Kaskus

Story

tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
BADAI SEBELUM PELANGI
BADAI SEBELUM PELANGI

1.Murid Baru


Namaku Zerina. Zerina Mia Hartalisya. Kepribadianku berubah sejak penghianatan itu terjadi. Ketika orang-orang yang selalu bersamaku, menjalani hari-hari bersamaku bahkan suka duka selalu bersamaku menghancurkan semuanya.

Ketika pacarmu yang sudah sangat manis denganmu dan sahabatmu yang selalu mendukungmu ternyata hanya berpura-pura baik padamu. Sakit bukan? Kemudian mereka bersama dan meninggalkanmu. Bagaimana rasanya? Sakit saja, kah? Atau ada perasaan lain?

Tidak hanya itu yang terjadi padaku, mereka bahkan merusak nama baikku, membuatku semakin tidak bisa bergerak, tidak ada yang percaya padaku. Mereka yang lain jadi takut padaku.

Namaku bukan lagi Zerina. Aku orang gila, yang gilanya bisa kambuh kapan saja. Orang-orang yang mendekatiku hanya ingin mengambil kesempatan tanpa kutahu apa tujuannya. Yang pasti mereka hanya menguntungkan diri mereka sendiri.

Astaga, kejam sekali hidup ini. Aku harus apa? Mati, kah? Atau terus menjalaninya? Kira-kira apa yang akan kudapat jika aku terus menjalani hidup. Ketulusan, kah? Aah tidak, ketulusan itu semu. Walau aku sangat ingin bertemu dengannya.

***

Kukira setelah aku lulus dan masuk ke sekolah baru semua itu akan lenyap, tapi ternyata tidak. Orang-orang bodoh itu terus mengingatnya bahkan mereka menyebarkan semuanya di sini. Tak mengapa, aku telah terbiasa dengan semua ini, bahkan jika aku harus seperti ini sampai akhir hidupku. Semua pikiran mereka dan semua yang mereka katakan, biarlah, aku terlalu lelah untuk peduli.

Aku suka duniaku, tak ada yang harus kusembunyikan sekarang. Aku tak perlu berpura-pura untuk mendapatkan yang aku inginkan, karena aku tak lagi menginginkannya.

Teman...

Makhluk apa itu? Aku tidak ingin mereka lagi. Mereka semua hidup dalam kepalsuan. Canda tawa itu akan terasa pahit jika kau tau akhirnya. Tak ada ketulusan di sini, semuanya berjalan karena kemauan masing-masing dari orang-orang itu. Aku tak pernah melihat ketulusan, mungkin dia semu, seperti apa dia? Aku jadi ingin bertemu dengannya.

***

Seperti biasa, aku menghabiskan waktu istirahat dengan duduk di atas rumput yang berseberangan dengan lapangan. Tempat ini nyaman, aku bisa bersandar sekaligus merasakan keteduhan pohon rindang ini. Berkali-kali aku melihat orang lewat yang memandangku aneh karena memilih duduk di sini, sedangkan banyak bangku taman yang disediakan sekolah untuk murid-muridnya, abaikan saja.

Kupasang earphone dan memutar lagu yang belakangan ini sering kudengarkan. Walau aku tak tau arti dari lagunya, tapi aku suka. Alunan nadanya membuat ketenanganku di atas level biasanya. Aku tetap berada di sini, sampai istirahat selesai.

Koridor kelas masih lumayan ramai oleh siswa-siswi yang ngobrol dan tertawa, padahal bel masuk sudah berbunyi. Seharusnya tadi aku menunggu beberapa menit setelah bel bunyi, baru berjalan masuk ke kelas, untuk menghindari perhatian mereka yang dari tadi melihatku sambil berbisik dengan teman masing-masing.

Abaikan ini Zerina, mereka hanya orang-orang bodoh yang tidak pandai memilih cerita.

Aku berhenti melangkah ketika sampai di depan pintu kelas, seorang perempuan yang sangat aku kenal itu menghalangi pintu masuk. Kutatap matanya dengan harapan agar dia tidak menghalangi jalanku, dia menatapku balik.

"Apa liat-liat!" katanya dengan suara yang bisa didengar siapa saja yang ada di situ.

"Minggir. Aku mau lewat." pintaku.

"Oo, mau lewat. Silahkan." Salsa menggeser tubuhnya memberiku jalan, dia tak lepas dari menatapku, membuatku tersandung kakinya karena aku pun tak lepas dari manatapnya balik.

Dia membuatku tersungkur di atas lantai dan sekarang aku jadi bahan tertawaan anak-anak di kelasku dan beberapa anak yang melihat dari pintu kelas. Aku marah, apalagi ketika dia menginjak earphone dan hpku yang juga ikut tersungkur bersamaku.

"Ah, sorry, gue gak liat. Sini gue bantu." Salsa mengulurkan tangannya padaku saat anak-anak itu memusatkan perhatiannya pada kami.

Dasar! Pandai sekali dia berpura-pura, aku tak bisa menahan diriku untuk memukul perempuan itu. Kuambil hp yang barusan dia injak dan kupakai untuk memukul kepalanya. Aku tak peduli jika hp ini rusak, yang penting kepala orang ini harus diberi pelajaran.

Salsa berteriak sambil menghalangi gerakanku lagi sampai akhirnya teman-teman bodohnya itu menghentikanku dan mendorongku menjauh dari Salsa.

"Lo gila, ya! Mukulin kepala orang!" teriak Icha sambil menatapku tajam.

"Lo gak papa, Sa?" Salsa menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Dwi, "Gak waras!" teriaknya lagi padaku.

Mereka pergi setelah berhasil membuatku terlihat seperti penjahat sekarang. Anak-anak di kelasku pun tak ada yang berani bicara padaku. Mereka semua menghindar dan memberiku jalan menuju kursiku.

Aku kembali teringat bagaimana dulu aku memukul kepala Ana dengan penggaris besi hingga membuatnya berdarah. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika anak-anak kelas ini menyaksikan itu, mungkin mereka akan menemui wali kelas dan bilang jika mereka ingin pindah kelas, tak ingin sekelas denganku. Tapi percayalah, kejadian itu bukan sepenuhnya salahku.

Aku duduk dan merapihkan buku pelajaran yang tadi belum sempat kubereskan karena aku biasa keluar duluan saat bel istirahat bunyi. Ya, itu ada alasannya, aku menghindari keramaian.

"Ternyata bener, ya. Gilanya bisa kambuh kapan aja."

"Sssstt."

Aku mendengar bisikan itu. Mereka melepaskan pandangannya dariku saat aku menatap ke arah mereka tajam. Aku jadi kesal, harusnya mereka bertanya dulu apa yang terjadi, bukan bicara dibelakangku.

Mulut-mulut itu memang sudah termakan gosip receh, mereka hanya mendengar cerita dari satu pihak dan langsung membenciku, mereka langsung menganggapku benaran gila hingga tak ada yang percaya padaku. Aku mengembuskan napas.

Tenang Zerina, kau tidak perlu kesal dan mencaci mereka. Mereka akan lebih menganggapmu gila jika kau lakukan itu.

***

Setelah melewati waktu yang sulit di sekolah hari ini, aku berniat mengunjungi tempat yang sudah lama tak kukunjungi.

Langkahku terhenti, kupandangi pohon seri yang sudah termakan usia itu. Tumbuh di halaman belakang rumah tua yang tidak dihuni, walaupun begitu pohon ini tetap tumbuh dan berbuah. Aku ingat, waktu kecil aku sering kemari, bermain bersama Ana, memanjat pohon ini untuk mengambil buah kecil bewarna merah yang rasanya sangat aku suka. Manis.

Ugh!

Aku mengusir memori itu, rasanya sakit jika menyadari yang terjadi sekarang. Kulepas tas punggung yang kukenakan dan menjatuhkannya ke atas rumput liar di situ. Dengan agak susah aku memanjat pohon, hingga akhirnya aku bisa duduk santai di dahannya sambil menikmati buahnya.

"Hm, seperti ini rasanya kehidupan remaja. Aku jadi ingin menjadi bocah lagi, tak peduli sedekil apa aku dulu. Aku mau bahagia tanpa merasakan sakitnya penghianatan."

Kumakan buah terakhir yang kudapat, lalu berniat mencari lagi. Sepertinya sudah habis, tidak, aku masih melihat satu di ujung dahan. Aku sudah hampir mendapatkannya, tapi seseorang menggagalkanku.

"Hei!" Suara itu mengejutkanku, hingga membuat kakiku kaget dan melesat dari dahan pohon.

"Aaaakh!"

Aku jatuh hingga membuat dengkul dan lenganku tergores patahan ranting-ranting kecil yang bertumpuk di situ.

"Kamu gak papa?" tanya orang yang membuatku terkejut.

Kutepis tangannya yang ingin menyentuhku. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung mengambil tas dan buru-buru pergi dari situ.

Jarak rumahku tidak jauh dari tempat itu dan aku sudah berada di rumah sekarang, membersihkan luka dengan alkohol. Untung saja dahan yang kupanjat tadi tidak tinggi dan aku tidak cidera parah. Kalau bukan karena pria tadi, aku mungkin tidak akan jatuh. Kenapa dia bisa ada di sana tiba-tiba.

"Huuh, dasar, harusnya orang itu menangkapku, tega sekali dia." Aku membuang kapas bekas lukaku ke dalam bak sampah.

"Kenapa kamu berharap? Memangnya kamu siapa? Kamu hanyalah orang gila yang gilanya bisa kambuh kapan saja." Aku menyalahi diriku sendiri di depan cermin wastafel.

Aku mengembus napas panjang setelah menyadari perbuatanku. Aku tidak boleh menghina diriku karena orang-orang menghinaku. Aku harus meyakini diriku, bukan meyakini ucapan mereka. Perasaanku mulai lagi, sesuatu yang membuatku tidak percaya diri adalah jika diriku mulai menghinaku. Aku selalu berusaha agar tidak seperti itu.

"Please.. I am not crazy.."

"I am not crazy.."

"I am not crazy.."

Suaraku hampir berbisik dan menjadi berbisik pada kalimat terakhir. Aku bangkit dan berdiri dari ringkukkanku, mengambil pil yang hampir menjadi makananku setiap hari. Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia selalu saja memanggilku untuk memakannya.

Satu pil berhasil masuk ke mulutku. Pahit. Kuluruskan kakiku di atas kasur dan memejamkan mata, berusaha untuk melupakan hari ini, hingga aku terlelap.

***

Hari ini seperti biasa, jam istirahat di sekolah aku duduk di atas rumput di bawah pohon rindang yang biasa aku tempati.

Hari ini aku membawa headphone dan hp dengan layar retak-retak karena insiden kemarin. Tak masalah, setidaknya hp ini masih mengizinkanku mendengarkan lagu-lagunya.

Kudengar hari ini berita yang sedang hangat dibicarakan oleh cewek-cewek penggosip itu adalah masuknya murid baru. Pastinya karena murid baru itu cowok dan bisa dibilang ganteng menurut mereka. Kalau tidak seperti itu gak mungkin jadi berita hangat.

Mungkin aku satu-satunya wanita yang tidak peduli. Lagian untuk apa? Jika murid baru itu tau tentang diriku, dia juga pasti tidak akan mau berteman denganku.

Aku mengangkat buku bacaanku hingga menutupi wajah, sesuatu di kejauhan sana seolah mengganggu perasaanku. Anak-anak cowok itu pasti sedang membicarakanku. Lalu, aku merasakan kehadiran seseorang di depanku, sedang berdiri menghadapku. Aku menurunkan sedikit buku bacaan dan melihat ke arahnya. Dia melihatku, dengan cepat aku kembali mengangkat buku itu menutupi wajah.

"Hei." Dengan tangan kanannya dia menurunkan buku bacaan yang menutupi wajahku.

Sepertinya aku pernah melihatnya, dia orang yang membuatku jatuh dari pohon kemarin.

"Kamu cewek yang kemarin, kan?"

Aku tak menjawab dan yang terpenting yang harus kalian tau ternyata dia murid barunya.

"Arken." Dia menjulurkan tangan kanannya dan tersenyum padaku untuk berkenalan.

Aku telah berusaha untuk menerimanya, tapi kurasa itu percuma dan akan sia-sia. Dia akan membenciku dan menjauhiku, atau mungkin sekarang dia hanya mempermainkanku dan menjadikanku bahan lelucon karena kuyakin dia ada bersama rombongan cowok itu tadi.

Teett... Teett... Teett...

Akhirnya bel masuk berbunyi, aku berdiri dari duduk dan berjalan meninggalkannya di situ tanpa bicara apapun. Kudengar rombongan cowok di sana tertawa melihat Arken, cowok yang barusan memperkenalkan namanya padaku. Bukannya sudah kubilang, mereka hanya menjadikanku bahan lelucon. Apa itu yang disebut teman? Bukankah aku beruntung karena tidak memiliki teman seperti mereka? Yah, kurasa aku beruntung.

Bersambung


Index
2. Arken
3. Berteman
4. Psikis
5. Hariku
6. Masalahku
7. Wanita Bahagia
8. Wanita Bahagia 2
9. Pentas Seni
10. Pentas Seni 2
11. Memori
12. Reuni
13. Fungsi Hati
14. Hari Terakhir
15. Ana
16. Perasaan Rindu
17. Kematian Ana
18. Teror
Diubah oleh tiawittami 14-01-2020 19:21
someshitnessAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
7.6K
90
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
tiawittamiAvatar border
TS
tiawittami
#1
2. ARKEN
Aku berada di kelas sekarang, suasana yang ribut dan kacau balau karena jam kosong ini membuatku ingin berteriak. Namun jiwaku menahan emosiku yang terkadang keluar tidak sesuai pada tempatnya. Dan cocok sekali, di saat aku seperti ini, tiba-tiba saja sebuah bola plastik mendarat tepat di keningku. Semua ini ulah anak laki-laki yang bermain bola di dalam kelas. Sontak seisi kelas terdiam seketika dan memusatkan pandangannya ke arahku.

Aku memusatkan pandangan pada seorang pria yang kuketahui namanya, Dion. Seperti yang diketahui dialah pelaku yang membuat bola itu mendarat di keningku. Dia meminta maaf padaku dengan suara ragu. Kurasa dia takut padaku.

"M-Ma-Maaf ya Zerina," ucapannya terbata.

Aku membuang pandangan darinya, dia pun mengambil bola itu dan berjalan menjauh dariku. Lalu terdengar suara ketukan pintu, sontak sekali lagi seisi kelas memusatkan pandangannya ke arah situ termasuk aku. Masuklah seseorang yang tadi sempat mengenalkan namanya padaku.

"Itu Arken, kan?"

"Iya bener, murid baru itu."

"Duuh, ganteng, ya."

Suara bisik-bisik dari kaum hawa di kelasku pun masuk menembus telingaku dan suara itu nambah sangat berisik saat Arken menghampiriku dan memberiku secarik kertas yang terlipat.

"Buat kamu." Arken bersuara sambil menyodorkan kertas itu padaku.

Aku tidak langsung mengambilnya, kutatap tajam matanya dan melihat ke luar kelas, lalu terlintas dipikiranku jika orang-orang jahat itu sedang mengerjaiku. Aku pun menerima kertas itu dan merobeknya menjadi dua, lalu mengembalikannya pada Arken.

Kusadari keterkejutan orang-orang di kelas atas apa yang aku lakukan, termasuk Arken. Pria itu menatapku ragu dan dengan gerakan lambat dia mengambil kertas sobekan yang aku sodorkan padanya. Arken tampak terkejut melihat isi kertas itu, nampak gambar muka pocong ditempel didalamnya.

Saat kelas kembali mulai bersuara bisik-bisik, aku bangkit dari dudukku dan berjalan menuju pintu kelas untuk mencari suasana yang bisa menenangkan emosiku. Ketika aku berjalan melewati pintu kelas, kulihat rombongan cowok yang kuyakin adalah gengnya Arken sedang berkumpul di situ.

Ternyata feeling-ku benar, kan. Mereka hanya ingin mengerjaiku, aku yakin ini ulah anak-anak cowok itu. Dan kuingat lagi, mereka itu salah satu biang keroknya. Mereka pernah menjahiliku dan membuatku marah, lalu menyebarkannya ke anak-anak sekolah.

Kuingat waktu itu, saat aku berjalan sendirian ketika pulang sekolah. Mereka menghalangi jalanku dan menggodaku.

"Hei, Zeerina. Sini, dong."

Aku menatapnya sinis dan melanjutkan langkahku, tidak menerima panggilannya. Namun saat aku terus berjalan mereka juga terus menjegatku.

"Awas!" perintahku pada pria dengan baju sekolah yang nampak berantakkan di depanku. Aku tidak tahu namanya, anak-anak itu memang tidak mengerti bagaimana cara memasang nametag.

Pria itu mencoba meraihku sebelum aku menarik tangannya dan menendang bagian bawah perutnya dengan lutut. Dia merintih kesakitan saat aku melanjutkan jalanku. Tapi ternyata tidak hanya sampai di situ. Teman-temannya yang berjumlah tiga orang itu ikut menghalangi jalanku. Aku menghentikan langkah saat mereka menghadang.

"Giila, lo cewek apa cowok?" tanya satu orang dari mereka yang kancing seragamnya terbuka semua dengan baju dalaman hitam di bawah seragamnya.

"Orang-orang bodoh kaya kalian emang gak tau malu, ya. Beraninya gangguin cewek!" kataku. Lalu suara mereka pecah.

"Buuhh!"

"Orang bodoh katanya."

"Hm, emangnya lo cewek beneran? Cooba gue liat." Dia mencoba menarikku. Namun gagal karena aku menggigit tangannya hingga berdarah karena gigiku yang bertaring dua.

"Shit! Gila nih, cewek! Cantik-cantik ngegigit."

Aku menghindar agak jauh dari mereka lalu mengeluarkan pisau kecil yang biasa kugunakan untuk merobek plastik atau aluminium saat pelajaran Prakarya. Mereka berhenti saat aku mengangkat pisau itu dengan tangan kiriku. Detik berikutnya aku melempar benda kecil ke arah mereka. Itulah senjataku yang paling ampuh agar terhindar dari orang-orang seperti itu.

Benda itu meledak setelah aku kembali berjalan menjauhi mereka. Mungkin awalnya mereka kira itu bukan sesuatu yang berbahaya meski memang tidak terlalu berbahaya. Itu hanya mercon biasa yang bentuknya memang unik.

Kalian tanya mengapa aku membawa benda seperti itu? Harusnya kalian bisa jawab sendiri.

Terlalu banyak bahaya di dunia ini, terlebih untuk diriku yang selalu berjalan sendirian. Setidaknya aku punya perlindungan untuk diriku. Juga untuk memberi pelajaran pada orang-orang jahat seperti mereka.

Aku tersenyum simpul mengingat kejadian itu. Kejadian yang membuat beberapa murid bertanya padaku apakah itu benar. Ya, itu benar, aku tidak menyembunyikan fakta, kok. Mungkin nanti akan tersebar gosip yang menyatakan bahwa aku seorang teroris.

Tunggu saja Zerina..

Angin sejuk menemaniku di taman itu sambil duduk bersandar di batang pohon. Aku membuka mataku yang sedari tadi terpejam. Sontak tubuhku terlonjak kaget melihat wajah seseorang tepat di depan wajahku.

"Zerina, Sorry!" seru Arken.

Plak!

Aku menampar pipinya dengan tangan kiriku yang reflek. Kulihat dia menahan kesakitan. Itu akibatnya jika membuatku terkejut.

Arken memegangi pipinya yang barusan kutampar lalu bergumam. "Aaw..." responnya yang sudah sangat terlambat.

"Kamu belum puas gangguin aku?" tanyaku dengan suara marah.

"Belum... Eh, maksudnya, maaf, aku gak tau kalau isi kertasnya tadi gambar pocong. Aku kira cuma tulisan yang akan kamu jawab supaya aku tau nama---" Aku pergi begitu saja sebelum Arken selesai bicara, "kamu..." sambungnya dengan wajah bengong dan melihatku menjauh tanpa menghiraukannya.

"Zerinaa!" teriak anak itu setelah kurasa sadar dari bengongnya. Namun aku tetap berjalan dan tidak berbalik sedikit pun.

Arken kesal hingga membuatnya mencabut asal rumput di lahan itu dan melemparnya. Lalu dia melihat sesuatu yang berkilau diantara rerumputan hijau yang halus itu. Arken meraihnya dan menyakini bahwa gelang perak itu milik Zerina.

***

Pagi hari di minggu terakhir bulan Desember, suasananya begitu tenang dan sejuk saat aku membuka tirai jendela kamarku. Kudorong jendela yang menghalangi angin masuk dan aku merasakan lembutnya sentuhan angin di wajahku. Angin itu membuat rambutku menari-nari.

Aku duduk di bangku halaman belakang rumah setelah turun dari kamarku. Sepertinya hari ini sangat langka karena aku menyadari keberadaan orang tuaku di rumah.

Meong.. Meong..

Seekor kucing mengelus-elus kakiku, kudapati Chimy di bawah situ sedang menggosok kepalanya dikakiku.

"Hei, Chimy, pagi." Aku meletakkannya dipangkuanku setelah mengeluskan pipiku dengan bulu-bulu halus di kepalanya. Kuelus kembali kepalanya dengan lembut. Dia lah Chimy, temanku di rumah. Meski hanya seekor kucing, tapi dia lah yang paling banyak menemani hari-hariku.

Hari ini kedua orang tuaku berada di rumah. Setelah melewati pekerjaan yang melelahkan akhirnya mereka libur juga. Tidak, kurasa pekerjaan mereka tidak melelahkan. Aku yakin itu.

Kupikir momen langka ini akan menjadi sangat berharga, tapi ternyata tidak. Momen ini justru membuat suasana di rumah yang belakangan ini sangat tenang untukku menjadi hancur. Suara teriakan-teriakkan itu menembus pendengaranku, menghancurkan pagiku, dan membuat Chimy lari dari pangkuanku.

"Kamu tau, kan, obat ini sangat berbahaya! Di mana rasa kepedulian kamu sebagai seorang Ibu!" Suara papaku membuat aku fokus mendengarkan masalah mereka.

"Kamu bisanya cuma marahin aku terus! Kamu kira aku juga gak sibuk kerja?!" Mamaku membalas ucapan papa dengan suara yang tak kalah dengannya.

"Berapa kali aku bilang sama kamu gak usah kerja. Tugas kamu itu ngurusin rumah dan mendidik anak kita. Penghasilan aku udah lebih dari cukup untuk keluarga kita, kamu tau. Jadi apa yang tetep nahan kamu buat kerja? Apa karena laki-laki di kantormu itu!!" Suara papa Cumiakkan telingaku.

"Kamu kenapa, sih, ngomong kayak gitu terus! Selama ini kamu anggep aku selingkuh? Kamu pikir aku wanita murahan, Mas?" Suara mamaku terdengar sedikit merendah dan kecewa. Sejak tadi jantungku berdetak kuat mendengar ucapan mereka. Ingin rasanya aku lari dari sini.

"Pokoknya mulai sekarang kamu gak usah kerja! Cukup di rumah temenin Zerina! Besok aku gak mau lagi liat kamu kerja!"

"Aku gak mau! Kamu kira aku gak capek nungguin kamu yang jarang pulang karena pekerjaan kamu! Pokoknya aku gak mau!" Mama merebut botol kecil berisi obat yang membuat mereka menjadi ribut itu dari tangan papa dan meninggalkan pria itu.

Aku sudah berdiri melihat mama yang melihatku dengan tatapan marah di ujung tangga. Aku merasakan kemarahannya seperti apa. Dia pasti sangat membenciku. Dia melempar botol obat itu ke arahku, membuat botol itu jatuh dan pecah di hadapanku. Aku masih bersyukur karena mama tidak melemparnya ke wajahku.

"Ma..." aku memanggilnya saat dia bergegas pergi meninggalkan tempatnya dan membentakku.

"Jangan berani kamu panggil mama kalau kamu saja tidak bisa dibilangin!" kata mamaku dengan tatapan marahnya dan pergi meninggalkanku.

Begitulah mamaku. Aku tahu aku salah karena masih mengonsumsi obat itu padahal mama telah melarangku. Namun, kondisiku lah yang memaksaku mengonsumsinya. Bagaimana tidak, ke mana aku harus pergi kalau bukan pada obat itu saat diriku tak kuat menahan beban hidupku. Tak kusadari air mata yang menetes saat aku membereskan pecahan kaca itu. Aku menyekanya.

Aku tidak tahu kapan kali terakhir aku ngobrol dengan mama. Bahkan aku tidak pernah lagi merasakan kasih sayangnya sejak lima belas tahun lalu. Mama tidak pernah menghabiskan waktu untukku, apalagi papa. Aku juga tak pernah lagi melihat mereka sehangat dulu. Mereka selalu sibuk dengan urusan masing-masing dan melupakan keberadaanku di rumah, dan aku menanggung semuanya sendiri sejak kepergian Bi Irma.

Tangisku kembali terisak mengingat Bi Irma. Ya, Bi Irma adalah pengasuhku dari kecil, aku bahkan sudah menganggapnya sebagai ibuku. Dia yang mengajariku, mendidikku, menemaniku hingga aku beranjak dewasa. Dia yang selalu mendengarkan aku dan memberi solusi untuk setiap masalah yang kuhadapi.

Namun dia pergi meninggalkanku saat teman-temanku menghianatiku hingga membuatku menjadi seperti sekarang ini.

Aku tidak lagi memiliki orang yang berarti dihidupku. Kepergian Bi Irma itu menjadi titik terlemah dalam hidupku. Mengapa dia harus pergi saat aku sangat membutuhkannya. Aku sangat tidak merelakan kepergiannya saat itu. Penyakit kanker stadium akhir itu membunuhnya, aku bahkan tidak tau selama itu Bi Irma mengidap penyakit mematikan. Aku benar-benar merindukannya saat ini.

"Zerina." Suara papa menghentikan langkahku yang ingin masuk ke kamarku. Aku melihat dan menghadap ke arahnya dengan tatapan mata sayu sebab tangisanku tadi, "Maafin mama kamu, ya. Maafin papa juga. Papa gak bermaksud--" Papa menghentikan ucapannya karena aku bicara.

"Mama gak salah, papa juga. Ini salah aku, kalo bukan karena obat ini mama pasti gak akan pergi. Aku janji gak akan minum obat ini lagi," kataku dan papa hanya memandangku nanar dari sana.

Aku masuk dan menutup pintu kamar. Aku mencoba menahan tangisku sambil duduk bersandar di pintu itu dan memeluk lutut. Kuluruskan kakiku untuk detik berikutnya, aku menahan diri untuk tidak memakan obat yang sekarang berada dalam genggamanku, tanpa botol. Aku masih menahannya hingga aku tak kuasa dan berjalan menuju jendela ingin membuang benda kecil yang membuat hari ini hancur.

"Tidak." Tanganku tertahan.

Aku menarik tanganku itu dan memandang obat-obat yang sempat berceceran di lantai tadi. Aku bisa merasakan sakit pada obat itu, entah kenapa aku tidak tega membuangnya. Obat itu telah membantu menenangkanku, lantas sekarang pantaskah aku membuangnya begitu saja. Tidak. Aku dan obat itu sama, kami sama-sama terbuang dan aku tidak tega membuangnya.

Aku menyimpannya di plastik obat dan menaruhnya di laci meja belajarku. Disaat yang bersamaan itu aku menemukan foto Bi Irma bersamaku. Aku mengambilnya, aku ingat saat foto itu diambil dulu.

Kami sedang jalan-jalan berdua menghabiskan akhir minggu di usiaku yang baru memasuki bangku SMP. Aku juga ingat waktu itu Bi Irma membelikan aku sebuah gelang perak yang harusnya sekarang berada di pergelangan tangan kiriku. Sontak mataku membesar dan tangan kananku memukul pergelangan kiriku. Aku baru sadar kalau gelang itu tidak ada di lenganku.

Seketika tubuhku bergetar dan panik sambil mencari di seluruh kamarku, di mana gelang itu jatuh. Aku menyusuri setiap tempat yang aku lewati di rumah untuk menemukannya. Namun nihil, aku tidak mendapatkannya.

Aku menjambak rambutku sendiri di depan cermin meja riasku lalu memukul meja itu sambil terus berpikir di mana kira-kira gelang itu jatuh. Aku menggigit bibir bawahku setelah gagal memprediksi keberadaannya. Aku merasa sangat bersalah, bagaimana mungkin benda berharga satu-satunya dari Bi Irma itu hilang.

Aku mengingat kembali saat Bi Irma memakaikan gelang itu di lenganku. "Kan, cocok, tuh, pas untuk kulit Zerina yang putih. Awas ilang yah, Bibi cuma bisa ngasih itu untuk kamu."

"Aaaaah..." Aku menjatuhkan kepalaku di atas meja rias itu sambil meracau dan menyalahi diri sendiri.

"Maafin Zerina, Bi."

Air mataku kembali keluar, menetes dengan lambat melalui batang hidung bagian atas karena posisi kepalaku yang miring di atas meja.

Bersambung..
Diubah oleh tiawittami 24-11-2019 13:32
corongalam
berodin
jiyanq
jiyanq dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.