Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja
Rekan kerja

Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
erman123Avatar border
OkkyVanessaMAvatar border
manik.01Avatar border
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.4KAnggota
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#82
Rekan Kerja (part 8)
"Tak ada yang melarang untuk main, tapi TIDAK untuk menginap!!"

Ucapan itu seolah menghipnotis kami yang berada di ruang tamu, membuat kami sontak semua mematung.
Tiga orang wanita tengah berpaku di sini, saling terdiam beberapa saat.
Ibu, Adel, dan Sefti.
Tentu saja ada aku di antaranya!

Adel menundukkan wajahnya. Sefti dan ibu saling berpandangan. Tatapan ibu kaku, sementara Sefti terlihat kikuk. Mungkin sadar sedang berada di zona tak nyaman.

Hidung Adel terlihat memerah, basah. Sesekali dia mengusapnya. Ia menahan air matanya, membuatku tak sanggup lagi melihat ibu menghakiminya.

"Ehm, mbak... Maaf nggih, sebelumnya... Bukannya saya ikut campur, sebenarnya Ibu mas Dani cuma merasa khawatir, karena mbaknya kan perempuan. Posisi mas Daninya juga bujang. Keberatannya mungkin pada penilaian orang lain yang tahu. Ehm..., maaf, hidup di daerah sini mungkin berbeda dengan disana,mbak..." Sefti tiba-tiba membuka suara.

"Bagaimanapun ya pamali!" sahut ibu lantang.

"Iya,iya,bu... Yang sabar!" Sefti menghampiri ibu,mengelus kedua pundaknya. Mencoba menenangkan.

Kulihat air mata gadis impianku itu mulai menetes, dia seka pipi kirinya yang tengah basah sembari mengutik handphone yang sedari tadi digenggamnya. Entah menghubungi siapa dia...

Hatiku terenyuh menatapnya, ikut sakit. Tapi entah kenapa, aku seperti seekor kerbau yang dicocok hidungnya. Sama sekali tak mampu mengambil sikap!

Tiba-tiba terdengar bunyi dari hapeku..
Aku segera mencomotnya dari saku. Chat dari Adel!

'Silent hape kamu'

Sekilas aku menatapnya yang tengah tertunduk di sebuah kursi didepanku. Lalu aku menunduk kembali,menatap ke layar hape, menuruti perintahnya.

'Sudah' balasku.

'Aku mau pesan Grab. Aku mau pulang hari ini. Maaf di sini merepotkan, juga membuat keluargamu malu...'

Membaca itu, membuat mataku kembali menatapnya. Iba dan tak kuasa melihatnya. Entah harus kubalas apa chat ini kemudian...

Sepertinya Sefti mengetahui kami saling bertukar pesan, lantas ia mengalihkan pembicaraan ibu dengan mempertanyakan toko kosong bangunan baru kami didepan rumah.
Ibu pun keluar, diikuti Sefti dari belakang. Sekilas Sefti memandangku sambil tersenyum mengerlingkan mata, aku ikut melontarkan senyum padanya.

Makasih, batinku.

Sepeninggal mereka berdua, perlahan aku dekati Adel. "Del, please! Jangan terlalu diambil hati....," belum sempat aku melanjutkan bicaraku, Adel sudah menyahut, "tenang saja! Aku tak marah. Memang ini semua salahku."

Aku terdiam, memandang ia yang sedikit memaksakan senyumnya padaku.

"Ini pertama kali aku ke rumahmu. Seharusnya aku lebih menjaga sikapku agar kesan pertama si tuan rumah tak seburuk ini..." kali ini ia mendongakkan wajahnya padaku, lagi-lagi tersenyum.

"Oke, kalau kamu tak marah. Kamu bakal balik lagi main kesini, kan?"

Adel menggeleng pelan,masih dengan senyum manisnya. Namun kemudian air matanya menetes lagi, membuatku semakin merasa aneh dengan keadaannya.

"Kenapa? Itu tandanya kamu marah sama omongan ibu barusan?"

"Enggak, bener. Aku nggak marah, kok..." ia kembali menyeka air matanya yang tengah membuat kedua pelupuknya membengkak sembab.

"Makanya aku tanya sama kamu, kamu mau tidak menikahiku? Kalau mau, aku bakal dateng ke rumah ini lagi. Tapi kalau tidak, aku tak mungkin juga balik kemari..."

"Maksudmu apa, sih? Yang jelas lah! Kamu dari tadi bikin orang penasaran saja...."

Perlahan tapi pasti, setelah itu dia berucap padaku, "aku sedang dijodohkan, Dan..."

Kata-kata terakhir itu, yang sampai saat ini membuatku masih bingung menghadapi kenyataan. Aku merasa tak sanggup memberi jawaban.

Sepulangnya dari rumahku, aku tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Dia tak mengaktifkan hapenya. Bahkan sampai detik ini!

Aku memang menyukainya. Sejak dulu, dan sampai sekarangpun masih. Tapi aku tak mungkin menikahinya dalam waktu dekat ini. Aku sadar posisi keluargaku sedang berantakan. Aku juga sadar dia anak orang berada. Aku yang belum setahun bekerja masih terasa tak ada apa-apanya dibandingkan keluarganya yang memang berdarah biru itu.
Tentu saja dia pasti dijodohkan dengan orang lain yang punya jabatan. Mana mungkin keluarganya mau menerimaku yang hanya seorang karyawan pabrik.

Mungkin itulah alasan Adel minggat dari rumah. Aku tahu betul karakternya. Dia sebenarnya penurut, tapi tentang perasaan, aku kira dia tak bisa diatur.
Seperti di zaman kuliah dulu. Dia banyak yang mendekati, banyak yang memujanya, dia selalu berbaik hati menanggapi mereka dengan menganggapnya sekedar teman. Tapi kalau dia dipaksa dan dikejar terus-menerus, dia bisa seperti kupu-kupu, yang jika didekati langsung saja mengepakkan sayapnya pergi, tentunya menjauh dari semua yang membuatnya tak suka.

Dia tak bisa segampang itu...

Kuketuk-ketuk pelan meja kerja di hadapan, memainkan kelima jemariku dengan mata sayu menatap layar HP. Dia sama sekali tak mengaktifkan datanya, apalagi nomornya untuk ditelpon.

Kemana dia? Benar sudah pulangkah dia?

"Briefing!"

Suara rekan kerjaku seketika membuyarkan lamunanku. Aku terhenyak, segera membuntutinya berjalan keluar dari ruangan kami. Beberapa karyawan/karyawati ikut menghambur pergi. Semua berkumpul disebuah ruangan luas tak berpintu,yang tadinya menjadi penyekat finance accounting staff dengan IT dibagian paling belakang.
Kami semua berdiri membentuk formasi cekung. Tak lama setelah itu, pak Dika datang bersama tiga orang lelaki yang memakai pakaian formal nan rapi. Dari wajah ketiganya terlihat jika umurnya sekitar kepala lima, nampak dari raut muka yang menua dan terdapat garis keriput di beberapa bagian wajah. Eh tapi rambutnya tak beruban. Heeemmm....

Disamping ketiga pria yang sepertinya orang tionghoa itu, ada pula seorang gadis yang menemani mereka. Gadis itu seperti seumuran mbak Diah. Dia memakai coat formal warna bata,sambil menenteng sebuah map transparan besar ditangan kirinya.

"Itu mister Andy Tan, dia yang punya pabrik,mas...," seru bu Janita, yang memang sedari tadi berdiri disampingku.

"Yang gendut itu pak Jimmy. Nah, yang kurus dibelakangnya itu pak Toni, dia yang diberi kuasa disini. Dia juga yang biasanya menerjemahkan omongan dari mister Andy. Trus, yang perempuan itu, cece Selly. Semua memanggilnya cece. Dia sekretaris pak Toni...." lanjut bu Janita lagi.

Aku manggut-manggut mendengarnya. Sambil menunggu briefing dimulai, kupandangi sekelilingku memutar. Rupa-rupanya, orang finance pada berumur semua. Yang muda bisa dihitung jari...

Diantara kerumunan mereka,kulihat ada Sefti diantaranya. Si pendek dan baby face itu berdiri di barisan paling depan sebelah pojok. Begitu kontras dia bersejajar dengan yang lainnya, sepintas hati kecilku ingin tertawa. Lucu dipandang, tapi dia memang imut diantara yang lain...
Cantik dan baik bagiku.

Akhirnya, pengarahan yang dipimpin oleh satu orang itu berakhir dalam 15 menit saja. NAmanya briefing, tentu lebih cepat daripada rapat yang biasanya berlangsung 2 sampai 3 jam. Barisan lalu bubar. Setelah bersalaman dengan mister Andy dan yang lainnya, semua lalu kembali pada ruangan masing-masing.
Begitu pula dengan mister Andy sendiri,juga pak Jimmy. Tapi tidak dengan pak Toni. Dia dan sekretarisnya sedang berbincang, ditemani pak Dika disisinya.

"Hei, kamu baru,ya?" tepat giliranku bersalaman, pak Toni mulai menanyaiku.

Aku mengangguk kecil sambil tersenyum.

"Dani Darmawan..." pak Toni mengeja namaku pada ID-card yang terkalung dileherku.

"Ini anak pak Sujiwo,pak..." suara pak Dika membalas, menegaskan pada lelaki berperawakan kurus yang berkuasa di pabrik itu.

"Sujiwo? Yang mana?"

"Mantan supervisor PM 09. Sudah almarhum,pak. Yang kapan waktu bapak mengajak saya melayat kerumahnya naik mobil pak Dandi."

Pak Toni memangku kedua tangannya,dengan mata menerawang. "Oh.... Iya. Baru ingat saya... Yang kumisnya kandhel itu,kan?" ucapnya kemudian sambil memegang bagian kumisnya. Kami jadi terawa bersamaan.

"Lah,kok wajahmu beda,lho? Gak persis blass ngunu... Bener anaknya?" tanyanya lagi sembari menatapku tersenyum.

"Benar,pak. Asli, anak kandung..." jawabku tersenyum sambil mengangguk tertunduk.

"Bercanda...." pak Toni menepuk sedikit lenganku.

"Bagian apa dia?" kali ini pertanyaan pak Toni ditujukan pada pak Dika.

"Admin gudang,pak..."

"Woow, admin gudang,ya? Kerjamu juga di lapangan,ya? Lari kesana-kemari.... Gimana? Sudah paham job desk admin gudang?"

"Insha Allah, sudah,pak." jawabku pasti.

"Kamu salah input sedikit saja, larimu ke accounting,ya! Butuh ketelatenan. Kalau kamu gak teliti, kasihan accountingnya nanti ngerubah pembukuan, ngeprint berkali-kali, ngganti arsip..."

"Insha Allah, saya akan teliti,pak...."

"Iya, harus itu. Kalau ada kesalahan, musuhmu disini accounting sama kepala gudang...." pak Toni menghentikan bicaranya sejenak, melirik arlojinya.

"Ya sudah, kembali kerja! Jam berapa ini, kamu belum ke lapangan...." perintah pak Toni kemudian.

"Balik sana,Dani...." suara lirih pak Dika ikut menimpali.

Aku membalasnya dengan sedikit anggukan,kemudian berpamitan pergi.

"Hei,mas.... Kapan-kapan saya ingin bicara sama kamu!"  teriak pak Toni, yang membuatku spontan menghentikan langkahku. Kembali menoleh dan menganggukkan kepala.

Pak Dika lalu mengibaskan tangannya, mengisyaratkanku untuk cepat berlalu.
Tanpa banyak berpikir, aku setengah berlari meninggalkan ruangan besar ini.

Hmmmmm.....
Musuhku accounting dan kepala gudang? Ah, sepertinya semua baik-baik saja... Hanya satu yang kurang baik. Rekan kerjaku satu bagian!
Tapi entahlah, dia berhenti nyinyir sepertinya. Tak lagi kudengar cerita dari orang lain yang membicarakan hasutannya tentangku. Tak lagi kulihat dia bertindak yang mencerobohkanku. Mungkinkah Sefti yang menjadikannya seperti sekarang?

Ah, mungkin saja dia lelah terus-terusan seperti itu....
Bagaimana tidak, sembilan bulan lamanya bersitegang, mungkin saatnya dia berpikiran lebih dewasa di usianya yang memang telah matang itu.

Selesai berkeliling gudang, akhirnya aku kembali ke ruang admin.
Terlihat Rian tengah sibuk bekerja di tempatnya.

"Sekarang tak ada pembagian shift ya,mas?" kucoba menanyainya, ingin tahu responnya terhadapku.

Rian membalik kertas dihadapannya, memegang mouse,lalu menjawab singkat, "nggak."

Yess! Entah kenapa aku senang sekali melihatnya yang kini mulai mau menanggapiku.

"Ehm...., jadi balik di formasi awal ya,mas? Dulu kan, nginput semua gudang berdasarkan shiftnya. Sekarang gudangnya dibagi kembali?" tanyaku lagi.

Rian tak menjawab, hanya menggelengkan-gelengkan kepalanya,sambil terus terpaku pada layar monitor.

Ah, terlihat bodoh sekali aku. Padahal aku paham bagaimana kerjaku, tapi kenapa harus menanyakan kepadanya? Dia juga sepertinya tahu kalau aku sedang berbasa-basi. Aaah, seharusnya aku tadi membicarakan hal yang lain.

Komputerku siap. Aku mulai menggerakkan mouse.

Bersamaan dengan itu, kulihat hape didepanku tengah menyala. Chat masuk!

'Aku sudah pulang. Maaf ya membuatmu chat berulang kali'

Tak fokus aku pada kerjaan, cepat-cepat mulai mengetik balasan...

'Yakin sudah pulang? Kenapa lama tak diaktifkan nomor kamu? Nanti aku hubungi. Jangan mati lagi ya hapenya!'

Selesai terkirim.
Eh, tapi centang satu! Heeemmmm, gemas jadinya....

Aku menghela nafas panjang. Kurengkuh renggang mouse didepanku. Kurang semangat rasanya...

Sebenarnya kenapa? Sesakit itukah dirinya? Atau sengaja dia menghindar?

Kuambil selembar form dari mejaku, mulai membuka program dengan perasaan sungguh malasnya...

****

"Diah, kamu tahu teman Dani yang kecil kemarin itu nggak?"

"Siapa,bu? Yang sama Rian kesini itu kah?"

"Ya... Cantik ya anaknya? Sopan lagi... Pikirannya dewasa, murah senyum lagi...." nada ibu kali ini sengaja dinaikkan. Mungkin agar aku menyimak pembicaraanya.

Ah, sudahlah... Tanpa bersuara tinggipun, aku sudah dengar,kok! Wong posisi ibu duduk denganku hanya selisih lima jangkah saja. Ibu diruang tengah, dan aku leha-leha di sofa dibalik dindingnya.

"Andai menantu ibu seperti si Septi. Ah, bahagianya ibu...." ucap ibu lagi dengan volume tingginya.

Aku tak menggubris bicara ibu yang memang disengaja itu, menyahut sekalipun aku tak ingin.

Lalu kusetel musik dari hapeku dengan suara poll kerasnya. Biar nyadar kalau aku memang tak peduli.

"Hei, Dani! Pakai headsheet kenapa? Bobi baru bisa tidur itu. Jangan bikin resek,ya!" mbak Diah tiba-tiba berceloteh, membuatku segera mematikan musikku.

Kemudian ibu datang menghampiriku, sembari ikut cerewet. "Kamu itu dari kemarin bikin orang hiiiiiiihhhhh.......," kedua tangan ibu mulai mencubit lenganku kecil.

"Eh,eh....." aku langsung beranjak dari sofa, berganti duduk dengan kedua kaki terangkat menekuk.

"Ibu ini apa-apaan,sih?" gerutuku.

Ibu terlihat menertawakanku lucu. Entah mengapa kali ini aku mulai sebal dengan sikap ibu. Kuambil sebatang rokok, menyalakan korek,lalu mulai menikmatinya. Kurilex-kan posisiku duduk,dengan mata mengalih ke arah dapur.

"Lain kali jangan begitu sama teman Dani,bu! Adel itu baiiiikkk sekali. Dia sering nolong Dani pas kuliah dulu...." aku merengut, protes ke ibu.

Ibu mengernyitkan dahi. Seperti heran. Lantas mengambil duduk disebelahku.

"Kamu nyalahin ibu? Kenapa gak salahin itu temenmu? Sebaik-baiknya perempuan, kalau berani menginap dirumah laki-laki, namanya apa itu?"

"Iyaaaa, tapi lihat sikon dong,bu! Kemarin itu Dani tak menggubrisnya sampai malam. Sibuk karena sepeda ilang! Dia juga gak berani berpamitan pulang, tahu kalau temannya lagi pusing. Toh kan, dia tidur sendiri. Gak satu kamar denganku!"

"Nah, itu juga salah. Meskipun dia tak sekamar, apa kamu kemarin laporan sama pak RT kalau ada teman menginap? Nggak,kan? Gimana kalau ada warga yang tahu, lalu digunjing? Disini ada ibumu, ada mbakmu, kok kayaknya kami gak bisa menasehatimu...."

"Iya, tapi ibu juga salah. Ngomong sama dia juga didepan Sefti. Malu lah dia.... Apalagi menanyai Sefti,pernah gak Sefti nginap dirumah laki-laki? Terkesan membandingkan sekali. Dia juga punya perasaan,bu...."

"Sama. Ibu disini juga punya perasaan. Kenapa dia tak bisa menjaga perasaan ibu dimata orang lain? Untung rumah kita kanan-kiri tembokan tinggi sampai seberang jalan. Itu saja masih ketahuan si Reno yang lewat pintu samping. Gimana perasaan ibu,coba?"

"Ah, ibu yang dipikirkan omongan oraaaang terus. Persetan apa kata orang,bu! Orang itu yang baik saja diomong, apalagi yang jelek. Lagipula omongan ibu kemarin juga terlalu gak enak sama Adel..."

"Gak enak gimana? Ibu kan nggak marah-marah. Ibu hanya menasehati!" suara ibu mulai meninggi. Sepertinya amarah ibu mulai memuncak.

Aku memilih terdiam, tak membalas lagi. Aku tahu karakter ibu. Ibu sangat sensitif. Semenjak ibu sakit, omongan menyenggol sedikit saja sudah habis kesabarannya.
Aku harus menyadari itu sebelumnya. Ibuku memang sedang mengkonsumsi obat-obatan dari dokter spesialis.

Ah, andai saja ibu tahu betapa baiknya Adel. Hanya karena satu kesalahan saja bisa seperti ini penilaiannya.

Ibu berdiri, dengan nafas tersengal dan mata berkaca-kaca, ia lalu berucap, "kamu bicara begitu, berarti kamu lebih sayang temanmu daripada ibumu. Sudah jelas itu! Ibu jadi tambah gak suka melihat dia. Jangan pernah dia kesini lagi!"

Deg! Entah kenapa, hatiku jadi sakit. Seolah ikut hancur mendengar penuturannya.

Mbak Diah langsung menghampiri, memegang pundak ibu, "Bu, sudah.... Ibu jangan terlalu diambil hati. Dani tak berpikiran seperti itu pada ibu. Ibu lebih sabar lagi,ya?"

"Nggak! Ibu sudah malas. Dani lebih senang membela temannya daripada ibunya sendiri. Ya sudah! Biarkan sesukanya.... Anak ibu juga masih ada kamu."

Heeeeemhhh, aku semakin pusing saja melihatnya. Apa salah, kalau aku menilai ibuku sendiri kurang waras? Dulu sering sekali salah paham dikit sama mbak Diah, lantas emosi berkepanjangan. Dan sekarang giliranku....

Mbak Diah menuntun ibu pelan-pelan menjauh dariku. Mata mbak Diah menyipit, menggelengkan kepalanya kecil dengan mulut meruncing kepadaku. Mengisyaratkanku agar berhenti berkata.

Akhirnya ibu pergi, membuatku sedikit lega karenanya. Coba kalau masih disini, dua jam tiga jam berceloteh pasti kuat dia.
Aku kurang suka pikirannya yang selalu mengambil negatifnya dulu...

Kuhembuskan asap rokokku perlahan,sambil menyelaraskan kedua kakiku. Tatapanku tak jelas kemana,seolah tengah melamun.

Kucoba ketipkan mata sambil kusandarkan punggungku pada sofa. Berganti menerawang menatap ke langit-langit rumah.

Tiba-tiba, hapeku berdering. Membuatku terperanjat dari duduk santaiku. Sebuah chat masuk!

'Jangan buat aku berlama-lama menunggu,Dan. Aku tak butuh basa-basimu. Kamu mau serius denganku? Lekas bawa keluargamu kemari. Kita menikah segera'

Membaca itu, sepintas pikiranku mulai kalut.

Kulempar pelan HP pada sofa disebelahku. Kubuang rokokku ke sudut ruangan. Kucengkeramkan tanganku yang menyusup disela-sela rambut.
Bingung!

Ingin kujawab 'ya', tapi dengan posisi ibuku seperti itu, kayaknya bakal mustahil.

Ya Tuhan, aku harus bagaimana?

---
(Tunggu part berikutnya, yeee!)
Enisutri
erman123
Dewi777299
Dewi777299 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.