- Beranda
- Stories from the Heart
Jangan Panggil Aku Ibu
...
TS
shirazy02
Jangan Panggil Aku Ibu

(Warning : 21+ akan ada tindak kekerasan dalam cerita, namun sarat moral, mengantarkan banyak kejutan tak terduga di dalamnya)
part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
part 7
part 8
part 9
part 10
part 11
part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
part 1
Suara carut-marut beberapa ayam jantan yang berkokok, mulai menyadarkanku dari lelapnya tidur. Membuatku beranjak segera membuka jendela kamar. Terlihat seberkas cahaya matahari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur. Tak tertinggal suara merdunya burung-burung dari balik dedaunan yang tengah bersenandung.
Seharusnya suasana pagi yang dingin nan sejuk ini menambah nikmat tersendiri untukku, namun nyatanya, sangat berbeda dengan suasana hatiku.
Kutengok jam dinding dari balik tirai. Jam 05.30. Baru sadar bahwa hanya dua jam saja aku mampu tertidur?
Dengan mata yang masih terasa berat, kulangkahkan kakiku keluar kamar. Mematikan lampu tengah dan teras yang masih menyala. Lalu membuka bilik-bilik jendela, terakhir membuka pintu utama.
Haidar masih saja bergelut dengan mimpinya. Kubiarkan ia terlelap tidur. Masih penasaran ke-diam-annya semalam. Tumben ia tak rewel, tak seperti biasanya.....
Sementara, Mas Agus ... entah kemana ia. Gelas berisi teh di atas meja masih tak tersentuh sama sekali. Sepertinya ia tak pulang lagi.
Kutarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan seiring penatnya kepala yang kurasakan.
Sudah tiga hari ini, Mas Agus tak pulang. Membuatku khawatir dan berpikir yang macam-macam. Uang yang ia beri padaku sepekan yang lalu sudah menipis. Aku semakin dibuat pusing karena tak ada lagi orang yang bisa kutoleh disini.
"He, Wati! Jangan ngutang lagi, ya! Boleh ngutang, tapi, lunasin dulu tunggakannya! Jebol anakku kalau dirimu ngutang mulu."
Dari warung seberang jalan, Mak Minah berteriak kencang sembari mengacungkan sapu halamannya itu padaku.
Aku langsung membalikkan badan, pergi dari ruang tamu dengan langkah cepat menuju kembali ke kamar. Tak terasa air mata mulai menitik. Betapa malunya aku sebagai perempuan diteriaki seperti itu disaat banyak para tetangga belanja di warungnya.
Bagaimana aku bisa melunasi hutang, sementara uang yang kukantongi sekarang saja tersisa hanya enam ribu rupiah.
Kuseka air mataku yang kian mengucur, lalu mengalihkan pandangan kembali menatap Haidar yang masih terlelap.
Oh, Tuhan ... aku tak sanggup lagi.
Mas Agus, kamu dimana?
Lagi-lagi air mataku menitik.
Belum usai kesedihanku, pagi-pagi sekali Bu Rina datang. Ia marah, menyuruhku segera meninggalkan rumah. Kami memang menunggak biaya sewa lima bulan, dan aku tahu Mas Agus sudah berusaha untuk itu. Tapi, bagaimana lagi ... penghasilannya sebagai kuli angkut di pasar hanya cukup untuk menutup hutang yang lain dan makan seadanya.
Tak mau terus bersitegang, lantas kutegaskan pada Bu Rina jika Mas Agus sudah tiga hari ini tak pulang. Namun, sudah tak ada lagi rasa iba terpancar dari raut wajahnya.
"Saya sudah lima bulan bersabar, Wati. Suamimu tak juga memberi uang yang dijanjikan meski sekedar menyicil. Saya ini sudah tidak punya suami. Beda dengan kamu. Masih untung kamu ada yang menafkahi. Harapan saya cuma di rumah ini. Kalau kamu tak bisa membantu perekonomian saya, silahkan kamu pergi! Saya sudah cukup menunggu. Saya ini juga dalam keadaan butuh!"
Ucapan Bu Rina lantang terdengar, membuat dadaku sesak seolah tak mampu lagi berkata.
Tiba-tiba, Haidar menangis kencang dari dalam kamarnya. Aku yang kaget, segera berlari melihat apa yang terjadi. Bayi delapan bulanku mendadak memelototkan kedua mata. Tangisannya terhenti, dan tangannya menggenggam erat, lurus kencang.
"Bu ... Bu Rina! Tolong!" Aku berteriak histeris sambil menggendong Haidar. Saking paniknya, aku berjalan mondar-mandir tak jelas di dalam kamar, mencoba menyusuinya. Tetap ia tak berekspresi.
"Kenapa, Wati?" Bu Rina yang baru menghampiri, tampak khawatir memandangku.
"Haidar! Coba lihat, Bu! Ini Haidar kenapa? Ia juga tak mau menyusu," pekikku sambil membawa Haidar mendekat pada Bu Rina.
"A-ayo ke puskesmas saja, Wat!"
Akhirnya, aku dibonceng Bu Rina pergi dengan motornya.
Kepalaku terasa penuh, sementara tanganku terus menutupi Haidar dengan selimut. Matanya masih saja membulat, membuatku semakin menangis karena cemasnya. Kucoba menyusuinya, memaksanya. Tetap saja bibirnya mengatup tak berekspresi.
Ya ampun, Mas Agus ... cepat pulang, Maaaasss!
Tak kuasa aku menahan kesedihan yang teramat sangat kali ini.
Sesampainya di puskesmas, kusuruh para petugas cepat membawa Haidar masuk untuk diperiksa. Sementara Bu Rina ada di loket antrian.
"Tolong banget, Mas! Tolong anak saya!" Aku tak sanggup berkata lagi saking bingungnya.
Selagi Haidar diperiksa, tiba-tiba, aku dikagetkan lagi dengan Bu Rina yang datang sambil menyenggol pundakku.
"Wati, kamu ada KIS gak?" tanyanya.
"Apa itu, Bu?"
"Aduuuhh, kalau ngomongmu begitu, kayaknya kamu nggak punya. Kamu minta tolong ke kelurahan, deh! Aku juga tak ada duit buat bayar nanti."
"La-lalu? Haidar bagaimana, Bu?"
"Sudahlah! Ada petugasnya, kan? Ayo!"
Tanpa banyak pertimbangan lagi, aku pun menurut apa kata Bu Rina. Pergi bersamanya menuju ke kelurahan.
Setelah lama berkutat di dalam kantor kelurahan, akhirnya kudapatkan secarik surat dari sana, sebagai pengantar sementara selagi kartu KIS belum ada. Tak menunggu waktu lagi, segera kami kembali berangkat ke puskesmas.
Bu Rina langsung menuju loket, sementara aku bergegas menuju tempat dimana Haidar diperiksa.
Namun, pemandangan yang ada lebih mengagetkanku.
Haidar terbujur kaku, dengan tali perban melilit di sekitar dagu ke kepalanya.
Kurasakan kepalaku semakin pening, pandanganku seketika kabur.
****
Sudah tujuh hari kepergian anakku, Haidar. Namun ingatan tentangnya masih membekas. Saat wajah lucunya menangis, saat bayi menggemaskan itu tersenyum, semua itu masih terkenang jelas dalam ingatan.
Kuputuskan menutup kenangan tentangnya. Agar tak lagi ada tangis terbendung. Aku sudah capek, pikiranku sudah kalut.
Lalu, aku berdiri, mulai berkemas. Baju-bajunya, karpet tidurnya, nipple mainannya, sepatu dan kaos kakinya, semua kujadikan satu pada sebuah kotak kardus besar. Lalu, kotak kardus itu kusimpan di atas lemari pakaian.
Saat itu juga, tiba-tiba suamiku datang. Ia berteriak dari luar memanggilku.
Segera aku berlari untuk memastikan, apa benar itu dia?
Ya ... memang benar. Ia datang dengan pemandangan yang nampak janggal. Ditangannya mendekap bayi dalam gendongan, lengkap beserta tas besar yang ia kalungkan menyamping ketubuhnya.
"Haidar! Lihat, Ayah bawa adek buat Haidar! Rumah bakalan rame ini." Ia berseru sambil masuk ke dalam rumah.
Aku hanya tercengang menatapnya dari balik tirai ruang tengah.
Laki-laki itu tampak sumringah dengan bayi yang ia gendong. Sekilas ia melirikku, lalu bertanya lagi, "Mana anak kita Haidar, Bu? Aku punya berita baik. Ibu pasti senang!"
Aku masih tak percaya dengan apa yang diucapnya barusan. Hanya bisa terdiam dengan mata lurus ke depan.
Anak siapa itu? Kemana ia pergi selama ini?
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 07-02-2020 19:33
manik.01 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
21.5K
242
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#43
Jangan Panggil Aku Ibu (part 6)
Bluuurrb ...
Kubenamkan kepala Tomi ke dalam gentong yang berisi penuh air, lalu kuangkat lagi. Kubiarkan ia mengambil napas dengan mata terpejam, kemudian membenamkan lagi untuk kedua kali. Belum lega rasanya batin, setelah itu kuseret ia ke dapur. Kubiarkan ia tergeletak lemas di sana, sementara aku, pergi ke ruang tamu mengambil sapu penebah yang ada di kolong kursi. Tanpa ampun lagi, kupukul ia berulang kali. Meski ia meronta dan menjerit, sama sekali aku tak peduli.
"Kau tahu, itu tadi beras terakhir milik kita. Kenapa kau begitu ceroboh tak hati-hati berjalan di tanah seperti itu? Aku sama sekali tak peduli kau jatuh ke kubangan lumpur. Tapi soal beras tadi ... memang kau bisa bantu nyari, haah? Kau pikir aku tak letih, pulang dari sawah menahan perut begini perih?"
Kupukuli terus Tomi sampai tersalurkan rasa kesalku. Ia terus mengaduh sambil menangis, meminta ampun.
Hoossh, hoosh ....
Lama-lama tubuhku terasa capek sendiri. Kujatuhkan badanku tepat di depannya, dengan mata berkaca dan bibir bergetar.
Lantas harus kudapat darimana beras pengganti untuk hari ini, sedangkan hutangku di toko sembako sudah lumayan bikin pusing.
Kruuukk ...
Bunyi perutku terdengar lagi ke sekian kali, seakan memprotes ingin segera dimasuki nasi. Namun, kurasakan tubuhku demikian lemah, seolah tak sanggup lagi bergerak dari posisi.
Tomi perlahan menghentikan tangisnya. Ia lepas kaosnya yang basah. Berjalan memincang, dan meninggalkanku sendirian tergolek di tembok dapur.
Tak lama setelah itu, ia kembali lagi ... dengan sebuah bungkusan kecil di tangannya.
"B-Bi, i-ini Tomi t-tadi dibe-ri Mang U-Ujang na-nasi pas ba-bantuin. T-tapi, s-seka-rang To-Tomi s-sudah t-tak la-par." Mulut Tomi sesenggukan berkata, sambil menyodorkan bungkusan plastik itu padaku. Aku terkejut, menatap nanar bungkusan yang dibawanya.
Mana mungkin ia tak lapar? Sementara berangkat sekolah tadi hanya memakan sepotong tahu, lauk sisa kemarin sore.
Masih melihatku terdiam, Tomi lalu berjalan pincang menuju rak. Ia ambil piring dan sendok. Membuka bungkus nasi itu,kemudian menyodorkannya kembali padaku.
"B-Bibi sa-ja y-yang ma-kan," lanjutnya lagi, masih dalam isak.
Kutolehkan wajahku menatap pintu dapur. Menyembunyikan air mataku yang tiba-tiba menetes. Aku tak kuasa memandangnya.
Tomi meletakkan piring itu di lantai. "M-maaf, ka-lau T-Tomi nakal," ucapnya lagi, kemudian berjalan tertatih pergi.
"Hik's!" Aku semakin menumpahkan tangis pilu.
Ya, Tuhan ....
Iblis macam apakah aku ini? Anak itu satu-satunya yang kini kumiliki. Kenapa aku tak bisa begitu ikhlas menerimanya di kehidupanku?
Masih kutatap sebungkus nasi itu di lantai, dan lagi-lagi aku terisak.
Dengan gemetar, kuambil piring itu. Beranjak dari duduk, lalu melangkah mencarinya.
Bocah umur tujuh tahun itu rupanya tertidur setelah selesai berganti pakaian. Pelan, kulangkahkan kakiku menghampirinya, agar ia tak bangun. Aku naik ke kasurnya,membenahkan bantal tidurnya, mengusap rambut lembabnya.
Mataku mengkristal lagi ....
Kulihat tubuh kecil itu penuh memar, dengan cap merah-merah bekas pukulan di tangan dan kakinya. Rambutnya yang basah, dan bibirnya terlihat pucat, lengkap dengan kedua mata yang tampak sembab.
Butiran air mata kembali berlinang ....
"Maafkan aku, Tomi. Maafkan," ucapku lirih.
Piring itu lantas kutaruh di meja lipat yang ada di samping kasur. Kuharap ia segera memakannya setelah bangun tidur.
****
Suara tabuh gamelan terdengar jelas di telinga. Semakin lama, semakin riuh terasa. Kucoba keluar dari rumah, mencari asal suara. Tampak lampu sorot awan bergerak ke kanan-kiri di ujung desa.
"Tomi, di kampung sebelah ada tontonan, ya?" Kutanya Tomi yang saat itu sedang belajar di ruang tamu.
"Ya, Bi. Katanya ruwah desa," jawabnya.
"Sudah selesai belum belajarnya? Lihat, yuk!" ajakku. Masih terus di teras rumah, menatap ujung jalan yang tampak ramai.
"Iya. Sebentar lagi, Bi."
Mendengar itu, aku lalu kembali masuk. Kulangkahkan kaki menuju kamar. Berganti baju, menyempatkan diri berdandan.
Tampil cantik, ah! Siapa tahu bertemu jodoh, biar ada yang bantu cari uang. Lelah bila harus memikul beban sendirian.
Tomi yang melintas di depan pintu kamar, bertanya, "jadi berangkat sekarang, Bi?"
"Lho? Iya, dong," jawabku, seraya mengoleskan gincu ke bibir.
Ia kemudian berlalu.
Selesai berdandan, segera aku keluar dari kamar. Menuju depan, dengan tangan menenteng sebuah kunci.
"Ayo, Tomi! Cepat," seruku bersemangat.
Tomi setengah berlari menghampiriku. Ia kenakan jaket rajut kesayangannya yang mulai tak cukup di badan. Nampak aneh sekali. Tapi, biar lah!
"Ayo!" ucapnya kemudian.
Kami sama-sama berjalan bergandengan melewati sawah yang begitu petang. Hanya ada lampu penerangan remang-remang setiap sepuluh meter kami berjalan. Membuatku sedikit bergidik, apalagi terdengar bunyi jangkrik dan katak bersautan. Semakin membuatku melangkahkan kaki lebih cepat.
"Hei, Tomi. Cepat dikit jalannya!"
"Iya."
"Nanti lihatnya jangan lama-lama, ya! Nanti gak berani pulang."
"Iya."
Kami terus berjalan dengan rasa was-was. Sampai ketika kami melihat lampu gapura desa, baru lah aku bisa bernapas lega.
Ternyata ada pagelaran wayang kulit di sini. Kesukaan Lurah Totok, sosok yang paling disegani dan paling kaya di desa.
Tapi, entah yang mana orangnya. Aku tak tahu ....
"Tomi, jangan jauh-jauh dari Bibi, ya?" pesanku, saat Tomi mulai berjalan sendiri, mencari tempat menonton.
Ia mengangguk.
Aku berdiri tak jauh di belakangnya, sambil menatap panggung di depan mata.
"Eh, menor banget, tuh, Wati. Tumben? Biasanya mukanya kayak kertas gosok."
Sebuah suara tiba-tiba mengusik telingaku. Suara itu tak jauh dariku berdiri sekarang. Sepertinya sengaja dikeraskan. Karena meski suara campursari lebih keras, nyata sekali aku bisa mendengar ocehannya.
Dengan cekatan, kubalikkan badanku menatap si pembicara.
Oh, ternyata Sari ....
Ia berdiri tepat di belakangku, dengan tiga orang pengikutnya yang biasa mengambil garapan tas di rumahnya.
Tak terima mendengar ucapannya, lalu kuhampiri dia sambil berkacak pinggang.
"He, Sari. Ngiri yaa, soalnya kamu gak bisa dandan bagus? Mesti lah ... lihat gincumu yang mbleber kayak gitu, pantes amat ngiri," ucapku sinis.
"Heeeh, yang ngomongin situ, siapa? Nih, Dini yang ngomong. Bukan aku," protes Sari sambil nyenggol kecil lengan Dini.
"Sensi amat sama sini. Gak ada salah, gak ada apa, syirik mulu sama sini. Udah sinting, ya?" lanjutnya lagi dengan tatapan tak enak padaku.
Lalu, kualihkan mataku menatap Dini. Anak itu ... jauh sekali usianya di bawahku. Ia baru saja menikah. Tapi, mulutnya sudah sepedas orang tua kebanyakan.
"Masalahmu apa, Din? Kamu masih kecil, manggil aku Wati Wati. Eh, diajarin siapa kayak gitu? Jaga, ya, omonganmu ... sebelum tanganku melayang di mulut sampahmu itu."
Gadis itu diam. Memalingkan muka. Tapi kemudian, Sari yang nyeletuk, "itulah hebatnya anak pekerja keras. Dari kecil dididik keras sama orang tuanya. Sama kayak situ didik si Tomi. Lama-lama bakal gitu juga Tomi-mu."
Grrrrrrrrr!
Aku semakin naik pitam dibuatnya. Terlebih saat ke-empat perempuan itu tertawa bersamaan.
Lantas kutinggalkan mereka, daripada hati kepanasan. Kutarik tangan Tomi dengan paksa. "Ayo, pulang!" ajakku lantang.
Sepanjang perjalanan pulang, batinku terus saja mengumpat tak karuan. Kucepatkan langkah kakiku sambil menarik tangan Tomi berkali-kali.
"Cepat dikit, kenapa? Lambat banget!" Aku memakinya sambil mencubit leher belakangnya.
Kesal membuatku kehilangan rasa takut melewati area persawahan. Begitu berkecamuknya rasa di dada sampai ingin sekali kutampar mereka semua tadi yang ada di sana.
Kurang ajar!
Semakin lama semakin malas aku mengenal orang sekitar. Kupikir, pindah kontrak di tengah persawahan yang jauh dari penduduk, bakal menentramkan hidup. Tahunya, begini lagi ... dicampuri orang lagi!
Kenapa susah sekali belakangan ini untuk bisa cuek seperti dulu? Padahal, dulu tak pernah kuladeni apapun perkataan orang. Kenapa sekarang ingin sekali mencari ribut?
"Heh, Tomi!" Kudorong tubuh Tomi saat baru memasuki rumah.
Tomi tersungkur ke lantai.
"Kamu kalau niat sekolah, seharusnya belajar saja tadi. Seharusnya kamu menolak Bibi untuk melihat tontonan! Dasar bodoh!" Kuhampiri Tomi lagi. Mengoyak-oyak tubuhnya dengan kasar. Badan Tomi pun terombang-ambing di tangan.
"Kamu itu belajar yang pinter. Biar bisa mikir, mana yang penting dan enggak. Tontonan kayak itu tadi sama sekali nggak penting. Bodoh!" Kujewer telinganya. Lalu kembali mendorongnya ke lantai.
"Cepat belajar di kamarmu sana!" Aku membentak keras dengan tangan menunjuk ke kamarnya.
Tomi berdiri perlahan. Air matanya menetes kembali. Lalu ia berlari pergi.
Napasku masih tersengal karena kesal. Tanganku kemudian menghapus lipstik di bibirku. Pikiranku kembali penuh. Rasa-rasanya aku harus balas dendam.
(bersambung)
Kubenamkan kepala Tomi ke dalam gentong yang berisi penuh air, lalu kuangkat lagi. Kubiarkan ia mengambil napas dengan mata terpejam, kemudian membenamkan lagi untuk kedua kali. Belum lega rasanya batin, setelah itu kuseret ia ke dapur. Kubiarkan ia tergeletak lemas di sana, sementara aku, pergi ke ruang tamu mengambil sapu penebah yang ada di kolong kursi. Tanpa ampun lagi, kupukul ia berulang kali. Meski ia meronta dan menjerit, sama sekali aku tak peduli.
"Kau tahu, itu tadi beras terakhir milik kita. Kenapa kau begitu ceroboh tak hati-hati berjalan di tanah seperti itu? Aku sama sekali tak peduli kau jatuh ke kubangan lumpur. Tapi soal beras tadi ... memang kau bisa bantu nyari, haah? Kau pikir aku tak letih, pulang dari sawah menahan perut begini perih?"
Kupukuli terus Tomi sampai tersalurkan rasa kesalku. Ia terus mengaduh sambil menangis, meminta ampun.
Hoossh, hoosh ....
Lama-lama tubuhku terasa capek sendiri. Kujatuhkan badanku tepat di depannya, dengan mata berkaca dan bibir bergetar.
Lantas harus kudapat darimana beras pengganti untuk hari ini, sedangkan hutangku di toko sembako sudah lumayan bikin pusing.
Kruuukk ...
Bunyi perutku terdengar lagi ke sekian kali, seakan memprotes ingin segera dimasuki nasi. Namun, kurasakan tubuhku demikian lemah, seolah tak sanggup lagi bergerak dari posisi.
Tomi perlahan menghentikan tangisnya. Ia lepas kaosnya yang basah. Berjalan memincang, dan meninggalkanku sendirian tergolek di tembok dapur.
Tak lama setelah itu, ia kembali lagi ... dengan sebuah bungkusan kecil di tangannya.
"B-Bi, i-ini Tomi t-tadi dibe-ri Mang U-Ujang na-nasi pas ba-bantuin. T-tapi, s-seka-rang To-Tomi s-sudah t-tak la-par." Mulut Tomi sesenggukan berkata, sambil menyodorkan bungkusan plastik itu padaku. Aku terkejut, menatap nanar bungkusan yang dibawanya.
Mana mungkin ia tak lapar? Sementara berangkat sekolah tadi hanya memakan sepotong tahu, lauk sisa kemarin sore.
Masih melihatku terdiam, Tomi lalu berjalan pincang menuju rak. Ia ambil piring dan sendok. Membuka bungkus nasi itu,kemudian menyodorkannya kembali padaku.
"B-Bibi sa-ja y-yang ma-kan," lanjutnya lagi, masih dalam isak.
Kutolehkan wajahku menatap pintu dapur. Menyembunyikan air mataku yang tiba-tiba menetes. Aku tak kuasa memandangnya.
Tomi meletakkan piring itu di lantai. "M-maaf, ka-lau T-Tomi nakal," ucapnya lagi, kemudian berjalan tertatih pergi.
"Hik's!" Aku semakin menumpahkan tangis pilu.
Ya, Tuhan ....
Iblis macam apakah aku ini? Anak itu satu-satunya yang kini kumiliki. Kenapa aku tak bisa begitu ikhlas menerimanya di kehidupanku?
Masih kutatap sebungkus nasi itu di lantai, dan lagi-lagi aku terisak.
Dengan gemetar, kuambil piring itu. Beranjak dari duduk, lalu melangkah mencarinya.
Bocah umur tujuh tahun itu rupanya tertidur setelah selesai berganti pakaian. Pelan, kulangkahkan kakiku menghampirinya, agar ia tak bangun. Aku naik ke kasurnya,membenahkan bantal tidurnya, mengusap rambut lembabnya.
Mataku mengkristal lagi ....
Kulihat tubuh kecil itu penuh memar, dengan cap merah-merah bekas pukulan di tangan dan kakinya. Rambutnya yang basah, dan bibirnya terlihat pucat, lengkap dengan kedua mata yang tampak sembab.
Butiran air mata kembali berlinang ....
"Maafkan aku, Tomi. Maafkan," ucapku lirih.
Piring itu lantas kutaruh di meja lipat yang ada di samping kasur. Kuharap ia segera memakannya setelah bangun tidur.
****
Suara tabuh gamelan terdengar jelas di telinga. Semakin lama, semakin riuh terasa. Kucoba keluar dari rumah, mencari asal suara. Tampak lampu sorot awan bergerak ke kanan-kiri di ujung desa.
"Tomi, di kampung sebelah ada tontonan, ya?" Kutanya Tomi yang saat itu sedang belajar di ruang tamu.
"Ya, Bi. Katanya ruwah desa," jawabnya.
"Sudah selesai belum belajarnya? Lihat, yuk!" ajakku. Masih terus di teras rumah, menatap ujung jalan yang tampak ramai.
"Iya. Sebentar lagi, Bi."
Mendengar itu, aku lalu kembali masuk. Kulangkahkan kaki menuju kamar. Berganti baju, menyempatkan diri berdandan.
Tampil cantik, ah! Siapa tahu bertemu jodoh, biar ada yang bantu cari uang. Lelah bila harus memikul beban sendirian.
Tomi yang melintas di depan pintu kamar, bertanya, "jadi berangkat sekarang, Bi?"
"Lho? Iya, dong," jawabku, seraya mengoleskan gincu ke bibir.
Ia kemudian berlalu.
Selesai berdandan, segera aku keluar dari kamar. Menuju depan, dengan tangan menenteng sebuah kunci.
"Ayo, Tomi! Cepat," seruku bersemangat.
Tomi setengah berlari menghampiriku. Ia kenakan jaket rajut kesayangannya yang mulai tak cukup di badan. Nampak aneh sekali. Tapi, biar lah!
"Ayo!" ucapnya kemudian.
Kami sama-sama berjalan bergandengan melewati sawah yang begitu petang. Hanya ada lampu penerangan remang-remang setiap sepuluh meter kami berjalan. Membuatku sedikit bergidik, apalagi terdengar bunyi jangkrik dan katak bersautan. Semakin membuatku melangkahkan kaki lebih cepat.
"Hei, Tomi. Cepat dikit jalannya!"
"Iya."
"Nanti lihatnya jangan lama-lama, ya! Nanti gak berani pulang."
"Iya."
Kami terus berjalan dengan rasa was-was. Sampai ketika kami melihat lampu gapura desa, baru lah aku bisa bernapas lega.
Ternyata ada pagelaran wayang kulit di sini. Kesukaan Lurah Totok, sosok yang paling disegani dan paling kaya di desa.
Tapi, entah yang mana orangnya. Aku tak tahu ....
"Tomi, jangan jauh-jauh dari Bibi, ya?" pesanku, saat Tomi mulai berjalan sendiri, mencari tempat menonton.
Ia mengangguk.
Aku berdiri tak jauh di belakangnya, sambil menatap panggung di depan mata.
"Eh, menor banget, tuh, Wati. Tumben? Biasanya mukanya kayak kertas gosok."
Sebuah suara tiba-tiba mengusik telingaku. Suara itu tak jauh dariku berdiri sekarang. Sepertinya sengaja dikeraskan. Karena meski suara campursari lebih keras, nyata sekali aku bisa mendengar ocehannya.
Dengan cekatan, kubalikkan badanku menatap si pembicara.
Oh, ternyata Sari ....
Ia berdiri tepat di belakangku, dengan tiga orang pengikutnya yang biasa mengambil garapan tas di rumahnya.
Tak terima mendengar ucapannya, lalu kuhampiri dia sambil berkacak pinggang.
"He, Sari. Ngiri yaa, soalnya kamu gak bisa dandan bagus? Mesti lah ... lihat gincumu yang mbleber kayak gitu, pantes amat ngiri," ucapku sinis.
"Heeeh, yang ngomongin situ, siapa? Nih, Dini yang ngomong. Bukan aku," protes Sari sambil nyenggol kecil lengan Dini.
"Sensi amat sama sini. Gak ada salah, gak ada apa, syirik mulu sama sini. Udah sinting, ya?" lanjutnya lagi dengan tatapan tak enak padaku.
Lalu, kualihkan mataku menatap Dini. Anak itu ... jauh sekali usianya di bawahku. Ia baru saja menikah. Tapi, mulutnya sudah sepedas orang tua kebanyakan.
"Masalahmu apa, Din? Kamu masih kecil, manggil aku Wati Wati. Eh, diajarin siapa kayak gitu? Jaga, ya, omonganmu ... sebelum tanganku melayang di mulut sampahmu itu."
Gadis itu diam. Memalingkan muka. Tapi kemudian, Sari yang nyeletuk, "itulah hebatnya anak pekerja keras. Dari kecil dididik keras sama orang tuanya. Sama kayak situ didik si Tomi. Lama-lama bakal gitu juga Tomi-mu."
Grrrrrrrrr!
Aku semakin naik pitam dibuatnya. Terlebih saat ke-empat perempuan itu tertawa bersamaan.
Lantas kutinggalkan mereka, daripada hati kepanasan. Kutarik tangan Tomi dengan paksa. "Ayo, pulang!" ajakku lantang.
Sepanjang perjalanan pulang, batinku terus saja mengumpat tak karuan. Kucepatkan langkah kakiku sambil menarik tangan Tomi berkali-kali.
"Cepat dikit, kenapa? Lambat banget!" Aku memakinya sambil mencubit leher belakangnya.
Kesal membuatku kehilangan rasa takut melewati area persawahan. Begitu berkecamuknya rasa di dada sampai ingin sekali kutampar mereka semua tadi yang ada di sana.
Kurang ajar!
Semakin lama semakin malas aku mengenal orang sekitar. Kupikir, pindah kontrak di tengah persawahan yang jauh dari penduduk, bakal menentramkan hidup. Tahunya, begini lagi ... dicampuri orang lagi!
Kenapa susah sekali belakangan ini untuk bisa cuek seperti dulu? Padahal, dulu tak pernah kuladeni apapun perkataan orang. Kenapa sekarang ingin sekali mencari ribut?
"Heh, Tomi!" Kudorong tubuh Tomi saat baru memasuki rumah.
Tomi tersungkur ke lantai.
"Kamu kalau niat sekolah, seharusnya belajar saja tadi. Seharusnya kamu menolak Bibi untuk melihat tontonan! Dasar bodoh!" Kuhampiri Tomi lagi. Mengoyak-oyak tubuhnya dengan kasar. Badan Tomi pun terombang-ambing di tangan.
"Kamu itu belajar yang pinter. Biar bisa mikir, mana yang penting dan enggak. Tontonan kayak itu tadi sama sekali nggak penting. Bodoh!" Kujewer telinganya. Lalu kembali mendorongnya ke lantai.
"Cepat belajar di kamarmu sana!" Aku membentak keras dengan tangan menunjuk ke kamarnya.
Tomi berdiri perlahan. Air matanya menetes kembali. Lalu ia berlari pergi.
Napasku masih tersengal karena kesal. Tanganku kemudian menghapus lipstik di bibirku. Pikiranku kembali penuh. Rasa-rasanya aku harus balas dendam.
(bersambung)
oceu dan 7 lainnya memberi reputasi
8