- Beranda
- Stories from the Heart
BADAI SEBELUM PELANGI
...
TS
tiawittami
BADAI SEBELUM PELANGI

1.Murid Baru
Namaku Zerina. Zerina Mia Hartalisya. Kepribadianku berubah sejak penghianatan itu terjadi. Ketika orang-orang yang selalu bersamaku, menjalani hari-hari bersamaku bahkan suka duka selalu bersamaku menghancurkan semuanya.
Ketika pacarmu yang sudah sangat manis denganmu dan sahabatmu yang selalu mendukungmu ternyata hanya berpura-pura baik padamu. Sakit bukan? Kemudian mereka bersama dan meninggalkanmu. Bagaimana rasanya? Sakit saja, kah? Atau ada perasaan lain?
Tidak hanya itu yang terjadi padaku, mereka bahkan merusak nama baikku, membuatku semakin tidak bisa bergerak, tidak ada yang percaya padaku. Mereka yang lain jadi takut padaku.
Namaku bukan lagi Zerina. Aku orang gila, yang gilanya bisa kambuh kapan saja. Orang-orang yang mendekatiku hanya ingin mengambil kesempatan tanpa kutahu apa tujuannya. Yang pasti mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri.
Astaga, kejam sekali hidup ini. Aku harus apa? Mati, kah? Atau terus menjalaninya? Kira-kira apa yang akan kudapat jika aku terus menjalani hidup. Ketulusan, kah? Aah tidak, ketulusan itu semu. Walau aku sangat ingin bertemu dengannya.
***
Kukira setelah aku lulus dan masuk ke sekolah baru semua itu akan lenyap, tapi ternyata tidak. Orang-orang bodoh itu terus mengingatnya bahkan mereka menyebarkan semuanya di sini. Tak mengapa, aku telah terbiasa dengan semua ini, bahkan jika aku harus seperti ini sampai akhir hidupku. Semua pikiran mereka dan semua yang mereka katakan, biarlah, aku terlalu lelah untuk peduli.
Aku suka duniaku, tak ada yang harus kusembunyikan sekarang. Aku tak perlu berpura-pura untuk mendapatkan yang aku inginkan, karena aku tak lagi menginginkannya.
Teman...
Makhluk apa itu? Aku tidak ingin mereka lagi. Mereka semua hidup dalam kepalsuan. Canda tawa itu akan terasa pahit jika kau tau akhirnya. Tak ada ketulusan di sini, semuanya berjalan karena kemauan masing-masing dari orang-orang itu. Aku tak pernah melihat ketulusan, mungkin dia semu, seperti apa dia? Aku jadi ingin bertemu dengannya.
***
Seperti biasa, aku menghabiskan waktu istirahat dengan duduk di atas rumput yang berseberangan dengan lapangan. Tempat ini nyaman, aku bisa bersandar sekaligus merasakan keteduhan pohon rindang ini. Berkali-kali aku melihat orang lewat yang memandangku aneh karena memilih duduk di sini, sedangkan banyak bangku taman yang disediakan sekolah untuk murid-muridnya, abaikan saja.
Kupasang earphone dan memutar lagu yang belakangan ini sering kudengarkan. Walau aku tak tau arti dari lagunya, tapi aku suka. Alunan nadanya membuat ketenanganku di atas level biasanya. Aku tetap berada di sini, sampai istirahat selesai.
Koridor kelas masih lumayan ramai oleh siswa-siswi yang ngobrol dan tertawa, padahal bel masuk sudah berbunyi. Seharusnya tadi aku menunggu beberapa menit setelah bel bunyi, baru berjalan masuk ke kelas, untuk menghindari perhatian mereka yang dari tadi melihatku sambil berbisik dengan teman masing-masing.
Abaikan ini Zerina, mereka hanya orang-orang bodoh yang tidak pandai memilih cerita.
Aku berhenti melangkah ketika sampai di depan pintu kelas, seorang perempuan yang sangat aku kenal itu menghalangi pintu masuk. Kutatap matanya dengan harapan agar dia tidak menghalangi jalanku, dia menatapku balik.
"Apa liat-liat!" katanya dengan suara yang bisa didengar siapa saja yang ada di situ.
"Minggir. Aku mau lewat." pintaku.
"Oo, mau lewat. Silahkan." Salsa menggeser tubuhnya memberiku jalan, dia tak lepas dari menatapku, membuatku tersandung kakinya karena aku pun tak lepas dari manatapnya balik.
Dia membuatku tersungkur di atas lantai dan sekarang aku jadi bahan tertawaan anak-anak di kelasku dan beberapa anak yang melihat dari pintu kelas. Aku marah, apalagi ketika dia menginjak earphone dan hpku yang juga ikut tersungkur bersamaku.
"Ah, sorry, gue gak liat. Sini gue bantu." Salsa mengulurkan tangannya padaku saat anak-anak itu memusatkan perhatiannya pada kami.
Dasar! Pandai sekali dia berpura-pura, aku tak bisa menahan diriku untuk memukul perempuan itu. Kuambil hp yang barusan dia injak dan kupakai untuk memukul kepalanya. Aku tak peduli jika hp ini rusak, yang penting kepala orang ini harus diberi pelajaran.
Salsa berteriak sambil menghalangi gerakanku lagi sampai akhirnya teman-teman bodohnya itu menghentikanku dan mendorongku menjauh dari Salsa.
"Lo gila, ya! Mukulin kepala orang!" teriak Icha sambil menatapku tajam.
"Lo gak papa, Sa?" Salsa menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Dwi, "Gak waras!" teriaknya lagi padaku.
Mereka pergi setelah berhasil membuatku terlihat seperti penjahat sekarang. Anak-anak di kelasku pun tak ada yang berani bicara padaku. Mereka semua menghindar dan memberiku jalan menuju kursiku.
Aku kembali teringat bagaimana dulu aku memukul kepala Ana dengan penggaris besi hingga membuatnya berdarah. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika anak-anak kelas ini menyaksikan itu, mungkin mereka akan menemui wali kelas dan bilang jika mereka ingin pindah kelas, tak ingin sekelas denganku. Tapi percayalah, kejadian itu bukan sepenuhnya salahku.
Aku duduk dan merapihkan buku pelajaran yang tadi belum sempat kubereskan karena aku biasa keluar duluan saat bel istirahat bunyi. Ya, itu ada alasannya, aku menghindari keramaian.
"Ternyata bener, ya. Gilanya bisa kambuh kapan aja."
"Sssstt."
Aku mendengar bisikan itu. Mereka melepaskan pandangannya dariku saat aku menatap ke arah mereka tajam. Aku jadi kesal, harusnya mereka bertanya dulu apa yang terjadi, bukan bicara dibelakangku.
Mulut-mulut itu memang sudah termakan gosip receh, mereka hanya mendengar cerita dari satu pihak dan langsung membenciku, mereka langsung menganggapku benaran gila hingga tak ada yang percaya padaku. Aku mengembuskan napas.
Tenang Zerina, kau tidak perlu kesal dan mencaci mereka. Mereka akan lebih menganggapmu gila jika kau lakukan itu.
***
Setelah melewati waktu yang sulit di sekolah hari ini, aku berniat mengunjungi tempat yang sudah lama tak kukunjungi.
Langkahku terhenti, kupandangi pohon seri yang sudah termakan usia itu. Tumbuh di halaman belakang rumah tua yang tidak dihuni, walaupun begitu pohon ini tetap tumbuh dan berbuah. Aku ingat, waktu kecil aku sering kemari, bermain bersama Ana, memanjat pohon ini untuk mengambil buah kecil bewarna merah yang rasanya sangat aku suka. Manis.
Ugh!
Aku mengusir memori itu, rasanya sakit jika menyadari yang terjadi sekarang. Kulepas tas punggung yang kukenakan dan menjatuhkannya ke atas rumput liar di situ. Dengan agak susah aku memanjat pohon, hingga akhirnya aku bisa duduk santai di dahannya sambil menikmati buahnya.
"Hm, seperti ini rasanya kehidupan remaja. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, tak peduli sedekil apa aku dulu. Aku mau bahagia tanpa merasakan sakitnya penghianatan."
Kumakan buah terakhir yang kudapat, lalu berniat mencari lagi. Sepertinya sudah habis, tidak, aku masih melihat satu di ujung dahan. Aku sudah hampir mendapatkannya, tapi seseorang menggagalkanku.
"Hei!" Suara itu mengejutkanku, hingga membuat kakiku kaget dan melesat dari dahan pohon.
"Aaaakh!"
Aku jatuh hingga membuat dengkul dan lenganku tergores patahan ranting-ranting kecil yang bertumpuk di situ.
"Kamu gak papa?" tanya orang yang membuatku terkejut.
Kutepis tangannya yang ingin menyentuhku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mengambil tas dan buru-buru pergi dari situ.
Jarak rumahku tidak jauh dari tempat itu dan aku sudah berada di rumah sekarang, membersihkan luka dengan alkohol. Untung saja dahan yang kupanjat tadi tidak tinggi dan aku tidak cidera parah. Kalau bukan karena pria tadi, aku mungkin tidak akan jatuh. Kenapa dia bisa ada di sana tiba-tiba.
"Huuh, dasar, harusnya orang itu menangkapku, tega sekali dia." Aku membuang kapas bekas lukaku ke dalam bak sampah.
"Kenapa kamu berharap? Memangnya kamu siapa? Kamu hanyalah orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja." Aku menyalahi diriku sendiri di depan cermin wastafel.
Aku mengembus napas panjang setelah menyadari perbuatanku. Aku tidak boleh menghina diriku karena orang-orang menghinaku. Aku harus meyakini diriku, bukan meyakini ucapan mereka. Perasaanku mulai lagi, sesuatu yang membuatku tidak percaya diri adalah jika diriku mulai menghinaku. Aku selalu berusaha agar tidak seperti itu.
"Please.. I am not crazy.."
"I am not crazy.."
"I am not crazy.."
Suaraku hampir berbisik dan menjadi berbisik pada kalimat terakhir. Aku bangkit dan berdiri dari ringkukkanku, mengambil pil yang hampir menjadi makananku setiap hari. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia selalu saja memanggilku untuk memakannya.
Satu pil berhasil masuk ke mulutku. Pahit. Kuluruskan kakiku di atas kasur dan memejamkan mata, berusaha untuk melupakan hari ini, hingga aku terlelap.
***
Hari ini seperti biasa, jam istirahat di sekolah aku duduk di atas rumput di bawah pohon rindang yang biasa aku tempati.
Hari ini aku membawa headphone dan hp dengan layar retak-retak karena insiden kemarin. Tak masalah, setidaknya hp ini masih mengizinkanku mendengarkan lagu-lagunya.
Kudengar hari ini berita yang sedang hangat dibicarakan oleh cewek-cewek penggosip itu adalah masuknya murid baru. Pastinya karena murid baru itu cowok dan bisa dibilang ganteng menurut mereka. Kalau tidak seperti itu gak mungkin jadi berita hangat.
Mungkin aku satu-satunya wanita yang tidak peduli. Lagian untuk apa? Jika murid baru itu tau tentang diriku, dia juga pasti tidak akan mau berteman denganku.
Aku mengangkat buku bacaanku hingga menutupi wajah, sesuatu di kejauhan sana seolah mengganggu perasaanku. Anak-anak cowok itu pasti sedang membicarakanku. Lalu, aku merasakan kehadiran seseorang di depanku, sedang berdiri menghadapku. Aku menurunkan sedikit buku bacaan dan melihat ke arahnya. Dia melihatku, dengan cepat aku kembali mengangkat buku itu menutupi wajah.
"Hei." Dengan tangan kanannya dia menurunkan buku bacaan yang menutupi wajahku.
Sepertinya aku pernah melihatnya, dia orang yang membuatku jatuh dari pohon kemarin.
"Kamu cewek yang kemarin, kan?"
Aku tak menjawab dan yang terpenting yang harus kalian tau ternyata dia murid barunya.
"Arken." Dia menjulurkan tangan kanannya dan tersenyum padaku untuk berkenalan.
Aku telah berusaha untuk menerimanya, tapi kurasa itu percuma dan akan sia-sia. Dia akan membenciku dan menjauhiku, atau mungkin sekarang dia hanya mempermainkanku dan menjadikanku bahan lelucon karena kuyakin dia ada bersama rombongan cowok itu tadi.
Teett... Teett... Teett...
Akhirnya bel masuk berbunyi, aku berdiri dari duduk dan berjalan meninggalkannya di situ tanpa bicara apapun. Kudengar rombongan cowok di sana tertawa melihat Arken, cowok yang barusan memperkenalkan namanya padaku. Bukannya sudah kubilang, mereka hanya menjadikanku bahan lelucon. Apa itu yang disebut teman? Bukankah aku beruntung karena tidak memiliki teman seperti mereka? Yah, kurasa aku beruntung.
Bersambung
Index
2. Arken
3. Berteman
4. Psikis
5. Hariku
6. Masalahku
7. Wanita Bahagia
8. Wanita Bahagia 2
9. Pentas Seni
10. Pentas Seni 2
11. Memori
12. Reuni
13. Fungsi Hati
14. Hari Terakhir
15. Ana
16. Perasaan Rindu
17. Kematian Ana
18. Teror
Diubah oleh tiawittami 14-01-2020 19:21
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
7.6K
90
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
tiawittami
#2
3. Berteman
Siang itu aku berjalan di koridor. Waktu itu sudah pulang sekolah dan aku merasa seseorang dari tadi membuntuti langkahku.
"Arken!"
Kudengar suara cewek memanggil Arken dan benar saja, ketika aku berhenti sebentar dan menghadap ke belakang, Arken terlihat sedang bicara dengan beberapa murid cewek yang tadi memanggilnya.
Aku melanjutkan langkahku dan tidak peduli dengan anak laki-laki itu. Hingga aku keluar gerbang sekolah dan berjalan menuju tempat yang sekarang aroma tempat itu menusuk ke dalam hidungku. Aroma campuran berbagai macam bunga itu menenangkan pikiranku.
Aku membeli sebuket mawar putih. Lagi-lagi aku tidak sengaja melihat mobil Arken di sana sedang berhenti saat aku menunggu di halte bus. Aku masuk ke dalam bus, duduk di sana untuk beberapa menit hingga sampai di tempat tujuanku. Aku masih melihat mobil itu, berhenti di tepi jalan agak jauh dari bus yang kutumpangi.
Aku turun dan berhenti sejenak menatap gang kecil di depanku. Sudah lama sekali aku tidak ke mari. Aku menyadari Arken yang berjalan mengendap-endap ke arahku. Kulangkahkan kakiku ke depan dan bersembunyi di balik tembok dekat keranda. Arken terlihat bingung dan terkejut, entah karena tidak menemukanku atau karena menyadari kalau tempat ini adalah kuburan. Aku tidak bermaksud menjebaknya sampai ke sini, dia sendiri yang mengikutiku.
Perlahan aku mendekat ke arahnya dan berdiri tegak tepat di belakangnya. Dia terkejut melihatku saat membalikkan tubuhnya. Kulihat dia memasang kuda-kuda karena keberadaanku.
"Uuhh!" Suara Arken yang terkejut melihatku. Kuperhatikan napasnya naik turun dengan cepat.
"Kamu ngapain ngikutin aku?" Suaraku itu membuatnya agak tenang, mungkin dia merasa lega karena tahu kalau aku bukan hantu. Entahlah, aku berpikir dia menganggapku makhluk halus.
"Kamu ngapain ke kuburan?" Arken bertanya kembali padaku.
"Mau ngubur kamu hidup-hidup," kataku. Kulihat raut wajahnya yang serius, "Ya mau ngelayat, lah," sambungku, membuat dia sekali lagi merasa lega.
Aku jalan mendahuluinya dan mencari tempat di mana Bi Irma berbaring. Dia mengikutiku dengan perasaan yang mungkin resah. Dia memperhatikan sekeliling layaknya orang yang baru menginjakan kaki di kuburan.
Aku menemukan batu nisannya, di sana tertulis.
Irma Sutianti
Binti
Herdi Nurdin
Lahir : 11 Januari 1985
Wafat : 6 Juni 2012
Aku duduk di samping situ dan meletakkan bunga yang kubeli tadi di atasnya. Aku ingat Bi Irma sangat menyukai mawar putih. Kuusap lembut nisannya sambil berdoa untuknya di dalam lubuk hatiku dan meminta maaf. Aku benar-benar merindukannya.
Kutegarkan hatiku dan bangkit dari situ. Aku yakin di dalam sana Bi Irma tidak ingin melihatku lemah, dia akan sangat sedih jika melihatku seperti ini. Aku berjalan meninggalkan tempat itu menuju ke sebuah sungai kecil yang mengalir di ujung sana. Arken masih mengikutiku dalam diam, dia tidak berbicara padaku dari tadi.
Aku membasuh wajahku dengan air sungai itu, segar. Kulihat Arken masih sibuk memperhatikan sekelilingnya.
"Cuci muka!" perintahku padanya.
"Hm?" Arken nampak ragu dengan ucapanku yang mengarah padanya. Dia menunjuk dirinya sendiri memastikan apakah aku menyuruhnya.
"Iya kamu, memangnya siapa lagi kalau bukan kamu!"
Arken berjalan mendekat dengan kedua tangan yang di masukan ke dalam kantung dan berjongkok di situ, lalu membasuh wajahnya.
"Huuf." Dia merapikan rambutnya kebelakang, "Yang tadi itu siapa kamu?" tanyanya.
Aku diam sebentar, lalu kujawab sambil mengalihkan pandangan darinya. "Ibuku."
Dia memasang raut wajah sedih dan menyesal karena bertanya. "Ngapain kamu ngikutin aku sampai sini?" tanyaku.
"Hm, aku penasaran sama kamu." jawabnya dan aku tidak suka dengan jawaban itu.
Aku berdiri dan beranjak pergi dari tempat itu setelah bicara padanya. "Sekarang kamu udah tau dan nanti kamu bakal lebih tau."
"Ha? Eh," Arken mengikuti langkahku, "Aku mau temenan sama kamu," katanya.
Perutku terasa geli mendengar ucapannya. Aku berhenti dan berbalik ke arahnya. "Emang kamu gak takut sama aku?"
Dia memasang raut bingung. "Takut? Kamu kira aku banci?" ucapannya itu membuatku berpikir keras apa maksudnya, "Takut sama cewek?" sambungnya. Aku tertawa kecil setelah mengerti maksudnya.
"Kamu tambah cantik kalo senyum," ucap Arken lagi dengan senyumnya yang membuatku berhenti dan membuang tawa kecilku, muak.
Aku melanjutkan jalanku seraya mengingat bagaimana dulu pacarku memujiku seperti itu, lalu dia pergi meninggalkanku bersama temanku. Lucu, kan.
"Jadi, kamu mau temenan sama aku?" tanya Arken lagi.
"Nggak."
"Kenapa?"
"Aku cuma orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan aja," kataku sambil terus berjalan. Dia mengikutiku.
"Aku percaya, kok, kamu gak gila. Kamu kira aku bodoh, mana ada orang gila ngelayat," kata Arken. Membuatku mengehentikan langkah sejenak. Dia ikut berhenti di belakangku.
Benarkah yang dia katakan? Apa dia berpikir seperti itu? Aku menggelengkan kepala mengusir pikiran itu. Tidak, dia hanya ingin sesuatu dariku. Aku melanjutkan langkah dengan gerakan agak cepat.
"Tunggu, Zerina!" Dia menahan lenganku, aku melepasnya dengan kasar. Dia bergerak cepat dan menghentikan langkahku dengan berdiri di depanku, menghalangi jalanku.
Aku memperlihatkan padanya pisau kecil yang biasa kubawa setelah kukeluarkan dari kantong bajuku. Arken mengangkat tangannya sambil mencoba menenangkanku.
"Kalem, aku sama sekali gak ada maksud apa-apa sama kamu. Sumpah, aku cuma mau temenan." Suara Arken itu terdengar sangat meyakinkan.
"Apa aja yang udah kamu denger tentang aku? Jujur," pintaku dengan tatapan introgasi.
"Oke, oke, aku bakal cerita sama kamu, tapi di mobil aku. Aku anterin kamu pulang," tawar Arken.
"Gak mau," Jawabku cepat, "Apa tujuan kamu sebenarnya ngikutin aku sampai sini!" bentakku sambil terus mengancamnya dengan pisau di tanganku.
"Oke, gini, gini, aku mau balikin ini ke kamu." Arken meronggoh kantong celananya dan mengeluarkan sesuatu.
Aku terkejut bukan main. Dengan gerakan cepat, kurebut gelang perak pemberian Bi Irma itu darinya. Namun, dia menariknya dan menyembunyikannya.
"Kamu maling ya!" bentakku.
"Eeeenak aja maling. Aku nemu ini di tempat kamu sering duduk di sekolah tau. Mungkin waktu itu jatoh gara-gara kamu nampar aku," jelasnya.
Aku menatap dalam-dalam pria di depanku, mencoba mencari jawaban tentang apa yang dia inginkan. Dia tak bergeming dan menatap balas mataku dalam diam dan menggagalkanku. Kupenjamkan mataku untuk menit berikutnya. Aku tidak mendapat apa yang kumau, malah bayangan dan sorot matanya tergambar jelas hingga masuk ke dalam sanubariku. Seperti membangunkan partikel-partikel dalam diriku dan merasuk lebih dalam, tapi kabut tebal itu menarik diriku, melarangku untuk kembali dalam kehancuran.
Aku menadah tangan kananku padanya, meminta barangku yang sekarang ada padanya. "Balikin barangku," pintaku setelah menyimpan pisau kecil itu.
Arken memasang raut berpikir yang kutahu itu hanya dibuat-buat. Dia mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. "Hm... Aku bakal balikin tapi dengan syarat," ucapnya kemudian.
Angin berembus kencang untuk beberapa saat, membuat ilalang di sekitar kami menari dengan cepat, menggelitik bagian tubuhku yang bersentuhan dengannya. Aku mencabut satu dari banyaknya ilalang di sana dan berjalan lambat.
"Apa?" Kutanya apa syarat yang dia mau.
Arken mengikuti langkahku semangat. "Gampang kok, kamu harus jadi temen aku." Kulihat dia tersenyum.
"Nih." Dia mengulurkan gelang itu padaku dengan sudut bibir yang masih terus tersenyum hangat. Aku mengambilnya ragu hingga dia menaruhnya langsung di tanganku yang ia tadah dengan tangannya.
Aku merasakan akar-akar dalam diriku bergerak, membuat ekosistem dalam diriku tumbuh subur setelah sekian lama rapuh. Aku mencoba mengembangkan senyum padanya. Namun tidak, tidak semudah itu.
Aku sudah berhasil meninggalkan masa-masa di mana aku harus terjebak dalam ambisiku. Aku sudah jauh meninggalkan semua itu. Sekarang atau nanti bukanlah waktu untukku kembali dan terjebak lagi ke dalam jurang di mana aku hanya bisa tunduk dan patuh pada perasaanku.
Aku menggenggam gelang itu dalam genggamanku dan beranjak pergi meninggalkannya. Arken menyadari perubahan dalam diriku beberapa detik yang lalu. Dia protes dengan syaratnya.
"Eh, gak bisa gitu dong, Zer. Aku kan, udah balikin tuh, gelang kamu, jadi sekarang kita temenan."
Aku memperhatikan tingkahnya yang berjalan mengikutiku dengan terus bicara tentang pertemanan kami.
"Kamu gak mau jawab. Oke aku anggap kamu mau. Jadi, sekarang aku mau neraktir kamu, terserah deh, kamu mau apa. Kamu mau apa?"
Pria itu berjalan mundur di depanku dengan semangatnya. Dari tadi dia mencoba menyamakan langkahnya. "Yah, kamu mau apa?"
"Steak?"
"Nah, pas bener, aku tau di mana tempat yang enak kita harus makan steak."
Aku tidak sadar dengan ucapanku barusan. Ucapan itu menerobos batas pertahanan dalam bibirku, dia belum dapat izin.
***
Satu potongan steak masuk dalam mulutku. Ini pertama kalinya lagi setelah waktu yang panjang aku tidak makan di luar.
Cuaca dingin dan hujan saat ini membuatku sedikit menggigil. Sudah lama sekali tidak pernah berada di luar rumah saat hujan, nasib baik aku sempat memakai hoddie tadi.
"Kamu gak bisa kedinginan, ya?" tanya Arken disela-sela makannya.
"Iya," jawabku.
Arken mengangguk-angguk paham. "Oh iya, aku boleh tanya sesuatu?"
"Boleh."
"Emangnya bener kamu suka bawa bom ke sekolah?" Kulihat keseriusan di wajah Arken.
"Iya."
"Buat apa?" tanyanya lagi. Membuatku ingin pergi meninggalkannya, tapi sayangnya di luar hujan deras.
"Buat ngebom siapa aja yang deket sama aku."
Uhk!
Kulihat Arken hampir tersedak mendengar jawabanku yang sebenarnya tidak benar.
"Kamu mau ngebom aku?" tanya Arken.
"Iya, kalo kamu masih mau nanya-nanya lagi."
"Kamu kira aku takut?" Aku menatapnya lekat, "Tas kamu kan, di mobil aku," lanjut Arken.
Lalu tak sengaja aku bertatap wajah dengan seseorang yang dulu sangat aku kenal. Aku langsung menutup kepala dengan topi dari hoddie yang kupakai hingga menutupi sebagian wajahku.
Arken heran dengan sikapku. "Kenapa?"
"Zerina..." Suara itu sangat kukenal. Kenapa aku harus bertemu dia di sini. Aku tidak menjawabnya dan menghindar dari pandangannya.
"Zerina, gue tau ini elo." Orang itu berusaha membuka topi hoddie yang menutup kepalaku. Namun kucegah hingga Arken membantuku.
"Eh, maaf Mas, kalo gak mau jangan dipaksa." Arken menyingkirkan tangan pria itu.
Mereka sempat saling bertatap wajah hingga pria itu berkata lagi padaku. "Ana, Zer. Dia mau ketemu sama lo," ucapnya.
Aku tak peduli, bahkan aku telah menghapus nama mereka dalam benakku walau sebenarnya aku tidak akan pernah bisa melupakan hal itu. Aku telah berusaha payah mengajarkan diriku sendiri bahwa aku tidak pernah memiliki teman seperti Ana. Sudah sangat banyak hari yang kulewati untuk bisa mengerti hal itu. Aku tidak ingin lagi.
"Tolong Zer, please." Aku menepis tangannya yang menyentuh tanganku dan beranjak meninggalkan tempat itu.
"Zerina!"
Arken menahan orang itu dari mengejarku. "Tolong jangan paksa kalo dia gak mau."
Aku menerabas derasnya hujan, menghentikan otakku dari berpikir tentang Ana dan pria itu, mengubur dalam-dalam rasa iba-ku pada mereka. Hingga Arken menghampiri dan merangkul leherku agar berjalan mengikutinya.
"Kamu salah jalan tau," ucapnya di antara derasnya suara hujan.
Arken menuntunku hingga aku duduk di kursi mobilnya, aku memeluk tubuhku yang basah.
"Gara-gara aku kursi mobilmu basah," ucapku setelah Arken duduk di tempatnya dan menyalakan mobil.
Tek!
Dia mematikan AC mobil. "Gak masalah," lalu mengambil jaket di jok belakang dan menutupi tubuhku, "muka kamu pucet, kamu gakpapa?"
Aku menutup kepalaku kembali dengan topi hoddie, melarang Arken melihat wajahku. Dia mengembuskan napas. "Rumah kamu di mana?"
"Korpri."
"Oh, rumah kamu deket situ juga." Dia mulai menjalankan mobilnya, "Kamu yang waktu itu kulihat manjat pohon seri di rumah tua itu, kan?" tanyanya.
"Kata orang-orang rumah itu angker, kok kamu berani ke sana sampe manjat-manjat segala," sambungnya.
"Kata-kata orang belum tentu bener, kan?"
"Iya, sih..." Arken berdeham, "Yang tadi itu siapa?"
Aku diam sebentar, berpikir apa dia akan percaya padaku atau hanya ingin tau.
"Em, aku cuma--"
Aku memotong ucapan Arken. "Orang-orang brengsek yang udah ngancurin hidup aku."
"Orang-orang?" Dia bingung.
"Aku bahkan menunggu kapan mereka mati," lanjutku, "Atau aku yang harus membunuh mereka?" sambungku yang mungkin membuat orang di sampingku merinding.
Terserah padanya menganggapku apa. Aku tak suka menyembunyikan apa yang sedang aku pikirkan.
"Arken!"
Kudengar suara cewek memanggil Arken dan benar saja, ketika aku berhenti sebentar dan menghadap ke belakang, Arken terlihat sedang bicara dengan beberapa murid cewek yang tadi memanggilnya.
Aku melanjutkan langkahku dan tidak peduli dengan anak laki-laki itu. Hingga aku keluar gerbang sekolah dan berjalan menuju tempat yang sekarang aroma tempat itu menusuk ke dalam hidungku. Aroma campuran berbagai macam bunga itu menenangkan pikiranku.
Aku membeli sebuket mawar putih. Lagi-lagi aku tidak sengaja melihat mobil Arken di sana sedang berhenti saat aku menunggu di halte bus. Aku masuk ke dalam bus, duduk di sana untuk beberapa menit hingga sampai di tempat tujuanku. Aku masih melihat mobil itu, berhenti di tepi jalan agak jauh dari bus yang kutumpangi.
Aku turun dan berhenti sejenak menatap gang kecil di depanku. Sudah lama sekali aku tidak ke mari. Aku menyadari Arken yang berjalan mengendap-endap ke arahku. Kulangkahkan kakiku ke depan dan bersembunyi di balik tembok dekat keranda. Arken terlihat bingung dan terkejut, entah karena tidak menemukanku atau karena menyadari kalau tempat ini adalah kuburan. Aku tidak bermaksud menjebaknya sampai ke sini, dia sendiri yang mengikutiku.
Perlahan aku mendekat ke arahnya dan berdiri tegak tepat di belakangnya. Dia terkejut melihatku saat membalikkan tubuhnya. Kulihat dia memasang kuda-kuda karena keberadaanku.
"Uuhh!" Suara Arken yang terkejut melihatku. Kuperhatikan napasnya naik turun dengan cepat.
"Kamu ngapain ngikutin aku?" Suaraku itu membuatnya agak tenang, mungkin dia merasa lega karena tahu kalau aku bukan hantu. Entahlah, aku berpikir dia menganggapku makhluk halus.
"Kamu ngapain ke kuburan?" Arken bertanya kembali padaku.
"Mau ngubur kamu hidup-hidup," kataku. Kulihat raut wajahnya yang serius, "Ya mau ngelayat, lah," sambungku, membuat dia sekali lagi merasa lega.
Aku jalan mendahuluinya dan mencari tempat di mana Bi Irma berbaring. Dia mengikutiku dengan perasaan yang mungkin resah. Dia memperhatikan sekeliling layaknya orang yang baru menginjakan kaki di kuburan.
Aku menemukan batu nisannya, di sana tertulis.
Irma Sutianti
Binti
Herdi Nurdin
Lahir : 11 Januari 1985
Wafat : 6 Juni 2012
Aku duduk di samping situ dan meletakkan bunga yang kubeli tadi di atasnya. Aku ingat Bi Irma sangat menyukai mawar putih. Kuusap lembut nisannya sambil berdoa untuknya di dalam lubuk hatiku dan meminta maaf. Aku benar-benar merindukannya.
Kutegarkan hatiku dan bangkit dari situ. Aku yakin di dalam sana Bi Irma tidak ingin melihatku lemah, dia akan sangat sedih jika melihatku seperti ini. Aku berjalan meninggalkan tempat itu menuju ke sebuah sungai kecil yang mengalir di ujung sana. Arken masih mengikutiku dalam diam, dia tidak berbicara padaku dari tadi.
Aku membasuh wajahku dengan air sungai itu, segar. Kulihat Arken masih sibuk memperhatikan sekelilingnya.
"Cuci muka!" perintahku padanya.
"Hm?" Arken nampak ragu dengan ucapanku yang mengarah padanya. Dia menunjuk dirinya sendiri memastikan apakah aku menyuruhnya.
"Iya kamu, memangnya siapa lagi kalau bukan kamu!"
Arken berjalan mendekat dengan kedua tangan yang di masukan ke dalam kantung dan berjongkok di situ, lalu membasuh wajahnya.
"Huuf." Dia merapikan rambutnya kebelakang, "Yang tadi itu siapa kamu?" tanyanya.
Aku diam sebentar, lalu kujawab sambil mengalihkan pandangan darinya. "Ibuku."
Dia memasang raut wajah sedih dan menyesal karena bertanya. "Ngapain kamu ngikutin aku sampai sini?" tanyaku.
"Hm, aku penasaran sama kamu." jawabnya dan aku tidak suka dengan jawaban itu.
Aku berdiri dan beranjak pergi dari tempat itu setelah bicara padanya. "Sekarang kamu udah tau dan nanti kamu bakal lebih tau."
"Ha? Eh," Arken mengikuti langkahku, "Aku mau temenan sama kamu," katanya.
Perutku terasa geli mendengar ucapannya. Aku berhenti dan berbalik ke arahnya. "Emang kamu gak takut sama aku?"
Dia memasang raut bingung. "Takut? Kamu kira aku banci?" ucapannya itu membuatku berpikir keras apa maksudnya, "Takut sama cewek?" sambungnya. Aku tertawa kecil setelah mengerti maksudnya.
"Kamu tambah cantik kalo senyum," ucap Arken lagi dengan senyumnya yang membuatku berhenti dan membuang tawa kecilku, muak.
Aku melanjutkan jalanku seraya mengingat bagaimana dulu pacarku memujiku seperti itu, lalu dia pergi meninggalkanku bersama temanku. Lucu, kan.
"Jadi, kamu mau temenan sama aku?" tanya Arken lagi.
"Nggak."
"Kenapa?"
"Aku cuma orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan aja," kataku sambil terus berjalan. Dia mengikutiku.
"Aku percaya, kok, kamu gak gila. Kamu kira aku bodoh, mana ada orang gila ngelayat," kata Arken. Membuatku mengehentikan langkah sejenak. Dia ikut berhenti di belakangku.
Benarkah yang dia katakan? Apa dia berpikir seperti itu? Aku menggelengkan kepala mengusir pikiran itu. Tidak, dia hanya ingin sesuatu dariku. Aku melanjutkan langkah dengan gerakan agak cepat.
"Tunggu, Zerina!" Dia menahan lenganku, aku melepasnya dengan kasar. Dia bergerak cepat dan menghentikan langkahku dengan berdiri di depanku, menghalangi jalanku.
Aku memperlihatkan padanya pisau kecil yang biasa kubawa setelah kukeluarkan dari kantong bajuku. Arken mengangkat tangannya sambil mencoba menenangkanku.
"Kalem, aku sama sekali gak ada maksud apa-apa sama kamu. Sumpah, aku cuma mau temenan." Suara Arken itu terdengar sangat meyakinkan.
"Apa aja yang udah kamu denger tentang aku? Jujur," pintaku dengan tatapan introgasi.
"Oke, oke, aku bakal cerita sama kamu, tapi di mobil aku. Aku anterin kamu pulang," tawar Arken.
"Gak mau," Jawabku cepat, "Apa tujuan kamu sebenarnya ngikutin aku sampai sini!" bentakku sambil terus mengancamnya dengan pisau di tanganku.
"Oke, gini, gini, aku mau balikin ini ke kamu." Arken meronggoh kantong celananya dan mengeluarkan sesuatu.
Aku terkejut bukan main. Dengan gerakan cepat, kurebut gelang perak pemberian Bi Irma itu darinya. Namun, dia menariknya dan menyembunyikannya.
"Kamu maling ya!" bentakku.
"Eeeenak aja maling. Aku nemu ini di tempat kamu sering duduk di sekolah tau. Mungkin waktu itu jatoh gara-gara kamu nampar aku," jelasnya.
Aku menatap dalam-dalam pria di depanku, mencoba mencari jawaban tentang apa yang dia inginkan. Dia tak bergeming dan menatap balas mataku dalam diam dan menggagalkanku. Kupenjamkan mataku untuk menit berikutnya. Aku tidak mendapat apa yang kumau, malah bayangan dan sorot matanya tergambar jelas hingga masuk ke dalam sanubariku. Seperti membangunkan partikel-partikel dalam diriku dan merasuk lebih dalam, tapi kabut tebal itu menarik diriku, melarangku untuk kembali dalam kehancuran.
Aku menadah tangan kananku padanya, meminta barangku yang sekarang ada padanya. "Balikin barangku," pintaku setelah menyimpan pisau kecil itu.
Arken memasang raut berpikir yang kutahu itu hanya dibuat-buat. Dia mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. "Hm... Aku bakal balikin tapi dengan syarat," ucapnya kemudian.
Angin berembus kencang untuk beberapa saat, membuat ilalang di sekitar kami menari dengan cepat, menggelitik bagian tubuhku yang bersentuhan dengannya. Aku mencabut satu dari banyaknya ilalang di sana dan berjalan lambat.
"Apa?" Kutanya apa syarat yang dia mau.
Arken mengikuti langkahku semangat. "Gampang kok, kamu harus jadi temen aku." Kulihat dia tersenyum.
"Nih." Dia mengulurkan gelang itu padaku dengan sudut bibir yang masih terus tersenyum hangat. Aku mengambilnya ragu hingga dia menaruhnya langsung di tanganku yang ia tadah dengan tangannya.
Aku merasakan akar-akar dalam diriku bergerak, membuat ekosistem dalam diriku tumbuh subur setelah sekian lama rapuh. Aku mencoba mengembangkan senyum padanya. Namun tidak, tidak semudah itu.
Aku sudah berhasil meninggalkan masa-masa di mana aku harus terjebak dalam ambisiku. Aku sudah jauh meninggalkan semua itu. Sekarang atau nanti bukanlah waktu untukku kembali dan terjebak lagi ke dalam jurang di mana aku hanya bisa tunduk dan patuh pada perasaanku.
Aku menggenggam gelang itu dalam genggamanku dan beranjak pergi meninggalkannya. Arken menyadari perubahan dalam diriku beberapa detik yang lalu. Dia protes dengan syaratnya.
"Eh, gak bisa gitu dong, Zer. Aku kan, udah balikin tuh, gelang kamu, jadi sekarang kita temenan."
Aku memperhatikan tingkahnya yang berjalan mengikutiku dengan terus bicara tentang pertemanan kami.
"Kamu gak mau jawab. Oke aku anggap kamu mau. Jadi, sekarang aku mau neraktir kamu, terserah deh, kamu mau apa. Kamu mau apa?"
Pria itu berjalan mundur di depanku dengan semangatnya. Dari tadi dia mencoba menyamakan langkahnya. "Yah, kamu mau apa?"
"Steak?"
"Nah, pas bener, aku tau di mana tempat yang enak kita harus makan steak."
Aku tidak sadar dengan ucapanku barusan. Ucapan itu menerobos batas pertahanan dalam bibirku, dia belum dapat izin.
***
Satu potongan steak masuk dalam mulutku. Ini pertama kalinya lagi setelah waktu yang panjang aku tidak makan di luar.
Cuaca dingin dan hujan saat ini membuatku sedikit menggigil. Sudah lama sekali tidak pernah berada di luar rumah saat hujan, nasib baik aku sempat memakai hoddie tadi.
"Kamu gak bisa kedinginan, ya?" tanya Arken disela-sela makannya.
"Iya," jawabku.
Arken mengangguk-angguk paham. "Oh iya, aku boleh tanya sesuatu?"
"Boleh."
"Emangnya bener kamu suka bawa bom ke sekolah?" Kulihat keseriusan di wajah Arken.
"Iya."
"Buat apa?" tanyanya lagi. Membuatku ingin pergi meninggalkannya, tapi sayangnya di luar hujan deras.
"Buat ngebom siapa aja yang deket sama aku."
Uhk!
Kulihat Arken hampir tersedak mendengar jawabanku yang sebenarnya tidak benar.
"Kamu mau ngebom aku?" tanya Arken.
"Iya, kalo kamu masih mau nanya-nanya lagi."
"Kamu kira aku takut?" Aku menatapnya lekat, "Tas kamu kan, di mobil aku," lanjut Arken.
Lalu tak sengaja aku bertatap wajah dengan seseorang yang dulu sangat aku kenal. Aku langsung menutup kepala dengan topi dari hoddie yang kupakai hingga menutupi sebagian wajahku.
Arken heran dengan sikapku. "Kenapa?"
"Zerina..." Suara itu sangat kukenal. Kenapa aku harus bertemu dia di sini. Aku tidak menjawabnya dan menghindar dari pandangannya.
"Zerina, gue tau ini elo." Orang itu berusaha membuka topi hoddie yang menutup kepalaku. Namun kucegah hingga Arken membantuku.
"Eh, maaf Mas, kalo gak mau jangan dipaksa." Arken menyingkirkan tangan pria itu.
Mereka sempat saling bertatap wajah hingga pria itu berkata lagi padaku. "Ana, Zer. Dia mau ketemu sama lo," ucapnya.
Aku tak peduli, bahkan aku telah menghapus nama mereka dalam benakku walau sebenarnya aku tidak akan pernah bisa melupakan hal itu. Aku telah berusaha payah mengajarkan diriku sendiri bahwa aku tidak pernah memiliki teman seperti Ana. Sudah sangat banyak hari yang kulewati untuk bisa mengerti hal itu. Aku tidak ingin lagi.
"Tolong Zer, please." Aku menepis tangannya yang menyentuh tanganku dan beranjak meninggalkan tempat itu.
"Zerina!"
Arken menahan orang itu dari mengejarku. "Tolong jangan paksa kalo dia gak mau."
Aku menerabas derasnya hujan, menghentikan otakku dari berpikir tentang Ana dan pria itu, mengubur dalam-dalam rasa iba-ku pada mereka. Hingga Arken menghampiri dan merangkul leherku agar berjalan mengikutinya.
"Kamu salah jalan tau," ucapnya di antara derasnya suara hujan.
Arken menuntunku hingga aku duduk di kursi mobilnya, aku memeluk tubuhku yang basah.
"Gara-gara aku kursi mobilmu basah," ucapku setelah Arken duduk di tempatnya dan menyalakan mobil.
Tek!
Dia mematikan AC mobil. "Gak masalah," lalu mengambil jaket di jok belakang dan menutupi tubuhku, "muka kamu pucet, kamu gakpapa?"
Aku menutup kepalaku kembali dengan topi hoddie, melarang Arken melihat wajahku. Dia mengembuskan napas. "Rumah kamu di mana?"
"Korpri."
"Oh, rumah kamu deket situ juga." Dia mulai menjalankan mobilnya, "Kamu yang waktu itu kulihat manjat pohon seri di rumah tua itu, kan?" tanyanya.
"Kata orang-orang rumah itu angker, kok kamu berani ke sana sampe manjat-manjat segala," sambungnya.
"Kata-kata orang belum tentu bener, kan?"
"Iya, sih..." Arken berdeham, "Yang tadi itu siapa?"
Aku diam sebentar, berpikir apa dia akan percaya padaku atau hanya ingin tau.
"Em, aku cuma--"
Aku memotong ucapan Arken. "Orang-orang brengsek yang udah ngancurin hidup aku."
"Orang-orang?" Dia bingung.
"Aku bahkan menunggu kapan mereka mati," lanjutku, "Atau aku yang harus membunuh mereka?" sambungku yang mungkin membuat orang di sampingku merinding.
Terserah padanya menganggapku apa. Aku tak suka menyembunyikan apa yang sedang aku pikirkan.
Bersambung
Diubah oleh tiawittami 24-11-2019 13:50
jiyanq dan 3 lainnya memberi reputasi
4