe segitu dulu," lanjut Bu Lastri lagi. Tangannya lalu meraih sebuah buku dari buffet di belakangnya, kemudian membolak-balik buku itu.
"Itu tadi untuk hutang sembako, ya, Wat ... ini kulihat di catatan suami saya, kamu juga punya hutang duit. Hmmm ... lumayan nih, total uangnya dua juta setengah, lho." Perempuan paruh baya itu geleng-geleng kepala menatapku, sementara aku hanya bisa langsung menundukkan tatapan.
"Kalau kamu janji bayar hutang setelah musim panen, kamu gak bakal dapat apa-apa, Wati. Dengan luas sawah segitu, paling gak uang yang kamu terima nanti kisaran 3 jutaan," tegasnya kemudian.
Tak mau pembicaraan bertambah lebar lagi, aku pun berkata, "ya sudah, Bu. Terima kasih, dan saya mohon maaf." Kemudian kubalikkan badanku, melangkahkan kaki menuju luar pagar dengan mata samar berkaca.
Baru beberapa langkah berjalan, Bu Lastri meneriakiku ....
"Wati, Wati ... sini sebentar!"
Spontan kuhentikan langkahku, sambil mencoba menatap awang-awang. Jangan sampai air mataku menetes di depannya.
Lalu kembali kuberpaling. Mengambil langkah cepat menghampirinya. Sementara Bu Lastri sendiri langsung masuk ke dalam rumahnya.
Entah apa yang akan dibicarakan lagi setelah ini ... yang pasti aku sudah ingin sekali hengkang dari tempat.
Ahh, andai sudah musim panen .... Mungkin aku bisa saja mengajak Tomi mengais buliran padi yang jatuh di bawah mesin.
Lumayan pasti ....
Tak lama seketika, lamunanku buyar, ketika Bu Lastri keluar lagi dengan membopong sebuah bungkusan di tangan.
"Ini, kuberi dua kilo beras. Maaf, cuma segini saja. Kalau tak mengingat Tomi, mana mau saya ngasih." Lalu ia ulurkan bungkusan kresek itu padaku.
Entah kenapa, bukannya senang ... senyumku malah susah sekali terkembang. Kutatap bungkusan beras itu dari tangan Bu Lastri. Tanpa ucap, tanpa tanggap.
"Kok, diem kamu, Wat? Kamu nggak mau kalau diberi? Maunya ngutang?"
Mendengar kata itu, semakin panas lagi hatiku.
"Jangan sombong lah, Wati! Jangan bangga ngumpulin utang mulu. Kasihan Tomi nanti."
Bah! Apa hubungannya sama Tomi? Aku punya hutang, juga, dia bisa apa? Sekelumit umpatan batin bergemuruh dalam hati.
"Nih!"
Tangan Bu Lastri memaksaku mengambil bungkusan beras darinya. Tanganku dikatupkannya erat, seraya berucap, "ayo, bawa yang bener! Pamali kalau sampai beras jatuh ke tanah. Nggak bisa makan nanti."
Wajahnya yang terlihat mengejek itu, membuatku merasa kesal. Kemudian kuhempaskan bungkusan beras itu kembali ke tangannya, memaksanya menerima balik. Sambil menyunggingkan senyum, aku lalu berkata, "maaf, Bu. Saya tak butuh dikasihani."
Bu Lastri menyeringai menatapku.
"Kalau saya punya uang, Bu ... mana mau saya jadi buruh di sawah Ibu? Mana mau saya berhutang? Semua karena keadaan," lanjutku lagi. Air mataku mulai berlinang, bersamaan dengan peningnya kepala kemudian.
"Lho? Kok, kamu tersinggung, sih, saya bantu." Mulut sok pahlawan itu berseru, dengan wajah tanpa dosanya.
"Ibu tak berniat membantu. Ibu terlalu menghina saya!" Kubentak wanita paruh baya itu, sambil menunjuk mukanya persis.
"Eh, eh ... siapa yang menghina?" Bibir tua itu menampik.
Semua yang ada di dalam rumahnya, termasuk pembantu dan anaknya, saling keluar.
"Dengar, Ibu. Tak lama lagi ... saya akan kembali. Saya lunasi semua hutang saya ke Ibu ... dengan catatan, upah saya menggarap sawah yang cair sebulan nanti, simpan kembali untuk biaya perpanjang kontrak rumah setahun lagi," teriakku berapi-api.
Bu Lastri hanya diam, begitu juga semua yang ada di sampingnya.
Tak mau banyak bicara lagi, kuambil jalan kembali pulang. Langkahku berbalik diiringi sebuah gunjingan dari belakang. Aku mendengarnya, tapi aku tak peduli. Emosiku tak bisa lagi kukontrol saat ini ....
****
Tuuutt ... tuuuutt ... tuuuutt ....
"Nggak diangkat-angkat, Mbak," ucap Fatimah lirih.
"Masa', sih?"
"Iya. Bunyi tut tut terus ...."
Aku diam sejenak, mengalihkan pandangan.
"Tuh, kan ... ujung-ujungnya,telepon yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan, gitu ...."
"Coba kirim SMS kalo gitu, Fat!"
"SMS apa lagi, Mbak? Kan, tadi sudah ...."
"Coba sini!" Kurebut hape Fatimah dari tangannya.
"Ini kalau ngetik gimana, sih?" Aku mulai bingung memandang benda pipih milik anak SMP penjual nasi jagung itu.
"Begini, Mbak ...." Ia lalu memberitahu apa yang kumaksud. Kemudian menyerahkan hapenya kembali padaku. "Udah itu ... tinggal ngetik aja," ucapnya lagi.
Kutatap layar hape Fatimah dengan ragu. Sejenak menghela napas ....
Tanganku lalu mencoba mengetik, 'Ibunda Tomi, kenapa tak pernah angkat telepon saya? Kenapa setiap saya SMS tak pernah Ibu gubris? Mohon dengan sangat kesadarannya ... kemampuan saya menafkahi Tomi tidaklah cukup dengan besarnya biaya hidup masa kini. Saya mohon dengan sangat kirimi saya uang, atau Tomi saya kembalikan pada Ibu sekarang juga.'
"Trus, kalau ngirim gimana, nih, Fat?" tanyaku lagi.
Fatimah meraih hapenya dariku. Lalu berkata, "nih, sudah kukirim, Mbak."
"Cepet amat? Nyampe nggak kira-kira?"
"Iya lah. Tinggal klik doank!"
"Trus, dibaca nggak sama ibunya?"
"Yaelaaahh, mana tahu, Mbak. Kalau dihubungi aktif, ya pasti dibaca lah!"
Huufft!
Aku mulai bernapas lega mendengarnya. Semoga saja ada itikad baik dari Ibu kandung Tomi setelah membaca pesanku.
"Makasih, ya, Fat. Aku ngutang dulu pulsanya. Oh ya, ini uang nasi jagungnya," kataku sambil memberi uang delapan ribu rupiah untuk Fatimah.
"Nggak pa pa, Mbak, pulsanya." Ia menerima uang pemberianku, tapi kemudian memberiku sebungkus nasi lagi. "Mbak, ini nasi sisa ambil saja. Buat makan sama Tomi nanti siang. Aku mau pulang, belajar. Ntar ulangan soalnya," katanya.
"Lho, lho? Kamu nggak rugi, Fat?" Aku berusaha menolak pemberian Fatimah, namun ia mengembalikannya lagi padaku.
"Nggak ada rugi, selama kita berbagi," ucapnya sambil tersenyum.
Gadis itu kemudian menggendong kembali dagangannya ke punggung, dengan ditalikan kain seperti jarik, melingkar ke dadanya. Lalu ia berbalik, melambaikan tangan padaku sambil tersenyum.
Aku tersenyum, melambaikan tangan membalasnya ....
Fatimah ... dia gadis berusia dini yang sangat bersemangat. Kedua orang tuanya meninggal, dan kini ia hanya tinggal bersama neneknya. Sehari-hari, ia dan neneknya menjual nasi jagung keliling. Lauk ikan asin, serundeng, sayur mayur, serta sambal bawang sebagai pelengkap. Sederhana, namun nikmat terasa. Nasinya juga cukup banyak. Murah, hanya seharga empat ribu.
Terkadang aku berfikir ... kenapa aku kalah dengan seorang anak SMP seperti-nya? Mungkin hidupku lebih baik darinya, namun kenapa aku merasa keadaanku paling terhimpit di dunia?
Tak berselang lama, sepeda motor yang dikendarai Bu Nita dan Tomi tiba di hadapan. Aku terkesiap dari teras depan, menyambut dengan mengulas senyum.
Ah, untung saja Fatimah memberiku sebungkus nasi lagi. Jadi kedua nasi ini bisa dibuat makan Tomi dan Bu Guru.
"Mari, mari, Bu. Masuk!" seruku sambil menggiring tubuh Tomi masuk ke dalam.
****
Hari kedua terlewat sudah, setelah telepon itu tersambung ....
Huuufft!
Kuhembuskan napas kesal. Setiap hari, setiap saat, selalu digelut tekanan batin. Cincin satu-satunya yang kumiliki ... pemberian Mas Agus dulu, yang beratnya hanya setengah gram, raib sudah terjual demi sesuap nasi. Pikiranku kini buntu, tak ada yang kutoleh lagi. Rasa stres karena tekanan ekonomi membuatku semakin buta melihat Tomi.
Kupukul dia, kucambuk dia, sepuas batinku. Aku merasa, keadaanku seperti ini akibat kedatangannya dalam kehidupanku.
Apalagi mengingat Ibunya yang sudah lepas tangan, membuatku semakin ringan tangan memberinya pelajaran. Terkadang aku berteriak menjadi-jadi, menangis seorang diri, melukai tubuh sendiri dengan sebilah pisau. Tak juga mati-mati.
Namun, setelah aku pikir-pikir lagi ... kenapa aku harus mati hanya demi masalah ini? Aku bisa saja meninggalkan Tomi dan mencari penghidupan sendiri. Dia bukan anakku, kenapa aku jadi repot?
Malam ini, aku bergegas ke rumah Pak Sudar, membuat perjanjian padanya. Kuserahkan seisi rumah padanya, hanya menyisakan kasur Tomi dan peralatan dapur, ditukar dengan uang senilai tiga juta lima ratus ribu.
Rugi memang jika dibandingkan dengan banyaknya barang yang bernilai lumayan. Dua buah lemari, sebuah dipan, satu set kursi tamu ... semua berbahan jati yang baru kubeli beberapa tahun lalu dari pesangon merawat Tomi.
"Ambil semuanya besok pagi saja, Pak," pesanku pada Pak Sudar.
Lantas uang yang baru kuterima,langsung kuberikan ke Bu Lastri sejumlah 3200 sesuai hutangku, dengan syarat upah buruhku diberikan untuk memperpanjang kontrak rumah. Lalu, kembali aku berjalan pulang ... dengan berbagai pikiran, dengan berbagai pergulatan batin.
Sampai di rumah, kucuci mukaku dengan gayung gentong. Mengguyurkan kasar sampai bertumpah di baju lusuhku. Ya ... aku melakukan itu dengan sadar. Benar-benar sadar!
Tak terasa air mataku menitik kembali ....
Cepat-cepat, aku kemudian menuju kamar. Membereskan segala milikku. Baju-baju, bedak,dan kebutuhan yang lain ... menjadikannya satu dalam sebuah tas.
Selesai berkemas, lantas kulangkahkan kakiku menuju kamar Tomi. Bocah itu rupanya sudah terlelap. Ada setitik rasa tak tega melihatnya pulas dalam mimpi. Pelan, kubelai rambutnya, lalu kucium keningnya.
Aku sadar ... sedari Tomi bayi, baru kali ini aku sudi menciumnya.
Maafkan aku, Tomi ... jika selama bersamamu, aku tak selalu berguna ... yang bisanya hanya menyakitimu, menjadikanmu pelampiasan dalam pusingnya menjalani hidup.
Tak menunggu banyak waktu, kuambil sebuah buku tulis dari dalam tasnya. Mulai menuliskan sebuah surat sekaligus pesan terakhir ....
Kini di tanganku hanya bersisa uang tiga ratus ribu. Lantas, kusisakan uang dua ratus untuknya, kuselipkan di bawah tas sekolahnya.
Masih dengan menitikkan air mata, lalu kulangkahkan kakiku pergi ....
Tomi, selamat tinggal! Kukira, ini yang terbaik.
(bersambung)
oceu dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Tutup