- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#104
Rekan Kerja (part 9)
"Hayo, hayo!" Kinara berseru memerangi adiknya yang tengah berusaha merebut crayon dari dalam tasnya.
Sementara tangan Bobi terus menarik-narik baju Kinara, mencoba meraih apa yang dia tuju sambil mengoceh entah apa. Tak jelas.
Mataku menatap keduanya tak bergeming. Seharusnya lucu menonton peristiwa seperti ini. Namun,tidak kali ini bagiku. Entahlah... aku merasa isi otakku kosong tak mampu berfikir pasti.
Terus saja memandang kosong seolah sedang berhalusinasi.
Tak sadar entah berapa lama aku melamun seperti ini, sampai-sampai Mbak Diah datang mengagetkanku.
"Ini!" Mbak Diah menyerahkan sebuah amplop coklat panjang padaku.
"Apa ini?" kuterima amplop itu dari tangannya, sambil menimbang-nimbang isinya.
"Sudah tahu ada logo Bank disitu..."
"Uang?"
"Jelaslah. Kemarin pagi aku disuruh Ibu ambil. Buatmu... suruh beli motor."
Kutatap amplop coklat itu sekilas. Lalu meletakkannya pada meja disebelahku.
Aku menghela nafas, sambil menyandarkan punggungku pada kursi.
"Kalau kamu bawa sepedaku terus, aku nggak enak sama Mbak Rika. Masa' nitipin Kinara terus antar-jemput sekolah?" lanjutnya lagi, seraya menyabetkan gendongan ketubuh Bobi.
Mbak Diah lalu berjalan mundur selangkah, melirik pintu sebelah yang terbuka.
"Itu sepedanya masih bisa dipakai,kan?"
Aku tak menjawab perkataannya. Aku tahu yang dimaksud. Sepeda CB keluaran lawas yang telah kumodifikasi warna hijau serentak. Sepeda yang sedari beli sama sekali tak pernah kupakai, kecuali saat ngumpul bareng temen. Sepeda yang niatnya hanya kupajang saja demi untuk mengikuti trend.
Entahlah, mungkin tekor aki saat ini karena lama tak terpakai...
"Diem saja diajak bicara!"
Aku terhenyak dalam lamunan. Kembali menegakkan posisi dudukku sambil menimbang-nimbang amplop coklat ditanganku.
"Ya, aku pakai dulu sementara sepedanya. Nanti aku hubungi temenku yang kerja Dealer. Emang ini berapa duit?"
"Dua puluh."
"Disuruh ambil apa sama Ibu?"
"Nggak tahulah... seleramu."
Mbak Diah mendekati Kinara, membenahkan dasi merahnya yang tengah miring, seraya berpesan, "Mbak Kinar, sekolah bareng Ega dulu,ya? Mulai besok mama yang anter lagi..."
Kinara mengangguk,mencium tangan mbak Diah, setelah itu berlari pergi.
Kutolehkan wajahku ke belakang, mengintip jam dinding di dalam ruang tamu dari kaca jendela teras. Emang jam berapa,sih?
Pukul 06.35 WIB.
Eh, masih lama untuk bersiap kerja...
Kembali aku menoleh kedepan, terkejut rasanya saat melihat mbak Diah sudah duduk persis dihadapan dengan kursi plastik dari garasi yang sudah dipindahnya.
"Dan, kita sama-sama anak Ibu,kan? Ayo saling menjaga perasaannya! Ibu memang mudah sekali tersinggung, jangan pernah bicara hal yang sekiranya gak penting dibahas!" ucap Mbak Diah lirih.
"Ayo kita tata mulai sekarang bicara kita! Kita pikir kembali sebelum mengutarakannya. Ibu iki gak kenek'an, Dan..."
Kuhela nafas berat sambil meletakkan amplop berisi uang itu ke meja sebelahku.
"Salahku dimana,Mbak? Aku hanya mengingatkan ibu yang sedikit keterlaluan sama temenku. Aku nggak enak lah mbak... masa dia main pertama kali sudah diceramahi model begitu."
"Bukan menceramahi. Mungkin lebih tepatnya menasehati. Hanya saja cara menyampaikannya yang salah. Nada bicara ibu memang begitu sedari dulu. Masa kau gak hafal?"
"Jelas salah lah,Mbaaak... Ibu berkata didepan perempuan lain. Kalau aku diposisinya pasti juga sama malunya..."
"Nah, kau sendiri jika diposisi Ibu pasti juga bisa merasakan bagaimana kekhawatiran seorang Ibu. Jangan menyalahkan Ibu juga! Akupun jika diposisinya pasti juga bertindak yang sama, hanya saja segi penuturannya berbeda. Kalau Ibu memang sedari dulu nada bicaranya begitu. Itu sudah karakter. Apalagi posisinya sekarang sakit begitu, kau juga harus mengerti..."
Mendengar itu, aku memilih untuk terdiam.
Sebenarnya bukan ini yang aku pikirkan. Tapi,hal yang lain lagi...
"Bilang sama temanmu, wakilkan permintaan maaf Ibu, agar kau masih bisa berteman baik dengannya," lanjut Mbak Diah lagi, sembari mengelus-elus kening Bobi yang tengah pulas dipangkuannya.
Apakah aku harus bercerita dengan Mbak Diah saja tentang ini?
Aku menggamit bibir keringku dengan kepala yang penuh dengan pertimbangan. Maju mundur berbicara, tapi tak ada pilihan lain untukku bercerita. Mungkin Mbak Diah bisa membantuku.
Kuhela nafas berat, kutundukkan kepalaku. Perlahan mulutku berucap, "Mbak, aku mau bicara penting...."
*****
Braaaakk!!
Suara keras itu membuatku kaget bukan main. Mataku spontan tertuju pada beberapa buku bersampul hitam besar yang telah berserakan dilantai. Cepat-cepat aku memungutinya dan menaruhnya ke meja.
Bersamaan dengan itu, terdengar decitan suara dari seseorang didepanku.
"Ckckck......" wanita berkulit putih dengan tinggi badan sekitar 160'an itu berdiri di depanku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Maaf,Mbak...." aku mulai salah tingkah menatapnya.
Sefti kembali duduk di kursinya. Disilangkannya kakinya itu,dengan pandangan beralih ke monitor.
"Aku nggak suka ya,Dan, kalau aku ngomong panjang lebar lalu kamu malah melamun seperti itu. Mudeng gak sih,kamu?" ucapnya kemudian dengan nada yang tak seperti biasanya.
Aku sedikit menelan ludah, gak enak melihatnya yang nampak marah.
"Maaf,Mbak. Aku sedikit lelah hari ini...."
"Kalau lelah, kenapa gak izin sama Pak Dika, biar gak jadi lembur? Saya ini kerjanya gak bisa nyantai lo,sebenarnya... saya belain kerja setengah-setengah demi mentraining kamu, malah kamu gak fokus gini. Sia-sia dong, saya usaha? Disini saya juga nggak nganggur,lho. Kerja saya gak senyantai admin gudang,lho!"
Suara bernada keras perempuan didepanku itu lebih membuatku tak enak lagi. Bodohnya aku!
Sefti baik sekali kenapa aku harus berbuat seperti ini padanya? Terlalu banyak memikirkan Adel membuatku tengah gagal fokus mendengarkan setiap ulasannya.
Seharusnya aku tak selemah ini!
Sefti tak lagi menyuarakan bibirnya. Ia masih terus menatap monitor.
Hampir se-jam kita terdiam di ruangan.
Entah kenapa mataku yang tadinya berat terbuka, kini menjadi segar kembali seperti baru memulai aktivitas. Mungkin kah karena perasaan tak enak hati?
Sefti terlihat menoleh padaku sekilas, membuatku menundukkan pandangan sungkan. Tak lama kemudian dia bertanya, "kenapa sebenarnya denganmu? Apa karena perempuan yang kemarin itu?"
Mataku membelalak kaget mendengar pertanyaannya. Nada bicaranya mulai melunak.
Sefti menoleh lagi, tersenyum seolah mengejek.
"Ketawanya nggak enak,"tukasku.
"Lah,enaknya gimana? Hahaha..."
Sefti memutarkan kursinya menghadap ke arahku, lalu berkata lagi, "sebenarnya kamu kerja itu tujuannya apa?"
Glek! Pertanyaan macam sindiran ini.
Aku masih terpaku, sementara Sefti di depan mata tengah menunggu jawabanku.
"Seharusnya kamu tak menyangkutkan masalahmu dengan kerjaan. Hei, kamu ini lelaki,lho? Terlalu baper ya,semua laki-laki itu? Hahaha....."
Mendengar tawa Sefti aku semakin tak enak sendiri.
"Kalau kamu bekerja di posisiku dengan keadaan seperti itu, waaahh... jelas berantakan! Ini kerjaan penuh resiko. Gambar yang dikerjakan rumit dan banyak perhitungan. Salah sedikit, pusingnya tujuh turunan. Kau harus extra hati-hati dan lebih cermat. Pantang melamun!"
Penuturan Sefti membuatku mengernyitkan dahi, merasa heran dan penasaran. Serumit itukah?
Sefti kembali memandang monitornya seraya berkata, "pekerjaan ini rumit, tapi asyik. Nilainya berbeda dari karyawan lain. Mungkin kita sama dari segi fasilitas dan tunjangan. Tapi perihak gaji dan status, benar-benar suatu nilai tersendiri..." Sefti berdiri dari tempat duduk, mengambil sebuah kertas kosong dari raknya.
"Kau tahu? Belajar Autocad itu banyak positifnya,lho! Tak rugi mempelajarinya. Jika kemampuanmu menguasai ilmunya oke, kamu bebas memilih perusahaan besar mana yang kamu terima tawaran pekerjaannya..."
"Bebas memilih yang kita terima tawaran pekerjaannya? Maksudnya gimana ya,Mbak?"
"Ya intinya, bukan kamu yang nyari perusahaan. Tapi perusahaan yang nyari kamu....."
"Oooh, begitu...."
"Tapi kalau kamu gampang diajarinnya,sih... toh pikiranmu suka melebar tak karuan,gitu."
Aku diam sejenak, kemudian tertawa spontan, membuat Sefti lagi-lagi memalingkan wajahnya ke arahku. Mukanya menatap nampak penuh perhitungan.
"Sorry,Dan... Aku sebenarnya nggak bisa kerja kalau kamu berisik. Heeeemm..."
Mendengar itu, aku langsung terdiam kembali.
Kulihat gadis itu memegang pinggangnya sambil menegakkan posisi duduknya. Sering sekali seperti itu. Terkadang mengucek kedua matanya, lalu berdiri sejenak. Separuh badannya dia putar ke kanan dan ke kiri sampai terdengar suara tulangnya. Kemudian dia duduk kembali.
Dia memang pernah bilang, kalau pinggangnya sering sakit dan capek duduk. Memang itulah susahnya seorang drafter. Matanya juga selalu panas menatap monitor terus-menerus. Aneh, padahal sudah terpasang anti radiasi. Dia juga bilang,terkadang kalau senggang dia bisa sangat santai. Tapi jika kerjaan tiba-tiba datang, dia menjadi sangat tak bisa diganggu. Parahnya lagi, kerjaan bisa datang sewaktu-waktu. Tak peduli jam kerja selesai, jika ada kerjaan masuk, dia harus selesaikan hari itu juga.
Aaah, dia yang kerja kok jadi aku yang pusing lihatnya?
"Pada intinya, kamu harus fokus. Semua pekerjaan entah bagian apa itu, intinya harus fokus. Kamu kembalikan lagi pada tujuan kamu kerja. Kamu kerja untuk apa? Sudah diajak ngobrol belum sama Pak Tony?"
"Ehm, belum,Mbak."
"Nah, itu PR-mu. Pak Tony pasti nanti menanyaimu, tentang tujuanmu kerjamu."
"Lalu, samean jawab apa?"
"Lho? Rahasia,dong! Tujuan hidup kan masing-masing." Sefti memutar kursinya, menyodorkan sebuah jajanan kepadaku yang baru diambilnya dari laci.
"Intinya, kerja ya kerja. Urusan perempuan, nanti di rumah pikir lagi. Kalau sudah masuk lingkungan kerja, tak boleh ada pikiran tentang suasana di luar pekerjaan. Boleh-boleh saja sih, asal tak mengganggu kerjaan. Tapi kalau kamu, kayaknya terlalu baper sama yang begituan. Kalau Maintenance Power Plant kayaknya kamu nggak bisa,Dan...."
"Ehm, jadi apa itu,Mbak? Kenapa nggak bisa?"
"Ya itu nanti pekerjaan pengganti kamu. Mechanical PLTU CO-Gen... kalau kamu kebanyakan melamun, resiko lho!"
Aku terhenyak mendengarnya, masih tak paham dengan bagian yang dimaksud. Entah bagaimana kerjanya, hubungannya apa dengan belajar autocad, masih bertanya-tanya sendiri dalam hati.
"Maaf,Mbak. Aku hanya kali ini nggak fokus. Memang sedang payah..."
Sefti membuka plastik pembungkus sus, mengambil satu, lalu menyodorkannya padaku.
"Pokoknya saya sudah bilang, kamu kudu fokus. Kudu semangat! Meskipun lembur, nggak peduli kek mau kamu capek, kamu ngantuk,atau apa... yang perusahaan tahu, kamu lembur itu digaji. Jadi tenaga kamu harus optimal."
Aku manggut-manggut seraya menjawab, "nggih,Mbak."
Sefti kemudian melirik arlojinya, membuatku ikut melirik arlojiku sendiri.
Tepat pukul 20.00 WIB.
"Kamu pulang saja lah, Dan! Aku nggak bisa training kamu. Kamu juga lelah, kan? Aku juga gak bisa diganggu saat ini," serunya tiba-tiba dengan mimik wajah gak enak hati.
"Oh, nggih,Mbak. Maaf...."
"Nggak apa. Eh, ini bawa sekalian!" Sefti memasukkan sus yang baru dibukanya tadi kedalam tas kresek kecil, lalu diberikannya padaku.
"Buat cemilan ponakanmu," ucapnya lagi.
Aku tersenyum menerimanya.
Akhirnya aku berpamitan pulang.
Kulangkahkan kakiku menuju mesin ceklok.Setelah ceklok, aku bergegas menuju parkiran,mengambil motor.
Seketika aku terbayang wajah Sefti kembali. Dia itu gadis yang baik. Dia pintar, cantik pula. Sayangnya, kenapa dia bertunangan dengan si Rian yang sangat angkuh, sombong, dan sok seperti itu?
Entah kenapa aku merasa sayang sekali dengan pilihannya...
Baru separuh perjalanan pulang, kuberhentikan motorku. Berganti memeriksa hape yang memang sedari tadi tak kusentuh.
WA'nya masih centang! Adel masih saja tak mengaktifkan datanya.
Dan aku hafal betul, jika datanya tak aktif, maka nomornya pun ikutan tak aktif!
Lagi-lagi kepikiran....
****
Kuparkirkan motorku tepat di halaman rumah. Sengaja aku membiarkannya disitu. Ingin balik lagi keluar menemui Yanto di warkop,yang masnya memang bekerja di sebuah Dealer motor.
Mau gak mau aku harus segera ambil motor, agar tak menyusahkan Mbak Diah bepergian.
Baru masuk ke ruang tamu, kulihat Ibu sudah duduk disana menghadap ke arahku, membuatku berteriak kaget karenanya.
"Ibu! Kenapa masih belum tidur?" aku berseru dengan deguban jantung yang masih begitu kerasnya.
Mbak Diah tiba-tiba keluar dari kamarnya, ikut nimbrung.
Ia duduk tepat disamping Ibu, sambil menatapku aneh.
Baru selangkah aku berjalan, suara Ibu tiba-tiba menegurku, "Dani, duduk!"
Ah, sudah kuduga ini....
Aku mengambil duduk di kursi lainnya, menghadap ke tembok.
"Apa alasanmu ingin cepat menikah?"
Glek! Aku menelan ludah pahit.
Ini sih terlalu to the point! Aku jadi bingung menjawabnya.
"Dani sudah lama suka dengan gadis itu,bu."
Deg! Semakin berdebar saja aku mendengar Mbak Diah yang menjawabnya.
Kulihat sekilas, Ibu menatapku tajam. Cepat-cepat kupalingkan mukaku ke depan. Menghadap tembok yang diatasnya terpampang foto keluarga besar kami.
"Kenapa tiba-tiba? Padahal gadis itu baru saja kau kenalkan pada kami? Kenapa kesannya terburu-buru?"
Aku masih diam sambil berkali-kali memainkan jemariku pada tangan kursi. Bingung mau jawab apa.
"Jawab,Dani!!" suara lantang ibu terdengar begitu kesal, membuatku terperanjat.
Aku menelan ludah lagi sambil melepas perlahan dua kancing seragam kerjaku. Kurasakan keringatku tiba-tiba bercucuran.
"Nggak karena apa-apa,bu. Dia sepertinya disuruh Ibunya menikah. Lalu....."
"... lalu apa kau yang disuruh ibunya untuk menikahinya?"potong ibu.
Aku terdiam sejenak. Berfikir, aah... takut salah ngomong.
Sebenarnya tidak, tapi.....
Kulirik sekilas Mbak Diah, dia mengangguk kecil padaku.
Aduh, jadi takut sendiri... kalau aku mengangguk seperti saran Mbak Diah, entah apa yang nanti akan dijawab ibu.
"Diam lagi? Kau tahu, Ibumu ini tak bisa tidur karena curhatanmu ke Diah! Kau tak mikir, Mbakmu keadaannya masih seperti apa? Ayahmu juga belum setahun pergi. Kau tak memikirkan keponakan-keponakanmu kalau kau tinggal nikah dan ngerawat istrimu nanti?"
Haduuuuhh, di luar nalar!
Aku tak berani menjawab omongan Ibu. Aku pilih diam, dan memilih mendengarkannya saja. Daripada ribet belakangan.
"Apa kerjamu sudah lama disitu? Baru beberapa bulan saja sudah kebelet nikah! Apa kau sudah siap memberi makan anak orang? Ya terang saja, ibunya mengejarmu untuk menjadikanmu menantu. Kerjamu sudah enak di kantor!"
Ucapan Ibu yang ini entah kenapa membuatku sedikit tersinggung. Seandainya Ibu tahu bahwa dia anak orang kaya. Lebih berada daripada keluarga kami yang sudah terbilang ada dimata orang. Entah kenapa pikiran Ibu selalu mengambil negatifnya dulu daripada condong ke sisi positifnya.
Ah sudahlah, biarkan Ibu berbicara semaunya. Aku tak perlu berkata lagi, daripada nanti salah lagi. Hmmm.....
"Bu, jangan berpikiran yang aneh-aneh!" suara lirih Mbak Diah mencoba menasehati ibu.
"Aneh-aneh apa? Adikmu itu yang aneh!" celetuk ibu gusar.
Ibu beranjak dari duduk, mulai mendekatiku. Berdiri tepat didepanku sambil mengacungkan jari telunjuknya.
"Ibu curiga ada yang gak beres... dia kesini juga nangis-nangis,bukan? Dia bermalam juga kesini pasti ada sangkut-pautnya denganmu..."
Hadeeeehh... apa lagi yang ada dipikirannya?
Aku masih diam. Malas menanggapi Ibu yang mulai nampak sisi negatifnya...
"Ayo jawab terus terang!" Ibu mulai mengkoyak tubuhku, membuatku sedikit kesal.
"Jawab terus terang apa,bu?" aku mulai menaikkan nada bicaraku.
Entah apa yang ada dipikirannya, aku tak tahu...
Ibu masih memandangku tajam. Ia melipat kedua tangannya dengan wajah ketus. Matanya menatapku seolah penuh kecurigaan.
Kami bertiga terdiam beberapa menit.
Hingga tiba-tiba suara ibu nyeletuk mengagetkanku yang benar-benar tengah letih, "ayo terus terang! benar kan,dia sedang hamil?"
Heeeeehh??
Aku hanya melongo kaget.
Kalau begini ceritanya, apakah salah jika aku berfikiran bahwa Ibuku benar-benar mulai gak waras?
Sementara tangan Bobi terus menarik-narik baju Kinara, mencoba meraih apa yang dia tuju sambil mengoceh entah apa. Tak jelas.
Mataku menatap keduanya tak bergeming. Seharusnya lucu menonton peristiwa seperti ini. Namun,tidak kali ini bagiku. Entahlah... aku merasa isi otakku kosong tak mampu berfikir pasti.
Terus saja memandang kosong seolah sedang berhalusinasi.
Tak sadar entah berapa lama aku melamun seperti ini, sampai-sampai Mbak Diah datang mengagetkanku.
"Ini!" Mbak Diah menyerahkan sebuah amplop coklat panjang padaku.
"Apa ini?" kuterima amplop itu dari tangannya, sambil menimbang-nimbang isinya.
"Sudah tahu ada logo Bank disitu..."
"Uang?"
"Jelaslah. Kemarin pagi aku disuruh Ibu ambil. Buatmu... suruh beli motor."
Kutatap amplop coklat itu sekilas. Lalu meletakkannya pada meja disebelahku.
Aku menghela nafas, sambil menyandarkan punggungku pada kursi.
"Kalau kamu bawa sepedaku terus, aku nggak enak sama Mbak Rika. Masa' nitipin Kinara terus antar-jemput sekolah?" lanjutnya lagi, seraya menyabetkan gendongan ketubuh Bobi.
Mbak Diah lalu berjalan mundur selangkah, melirik pintu sebelah yang terbuka.
"Itu sepedanya masih bisa dipakai,kan?"
Aku tak menjawab perkataannya. Aku tahu yang dimaksud. Sepeda CB keluaran lawas yang telah kumodifikasi warna hijau serentak. Sepeda yang sedari beli sama sekali tak pernah kupakai, kecuali saat ngumpul bareng temen. Sepeda yang niatnya hanya kupajang saja demi untuk mengikuti trend.
Entahlah, mungkin tekor aki saat ini karena lama tak terpakai...
"Diem saja diajak bicara!"
Aku terhenyak dalam lamunan. Kembali menegakkan posisi dudukku sambil menimbang-nimbang amplop coklat ditanganku.
"Ya, aku pakai dulu sementara sepedanya. Nanti aku hubungi temenku yang kerja Dealer. Emang ini berapa duit?"
"Dua puluh."
"Disuruh ambil apa sama Ibu?"
"Nggak tahulah... seleramu."
Mbak Diah mendekati Kinara, membenahkan dasi merahnya yang tengah miring, seraya berpesan, "Mbak Kinar, sekolah bareng Ega dulu,ya? Mulai besok mama yang anter lagi..."
Kinara mengangguk,mencium tangan mbak Diah, setelah itu berlari pergi.
Kutolehkan wajahku ke belakang, mengintip jam dinding di dalam ruang tamu dari kaca jendela teras. Emang jam berapa,sih?
Pukul 06.35 WIB.
Eh, masih lama untuk bersiap kerja...
Kembali aku menoleh kedepan, terkejut rasanya saat melihat mbak Diah sudah duduk persis dihadapan dengan kursi plastik dari garasi yang sudah dipindahnya.
"Dan, kita sama-sama anak Ibu,kan? Ayo saling menjaga perasaannya! Ibu memang mudah sekali tersinggung, jangan pernah bicara hal yang sekiranya gak penting dibahas!" ucap Mbak Diah lirih.
"Ayo kita tata mulai sekarang bicara kita! Kita pikir kembali sebelum mengutarakannya. Ibu iki gak kenek'an, Dan..."
Kuhela nafas berat sambil meletakkan amplop berisi uang itu ke meja sebelahku.
"Salahku dimana,Mbak? Aku hanya mengingatkan ibu yang sedikit keterlaluan sama temenku. Aku nggak enak lah mbak... masa dia main pertama kali sudah diceramahi model begitu."
"Bukan menceramahi. Mungkin lebih tepatnya menasehati. Hanya saja cara menyampaikannya yang salah. Nada bicara ibu memang begitu sedari dulu. Masa kau gak hafal?"
"Jelas salah lah,Mbaaak... Ibu berkata didepan perempuan lain. Kalau aku diposisinya pasti juga sama malunya..."
"Nah, kau sendiri jika diposisi Ibu pasti juga bisa merasakan bagaimana kekhawatiran seorang Ibu. Jangan menyalahkan Ibu juga! Akupun jika diposisinya pasti juga bertindak yang sama, hanya saja segi penuturannya berbeda. Kalau Ibu memang sedari dulu nada bicaranya begitu. Itu sudah karakter. Apalagi posisinya sekarang sakit begitu, kau juga harus mengerti..."
Mendengar itu, aku memilih untuk terdiam.
Sebenarnya bukan ini yang aku pikirkan. Tapi,hal yang lain lagi...
"Bilang sama temanmu, wakilkan permintaan maaf Ibu, agar kau masih bisa berteman baik dengannya," lanjut Mbak Diah lagi, sembari mengelus-elus kening Bobi yang tengah pulas dipangkuannya.
Apakah aku harus bercerita dengan Mbak Diah saja tentang ini?
Aku menggamit bibir keringku dengan kepala yang penuh dengan pertimbangan. Maju mundur berbicara, tapi tak ada pilihan lain untukku bercerita. Mungkin Mbak Diah bisa membantuku.
Kuhela nafas berat, kutundukkan kepalaku. Perlahan mulutku berucap, "Mbak, aku mau bicara penting...."
*****
Braaaakk!!
Suara keras itu membuatku kaget bukan main. Mataku spontan tertuju pada beberapa buku bersampul hitam besar yang telah berserakan dilantai. Cepat-cepat aku memungutinya dan menaruhnya ke meja.
Bersamaan dengan itu, terdengar decitan suara dari seseorang didepanku.
"Ckckck......" wanita berkulit putih dengan tinggi badan sekitar 160'an itu berdiri di depanku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Maaf,Mbak...." aku mulai salah tingkah menatapnya.
Sefti kembali duduk di kursinya. Disilangkannya kakinya itu,dengan pandangan beralih ke monitor.
"Aku nggak suka ya,Dan, kalau aku ngomong panjang lebar lalu kamu malah melamun seperti itu. Mudeng gak sih,kamu?" ucapnya kemudian dengan nada yang tak seperti biasanya.
Aku sedikit menelan ludah, gak enak melihatnya yang nampak marah.
"Maaf,Mbak. Aku sedikit lelah hari ini...."
"Kalau lelah, kenapa gak izin sama Pak Dika, biar gak jadi lembur? Saya ini kerjanya gak bisa nyantai lo,sebenarnya... saya belain kerja setengah-setengah demi mentraining kamu, malah kamu gak fokus gini. Sia-sia dong, saya usaha? Disini saya juga nggak nganggur,lho. Kerja saya gak senyantai admin gudang,lho!"
Suara bernada keras perempuan didepanku itu lebih membuatku tak enak lagi. Bodohnya aku!
Sefti baik sekali kenapa aku harus berbuat seperti ini padanya? Terlalu banyak memikirkan Adel membuatku tengah gagal fokus mendengarkan setiap ulasannya.
Seharusnya aku tak selemah ini!
Sefti tak lagi menyuarakan bibirnya. Ia masih terus menatap monitor.
Hampir se-jam kita terdiam di ruangan.
Entah kenapa mataku yang tadinya berat terbuka, kini menjadi segar kembali seperti baru memulai aktivitas. Mungkin kah karena perasaan tak enak hati?
Sefti terlihat menoleh padaku sekilas, membuatku menundukkan pandangan sungkan. Tak lama kemudian dia bertanya, "kenapa sebenarnya denganmu? Apa karena perempuan yang kemarin itu?"
Mataku membelalak kaget mendengar pertanyaannya. Nada bicaranya mulai melunak.
Sefti menoleh lagi, tersenyum seolah mengejek.
"Ketawanya nggak enak,"tukasku.
"Lah,enaknya gimana? Hahaha..."
Sefti memutarkan kursinya menghadap ke arahku, lalu berkata lagi, "sebenarnya kamu kerja itu tujuannya apa?"
Glek! Pertanyaan macam sindiran ini.
Aku masih terpaku, sementara Sefti di depan mata tengah menunggu jawabanku.
"Seharusnya kamu tak menyangkutkan masalahmu dengan kerjaan. Hei, kamu ini lelaki,lho? Terlalu baper ya,semua laki-laki itu? Hahaha....."
Mendengar tawa Sefti aku semakin tak enak sendiri.
"Kalau kamu bekerja di posisiku dengan keadaan seperti itu, waaahh... jelas berantakan! Ini kerjaan penuh resiko. Gambar yang dikerjakan rumit dan banyak perhitungan. Salah sedikit, pusingnya tujuh turunan. Kau harus extra hati-hati dan lebih cermat. Pantang melamun!"
Penuturan Sefti membuatku mengernyitkan dahi, merasa heran dan penasaran. Serumit itukah?
Sefti kembali memandang monitornya seraya berkata, "pekerjaan ini rumit, tapi asyik. Nilainya berbeda dari karyawan lain. Mungkin kita sama dari segi fasilitas dan tunjangan. Tapi perihak gaji dan status, benar-benar suatu nilai tersendiri..." Sefti berdiri dari tempat duduk, mengambil sebuah kertas kosong dari raknya.
"Kau tahu? Belajar Autocad itu banyak positifnya,lho! Tak rugi mempelajarinya. Jika kemampuanmu menguasai ilmunya oke, kamu bebas memilih perusahaan besar mana yang kamu terima tawaran pekerjaannya..."
"Bebas memilih yang kita terima tawaran pekerjaannya? Maksudnya gimana ya,Mbak?"
"Ya intinya, bukan kamu yang nyari perusahaan. Tapi perusahaan yang nyari kamu....."
"Oooh, begitu...."
"Tapi kalau kamu gampang diajarinnya,sih... toh pikiranmu suka melebar tak karuan,gitu."
Aku diam sejenak, kemudian tertawa spontan, membuat Sefti lagi-lagi memalingkan wajahnya ke arahku. Mukanya menatap nampak penuh perhitungan.
"Sorry,Dan... Aku sebenarnya nggak bisa kerja kalau kamu berisik. Heeeemm..."
Mendengar itu, aku langsung terdiam kembali.
Kulihat gadis itu memegang pinggangnya sambil menegakkan posisi duduknya. Sering sekali seperti itu. Terkadang mengucek kedua matanya, lalu berdiri sejenak. Separuh badannya dia putar ke kanan dan ke kiri sampai terdengar suara tulangnya. Kemudian dia duduk kembali.
Dia memang pernah bilang, kalau pinggangnya sering sakit dan capek duduk. Memang itulah susahnya seorang drafter. Matanya juga selalu panas menatap monitor terus-menerus. Aneh, padahal sudah terpasang anti radiasi. Dia juga bilang,terkadang kalau senggang dia bisa sangat santai. Tapi jika kerjaan tiba-tiba datang, dia menjadi sangat tak bisa diganggu. Parahnya lagi, kerjaan bisa datang sewaktu-waktu. Tak peduli jam kerja selesai, jika ada kerjaan masuk, dia harus selesaikan hari itu juga.
Aaah, dia yang kerja kok jadi aku yang pusing lihatnya?
"Pada intinya, kamu harus fokus. Semua pekerjaan entah bagian apa itu, intinya harus fokus. Kamu kembalikan lagi pada tujuan kamu kerja. Kamu kerja untuk apa? Sudah diajak ngobrol belum sama Pak Tony?"
"Ehm, belum,Mbak."
"Nah, itu PR-mu. Pak Tony pasti nanti menanyaimu, tentang tujuanmu kerjamu."
"Lalu, samean jawab apa?"
"Lho? Rahasia,dong! Tujuan hidup kan masing-masing." Sefti memutar kursinya, menyodorkan sebuah jajanan kepadaku yang baru diambilnya dari laci.
"Intinya, kerja ya kerja. Urusan perempuan, nanti di rumah pikir lagi. Kalau sudah masuk lingkungan kerja, tak boleh ada pikiran tentang suasana di luar pekerjaan. Boleh-boleh saja sih, asal tak mengganggu kerjaan. Tapi kalau kamu, kayaknya terlalu baper sama yang begituan. Kalau Maintenance Power Plant kayaknya kamu nggak bisa,Dan...."
"Ehm, jadi apa itu,Mbak? Kenapa nggak bisa?"
"Ya itu nanti pekerjaan pengganti kamu. Mechanical PLTU CO-Gen... kalau kamu kebanyakan melamun, resiko lho!"
Aku terhenyak mendengarnya, masih tak paham dengan bagian yang dimaksud. Entah bagaimana kerjanya, hubungannya apa dengan belajar autocad, masih bertanya-tanya sendiri dalam hati.
"Maaf,Mbak. Aku hanya kali ini nggak fokus. Memang sedang payah..."
Sefti membuka plastik pembungkus sus, mengambil satu, lalu menyodorkannya padaku.
"Pokoknya saya sudah bilang, kamu kudu fokus. Kudu semangat! Meskipun lembur, nggak peduli kek mau kamu capek, kamu ngantuk,atau apa... yang perusahaan tahu, kamu lembur itu digaji. Jadi tenaga kamu harus optimal."
Aku manggut-manggut seraya menjawab, "nggih,Mbak."
Sefti kemudian melirik arlojinya, membuatku ikut melirik arlojiku sendiri.
Tepat pukul 20.00 WIB.
"Kamu pulang saja lah, Dan! Aku nggak bisa training kamu. Kamu juga lelah, kan? Aku juga gak bisa diganggu saat ini," serunya tiba-tiba dengan mimik wajah gak enak hati.
"Oh, nggih,Mbak. Maaf...."
"Nggak apa. Eh, ini bawa sekalian!" Sefti memasukkan sus yang baru dibukanya tadi kedalam tas kresek kecil, lalu diberikannya padaku.
"Buat cemilan ponakanmu," ucapnya lagi.
Aku tersenyum menerimanya.
Akhirnya aku berpamitan pulang.
Kulangkahkan kakiku menuju mesin ceklok.Setelah ceklok, aku bergegas menuju parkiran,mengambil motor.
Seketika aku terbayang wajah Sefti kembali. Dia itu gadis yang baik. Dia pintar, cantik pula. Sayangnya, kenapa dia bertunangan dengan si Rian yang sangat angkuh, sombong, dan sok seperti itu?
Entah kenapa aku merasa sayang sekali dengan pilihannya...
Baru separuh perjalanan pulang, kuberhentikan motorku. Berganti memeriksa hape yang memang sedari tadi tak kusentuh.
WA'nya masih centang! Adel masih saja tak mengaktifkan datanya.
Dan aku hafal betul, jika datanya tak aktif, maka nomornya pun ikutan tak aktif!
Lagi-lagi kepikiran....
****
Kuparkirkan motorku tepat di halaman rumah. Sengaja aku membiarkannya disitu. Ingin balik lagi keluar menemui Yanto di warkop,yang masnya memang bekerja di sebuah Dealer motor.
Mau gak mau aku harus segera ambil motor, agar tak menyusahkan Mbak Diah bepergian.
Baru masuk ke ruang tamu, kulihat Ibu sudah duduk disana menghadap ke arahku, membuatku berteriak kaget karenanya.
"Ibu! Kenapa masih belum tidur?" aku berseru dengan deguban jantung yang masih begitu kerasnya.
Mbak Diah tiba-tiba keluar dari kamarnya, ikut nimbrung.
Ia duduk tepat disamping Ibu, sambil menatapku aneh.
Baru selangkah aku berjalan, suara Ibu tiba-tiba menegurku, "Dani, duduk!"
Ah, sudah kuduga ini....
Aku mengambil duduk di kursi lainnya, menghadap ke tembok.
"Apa alasanmu ingin cepat menikah?"
Glek! Aku menelan ludah pahit.
Ini sih terlalu to the point! Aku jadi bingung menjawabnya.
"Dani sudah lama suka dengan gadis itu,bu."
Deg! Semakin berdebar saja aku mendengar Mbak Diah yang menjawabnya.
Kulihat sekilas, Ibu menatapku tajam. Cepat-cepat kupalingkan mukaku ke depan. Menghadap tembok yang diatasnya terpampang foto keluarga besar kami.
"Kenapa tiba-tiba? Padahal gadis itu baru saja kau kenalkan pada kami? Kenapa kesannya terburu-buru?"
Aku masih diam sambil berkali-kali memainkan jemariku pada tangan kursi. Bingung mau jawab apa.
"Jawab,Dani!!" suara lantang ibu terdengar begitu kesal, membuatku terperanjat.
Aku menelan ludah lagi sambil melepas perlahan dua kancing seragam kerjaku. Kurasakan keringatku tiba-tiba bercucuran.
"Nggak karena apa-apa,bu. Dia sepertinya disuruh Ibunya menikah. Lalu....."
"... lalu apa kau yang disuruh ibunya untuk menikahinya?"potong ibu.
Aku terdiam sejenak. Berfikir, aah... takut salah ngomong.
Sebenarnya tidak, tapi.....
Kulirik sekilas Mbak Diah, dia mengangguk kecil padaku.
Aduh, jadi takut sendiri... kalau aku mengangguk seperti saran Mbak Diah, entah apa yang nanti akan dijawab ibu.
"Diam lagi? Kau tahu, Ibumu ini tak bisa tidur karena curhatanmu ke Diah! Kau tak mikir, Mbakmu keadaannya masih seperti apa? Ayahmu juga belum setahun pergi. Kau tak memikirkan keponakan-keponakanmu kalau kau tinggal nikah dan ngerawat istrimu nanti?"
Haduuuuhh, di luar nalar!
Aku tak berani menjawab omongan Ibu. Aku pilih diam, dan memilih mendengarkannya saja. Daripada ribet belakangan.
"Apa kerjamu sudah lama disitu? Baru beberapa bulan saja sudah kebelet nikah! Apa kau sudah siap memberi makan anak orang? Ya terang saja, ibunya mengejarmu untuk menjadikanmu menantu. Kerjamu sudah enak di kantor!"
Ucapan Ibu yang ini entah kenapa membuatku sedikit tersinggung. Seandainya Ibu tahu bahwa dia anak orang kaya. Lebih berada daripada keluarga kami yang sudah terbilang ada dimata orang. Entah kenapa pikiran Ibu selalu mengambil negatifnya dulu daripada condong ke sisi positifnya.
Ah sudahlah, biarkan Ibu berbicara semaunya. Aku tak perlu berkata lagi, daripada nanti salah lagi. Hmmm.....
"Bu, jangan berpikiran yang aneh-aneh!" suara lirih Mbak Diah mencoba menasehati ibu.
"Aneh-aneh apa? Adikmu itu yang aneh!" celetuk ibu gusar.
Ibu beranjak dari duduk, mulai mendekatiku. Berdiri tepat didepanku sambil mengacungkan jari telunjuknya.
"Ibu curiga ada yang gak beres... dia kesini juga nangis-nangis,bukan? Dia bermalam juga kesini pasti ada sangkut-pautnya denganmu..."
Hadeeeehh... apa lagi yang ada dipikirannya?
Aku masih diam. Malas menanggapi Ibu yang mulai nampak sisi negatifnya...
"Ayo jawab terus terang!" Ibu mulai mengkoyak tubuhku, membuatku sedikit kesal.
"Jawab terus terang apa,bu?" aku mulai menaikkan nada bicaraku.
Entah apa yang ada dipikirannya, aku tak tahu...
Ibu masih memandangku tajam. Ia melipat kedua tangannya dengan wajah ketus. Matanya menatapku seolah penuh kecurigaan.
Kami bertiga terdiam beberapa menit.
Hingga tiba-tiba suara ibu nyeletuk mengagetkanku yang benar-benar tengah letih, "ayo terus terang! benar kan,dia sedang hamil?"
Heeeeehh??
Aku hanya melongo kaget.
Kalau begini ceritanya, apakah salah jika aku berfikiran bahwa Ibuku benar-benar mulai gak waras?
Diubah oleh shirazy02 26-11-2019 19:52
erman123 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Tutup