Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja
Rekan kerja

Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
erman123Avatar border
OkkyVanessaMAvatar border
manik.01Avatar border
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.4KAnggota
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#46
Rekan Kerja (part 6)
Quote:




"Teman perempuan siapa?"

Suara ibu tiba-tiba menyeruak, mengagetkanku yang tengah asyik menggoda Bobi. Bagaimana tidak, sudah sejam yang lalu aku mengajak ibu bicara, tapi tak direspon. Sampai aku lupa dengan pembicaraanku sebelumnya, baru ibu menimpali.

Tak kujawab omongan ibu, masih terus menggoda si kecil di depanku. Semakin hari semakin lucu sekali keponakanku yang satu ini. Batita satu setengah tahun itu mencibirkan bibirnya, sambil berulangkali menyembur ke arahku. Kucolek-colek bibir bawahnya dengan terus terkekeh.

"Hei, Dani! Teman perempuan siapa?" Ibu semakin mengeraskan volume suaranya.

Dengan sigap kugendong tubuh Bobi, menghampiri ibu di meja makan, seraya menjawab, "Teman kuliahku, Bu."

"Hmmmmm, maksud ibu tadi itu ... dia ke sini mau apa?"

"Ya main lah ... 'kan sudah kubilang tadi kalau teman perempuanku mau main."

Aku mengambil duduk di sofa kecil yang ada di samping meja makan. Sejurus kemudian ibu menghampiri, ikut duduk di sebelahku. Tangannya lalu mencomot Bobi dari dekapan. Seraya bertanya lagi, "Pacarmu, ya?"

Kugelengkan kepalaku pelan.
"Enggak, Bu. Hanya teman," jawabku sembari menyandarkan punggung ke badan sofa.
"Aku mau menjemputnya ke Bungur." lanjutku.

"Lho?" wajah ibu seperti terlihat kaget. Matanya mendelik melihatku.

Sudah kuduga itu ....

"Kamu ini gimana? Rumahmu sama Bungur itu jauh, lho ... Jemput kok ke Bungur, kayak orang mau minggat saja. Sebenarnya dia itu mau main, apa kamu yang paksa dia main?"

Kuhela napas panjang, ribet juga ngomong sama ibu. Selalu ada protes.

"Bu, dia itu pingin main ke sini, tapi dia takut. Dia gak pernah berkendara jauh-jauh soalnya. Gak apa lah biar aku jemput sesekali."

Mulut ibu langsung menganga hendak menimpali, tapi kemudian tak jadi karena kami mendengar suara mbak Diah dari depan berteriak. "Buuuu ... Ibuuu ...."

Aku dan ibu saling menatap ke arah depan, menunggu berita apa yang akan kami dengar.

Dari jauh, mbak Diah tengah berlari terengah-engah menghampiri.

"Ya ampuunnn, capek aku teriak berkali-kali dari toko, gak ada satu orang pun yang jawab," gerutu Mbak Diah.

"Nggak denger, ah! Dani aja gak denger apa-apa, kok. Baru denger ini tadi," balas ibu.
"Ya 'kan, Dan?" Ibu menegaskan bicaranya sambil menoleh padaku, yang lalu kubalas dengan sebuah anggukan.

Tanpa banyak basa-basi, Mbak Diah lalu merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan.

"Ini, Bu ... nggak ada uang receh sama sekali. Sudah aku tuker juga tadi sama Mbak Wanti dan Bu Nung. Dari pagi yang beli lembaran seratus ribuan terus," tukas Mbak Diah seraya menyerahkan sejumlah uang pada ibu.

Ibu menerima uang itu darinya, lantas menoleh kembali padaku. "Gimana ini, Dan? Simpanan recehan ibu di dalam juga tinggal beberapa," ujarnya dengan wajah bingung.

"Emang pecahan seratus ribu nggak ada?"

"Mungkin nggak sampe seratus ribu ...."

Aku pun diam sejenak. Berfikir. Apa harus berangkat ke BANK untuk menukar duit? Sementara Bank terdekat hanya satu itu. Setiap hari penuh, banyak antrian pula. Tak mungkin aku berlama-lama hanya untuk menukar uang.
Kalaupun pergi ke kota, kayaknya juga malas. Sebentar lagi aku harus jemput Adel lebih jauh.

Eh, tiba-tiba aku inget si Yanto!

"Sini, Bu ... uang lima ratus ribu! Biar aku tukar di SPBU."

"Tukar di SPBU lima ratus ribu? mana bisa, ah!" Mbak Diah menyahut.

"Ya nggak satu SPBU, Mbak. Nanti habis tuker di sebelah, aku putar ke dua SPBU Wonosari. Ah, gampanglah," jawabku pasti.

Ibu pun memberikan sejumlah uang yang kumaksud. Tanpa banyak bicara lagi, aku segera berlalu dengan mengendarai motor.

Kulajukan motor ke SPBU dekat rumah. Duh, weekend emang. Pagi begini udah antri betul!

Mataku menatap satu persatu karyawan SPBU, mencari Yanto, temanku yang bekerja di situ. Akhirnya aku menemukannya sedang menjaga pertamax.
Kuhampiri dia, dan langsung mengutarakan kemauanku.

"Berapa?"

"Tiga ratus. Bisa kan, ya?"

"Hadeeehh, mbok gawe totoan tha recehan akeh-akeh? Dua ratus ajalah..."

"Ngawur! Buat kembalian itu. Ya deh, terserah, asal dapet. Ayo cepet, gih!" Aku mulai mengeluarkan dua lembar uang seratus ribu padanya. Sementara Yanto sendiri mulai menghitung pecahan yang dia pegang.

Tiba-tiba, mataku tertuju pada motor baris kedua di depanku. Sebuah motor sport seperti milik Rian, dan setelah kulihat siapa penumpangnya, memang benar itu dia! Rian tengah membonceng seorang wanita yang kemarin baru saja kukenal. Sefti!

Lelaki itu tak menatapku. Sementara wanita di belakangnya menyimpulkan senyum memandang. Kubalas Sefti dengan sedikit mengulas senyum. Rian sendiri sama sekali tak menghadap ke depan. Memang tak tahu kalau ada aku, atau memang dia tahu,tapi sengaja membuang mukanya? Entahlah ....

"Nih, hitung!" Tiba-tiba suara Yanto mengagetkanku.

"Makasih, Yan!" ucapku lirih sembari langsung berlari meninggalkannya, menuju motorku yang terparkir di dekat toilet.

Haduuuhh, masih pagi pemandangannya sudah tak mengenakkan! Kenapa ketemu dia lagi, dia lagi ....

Segera kutancap motor melaju. Namun, kemudian mencoba menge-rem kembali. Mengingat aku belum menghitung uang dari Yanto, dan sadar jika Yanto sering iseng padaku. Siapa tahu dia memberiku pecahan tak wutuh?

Baru membuka dompet, dari kejauhan terdengar suara perempuan berteriak memanggil.

"Heeeeeiii, Mas Daniiiii!!!!!"

Kutolehkan wajahku ke belakang, tapi kemudian ....

Traaaaassshhh!!

Spontan, aku mengerjap kala cipratan itu mengenai diri. Langsung ku-seka wajah dengan kedua tangan. Sekilas menatap tubuh. Tampak kaos putihku berubah warna dengan beberapa percikan hitam karena lumpur. Celana yang kukenakan pun tengah basah. Basah dan kotor bukan main.

Motor sport warna biru dengan dua orang penumpang itu telah sengaja menghamburkan air dari genangan di samping. Sebuah genangan air kotor yang lumayan besar, bekas hujan semalam.

Sepintas kulirik kaca spion. Terlihat wajahku masih rusuh karena sisa percikannya.

Aku menggeram kesal. Kucengkeram tanganku penuh rasa marah. Mood seketika berubah. Kuurungkan niat untuk menukar uang sisanya dan memutuskan kembali ke rumah.

Kustarter keras motor, berkali-kali menarik gas dengan tarikan dalam, sampai semua orang menoleh padaku karena bisingnya. Aku tak peduli, yang kurasakan saat ini adalah sebuah kekesalan. Kesal yang begitu teramat dalam ....

****

"Lho, Nak ... habis jatuh di mana?"

Ibu yang melihatku tengah basah mulai mendekat. Memeriksaku dengan paniknya.

"Mana yang sakit? Nggak ada yang parah, kan?" tanyanya lagi.

Aku tak menjawab. Membuka dompet, melempar uang tiga ratus ribu beserta pecahan dua ratus ribunya ke lantai. Langsung melepas kaos, dan membantingnya tanpa alasan.

Mbak Diah yang melihatku semakin heran. "Kau ini kenapa, sih? Pulang-pulang kok gitu ... lagi kesambet apa?" ujarnya datar.

Lagi-lagi aku membisu. Melangkahkan kaki ke kamar untuk mengambil handuk, lalu menuju kamar mandi.

Kukucurkan air dari keran, dan membasuhkan berulang-ulang ke wajah.
Masih terbayang saat motor itu melintas dengan sengaja melewatiky. Kurang ajar betul lelaki ini! Apa mungkin Sefti juga sama sepertinya? Dia tunangannya, kurasa dia sudah banyak membicarakan tentangku di kantor kemarin. Cukup sudah aku bermain-main dengan mereka. Rasanya aku tak sanggup lagi melihatnya!

****

Drrrttt... Drrrttt ....

Suara dari ponsel yang menandakan adanya panggilan masuk itu, lagi-lagi berdering untuk yang ke sekian kalinya.

Aku tak menggubris. Masih begitu banyak pikiran merasuk di kepala yang bercampur dengan rasa kesal dan emosi. Aku masih tetap bergeming.

Drrrrttt ....

Kali ini nada chatt whatshapp masuk!

Kuraih smartphone di samping bantalku, kemudian membenamkannya di bawah guling.

Masih kusantaikan diri, rebahan di atas kasur dengan mata menatap langit-langit kamar. Kilat yang menyambar, sesekali menerangkan suasana gelap di sekitar. Nampaknya mau hujan ....

Tiba-tiba, teringat lagi kejadian-kejadian tak mengenakkan itu!
Kenapa aku hanya diam saja? Kalau aku tak membalasnya, aku sama seperti tak punya harga diri sebagai laki-laki!

Drrrttt ....
Nada chatt masuk kedua kalinya. Bersamaan dengan itu, ganti nada dering telepon masuk berbunyi.

Ya ampun, siapa sih?

Kuraih ponsel yang nampak berkedap-kedip itu, dan langsung melihat apa yang terjadi.

Lho? Adel?
Ya ampun!

Aku langsung beranjak dari kasur. Menyentuh cepat tombol hijau, lalu mendekatkan HP ke telinga.

"Hallo, Del?" Aku semakin gugup tak karuan.

"Assalamuallaikum. Kamu nyampe mana? Kamu masih di rumah, Dan?"

"Ehm, Waalaikumsalam ...." Saking paniknya aku sampai menoleh kesana-kemari. Entah apa yang kucari.

"Kamu lupa, ya, Dan? Apa baru bangun?" Suara di seberang sana bertanya kembali.

"Eh, enggak. Maaf ... ehm, iya, sih. Baru bangun."

"Belepotan amat ngomongnya. Hi hi hi ... jelas lupa, nih! Haduuuhh, aku sudah di Bungur lima belas menit yang lalu. Gimana, dong? Apa aku balik saja, ya?"

Aku diam sejenak. Sudah terlanjur janji, tapi ....

"Ya, deh. Aku jemput sekarang, ya? Kamu nggak apa 'kan, nunggu sejam lagi?"

"Aduuuuhh ... ribet amat, ya? Aku naik bus saja, deh. Turun terminal kota-mu."

"Eh, nggak papa, nih?"

"Lah, daripada aku nunggu sejam lagi, hayoo?"

"Lho, kan ... marah ini ceritanya."

"Enggak ... maksudku, biar aku ngebis saja. Daripada nungguin kamu sejam ke sini, belum kesananya sejam lagi, 'kan mending aku buat otewe capcuz."

"Hahaha ...."

"Dih, ketawa!"

Aku menghentikan tawaku, gadis ini selalu baik, tak pernah marah. Aku tahu persis karakternya.

"Ya udah, Mbak. Terserah njenengan. Nggak papa bener, nih? Katanya takut ...."

"Heeemm, pokoknya sebelum aku nyampe sana, kamu harus sudah ada di sana,ya? Aku gak mau nunggu lagi."

"Siaaapp!"

"Oke, Assalamuallaikum."

Aku menutup telpon, lalu baru menjawab salamnya lirih, "Waalaikumsalam, Sayang."

Tak terasa pikiranku yang tadinya kacau, berubah menjadi ceria seperti anak TK. Begitu girangnya aku bukan main saat ini.
Hampir setahun aku tak bertemu dengannya, akhirnya kini kita bakal ketemu lagi.

Adel ... cintaku yang terpendam. Aku menghormatinya yang memang tak ingin pacaran semasa kuliah. Namun, dari dulu aku sudah menangkap sinyal-sinyal cintanya padaku. Aku yakin dia memang punya rasa, tapi dia tak mau berterus terang.

Seperti apa ya, dia sekarang? Berubahkah dia? Ah, yang pasti aku sangat ingin bertemu dengannya.

****

Kuambil pomade dari laci almari. Mulai membalurkannya pada rambut. Lebih kurapikan lagi tatanannya dengan sisir kecil di atas meja, dan masih terus memandangi wajah dari kaca rias kecil milik Kinara.

Kalau kulihat-lihat, wajahku ganteng juga. Hahaha ....

Tanganku kemudian meraih parfum, segera menyemprotkan ke beberapa bagian tubuh.

"Om, wis waras ta? (Sudah sembuh kah?)" tiba-tiba Kinara berdiri di depan pintu kamar.

"Lho? Maksud Kinara apa? Dipikir omnya lagi sakit, apa." Aku membalas lirih.

Kinara tersenyum simpul, seraya berucap, "Ya, Om. Kata uthi, om gendheng ... pulang-pulang langsung mecucu."

Aku langsung tertawa mendengar ucapan polos ponakanku itu. Menangkap jelas maksud perkataannya. Pasti gara-gara tingkahku sepulang dari SPBU pagi tadi.

"Mau pacaran ya, Om? Tumben ganteng."

"Husst! Kinara, ngomong apa kamu kecil-kecil?" Mbak Diah yang sedang lewat dan mendengar, langsung menggiring Kinara pergi.

Ha ha ha ... ada-ada saja pemikiran anak-anak.
Kubenahkan kancing terakhirku, kemudian bergegas keluar kamar.

"Jadi ke Bungur?" Suara ibu tiba-tiba mengagetkan.

Kupalingkan sedikit wajah sambil menggelengkan kepala. "Aku jemput di terminal sini, kok. Ini mau keluar, jemput Adel datang. Dia naik bus ke sini."

"Nah, gitu dong! Masak mau main ke sini manja amat minta jemput ke Bungur. Dikira gak jauh apa! Kalau ibu punya mantu ngalem-ngalem gitu, mending orraaaa ...."

Glek! Aku menelan ludah.
Belum-belum ibu sudah begini.

"Mendung gini, Dan... Mantelmu udah dikembalikan belum sama itu anak perumahan?"

"Oh, si Rifki ... iya tuh, kok gak pernah lihat batang hidungnya ya, Bu?"

"Huuuuuu, wong ya gak kenal orangnya, main pinjemin segala ...."

"Ah, nggak papa, Bu. Ntar juga dibalikin kalo inget, kalo gak inget ya ikhlasin aja. Anggep sedekah, he he ... aku berangkat dulu, Bu." Kucium tangan ibu, lalu berpamitan pergi.

Bobi yang melihatku mengeluarkan sepeda dari garasi, cepat-cepat berlari menghampiri.
"Eda ... eda." maksudnya mengucap sepeda, seperti biasa, selalu minta kubonceng terlebih dulu setiap kali aku keluar.

"Om buru-buru, Sayang. Nanti sore saja ,ya?" bujukku sambil mencubit kecil pipinya.

Bobi langsung mengangguk. Ekspresi polosnya selalu lucu, membuatku tertawa jika berada di sampingnya.

Mbak Diah segera mencomot badan Bobi. Mengalihkan perhatiannya melihat kucing-kucing yang sedang tertidur. Lalu aku sendiri mulai melajukan motorku pergi.

****

Terminal ....

Sudah hampir sejam aku duduk di atas motor, berkali-kali mengamati bus yang masuk. Terakhir chatt Adel, dia bilang sudah sampai lewat depan pabrik. Berarti sebentar lagi datangnya.

Sebuah bus bernama Mira itu masuk ke terminal. Nah, ini pasti Mira-nya!

Aku terkesiap, merapikan kemeja, lalu berjalan menghampiri bus itu.

Seorang perempuan berjilbab merah turun dari bus dengan tas yang masih akrab di mataku. Itu tasnya! Tas kesukaannya yang selalu ditentengnya kemana-mana. Masih saja sama.

Gadis itu menoleh ke sana-ke mari, lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya.

Aku sendiri berjalan pelan-pelan menghampiri. Sampai tepat di belakangnya, kutepuk pelan pundak perempuan itu.

"Permisi ... nyari saya, Mbak?" tegurku kalem.

Dia menoleh. Kaget rupanya ....

Setelah hampir setahun tak bertemu, akhirnya kini aku berdiri di depannya. Bertatap muka langsung dengan gadis itu. Tampak lesung pipitnya saat tersenyum. Manis sekali ....

"Asyiiiikk, akhirnya ada bidadari ke rumahku juga!" aku bersorak girang menggodanya.

"Diiihh!" Ia mencubit kecil lenganku.

Tanpa basa-basi kusuruh dia naik ke boncengan, lalu pergi dari terminal.

Sepanjang perjalanan, Adel diam saja. Kudongakkan spion kiri, ruapanya dia masih awas menatap ponsel.

"Ehem, awas loo hapenya ntar direbut orang!" seruku, agar dia tak lagi memfokuskan diri ke ponselnya saat dijalan.

Sepertinya Adel menghiraukan peringatanku. Ia tak lagi menunduk ke bawah, ganti melihat ke depan. Tapi kemudian dia membalas perkataanku, "Kamu awas juga. Spion hadapkan ke jalan! Jangan dihadapkan ke penumpang! Fokus berkendara. Biar nggak terjadi hal yang tak diinginkan."

Spontan aku langsung tertawa ngakak. Kulihat kembali dari spion, gadis itu tersenyum memperlihatkan gigi kelincinya. Makin manis terasa.

Sepanjang perjalanan kami terus berbasa-basi, hingga akhirnya sampai juga di rumah.

Kuparkirkan motor tepat di belakang toko. Lantas mengajak Adel masuk ke rumah.
Dari dalam, ternyata ibu dan mbakku sudah duduk menyambut. Adel menyalami ibuku, juga Mbak Diah. Dia lalu mencoba menggendong si kecil Bobi.

Selagi mereka berbincang, aku masuk ke kamar. Mengganti celana levis panjangku dengan celana levis selutut. Lalu aku berpamitan keluar lagi.

"Kamu ini gimana, ada teman kok malah ditinggal?" celetuk ibu.

"Sebentar," jawabku singkat.
Tanpa banyak bicara lagi, aku segera pergi. Hendak menuju minimarket terdekat membelikan beberapa camilan.

Sesampai di minimarket ....

Aku mengambil tiga potong roti kemasan dan dua buah yogurt kesukaannya. Mataku terus berputar melirik jajanan apa yang akan kuambil. Ah daripada pusing, kuambil seadanya saja. Tak lupa kuambilkan juga es krim dan beberapa jajanan untuk dua keponakan.

Begitu sampai kasir, betapa kagetnya aku saat menemui Sefti yang baru masuk membuka pintu minimarket. Cepat-cepat kualihkan pandangan ke meja kasir.

"Hei, Mas!" sapanya.

Aku diam, pura-pura tak dengar.

Dia lalu memegang lenganku. "Hei, Mas!" ucapnya lagi. Kali ini, mau tak mau aku harus menoleh. Sekilas kemudian kutatap ke luar pintu. Rian menunggu di sana, tampaknya dia tak tahu ada aku di sini.

"Mas, tadi pagi maaf, ya? Rian tak sengaja! Matanya tak melihat ada sedikit kubangan air di pavingan tadi."

"Ya." Singkat aku menjawab.Malas sekali menanggapi.

"Jangan marah, lho! Jangan kaitkan sama pekerjaan di kantor, ya. Ayo keluar! Biar dia minta maaf."

"Nggak usah, aku buru-buru. Di rumah ada tamu," jawabku pelan. Sebenarnya aku sudah muak, hatiku kesal dengan sendirinya.

"Semuanya, seratus enampuluh tujuh ribu lima ratus rupiah, Mas ...."
Suara kasir mengalihkan perhatianku. Segera kukeluarkan dompet dari dalam saku. Tapi, eh!

Kuraba-raba kembali saku belakang celana. Lho? Tak ada apa-apa!

Shiitt!!!

Baru sadar kalau dompetku tertinggal di celana panjang yang barusan kuganti tadi.

"Ehm, maaf, Mbak. Boleh saya nitip belanjaannya dulu? Dompet saya tertinggal." Kuanggukkan kecil kepalaku sebagai permintaan maaf. Sungkan pada mbak kasir.
Untung si kasir mengiyakan sambil tersenyum.

"Mas, bawa saja! Biar saya talangi dulu." Sefti segera mengeluarkan dompetnya.

"Eh, enggak, enggak! Nggak usah!"

"Sudaaaaahh ... 'kan bisa diganti senin lusa? Toh kita ketemu di kantor, kan? Katanya buru-buru."
Tangan Sefti lalu memberikan sejumlah uang dua ratus ribu pada kasir.

Kasir melongo dan memandangku. Agaknya minta pendapat, mungkin ikut tak enak.

"Sudah, Mbak. Nggak papa!" ucap Sefti lagi pada kasir itu.

Aku jadi salah tingkah dan nggak enak hati. Sementara di belakangku banyak yang mengantri.

Tiba-tiba, Rian mendorong pintu minimarket. Dia menatapku yang sedang ada di depan kasir bersama tunangannya.

"Kembaliannya tigapuluh duaribu lima ratus rupiah,ya? Terima kasih." Kasir menyerahkan uang kembalian itu padaku. Membuatku bingung harus menerimanya atau mengembalikannya pada Sefti.

Kulihat Sefti berulangkali mengedipkan mata, sambil melirik-lirik kearah pintu. Sepertinya meng-kode agar aku segera pergi. Tanpa mempertimbangkan lagi, kuambil uang sisa dari tangan kasir, sambil meraih tas kresek belanjaanku.

Rian masih menatapku tajam, tapi aku tak menggubrisnya sama sekali. Lantas kulangkahkan kaki keluar, melewatinya begitu saja.

Namun, kesialan terjadi kembali padaku. Ketika aku berada di luar, aku tak mendapati motorku lagi di teras parkir minimarket!

Kutolehkan wajahku ke sana-ke mari. Mencoba menanyakan pula pada orang-orang sekitar. Salah seorang menjawab, "Tadi ada anak laki yang bawa. Pake kaos item, topi item. Saya pikir memang itu sepedanya, Mas!"

"Ya, Mas. Barusan kok. Barusan saja keluarnya! Mlayu ngidul, Mas," sahut yang lain.

Aku langsung berlari ke jalanan, menatap sejauh mata memandang. Tak terasa semua orang mulai ricuh berkumpul.

"Mas, Dan! Kok, bisa hilang?!!" suara pekikan Sefti malah membuatku semakin tak karuan.

Rian terlihat mengendarai motornya. Meninggalkan Sefti begitu saja.

Pikiranku mulai ambyar. Bingung bukan main. Sefti mendekatiku, meraih pundak.

"Ayo duduk di sana, Mas! Rian tadi mencoba ngejar. Moga aja ketangkap, ya?" ucapnya menenangkan.

Kuabaikan bicaranya. Masih ling lunh menatap ke jalanan.

Itu sepeda kenang-kenangan almarhum ayah. Aku sudah berjanji tak akan pernah menggantinya meski sudah ketinggalan zaman. Namun, kini sepeda itu lenyap!

Sempat terfikir olehku, sepeda yang lainnya banyak yang bagus. Sepeda sport Rian apalagi. Kenapa yang diambil sepedaku? Sepeda Supra X tahun 2012 yang terlihat lawas sendiri di antara motor yang lain.

Kuusap wajah dengan begitu bimbang. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Pikiranku mulai ke mana-mana. Bersamaan dengan itu, rintik hujan mulai turun.
Diubah oleh shirazy02 18-12-2019 12:37
i4munited
g.gowang
erman123
erman123 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.