- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#65
Rekan Kerja (part 7)
Sayup-sayup terdengar gemercik air hujan jatuh ke genting. Udara masih terasa dingin,bercampur hembusan angin dari ventilasi yang menyerbak segar. Entah jam berapa sekarang ini, aku tak tahu ....
Mataku masih terpejam,tapi telingaku mendengar sekeliling. Tentang cerewetnya Kinara yang tengah meneriaki adiknya, tentang gaduhnya perabotan di ruang tengah yang kemungkinan saja ibuku sedang membereskannya, tapi aku masih tak mendengar mbak Diah. sepertinya dia sibuk di toko. Lalu Adel?
Inilah yang membuatku malas membuka mata, meski nyatanya hati dan pikiran sudah terbangun dari beberapa jam yang lalu. Banyak peristiwa kemarin yang menjadikan mood-ku berantakan. Sepeda kenangan dari ayah hilang, membuatku berjam-jam mematung di teras minimarket karena syok. Semua orang di kanan-kiri saat itu masih ramai dengan sendirinya. Sefti berusaha terus menenangkanku, sementara Rian muncul dengan kabar kosong. Aku tak tahu Rian kemarin benar-benar mengejar si pencuri atau tidak, yang pasti aku sangat menyayangkan jika sepeda itu hilang dari dekapan.
Ketika aku balik kerumah, sudah kudapati ibu mengomel tiada henti. Ya, aku memang membiarkan Adel sendiri di sini, sementara aku pergi dalam waktu yang lumayan lama. Empat jam-an. Sefti dan Rian yang membuntutiku pulang, lalu ikut menjelaskan pada ibu. Sepintas ibu marah, tapi kemudian balik diam. Mungkin sadar bahwa musibah akan selalu datang bagaimanapun caranya ....
"Belum bangun dia?"
Suara mbak Diah tiba-tiba berseru, yang memang sedari tadi tak kudengar sama sekali.
"Belum. Tuh, lihat sendiri!"
"Temannya juga belum bangun?"
"Tadi subuh bangun. Setelah mandi, sholat, trus balik ke kamar Dani lagi."
Suara ibu kali ini terdengar dengan nada tak enak.
Aku masih pura-pura tidur di sofa yang berada dibalik tembok penyekat ruang tengah. Sedang bingung memikirkan apa yang aku harus perbuat setelah ini. Kemarin aku balik ke rumah jam empat sore. Aku sadar,Adel kuanggurkan sampai jam delapan malam. Bagaimana tidak, Sefti dan Rian tiba-tiba bertamu pula. Adel pun tak mungkin pulang jam sekian dengan posisi hujan lebat di luar. Entah bagaimana dia beralasan pada orangtuanya, yang pasti saat ini dia masih ada dirumahku, menginap semalam.
"Masalah sepedanya gimana? Apa memang tak usah dilaporkan?"
Suara mbak Diah nyeletuk lagi, bersamaan dengan itu kudengar Bobi tengah menangis.
"Alah, Nduk ... wis gak usah! Sepeda gak ada harganya saja, laporan juga butuh duit. Behnoo wis, ben gawe scoopy-ne kunu. Kalau gak mau, ya biar beli yang baru dia."
"Biar beli lagi saja, Bu. Aku butuh scoopy buat antar-jemput dan bepergian. Salah sendiri, dulu sepedanya dijual, belain beli burung mahal-mahal. Sekarang burungnya udah mati, tinggal meratap."
"Gausah nyalahno, Nduk. Emang sudah hobby. Aku masih gak sukanya, si temannya itu, lho! Anak perempuan kok nginep-nginep di rumah laki-laki. Apa sudah biasa, ya, kayak gitu?"
"Yaaa mau gimana lagi, Bu? Rumahnya jauh, semalam hujan. Lagian dia di sini juga gak dipeduliin sama si Dani, kan? Dari kemarin Dani sibuk mulu."
"Nah, itu ... wong yaa Dani cuek-cuek saja sama dia. Kok kayaknya dia yang nggelibet. Perempuan apa itu!"
"Oalah, Bu ... ibu nggak tahu kenyataannya, udah jangan ngomong!"
"Yo nggak gitu, Nduukk. Ibu yang gak enak sama tetangga. Lihat, ibu tadi belanja ke belakang! Ada yang tahu kayaknya si Adel tidur di sini. Ibu ditegur sama Bu Nung, 'kayaknya Bu Sujiwo mau mantu lagi, nih' ... gitu. Malu, kan?"
"Halah, Bu! Nggak ada yang tahu kalau temen Dani nginep di sini. Rumah kita 'kan tembokan sampai seberang. Mungkin Bu Nung bilang gitu pas tahu si Dani kemarin bonceng temennya itu masuk ke rumah. Kan, emang Dani belum pernah ngajak perempuan ke sini, terang saja laah pikirannya gitu."
Makin panas telinga mendengar obrolan itu, aku langsung beranjak dari sofa. Sengaja mataku kukerjapkan berulang agar nampak seolah bangun tidur.
"Sssttt!" Kudengar desis ibu mengisyaratkan Mbak Diah untuk diam.
Masih tak kuhiraukan karena aku pura-pura tak dengar. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, lalu mencuci muka. Setelah itu melangkah kedepan. Kuketuk perlahan pintu kamar yang memang ditempati Adel tidur semalam.
"Del!" pelan aku memanggilnya dari luar.
Perlahan pintu terbuka separuh, kamar itu masih gelap karena jendela kamar masih tertutup rapat. Bahkan wajah Adel tak nampak olehku.
"Kenapa tak dibuka jendelanya? Nggak pengap kamu?" Aku bertanya, masih dengan posisi di ambang pintu.
Adel tak menjawab.
Kutekan saklar lampu pada tembok di sebelahku. Gadis itu tengah terduduk di atas kasur. Jilbab merah masih dikenakannya. Namun, ia menunduk sembari menutup kedua muka.
Aku semakin penasaran dengan gadis ini. Lantas kuberanikan diri masuk ke kamar. "Permisi, ya, mau buka jendela," ucapku.
Aku melangkah menuju jendela, membukanya. Setelah itu mematikan saklar, seraya menghempas penuh pintu kamarku ke tembok, agar terlihat terang dan tak menimbulkan kecurigaan seisi rumah.
"Maaf, ya, kamu pasti marah gara-gara aku. Kalau kamu tak berani pulang, aku antar. Biar kujelaskan dengan abah-umimu."
Gadis di depanku itu melepaskan kedua tangan yang sedari tadi menutupi raut mukanya. Kulihat hidungnya merah, kelopak matanya bengkak. Tak lama butiran kristal itu jatuh membasahi pipinya.
"Del? Semarah itu kamu ...." belum sempat kulanjutkan omongan, Adel tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Masih dengan wajah menunduk, dia lalu berseru, "Apa kamu suka denganku,Dan?"
Deg!
Pertanyaan ini ... kenapa begitu tiba-tiba?
Sungguh kaget aku mendengar perkataan aneh dari gadis ini. Ada apa? Dia dulu orang yang begitu ceria. Baru kali ini dia seperti ini.
Eh, bukannya kemarin kita tertawa seolah tak ada masalah?
Adel perlahan menatapku, mata kami saling beradu. Wajahnya terlihat begitu sedih, tapi aku tak tahu kenapa seperti itu.
"Kamu bicara yang jelas, Del ... sebenarnya kamu ini kenapa? Ada apa tiba-tiba bicara seperti itu, habis nangis lagi."
Bukannya bercerita, Adel malah sesenggukan menangis. Aku semakin heran, pikiranku mulai bermacam-macam.
Dari ambang pintu, kulihat si kecil Bobi tersenyum padaku. Kakinya yang kecil mungil mulai melangkah mendekati.
Kinara yang melihat Bobi memasuki kamar, mulai ikut-ikutan masuk. Adel lalu menyingkurkan badannya, menyembunyikan raut muka sedihnya pada keponakan.
"Kinar, ayo diajak adeknya main ke luar," ucapku, sembari merogoh saku celana.
"Ini, beliin adek jajan, gih!" ucapku lagi sambil memberikan selembar uang sepuluh ribu ke Kinara.
Kinara pun mengangguk, menuntun adiknya pergi.
Kembali kualihkan pandangan pada Adel. Baru mau mengajaknya bicara, kudengar suara ibu berteriak dari belakang, "Dan ... Dani ... HP-mu, nih! Ini Pak Dika telpon."
Mendengar itu, lalu kupegang pundak Adel pelan sambil berkata, "Sebentar,ya!"
Tanpa menunggu balasnya, aku segera pergi menemui ibu, masih dengan berkelebat perasaan heran campur was-was.
"Hallo, Pak?" seruku setelah meraih ponselku dari tangan ibu.
"Dan, besok briefing di kantor ada Pak Toni. Usahakan kamu disiplin, kalau bisa lebih pagi datangnya. Pak Toni jelas baru bertemu denganmu, bisa jadi nanti kau dipanggilnya. Jangan lupa,kau mesti paham betul job desk-mu."
"Siap, Pak!"
"Satu hal lagi, jangan pergi ke ruangan Sefti dulu sehari besok. Kamu langsung pulang. Jangan ada yang tahu kalau kamu sedang ditraining Sefti."
"Nggih, Pak."
"Oke, Dan ... met hari libur,ya!"
Seusai bicara begitu, Pak Dika langsung menutup telepon. Terburu aku beringsut, meraih charger Mbak Diah di atas kulkas, kemudian mencolokkan pada ponsel yang tengah sekarat.
"Ajak sarapan temanmu,Dan! Suruh keluar, jangan sukanya di kamar terus," ucap ibu tiba-tiba. Sedikit ketus.
Kubalas omongan ibu dengan anggukan. Tentunya campur perasaan tak enak.
"Kenapa tadi Pak Dika?" Ibu bertanya sembari menata piring di meja makan.
"Nggak papa, Bu. Urusan kerjaan."
"Ya, tahu. Kenapa minggu-minggu gini telpon. Ada yang penting?"
"Ngomongin rencana di kantor besok, Bu. Ada briefing pagi."
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, aku segera pergi meninggalkan ibu di ruang tengah, kembali menuju kamar.
Di sana kulihat Adel mulai beranjak, dia tata sprei kasurku yang memang tak pernah rapi.
"Aku sedang tak enak pikir,Dan."
"Heeem, ayo makan dulu, biar jernih pikirannya. Ibu sudah menyuruh kita makan."
Adel menggeleng.
"Sebentar ... ada apa, sih? Aku masih penasaran dengan ucapanmu pagi tadi. Maksudmu apa? Kamu menangis juga kenapa?"
Adel berhenti menata bantalku, mulutnya bergetar,matanya berkaca-kaca. Ia terduduk kembali, lagi-lagi berlinang air mata.
Aku berubah mengernyitkan dahi. Ada apa, sih?
"Dan," panggilnya dengan nada bergetar.
"Aku sebenarnya minggat dari rumah sudah sedari Jumat."
Suara parau gadis itu sontak mengagetkanku yang tengah terpaku sejak tadi. Minggat? Dari hari Jumat? Bukannya dia baru ke sini sehari semalam?
"Jangan berfikiran aneh tentangku, Dan! Pasti hatimu bertanya-tanya, kemana aku sebelum kemari? Yang pasti, aku baru menginap di rumah seseorang, ya, pertama kamu ini."
"Ehm, iya ... aku percaya kamu, kok. Tapi, kenapa kamu minggat? Kemarin-kemarin kita chatt, kamu tak cerita apa-apa."
"Ingatkah kamu, saat aku memintamu ngobrol denganku sampai subuh? Itu aku sedang berada di hotel sendirian. Aku takut, aku gak bisa tidur. Sengaja kubuat telfon denganmu berlama-lama, biar telfon sibuk saat dihubungi orang. Saat itu banyak yang menelfonku, Dan. Orangtua, kerabat, serta teman-temanku."
"Iya, tapi jelasin! Kamu ini minggat masalahnya apa?"
Adel tak menjawab pertanyaanku, disekanya kedua air mata yang membasahi pipi. Aku sendiri mulai greget melihat Adel yang tak kunjung bicara.
"Kalau kamu suka denganku, kita menikah saja, Dan. Segera!"
Heeeehh??
Spontan kaget bukan main aku mendengar penuturan Adel. Kubelalakkan mata tak percaya.
"Apa? Menikah?" tanyaku,masih dengan suasana pikiran kalut, penuh tanda tanya.
"Dani!" Teguran Mbak Diah langsung mengalihkan pandangku.
Mbak Diah berdiri satu meter dari pintu kamar, menatap sambil menggendong Bobi.
"Temanmu yang kemarin main kesini, tuh!" tegasnya sambil melirikkan mata ke arah pintu, kemudian berlalu.
Teman?
Kutolehkan kembali wajahku ke Adel. "Sebentar,ya. Kalau kamu lapar, langsung ke meja makan saja ambil sarapan. Maaf, aku tinggal ya?"
Adel mengangguk pelan. Aku pun segera pergi menuju ruang tamu.
Siapa yang datang? Sefti dan Rian lagi kah? Kenapa mereka seperti peduli sekali denganku? Dan untuk apa kembali ke sini? Kalau untuk membahas sepeda yang hilang, aahh ... itu percuma saja! Meski hati kecewa, tapi aku tak mau lagi memikirkannya.
Mungkin memang skenario Tuhan agar aku tak terlalu teringat bayang-bayang almarhum ayah kembali.
Ketika aku sampai di ruang tamu, begitu terkejutnya aku ketika melihat Sefti sudah duduk manis di sana. Sendiri saja!
"Lho, Mbak? Mana Rian?" tanyaku dengan kagetnya.
"Sssttt! Aku diem-diem kesininya. Sudah jangan dibahas!" balasnya sembari menepuk-nepuk kursi di sebelah ia duduk, seolah menyuruhku untuk ke situ.
Namun, aku malah mengambil duduk di kursi lain. Tepat kursi di depan Sefti.
Haduuuuhh, makin pusing saja aku melihat wanita yang satu ini. Yang didalam masih berkelakuan mencurigakan, ditambah lagi yang ini ke sini. Mau apa juga?
"Laptop kamu sudah kuisi softwarenya, kan? Coba kesiniin, aku mau lihat!"
"Lho, Mbak? Emangnya kenapa, ya?"
"Daniiii, saya gak mungkin bisa training kamu di kantor. Belajar autocad itu kudu telaten, lho! Kemarin saya kerja banyak ngobrolnya sama kamu. Tak bisa sebenarnya seperti itu."
"Jadi ...."
"Ya, nanti kamu bakal tahu sendiri kalau sudah berada di posisi saya. Sekarang saya mau kasih ulasan sedikit buat kamu. Paling gak, kamu udah hapal dasar-dasarnya. Jadi, mana laptopnya?" Kedua alis Sefti naik, seolah memerintah.
Aku masih terpaku,tanpa suara.
"Kamu lagi sibuk, ya? Waaah, saya sempatin lho kesini tadi, nggak tahunya responnya begini."
"Eh, enggak, kok, Mbak. Makasih sebelumnya untuk perhatian dan waktunya. Jangan berpikiran negatif!" aku mulai gelagapan berkata.
"Ehm, tadi aku mikir juga, sepertinya ada yang janggal saat aku bertemu samean. Eeh, lupa kalau kemarin punya hutang." Kusimpulkan sedikit senyumku pada gadis itu.
Sebenarnya aku juga lagi bingung. Masa aku harus cuekin Adel lagi? Sementara Adel sepertinya sedang mengalami konflik batin yang serius.
"Aaah, sudahlah. Jangan dipikir! Anggap aja aku traktir." Sefti menghentikan bicaranya sejenak, meraih ponselnya dari dalam tas.
"Pak Dani pagi tadi telpon aku. Semua orang di kantor tak ada yang boleh tahu kalau aku sedang training kamu. Nah, di samping itu, kerjaanku berat, Dan. Banyak menyita waktu. Aku tak bisa mentraining saat jam kerja sepenuhnya. Ribet nanti, nggak kelar-kelar."
"Ya, Mbak. Trus?"
"Kok terus, sih? Intinya aku sekarang mau training kamu. Kok lelet sih, Dan? Kamu kudu semangat, Dani! Yang semangatt!!"
Aku mengangguk pelan. Agak gak enak karenanya.
Akhirnya kulangkahkan kaki gontai, berjalan menuju kamar. Di sana kudapati Adel tengah tertunduk lesu, mukanya masih masam. Sama sekali tak ada keceriaan seperti biasanya.
Aku sengaja mendiamkan, meraih laptop di meja,kemudian berlalu. Namun, aku tak melangkah ke depan lebih dulu, berbalik ke belakang, menemui ibu yang sedang duduk sendiri di meja dapur. Wajahnya menyingkur menghadap ke bilik jendela.
"Bu, aku mau ditraining rekan kerjaku. Tolong dong, temani Adel dulu. Ajak dia sarapan juga."
Ibu diam, dengan pandangan masih terpaku menatap halaman kosong di belakang.
"Bu, ibu dengerin aku, nggak? Mungkin aku lama, Bu."
"Kenapa tak kau antar saja ke terminal? Kau suruh pulang sana!" Suara sinis ibu mulai menyeruak.
"Sebenarnya apa tujuan temanmu itu ke sini? Bikin ibu malu saja. Kau tahu sepupumu Reno, dia baru saja ke mari nyari-nyari Bobi. Tak sengaja dia lihat itu temanmu di dalam kamarmu. Kau pikir ibumu tak malu? Dia di kamarmu, dan sengaja pintu kamarnya dibuka lebar. Makanya pintu sebelah ibu tutup, biar tak seenaknya saja Reno atau keluarga yang lainnya masuk."
"Ya ampun, Ibuuuu ... bisa dibahas nanti itu. Tolong pandang dia sebagai teman baik anakmu, Bu. Aku kuliah dulu sering ditolongnya!"
"Lantas, maunya bagaimana? Dia sendiri tak mau keluar kamar sejak tadi. Apa iya, ibu harus ke kamarmu dan membujuk-bujuknya agar mau keluar kamar?"
Aku cemas, mulai menggaruk kepala saking paniknya.
"Kinara bilang, dia tadi menangis. Memang kenapa? Ada masalah apa denganmu?" Ibu semakin mencerca.
Aduuuuuhh, semakin bingung luar biasa aku dibuatnya. Kenapa ibuku ini jadi seperti ini? Ya ampuuuunnnn ....
Eh, tapi aku ingat kalau ada Mbak Diah!
Akhirnya, kuputar badan, hendak berlalu dari hadapan ibu.
Baru saja tiga langkah berjalan, ibu nyeletuk kembali, "Kalau kau tak sampai hati bicara untuk segera menyuruhnya pulang, biar ibu saja yang menemuinya dan bilang padanya."
Deg!
Entah kenapa, mendengar itu rasanya bagaikan cambuk yang melesat kasar menghuntam tubuhku.
Ya Tuhaaaann ....
Di sini aku semakin bingung. Lagi-lagi mengabaikan Adel, lalu menghadapi ibuku yang seperti itu, belum lagi Sefti yang ingin mentrainingku.
Mana bisa masuk ke otak jika dalam keadaan begini?
Kaki kali ini terasa berat melangkah. Pandanganku seolah kosong tanpa tujuan. Namun, pikiranku sadar, jelas setelah ini bakal ada perang batin bergejolak ....
Mataku masih terpejam,tapi telingaku mendengar sekeliling. Tentang cerewetnya Kinara yang tengah meneriaki adiknya, tentang gaduhnya perabotan di ruang tengah yang kemungkinan saja ibuku sedang membereskannya, tapi aku masih tak mendengar mbak Diah. sepertinya dia sibuk di toko. Lalu Adel?
Inilah yang membuatku malas membuka mata, meski nyatanya hati dan pikiran sudah terbangun dari beberapa jam yang lalu. Banyak peristiwa kemarin yang menjadikan mood-ku berantakan. Sepeda kenangan dari ayah hilang, membuatku berjam-jam mematung di teras minimarket karena syok. Semua orang di kanan-kiri saat itu masih ramai dengan sendirinya. Sefti berusaha terus menenangkanku, sementara Rian muncul dengan kabar kosong. Aku tak tahu Rian kemarin benar-benar mengejar si pencuri atau tidak, yang pasti aku sangat menyayangkan jika sepeda itu hilang dari dekapan.
Ketika aku balik kerumah, sudah kudapati ibu mengomel tiada henti. Ya, aku memang membiarkan Adel sendiri di sini, sementara aku pergi dalam waktu yang lumayan lama. Empat jam-an. Sefti dan Rian yang membuntutiku pulang, lalu ikut menjelaskan pada ibu. Sepintas ibu marah, tapi kemudian balik diam. Mungkin sadar bahwa musibah akan selalu datang bagaimanapun caranya ....
"Belum bangun dia?"
Suara mbak Diah tiba-tiba berseru, yang memang sedari tadi tak kudengar sama sekali.
"Belum. Tuh, lihat sendiri!"
"Temannya juga belum bangun?"
"Tadi subuh bangun. Setelah mandi, sholat, trus balik ke kamar Dani lagi."
Suara ibu kali ini terdengar dengan nada tak enak.
Aku masih pura-pura tidur di sofa yang berada dibalik tembok penyekat ruang tengah. Sedang bingung memikirkan apa yang aku harus perbuat setelah ini. Kemarin aku balik ke rumah jam empat sore. Aku sadar,Adel kuanggurkan sampai jam delapan malam. Bagaimana tidak, Sefti dan Rian tiba-tiba bertamu pula. Adel pun tak mungkin pulang jam sekian dengan posisi hujan lebat di luar. Entah bagaimana dia beralasan pada orangtuanya, yang pasti saat ini dia masih ada dirumahku, menginap semalam.
"Masalah sepedanya gimana? Apa memang tak usah dilaporkan?"
Suara mbak Diah nyeletuk lagi, bersamaan dengan itu kudengar Bobi tengah menangis.
"Alah, Nduk ... wis gak usah! Sepeda gak ada harganya saja, laporan juga butuh duit. Behnoo wis, ben gawe scoopy-ne kunu. Kalau gak mau, ya biar beli yang baru dia."
"Biar beli lagi saja, Bu. Aku butuh scoopy buat antar-jemput dan bepergian. Salah sendiri, dulu sepedanya dijual, belain beli burung mahal-mahal. Sekarang burungnya udah mati, tinggal meratap."
"Gausah nyalahno, Nduk. Emang sudah hobby. Aku masih gak sukanya, si temannya itu, lho! Anak perempuan kok nginep-nginep di rumah laki-laki. Apa sudah biasa, ya, kayak gitu?"
"Yaaa mau gimana lagi, Bu? Rumahnya jauh, semalam hujan. Lagian dia di sini juga gak dipeduliin sama si Dani, kan? Dari kemarin Dani sibuk mulu."
"Nah, itu ... wong yaa Dani cuek-cuek saja sama dia. Kok kayaknya dia yang nggelibet. Perempuan apa itu!"
"Oalah, Bu ... ibu nggak tahu kenyataannya, udah jangan ngomong!"
"Yo nggak gitu, Nduukk. Ibu yang gak enak sama tetangga. Lihat, ibu tadi belanja ke belakang! Ada yang tahu kayaknya si Adel tidur di sini. Ibu ditegur sama Bu Nung, 'kayaknya Bu Sujiwo mau mantu lagi, nih' ... gitu. Malu, kan?"
"Halah, Bu! Nggak ada yang tahu kalau temen Dani nginep di sini. Rumah kita 'kan tembokan sampai seberang. Mungkin Bu Nung bilang gitu pas tahu si Dani kemarin bonceng temennya itu masuk ke rumah. Kan, emang Dani belum pernah ngajak perempuan ke sini, terang saja laah pikirannya gitu."
Makin panas telinga mendengar obrolan itu, aku langsung beranjak dari sofa. Sengaja mataku kukerjapkan berulang agar nampak seolah bangun tidur.
"Sssttt!" Kudengar desis ibu mengisyaratkan Mbak Diah untuk diam.
Masih tak kuhiraukan karena aku pura-pura tak dengar. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, lalu mencuci muka. Setelah itu melangkah kedepan. Kuketuk perlahan pintu kamar yang memang ditempati Adel tidur semalam.
"Del!" pelan aku memanggilnya dari luar.
Perlahan pintu terbuka separuh, kamar itu masih gelap karena jendela kamar masih tertutup rapat. Bahkan wajah Adel tak nampak olehku.
"Kenapa tak dibuka jendelanya? Nggak pengap kamu?" Aku bertanya, masih dengan posisi di ambang pintu.
Adel tak menjawab.
Kutekan saklar lampu pada tembok di sebelahku. Gadis itu tengah terduduk di atas kasur. Jilbab merah masih dikenakannya. Namun, ia menunduk sembari menutup kedua muka.
Aku semakin penasaran dengan gadis ini. Lantas kuberanikan diri masuk ke kamar. "Permisi, ya, mau buka jendela," ucapku.
Aku melangkah menuju jendela, membukanya. Setelah itu mematikan saklar, seraya menghempas penuh pintu kamarku ke tembok, agar terlihat terang dan tak menimbulkan kecurigaan seisi rumah.
"Maaf, ya, kamu pasti marah gara-gara aku. Kalau kamu tak berani pulang, aku antar. Biar kujelaskan dengan abah-umimu."
Gadis di depanku itu melepaskan kedua tangan yang sedari tadi menutupi raut mukanya. Kulihat hidungnya merah, kelopak matanya bengkak. Tak lama butiran kristal itu jatuh membasahi pipinya.
"Del? Semarah itu kamu ...." belum sempat kulanjutkan omongan, Adel tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Masih dengan wajah menunduk, dia lalu berseru, "Apa kamu suka denganku,Dan?"
Deg!
Pertanyaan ini ... kenapa begitu tiba-tiba?
Sungguh kaget aku mendengar perkataan aneh dari gadis ini. Ada apa? Dia dulu orang yang begitu ceria. Baru kali ini dia seperti ini.
Eh, bukannya kemarin kita tertawa seolah tak ada masalah?
Adel perlahan menatapku, mata kami saling beradu. Wajahnya terlihat begitu sedih, tapi aku tak tahu kenapa seperti itu.
"Kamu bicara yang jelas, Del ... sebenarnya kamu ini kenapa? Ada apa tiba-tiba bicara seperti itu, habis nangis lagi."
Bukannya bercerita, Adel malah sesenggukan menangis. Aku semakin heran, pikiranku mulai bermacam-macam.
Dari ambang pintu, kulihat si kecil Bobi tersenyum padaku. Kakinya yang kecil mungil mulai melangkah mendekati.
Kinara yang melihat Bobi memasuki kamar, mulai ikut-ikutan masuk. Adel lalu menyingkurkan badannya, menyembunyikan raut muka sedihnya pada keponakan.
"Kinar, ayo diajak adeknya main ke luar," ucapku, sembari merogoh saku celana.
"Ini, beliin adek jajan, gih!" ucapku lagi sambil memberikan selembar uang sepuluh ribu ke Kinara.
Kinara pun mengangguk, menuntun adiknya pergi.
Kembali kualihkan pandangan pada Adel. Baru mau mengajaknya bicara, kudengar suara ibu berteriak dari belakang, "Dan ... Dani ... HP-mu, nih! Ini Pak Dika telpon."
Mendengar itu, lalu kupegang pundak Adel pelan sambil berkata, "Sebentar,ya!"
Tanpa menunggu balasnya, aku segera pergi menemui ibu, masih dengan berkelebat perasaan heran campur was-was.
"Hallo, Pak?" seruku setelah meraih ponselku dari tangan ibu.
"Dan, besok briefing di kantor ada Pak Toni. Usahakan kamu disiplin, kalau bisa lebih pagi datangnya. Pak Toni jelas baru bertemu denganmu, bisa jadi nanti kau dipanggilnya. Jangan lupa,kau mesti paham betul job desk-mu."
"Siap, Pak!"
"Satu hal lagi, jangan pergi ke ruangan Sefti dulu sehari besok. Kamu langsung pulang. Jangan ada yang tahu kalau kamu sedang ditraining Sefti."
"Nggih, Pak."
"Oke, Dan ... met hari libur,ya!"
Seusai bicara begitu, Pak Dika langsung menutup telepon. Terburu aku beringsut, meraih charger Mbak Diah di atas kulkas, kemudian mencolokkan pada ponsel yang tengah sekarat.
"Ajak sarapan temanmu,Dan! Suruh keluar, jangan sukanya di kamar terus," ucap ibu tiba-tiba. Sedikit ketus.
Kubalas omongan ibu dengan anggukan. Tentunya campur perasaan tak enak.
"Kenapa tadi Pak Dika?" Ibu bertanya sembari menata piring di meja makan.
"Nggak papa, Bu. Urusan kerjaan."
"Ya, tahu. Kenapa minggu-minggu gini telpon. Ada yang penting?"
"Ngomongin rencana di kantor besok, Bu. Ada briefing pagi."
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, aku segera pergi meninggalkan ibu di ruang tengah, kembali menuju kamar.
Di sana kulihat Adel mulai beranjak, dia tata sprei kasurku yang memang tak pernah rapi.
"Aku sedang tak enak pikir,Dan."
"Heeem, ayo makan dulu, biar jernih pikirannya. Ibu sudah menyuruh kita makan."
Adel menggeleng.
"Sebentar ... ada apa, sih? Aku masih penasaran dengan ucapanmu pagi tadi. Maksudmu apa? Kamu menangis juga kenapa?"
Adel berhenti menata bantalku, mulutnya bergetar,matanya berkaca-kaca. Ia terduduk kembali, lagi-lagi berlinang air mata.
Aku berubah mengernyitkan dahi. Ada apa, sih?
"Dan," panggilnya dengan nada bergetar.
"Aku sebenarnya minggat dari rumah sudah sedari Jumat."
Suara parau gadis itu sontak mengagetkanku yang tengah terpaku sejak tadi. Minggat? Dari hari Jumat? Bukannya dia baru ke sini sehari semalam?
"Jangan berfikiran aneh tentangku, Dan! Pasti hatimu bertanya-tanya, kemana aku sebelum kemari? Yang pasti, aku baru menginap di rumah seseorang, ya, pertama kamu ini."
"Ehm, iya ... aku percaya kamu, kok. Tapi, kenapa kamu minggat? Kemarin-kemarin kita chatt, kamu tak cerita apa-apa."
"Ingatkah kamu, saat aku memintamu ngobrol denganku sampai subuh? Itu aku sedang berada di hotel sendirian. Aku takut, aku gak bisa tidur. Sengaja kubuat telfon denganmu berlama-lama, biar telfon sibuk saat dihubungi orang. Saat itu banyak yang menelfonku, Dan. Orangtua, kerabat, serta teman-temanku."
"Iya, tapi jelasin! Kamu ini minggat masalahnya apa?"
Adel tak menjawab pertanyaanku, disekanya kedua air mata yang membasahi pipi. Aku sendiri mulai greget melihat Adel yang tak kunjung bicara.
"Kalau kamu suka denganku, kita menikah saja, Dan. Segera!"
Heeeehh??
Spontan kaget bukan main aku mendengar penuturan Adel. Kubelalakkan mata tak percaya.
"Apa? Menikah?" tanyaku,masih dengan suasana pikiran kalut, penuh tanda tanya.
"Dani!" Teguran Mbak Diah langsung mengalihkan pandangku.
Mbak Diah berdiri satu meter dari pintu kamar, menatap sambil menggendong Bobi.
"Temanmu yang kemarin main kesini, tuh!" tegasnya sambil melirikkan mata ke arah pintu, kemudian berlalu.
Teman?
Kutolehkan kembali wajahku ke Adel. "Sebentar,ya. Kalau kamu lapar, langsung ke meja makan saja ambil sarapan. Maaf, aku tinggal ya?"
Adel mengangguk pelan. Aku pun segera pergi menuju ruang tamu.
Siapa yang datang? Sefti dan Rian lagi kah? Kenapa mereka seperti peduli sekali denganku? Dan untuk apa kembali ke sini? Kalau untuk membahas sepeda yang hilang, aahh ... itu percuma saja! Meski hati kecewa, tapi aku tak mau lagi memikirkannya.
Mungkin memang skenario Tuhan agar aku tak terlalu teringat bayang-bayang almarhum ayah kembali.
Ketika aku sampai di ruang tamu, begitu terkejutnya aku ketika melihat Sefti sudah duduk manis di sana. Sendiri saja!
"Lho, Mbak? Mana Rian?" tanyaku dengan kagetnya.
"Sssttt! Aku diem-diem kesininya. Sudah jangan dibahas!" balasnya sembari menepuk-nepuk kursi di sebelah ia duduk, seolah menyuruhku untuk ke situ.
Namun, aku malah mengambil duduk di kursi lain. Tepat kursi di depan Sefti.
Haduuuuhh, makin pusing saja aku melihat wanita yang satu ini. Yang didalam masih berkelakuan mencurigakan, ditambah lagi yang ini ke sini. Mau apa juga?
"Laptop kamu sudah kuisi softwarenya, kan? Coba kesiniin, aku mau lihat!"
"Lho, Mbak? Emangnya kenapa, ya?"
"Daniiii, saya gak mungkin bisa training kamu di kantor. Belajar autocad itu kudu telaten, lho! Kemarin saya kerja banyak ngobrolnya sama kamu. Tak bisa sebenarnya seperti itu."
"Jadi ...."
"Ya, nanti kamu bakal tahu sendiri kalau sudah berada di posisi saya. Sekarang saya mau kasih ulasan sedikit buat kamu. Paling gak, kamu udah hapal dasar-dasarnya. Jadi, mana laptopnya?" Kedua alis Sefti naik, seolah memerintah.
Aku masih terpaku,tanpa suara.
"Kamu lagi sibuk, ya? Waaah, saya sempatin lho kesini tadi, nggak tahunya responnya begini."
"Eh, enggak, kok, Mbak. Makasih sebelumnya untuk perhatian dan waktunya. Jangan berpikiran negatif!" aku mulai gelagapan berkata.
"Ehm, tadi aku mikir juga, sepertinya ada yang janggal saat aku bertemu samean. Eeh, lupa kalau kemarin punya hutang." Kusimpulkan sedikit senyumku pada gadis itu.
Sebenarnya aku juga lagi bingung. Masa aku harus cuekin Adel lagi? Sementara Adel sepertinya sedang mengalami konflik batin yang serius.
"Aaah, sudahlah. Jangan dipikir! Anggap aja aku traktir." Sefti menghentikan bicaranya sejenak, meraih ponselnya dari dalam tas.
"Pak Dani pagi tadi telpon aku. Semua orang di kantor tak ada yang boleh tahu kalau aku sedang training kamu. Nah, di samping itu, kerjaanku berat, Dan. Banyak menyita waktu. Aku tak bisa mentraining saat jam kerja sepenuhnya. Ribet nanti, nggak kelar-kelar."
"Ya, Mbak. Trus?"
"Kok terus, sih? Intinya aku sekarang mau training kamu. Kok lelet sih, Dan? Kamu kudu semangat, Dani! Yang semangatt!!"
Aku mengangguk pelan. Agak gak enak karenanya.
Akhirnya kulangkahkan kaki gontai, berjalan menuju kamar. Di sana kudapati Adel tengah tertunduk lesu, mukanya masih masam. Sama sekali tak ada keceriaan seperti biasanya.
Aku sengaja mendiamkan, meraih laptop di meja,kemudian berlalu. Namun, aku tak melangkah ke depan lebih dulu, berbalik ke belakang, menemui ibu yang sedang duduk sendiri di meja dapur. Wajahnya menyingkur menghadap ke bilik jendela.
"Bu, aku mau ditraining rekan kerjaku. Tolong dong, temani Adel dulu. Ajak dia sarapan juga."
Ibu diam, dengan pandangan masih terpaku menatap halaman kosong di belakang.
"Bu, ibu dengerin aku, nggak? Mungkin aku lama, Bu."
"Kenapa tak kau antar saja ke terminal? Kau suruh pulang sana!" Suara sinis ibu mulai menyeruak.
"Sebenarnya apa tujuan temanmu itu ke sini? Bikin ibu malu saja. Kau tahu sepupumu Reno, dia baru saja ke mari nyari-nyari Bobi. Tak sengaja dia lihat itu temanmu di dalam kamarmu. Kau pikir ibumu tak malu? Dia di kamarmu, dan sengaja pintu kamarnya dibuka lebar. Makanya pintu sebelah ibu tutup, biar tak seenaknya saja Reno atau keluarga yang lainnya masuk."
"Ya ampun, Ibuuuu ... bisa dibahas nanti itu. Tolong pandang dia sebagai teman baik anakmu, Bu. Aku kuliah dulu sering ditolongnya!"
"Lantas, maunya bagaimana? Dia sendiri tak mau keluar kamar sejak tadi. Apa iya, ibu harus ke kamarmu dan membujuk-bujuknya agar mau keluar kamar?"
Aku cemas, mulai menggaruk kepala saking paniknya.
"Kinara bilang, dia tadi menangis. Memang kenapa? Ada masalah apa denganmu?" Ibu semakin mencerca.
Aduuuuuhh, semakin bingung luar biasa aku dibuatnya. Kenapa ibuku ini jadi seperti ini? Ya ampuuuunnnn ....
Eh, tapi aku ingat kalau ada Mbak Diah!
Akhirnya, kuputar badan, hendak berlalu dari hadapan ibu.
Baru saja tiga langkah berjalan, ibu nyeletuk kembali, "Kalau kau tak sampai hati bicara untuk segera menyuruhnya pulang, biar ibu saja yang menemuinya dan bilang padanya."
Deg!
Entah kenapa, mendengar itu rasanya bagaikan cambuk yang melesat kasar menghuntam tubuhku.
Ya Tuhaaaann ....
Di sini aku semakin bingung. Lagi-lagi mengabaikan Adel, lalu menghadapi ibuku yang seperti itu, belum lagi Sefti yang ingin mentrainingku.
Mana bisa masuk ke otak jika dalam keadaan begini?
Kaki kali ini terasa berat melangkah. Pandanganku seolah kosong tanpa tujuan. Namun, pikiranku sadar, jelas setelah ini bakal ada perang batin bergejolak ....
Diubah oleh shirazy02 20-01-2020 17:06
erman123 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Tutup