Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ayaswordsAvatar border
TS
ayaswords
Kisah Nyata: SAYUNI (Extended)


Quote:


Waktu berjalan sungguh cepat. Tak terasa sudah hampir satu minggu aku bekerja. Beruntung aku adalah tipe orang yang cepat berbaur dengan lingkungan sekitar—jadi menyesuaikan diri sengan orang-orang baru bukan masalah besar bagiku.

Beruntungnya, tempatku bekerja hanyalah perusahaan kecil, jadi jumlah karyawannya pun tidak lebih dari sepuluh orang. Dalam waktu singkat aku sudah kerasan dan akrab dengan semua orang.

Bentuk kantorku lebih mirip seperti rumah singgah dan memang terletak di tengah-tengah salah satu komplek perumahan di pusat kota. Setiap hari, aku bekerja disana bersama tim administrasi yang berjumlah 3 orang. Tidak banyak, tapi karena orangnya asyik-asyik, bersama mereka kantor kecil ini rasanya hangat dan ramai. Tim marketing lapangan juga datang sekali-kali kalau memang sedang tidak ada tugas diluar.

Semuanya berjalan cukup baik. Aku juga mulai berhasil melupakan hal-hal aneh yang terjadi padaku, karena kegiatan di kantor sudah cukup menguras energi. Walau selelah apapun tidur malamku masih tak nyenyak, aku berusaha tidak memikirkannya. Mungkin suatu saat nanti semuanya akan normal dengan sendirinya, begitu pikirku.

Sampai akhirnya, hari-hari itu datang.

Mulai hari senin itu, semua orang di kantor akan sibuk karena perusahaan kami sedang berpartisipasi dalam sebuah event. Hanya aku satu-satunya yang ditugaskan untuk menjaga 'kandang'; sehingga hampir selama sepekan aku akan selalu sendirian.

"Begitu ada kerjaan diluar event, aku bakal serahin ke kamu supaya kamu bisa handle." Kak Farah berusaha menghiburku. Ia tahu aku belum biasa sendirian di tempat kerja kami. Aku juga pernah mengatakan padanya kalau aku mudah bosan, aku lebih senang sibuk daripada diam saja—sedangkan selama hampir satu minggu menunggu sendirian di kantor, pasti tak akan banyak yang bisa kukerjakan. "Anak-anak marketing sekali-sekali pasti kesini buat printbrosur. Aku, Irwan sama Manda juga pasti gantian kesini kok buat ngecek."

Dengan hati-hati aku berkata, "Kak... apa aku gabisa ikutan aja? Atau gantian gitu... sama siapaaa gitu...?"

"Maaf, tapi gak bisa... anak-anak yang lain udah ngantri buat dikasih bagian di event ini. Karena kamu baru masuk, jadi terpaksa kamu yang ditumbalin," Kak Farah menjawab dengan senyum menyesal. "Cuma sampe jum'at, kok. Yang penting kantor gak kosong. Katanya Manda lagi cari OB baru juga buat gantiin yang lama, semoga minggu ini ketemu dan bisa mulai kerja biar kamu ada temen. Kalau bosen, kamu boleh browsing deh. Nonton film kek, apa kek. Asal jangan tidur, takutnya kita kedatengan tamu."

Aku tahu keputusannya sudah bulat. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menurut. Aku cukup sadar diri untuk tidak terlalu menunjukkan keberatanku—bisa-bisa dibilang tidak tahu diri, sudah dikasih kerjaan paling ringan tapi masih saja mengeluh.

Tapi... seandainya Kak Farah tahu kalau masalahnya bukan hanya aku mudah bosan.

Seandainya ia tahu bahwa 'tidak sibuk' dan 'tidak bersama banyak orang' mungkin akan membuatku sulit untuk tidak menghiraukan hal-hal aneh yang kualami.

Aku sangat ingin bercerita padanya, tapi tidak bisa. Siapa yang akan percaya hal-hal tak masuk akal begini? Orang normal pasti berpikir kalau aku hanya mengada-ngada—atau bahkan berpikir kalau aku mengidap stress berat hingga gangguan mental.

Jika bukan aku yang mengalaminya sendiri—jika aku mendengar cerita ini dari orang lain, aku juga akan berpikir seperti itu.

"Yaudah, aku caw, ya!" pamit Kak Farah, membuyarkan lamunanku. Kedua tangannya dipenuhi gembolan. "Kalau ada apa-apa kabarin aja. Hp kamu juga harus aktif terus, ya!"

"Siap, Kak!" jawabku, memasang senyum lebar. "Kak Irwan mana?"

"Udah di depan sih, nunggu di mobil, kayaknya. Daaaah!"

"Hati-hati ya, Kak!" Aku melambaikan tangan sampai Kak Farah berlalu. Lalu aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menyemangati diri dan mengisi pikiranku dengan hal-hal positif.

Aku harus menyibukkan diri, aku harus menyibukkan diri, aku harus menyibukkan diri.

Belum lama aku duduk di kursi, membuka website perusahaan untuk melihat barangkali ada ruang untuk artikel baru yang bisa kuisi sambil mengulang-ngulang kalimat itu di kepala; tiba-tiba dari pintu ruanganku yang terhubung ke ruang penyimpanan, aku melihat Kak Irwan melintas dan masuk ke ruangan itu.

Apa ada yang tertinggal? Pikirku. Aku segera bangkit berdiri dan menghampirinya. Hendak membantu barangkali ia sedang mencari sesuatu.

"Kak I—," ucapanku seketika terpotong. Betapa terkejutnya aku karena tidak ada siapapun disana.

Ruangan itu kosong. Pintunya pun bahkan tidak terbuka. Seolah memang tidak ada orang yang baru saja masuk kesana.

Dengan cepat berlari kembali ke ruanganku, ke arah jendela, lalu melihat ke arah garasi.

Aku menelan ludah.

Mobil mereka sudah tidak ada. Mereka sudah pergi sedari tadi. Dan aku memang ingat aku mendengar suara mesin dan pintu pagar yang ditutup saat mereka pergi tadi.

Lalu... barusan itu apa lagi?

Sekujur tubuhku merinding. Aku tak bisa melepaskan pandanganku dari pintu ke ruangan penyimpanan. Kalau dia masuk, tentu dia akan keluar lagi, bukan?

Bagian belakang tubuhku mulai terasa panas lagi. "Nggak.” Aku berbicara pada diriku sendiri. Aku mencubit dan menepuk-nepuk pipiku. "Kamu cuma ngayal, Je. Jangan mikir yang aneh-aneh."

Saat itu, aku belum tahu hal buruk apa yang akan terjadi selanjutnya.

Spoiler for INDEX:
Diubah oleh ayaswords 24-11-2019 13:19
dhalbhoo
redrices
bukhorigan
bukhorigan dan 24 lainnya memberi reputasi
23
35K
296
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Tampilkan semua post
ayaswordsAvatar border
TS
ayaswords
#240
PART 22: Siuman
Sekali lagi aku kembali ke sini.

Ini tempat yang sudah kuketahui—lapangan luas dengan tanah kering berkerak berwarna kemerahan. Tidak ada pepohonan. Apalagi sinar matahari dan cerahnya warna biru langit.

Aku sadar benar ini adalah mimpi. Pasalnya, beberapa kali mimpi yang sama kerap menyambangiku.

Aku menengadah. Suasana sama gelapnya seperti saat terakhir. Selama satu menit yang panjang aku memerhatikan—awan-awan hitam itu menutupi langit, tapi tak ada satu pun yang bergerak.

Aku mengangkat tangan ke udara dan merasakan kehampaan. Tidak ada desauan angin yang melewati sela-sela jariku. Rasanya seolah tak ada udara di tempat ini—tapi anehnya, aku tidak merasa sesak. Seolah tubuh ini tidak membutuhkan udara sama sekali.

Apa aku sudah mati?

Pikiran itu hanya hinggap sejenak di benakku. Sejujurnya, aku sudah tidak peduli lagi.

Aku menggoyang-goyangkan kaki sambil bersenandung. Seperti saat terakhir berada di sini, aku masih duduk di bangku kayu panjang yang merupakan satu-satunya pemanis di lahan luas dan sunyi senyap itu.

Aku menyadari, dua orang anak kecil yang biasanya ada disana—di tengah lapangan dan bermain bola tidak terlihat lagi. Tapi tak apalah.

Karena, kali ini pun aku tidak sendirian.

Aku merasakan kedua tangan itu merambat dari belakang bahu. Alih-alih merasa takut, hati ini malah diserang gelombang kesedihan yang luar biasa. Kurang lebih karena aku tahu tak ada yang bisa kulakukan untuk merubah semua ini. Namun, tidak juga aku ingin pasrah.

Aku hanya terjebak di dalam kebingungan dan rasa putus asa. Sulit sekali rasanya keluar dari sana.

"Kenapa kamu datang lagi?" bisikku padanya lirih.

Tidak ada jawaban. Suara napasnya pun tak terdengar. Namun, helai-helai rambutnya yang panjang menjuntai melewati bahuku.

"Aku capek," akuku. "Kalau kamu masih mau mengikuti dan ingin aku nerima kehadiran kamu, aku gak mau. Aku gak nyaman."

Masih tidak ada jawaban. Namun, dekapan tangannya di bahu ini semakin erat.

"Suatu saat kamu akan pergi, kan?" Aku masih ngotot bertanya. Tahu lama-lama ia akan terganggu dengan betapa cerewetnya aku, terus kudesak dirinya sampai nanti mau menjawab. "Kapan kamu akan pergi?"

Masih tak ada tanggapan. Aku berusaha memalingkan wajah ke arahnya. Namun, cengkeraman lengannya di area leher ini terlalu kuat sampai-sampai sulit bagiku melakukannya.

Aku meletakkan tangan di lengannya—lalu terkesiap karena sensasi sedingin es yang kurasakan. Dengan kekuatan penuh tangan ini berusaha melepaskan pelukannya, tapi sia-sia. Ia tentu saja jauh lebih kuat dariku.

Seketika aku sadar, ternyata selama ini, inilah alasan dibalik leher dan bahuku yang sering pegal.

Tentu saja, karena ia terus menempel dan tidak mau melepaskan.

"Hei, a—"

"Akan kuikuti kau sampai mati." Akhirnya ia menjawab.


***

Aku terbangun dengan kaget. Bisa kurasakan seluruh tubuhku yang terguncang juga mengagetkan seseorang yang tengah duduk di ujung kasur, di sebelah tempatku berbaring.

"Bu, Jeje udah bangun!" teriak orang itu. Suara Adi.

Kenapa Adi ada disini? pikirku sambil mengerjap-ngerjapkan mata, menatapnya dengan bingung. Tepat pada saat itu, sesuatu seperti suara gong seakan bergaung kencang di dalam kepala ini, membuatku kaget dan meme kik sambil memegang kedua telinga, "Aaaaahhhh!"

"Je? Kamu kenapa? Kamu gak apa-apa?" Air muka Adi terlihat panik.

"Je, kamu sudah sadar, Nak?" Aku tak tahu dari mana ibu muncul, tapi tiba-tiba saja ia sudah menggantikan posisi Adi di sebelahku. Suaranya terdengar gemetaran karena khawatir. Kurasakan tangannya yang hangat membelai-belai puncak kepalaku. "Ya Allah, Nak ... kenapa kamu harus kayak gini?"

Mulut ini begitu ingin menjawabnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Aku hanya bisa menatapnya dengan mata setengah terbuka—entah kenapa kelopak mataku masih berat sekali, bobotnya terasa seperti satu kilo. Tangan ibu menyeruak ke balik punggung untuk membantuku duduk. Disodorkannya segelas air putih dingin langsung ke bibirku.

Aku menyesapnya pelan-pelan sambil berusaha menahan tubuh lemas ini agar tidak limbung ke kasur. Teguk demi teguk air putih rasanya sungguh menyegarkan, seperti rasa oasis di tengah padang pasir.

"Bu." Suara yang dengan susah payah kukeluarkan itu membuatku terkejut. Kenapa aku terdengar selemah ini? Kedengerannya seperti suara orang sekarat. "Aku ... kenapa ...?"

Ibu tidak langsung menjawab, malah memandangiku dengan mata berkaca-kaca, lalu menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Seolah pertanyaanku tadi begitu sulit baginya untuk dijawab.

Adi yang sedang berdiri di samping tempat tidur membantu. Tangannya terjulur ke kotak obat di meja. "Kamu minum itu ... dalam dosis yang berlebihan," Adi menghentikan penjelasannya sebentar, mungkin berpikir kalau daya terimaku belum berfungsi dengan baik karena baru saja siuman, jadi ia harus menjelaskan pelan-pelan. "Obat itu membuat kamu sulit bernapas, tubuh kamu terkena shocklalu pingsan. Syukurlah Ibu keburu menemukan kamu sebelum keadaannya jadi lebih buruk lagi."

Benar saja, daya terimaku sedang tidak cukup baik hingga aku tak terlalu menangkap maksud dari perkataannya. Apa katanya tadi? Aku pingsan kenapa?

"Kamu sudah pingsan selama beberapa jam. Kita sempat bawa kamu ke klinik terdekat—kata dokter kamu sudah gak apa-apa," lanjut Adi.

Tanpa berepot-repot menanggapi perkataannya, aku kembali ke posisi berbaring. Kepalaku kelewat pening hingga mau pecah rasanya. Aku menyerah, sepertinya lebih baik mencoba tidur lagi saja sampai kondisi tubuh ini benar-benar pulih—baru aku akan menanyakan semua pertanyaan yang berkecamuk di benakku kepada mereka.

Bisa kurasakan seseorang membuka pintu kamar dan menimbulkan suara berderit. Saat ia masuk, terdengar Ibu berbisik pelan, "Ssshhh ... pelan-pelan, Yah, nanti Jeje bangun."

"Loh, bukannya dari tadi ditunggu-tunggu supaya cepat bangun?" jawab Ayah dengan bisikan juga.

"Barusan sudah siuman, tapi dia masih lemas kayaknya, jadi tidur lagi."

Suasana sunyi sesudah itu, tak ada siapapun yang berbicara. Aku jadi merasa seolah mereka sedang memandangiku tidur. Kesenyapan itu terjadi selama kurang lebih tiga menit lamanya.

Diri ini belum sepenuhnya pergi ke alam mimpi ketika kudengar ibu memecah keheningan, "Nak Adi ... apa yang harus kita lakukan?"

"Bu, bisa kita bicara sebentar? Adi punya sesuatu yang harus disampaikan pada ibu dan bapak," pinta Adi.

"Nggak bisa disini saja? Ibu masih trauma meninggalkan Jeje sendirian."

"Iya, ndak apa-apa. Ceritakan disini saja, Nak Adi." Ayah menimpali.

Adi sempat terdiam sebentar sebelum menjawab, "Baik, Bu, Pak, tapi Adi mohon, semoga Ibu dan Bapak bisa mendengarkan dulu saran Adi dengan pikiran terbuka." Meski dengan mata tertutup, entah mengapa aku tahu Adi sedang menatap ke arahku. "Ini tentang usaha pemulihan Jeje. Ada sedikit cerita yang Adi rasa Ibu dan Bapak belum tahu ...."

Ingin sekali hati ini untuk menghentikan Adi. Namun, aku memutuskan tidak melakukannya. Maka, sambil terbaring lemas aku pasrah, aku mendengar Adi menuturkan cerita dan rencananya terkait kondisiku pada Ayah dan Ibu.
Diubah oleh ayaswords 25-11-2019 10:34
demen.forte
axxis2sixx
dhalbhoo
dhalbhoo dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.