- Beranda
- Stories from the Heart
Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2
...
TS
yanagi92055
Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2
Selamat Datang di Thread Gue
![Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2](https://s.kaskus.id/images/2019/10/17/10668384_20191017013511.jpeg)
Trit Kedua ini adalah lanjutan dari Trit Pertama gue yang berjudul Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 1 . Trit ini akan menceritakan lanjutan pengalaman gue mencari muara cinta gue. Setelah lika liku perjalanan mencari cinta gue yang berakhir secara tragis bagi gue pada masa kuliah, kali ini gue mencoba menceritakan perjalanan cinta gue ketika mulai menapaki karir di dunia kerja. Semoga Gansis sekalian bisa terhibur ya
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI GANSIS READER TRIT GUE. SEBUAH KEBAHAGIAAN BUAT GUE JIKA HASIL KARYA GUE MENDAPATKAN APRESIASI YANG LUAR BIASA SEPERTI INI DARI GANSIS SEMUANYA.
AKAN ADA SEDIKIT PERUBAHAN GAYA BAHASA YA GANSIS, DARI YANG AWALNYA MEMAKAI ANE DI TRIT PERTAMA, SEKARANG AKAN MEMAKAI GUE, KARENA KEBETULAN GUE NYAMANNYA BEGITU TERNYATA. MOHON MAAF KALAU ADA YANG KURANG NYAMAN DENGAN BAHASA SEPERTI ITU YA GANSIS
SO DITUNGGU YA UPDATENYA GANSIS, SEMOGA PADA TETAP SUKA YA DI TRIT LANJUTAN INI. TERIMA KASIH BANYAK
Spoiler for INDEX SEASON 2:
Spoiler for Anata:
Spoiler for MULUSTRASI SEASON 2:
Spoiler for Peraturan:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:31
nacity.ts586 dan 78 lainnya memberi reputasi
77
292K
4.2K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2828
Dia Yang Kembali
“Dee? Ya ampun ayo masuk-masuk.” Kata gue.
“Aku kangen kamu banget. Maafin aku.” Kata Dee.
Dee langsung memeluk gue, dan gue pun balas memeluknya. Gue kangen dengan sosok ini. Ternyata benar feeling gue untuk nggak macam-macam dengan Dinar sebelum momen ini. Setengah jam itu kalau gue jadi tempur sama Dinar pasti baru kelar. Lagi capek-capeknya. Untung aja nggak kejadian. Kalau Dee liat, yaudah selesai udah semuanya.
“Kamu manjangin rambut Dee?”
“Iya. Biar keliatan lebih dewasa. Kalau rambutnya bob melulu disangkain kayak remaja terus Zi.”
Dee saat itu, 99,45% mirip Olivia Jensen
“Nggak apa-apa, aku suka kok ngeliatnya. Kemana aja kamu selama ini Dee?”
“Aku nggak kemana-mana, Cuma bolak balik kostan kantor aja. Dan selama itu juga aku terus kangen sama kamu. Untungnya kita nggak pernah putus komunikasi, hanya nggak pernah ketemu aja. Lama juga ya kita nggak ketemu Zi. Beneran deh aku kangen banget sama kamu.” Katanya, raut wajahnya sangat sumringah.
“Kamu mau minum apa? Maaf ya ini berantakan banget, maklum masih pagi. Lagian kamu datengnya dadakan sih. Hehe.”
“Iya, aku sengaja dadakan kayak gini. Aku pingin tau reaksi kamu. Sekangen apa kamu sama aku? Soalnya aku udah nggak tahan lagi. Aku mau ketemu kamu. Aku mau minta maaf sama kamu.”
“Iya aku terima kamu balik yank.” Kata gue spontan.
“Kok kamu tau aku mau ngomong kayak gitu Zi?”
“Iya, udah ketebak dari sorot mata kamu diawal ketemu tadi. dan ngapain juga kamu jauh-jauh dari sana ke kostan aku sini kalau nggak minta balik, ya kan?”
“Hmm..iya Zi. Jadi, kamu bener-bener maafin aku?”
“Aku udah maafin kamu dari waktu itu. Kan sebenernya aku juga nggak bilang putus, tapi kamu asumsiin kayak gitu. Jadi yaudah mungkin kita butuh waktu untuk sendiri sendiri dulu.”
“Aku boleh panggil kamu sayang lagi Zi?”
Gue Cuma mengangguk dan tersenyum. Dia memeluk gue lagi dan langsung mencium pipi gue. Gue melepas pelukannya, lalu tangan kanan gue meraih dagunya dan menekan kedua pipinya dengan jari-jari gue, pandangan gue fokuskan ke matanya, dia terlihat agak gugup tapi sembari sedikit tersenyum. Lalu gue mencium hangat bibir tipisnya. Ciuman pakai hati ini berlangsung nggak lama, tapi menurut gue ini sangatlah berkesan. Nggak french kiss tapi berasa banget.
“Makasih ya sayang.” Kata Dee.
“Aku juga minta maaf nggak bisa ngasih yang total ke kamu selama ini. Makanya hubungan kita jadi stuck kayak kemarin.” Kata gue.
“Aku senang kita akhirnya bisa bareng lagi. Mudah-mudahan dengan kejadian kemarin kita bisa lebih saling mengerti dan menghargai ya Dee.”
“Iya sayang. Maaf aku terlalu egois selama ini. Aku banyak banget ngelakuin kesalahan. Dan ya, harus aku akui, aku sangat ketergantungan sama kamu. Selama kamu nggak ada, aku sadar betul kalau kamu emang milik aku yang paling berharga yank, lebih dari apapun.”
“Pokoknya kita sekarang saling jaga ya Dee. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”
--
Sekitar dua bulan kemudian, gue mendapatkan undangan dari dua teman dekat gue waktu kuliah dulu. Vino dan Azi. Tapi bukan mereka masing-masing menikah, melainkan mereka berdua yang menikah.
Vino dan Azi memang teman-teman dekat gue, tapi bahkan gue yang dekat dengan keduanya aja, nggak tau kalau mereka ini pacaran. Atau emang nggak pacaran ya? karena dua-duanya termasuk yang taat dalam beragama. Tapi nggak konservatif banget. Bahkan Vino pun sempat membantu band gue pada beberapa kesempatan manggung.
“Kamu besok dandannya dari pagian ya. soalnya ini kan hari sabtu, perjalanan kita jauh banget dan takutnya kena macet. Ok?” gue berpesan pada Dee ditelepon.
“Oke yank, aku nggak akan lama kok dandannya.”
“Nggak lamanya cewek itu tetep lebih dari satu jam yank.”
“Nggak lama udah tenang aja kenapa sih yank?”
“Dee, mereka berdua itu teman dekat aku. Yang satu bahkan pernah bantuin aku manggung dulu. Kalau Azi kan emang deket sama aku dari jaman kuliah.”
“Iya Zizi sayang. Semuanya aman kok. Tenang aja.”
Keesokan harinya gue udah berangkat dari habis subuh untuk menjemput Dee dikostannya. Gue sengaja biarin dia, nggak gue ingetin dia untuk siap-siap dan segala macamnya. Gue mau tau seberapa peduli dia dengan urusan pribadi gue dan teman-teman dekat gue ini.
Kenapa begitu? Karena selama ini selalu urusan pribadi dia yang dia utamain, mana pernah dia mikirin urusan pribadi gue. Adanya gue selalu mengalah setiap ada urusan apapun yang menyangkut dia, baik dia sendiri, ataupun dia dan teman-temannya.
Gue sampai sekitar pukul 07.00 pagi. Ternyata Dee belum siap sama sekali. Gue udah mulai emosi karena perjalanan kita cukup jauh kalau ke ibukota. Acara akan dimulai jam 11.00.
“Kamu kenapa belum siap?”
“Santai aja masih pagi yank. Sarapan dulu yuk.”
“Kamu tau nggak perjalanan kesana itu macet dan jauh?”
“Iya tau kok. Kan kamu bilang semalem.”
“Nah kok nggak siap-siap?”
“Ini masih pagi banget yank. Udah tenang dulu deh.”
“Aku nggak mau telat.”
“Iya, kamu sarapan dulu nih, aku udah buatin roti isi buat kamu. Aku mandi dulu ya.”
Gue menunggu sekitar 20 menitan sampai dia selesai mandi. Gue bahkan sempat ketiduran dulu sampai gue melihat dia sedang mulai berdandan.
“Udah belum sih kamu?” kata gue mulai emosi.
“Ini sebentar lagi.” Katanya tenang.
“Ini udah macet dimana-mana pasti.”
“Ya coba cari jalan alternatif dong yank.”
“Kamu enak aja ngomong. Udah kamunya yang bikin lama, sekarang pake santai ngomong cari jalan lain. Dikira jalanan punya bapak moyang kamu apa?!”
“Udah sih nggak usah marah-marah gitu dong kamu.”
“Aku udah bilang dari kemarin-kemarin, ini nikahan dua teman dekat aku. Suami istri aku kenal baik, nggak enak kalau aku nggak dateng.”
“Bawel amat sih kamu!”
“Buruan!"
Setelah siap, dengan kondisi udah jelek banget moodnya, gue berjalan menuju ke mobil gue. Gue langsung kebut aja, dan ternyata benar aja, udah macet dong masih pagi. Bahkan untuk masuk ke tol aja butuh waktu sekitar 1 jam.
“Liat, bener kan kata aku? Sekarang aja buat keluar dari kota ini butuh waktu satu jam yang aslinya paling sekitar sepuluh menitan.”
“Iya….”
“kamu pikir aja kalau temen deket, kayak Anis, nikah terus kamu nggak dateng karena kena macet enak nggak?”
“Nggak enak…”
“Atau kamu udah mengharapkan teman-teman dekat kamu datang ke nikahan kamu, tapi nyatanya mereka absen, dengan berbagai macam alasan, sedih nggak kamu?”
“Ya pasti sedih lah…”
“Nah sekarang bayangin kamu ada di posisi Vino dan Azi yang mana dua-duanya teman dekat aku. Kebayang nggak gimana perasaan mereka?”
“Kok kamu nyalahin aku sih jadinya? Ini kan macet bukan karena aku…”
“Tapi kamu yang kelewat santai!! Kan udah dibilangin, dari pagi siap-siapnya. Ini bahkan aku udah dateng dari pagi belum juga siap-siap.”
“Iya maaf….”
“Sekarang solusi dari kamu apa biar kita ngfak telat dateng kesana?”
“……..”
“Kenapa diem aja?? Jawab dong.”
“Maaf aku nggak tau. Soalnya aku nggak tau jalan, aku nggak bisa nyetir!”
“Nah, sekarang kalo udah kejadian begini bingung, minta maaf. Terus selesai gitu aja? JugaDikira resepsi gini bisa diulang.”
“Udah dong Zi. Kamu marah-marah mulu gini juga nggak akan ngurangin macet kan?”
“Aku capek ya berulang kali kalo dibilangin susah. Diperingatin susah. Giliran ada urusannya sendiri sama temen-temen akunya harus sesempurna mungkin, giliran ada urusan aku sama teman-teman aku, kamu boro-boro mau maksimal usahanya.”
“Maaf….”
Gue menyetir dalam diam. Dan hampir disepanjang jalan macet. Gilanya, bahkan sebelum masuk ke gedung aja itu udah hampur jam satu siang. Gue udah super emosi, nyetir capek, macet, malah nggak bisa masuk ke resepsi karena acaranya udah kelar begitu gue masuk ke pelataran parkir gedung.
Gue langsung tancap gas lagi keluar karena bahkan dekorasi aja udah mulai diberesin, pihak catering udah mulai angkut-angkut piring dan meja.
“Liat? Kita jadi nggak datang sama sekali jatuhnya kalau gini ceritanya kan?!” gue udah sangat emosi.
“Iya maaf!” Dee nggak kalah emosi.
“Aku udah ngecewain mereka berdua, karena aku udah janji datang. Eh sekarang emang datang, tapi pas acara udah selesai. Kamu ni bener-bener ya. Egoisnya nggak ilang.”
“Maafin aku. Aku kan udah minta maaf yank.”
“Terserah kamu aja lah Dee. Capek aku kalau kamu egois gini terus.”
“Maaf. Aku sekarang Cuma bisa minta maaf. Aku nggak bisa ngelakuin apapun lagi, selain minta maaf.”
“Udahlah ya. Ayo kita pulang aja. Percuma, buang-buang waktu, buang-buang bensin, buang-buang tenaga. Emang kalau kepentingan aku mah di entar-entarin juga nggak apa-apa.”
Sepanjang perjalanan pulang dari sana, gue dan dia cekcok terus nggak berhenti. Sampai udah menjelang gerbang tol keluar, gue meminggirkan mobil gue.
“Kamu turun aja mendingan sekarang!” bentak gue.
“Tapi ini masih tol.” Kata Dee.
“Emang aku peduli?? Kamu aja nggak peduli sama urusan aku.”
“Ya tapi gimana aku pulangnya?”
“Emang aku peduli?? Kamu bisa pulang sendiri. Otak pinter itu dipake!”
“Kamu kok jahat banget sih Zi?!”
“Jahat mana sama kamu yang selalu aja mau mentingin kepentingan kamu terus hah?!”
“Aku juga peduli sama kamu kali.”
“Yaudah kalau peduli sama aku, sekarang kamu turun.”
“Tapi Zi……”
“TURUN KATA AKU!!!” gue membentak dengan sangat keras.
Sementara dia bergeming. Gue lebih menepikan lagi mobil gue. Lalu gue turun, dan menyeret Dee paksa untuk turun.
“Kamu turun!”
“Nggak mau Zi, aku nggak tau jalan.”
“Turun!!!”
Gue paksa dengan menarik lengan kirinya, lalu gue menjauhkannya dari mobil gue. Gue nggak peduli adegan memalukan ini dilihat pengguna jalan tol yang lewat.
“Hubungi aku kalau kamu udah mau benar-benar peduli sama aku.” Kata gue sambil menunjuk mukanya.
“Ziii…maaafiin akuu…” katanya sambil menangis.
Gue udah bodo amat, gue lari ke mobil, dan akhirnya gue tancap gas. Seharusnya kalau dia emang pintar, ya tinggal hubungin aja bantuan tol, gue sengaja menurunkan dia didekat plang telepon bantuan tol, dan sudah dekat dengan pintu keluar, paling tinggal jalan sekitar 500-600 meteran aja.
--
Gue semakin rajin menggunakan sosial media, terutama twitter. Gue bisa mengtwit sampai ratusan kali untuk mengeluarkan unek-unek, memaki, ngata-ngatain, juga memuji dan memberikan semangat. Tapi gue juga muak sama si Uun ini yang agresif banget ngedekat ke gue.
Gue padahal hanya chat biasa dan nggak aneh-aneh, modus pendekatan pun nggak. Tapi ini anak parah banget menurut gue gerilya di sosmednya. Dari mulai FB sampai twitter, dia nggak lelah untuk sekedar mention gue. Dan gue sangat terganggu dengan ini. Gue pun memilih untuk nggak menanggapinya. Gue terus ngetwit, tapi dia mention, gue cuekin. Haha.
Untungnya Dee nggak terlalu paham soal sosmed begini. Jadinya ya aman lah. Kalau nggak, dia bisa ngamuk-ngamuk. Haha. Gue akhirnya memaafkan dia (lagi) setelah kejadian itu.
Gue memberikan pelajaran untuknya, kenapa juga gue suruh dia turun di tol. Itu intinya buat dia sadar, segala sesuatu itu diusahakan, di perjuangkan, jangan maunya instan terus. Kalau mau dihargai, hargai orang lain dulu. Ini yang miss dari hubungan gue dan dia dari awal jadi beberapa tahun lalu.
“Yank, aku udah buat keputusan.” Kata Dee.
“Aku kangen kamu banget. Maafin aku.” Kata Dee.
Dee langsung memeluk gue, dan gue pun balas memeluknya. Gue kangen dengan sosok ini. Ternyata benar feeling gue untuk nggak macam-macam dengan Dinar sebelum momen ini. Setengah jam itu kalau gue jadi tempur sama Dinar pasti baru kelar. Lagi capek-capeknya. Untung aja nggak kejadian. Kalau Dee liat, yaudah selesai udah semuanya.
“Kamu manjangin rambut Dee?”
“Iya. Biar keliatan lebih dewasa. Kalau rambutnya bob melulu disangkain kayak remaja terus Zi.”
Dee saat itu, 99,45% mirip Olivia Jensen “Nggak apa-apa, aku suka kok ngeliatnya. Kemana aja kamu selama ini Dee?”
“Aku nggak kemana-mana, Cuma bolak balik kostan kantor aja. Dan selama itu juga aku terus kangen sama kamu. Untungnya kita nggak pernah putus komunikasi, hanya nggak pernah ketemu aja. Lama juga ya kita nggak ketemu Zi. Beneran deh aku kangen banget sama kamu.” Katanya, raut wajahnya sangat sumringah.
“Kamu mau minum apa? Maaf ya ini berantakan banget, maklum masih pagi. Lagian kamu datengnya dadakan sih. Hehe.”
“Iya, aku sengaja dadakan kayak gini. Aku pingin tau reaksi kamu. Sekangen apa kamu sama aku? Soalnya aku udah nggak tahan lagi. Aku mau ketemu kamu. Aku mau minta maaf sama kamu.”
“Iya aku terima kamu balik yank.” Kata gue spontan.
“Kok kamu tau aku mau ngomong kayak gitu Zi?”
“Iya, udah ketebak dari sorot mata kamu diawal ketemu tadi. dan ngapain juga kamu jauh-jauh dari sana ke kostan aku sini kalau nggak minta balik, ya kan?”
“Hmm..iya Zi. Jadi, kamu bener-bener maafin aku?”
“Aku udah maafin kamu dari waktu itu. Kan sebenernya aku juga nggak bilang putus, tapi kamu asumsiin kayak gitu. Jadi yaudah mungkin kita butuh waktu untuk sendiri sendiri dulu.”
“Aku boleh panggil kamu sayang lagi Zi?”
Gue Cuma mengangguk dan tersenyum. Dia memeluk gue lagi dan langsung mencium pipi gue. Gue melepas pelukannya, lalu tangan kanan gue meraih dagunya dan menekan kedua pipinya dengan jari-jari gue, pandangan gue fokuskan ke matanya, dia terlihat agak gugup tapi sembari sedikit tersenyum. Lalu gue mencium hangat bibir tipisnya. Ciuman pakai hati ini berlangsung nggak lama, tapi menurut gue ini sangatlah berkesan. Nggak french kiss tapi berasa banget.
“Makasih ya sayang.” Kata Dee.
“Aku juga minta maaf nggak bisa ngasih yang total ke kamu selama ini. Makanya hubungan kita jadi stuck kayak kemarin.” Kata gue.
“Aku senang kita akhirnya bisa bareng lagi. Mudah-mudahan dengan kejadian kemarin kita bisa lebih saling mengerti dan menghargai ya Dee.”
“Iya sayang. Maaf aku terlalu egois selama ini. Aku banyak banget ngelakuin kesalahan. Dan ya, harus aku akui, aku sangat ketergantungan sama kamu. Selama kamu nggak ada, aku sadar betul kalau kamu emang milik aku yang paling berharga yank, lebih dari apapun.”
“Pokoknya kita sekarang saling jaga ya Dee. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”
--
Sekitar dua bulan kemudian, gue mendapatkan undangan dari dua teman dekat gue waktu kuliah dulu. Vino dan Azi. Tapi bukan mereka masing-masing menikah, melainkan mereka berdua yang menikah.
Vino dan Azi memang teman-teman dekat gue, tapi bahkan gue yang dekat dengan keduanya aja, nggak tau kalau mereka ini pacaran. Atau emang nggak pacaran ya? karena dua-duanya termasuk yang taat dalam beragama. Tapi nggak konservatif banget. Bahkan Vino pun sempat membantu band gue pada beberapa kesempatan manggung.
“Kamu besok dandannya dari pagian ya. soalnya ini kan hari sabtu, perjalanan kita jauh banget dan takutnya kena macet. Ok?” gue berpesan pada Dee ditelepon.
“Oke yank, aku nggak akan lama kok dandannya.”
“Nggak lamanya cewek itu tetep lebih dari satu jam yank.”
“Nggak lama udah tenang aja kenapa sih yank?”
“Dee, mereka berdua itu teman dekat aku. Yang satu bahkan pernah bantuin aku manggung dulu. Kalau Azi kan emang deket sama aku dari jaman kuliah.”
“Iya Zizi sayang. Semuanya aman kok. Tenang aja.”
Keesokan harinya gue udah berangkat dari habis subuh untuk menjemput Dee dikostannya. Gue sengaja biarin dia, nggak gue ingetin dia untuk siap-siap dan segala macamnya. Gue mau tau seberapa peduli dia dengan urusan pribadi gue dan teman-teman dekat gue ini.
Kenapa begitu? Karena selama ini selalu urusan pribadi dia yang dia utamain, mana pernah dia mikirin urusan pribadi gue. Adanya gue selalu mengalah setiap ada urusan apapun yang menyangkut dia, baik dia sendiri, ataupun dia dan teman-temannya.
Gue sampai sekitar pukul 07.00 pagi. Ternyata Dee belum siap sama sekali. Gue udah mulai emosi karena perjalanan kita cukup jauh kalau ke ibukota. Acara akan dimulai jam 11.00.
“Kamu kenapa belum siap?”
“Santai aja masih pagi yank. Sarapan dulu yuk.”
“Kamu tau nggak perjalanan kesana itu macet dan jauh?”
“Iya tau kok. Kan kamu bilang semalem.”
“Nah kok nggak siap-siap?”
“Ini masih pagi banget yank. Udah tenang dulu deh.”
“Aku nggak mau telat.”
“Iya, kamu sarapan dulu nih, aku udah buatin roti isi buat kamu. Aku mandi dulu ya.”
Gue menunggu sekitar 20 menitan sampai dia selesai mandi. Gue bahkan sempat ketiduran dulu sampai gue melihat dia sedang mulai berdandan.
“Udah belum sih kamu?” kata gue mulai emosi.
“Ini sebentar lagi.” Katanya tenang.
“Ini udah macet dimana-mana pasti.”
“Ya coba cari jalan alternatif dong yank.”
“Kamu enak aja ngomong. Udah kamunya yang bikin lama, sekarang pake santai ngomong cari jalan lain. Dikira jalanan punya bapak moyang kamu apa?!”
“Udah sih nggak usah marah-marah gitu dong kamu.”
“Aku udah bilang dari kemarin-kemarin, ini nikahan dua teman dekat aku. Suami istri aku kenal baik, nggak enak kalau aku nggak dateng.”
“Bawel amat sih kamu!”
“Buruan!"
Setelah siap, dengan kondisi udah jelek banget moodnya, gue berjalan menuju ke mobil gue. Gue langsung kebut aja, dan ternyata benar aja, udah macet dong masih pagi. Bahkan untuk masuk ke tol aja butuh waktu sekitar 1 jam.
“Liat, bener kan kata aku? Sekarang aja buat keluar dari kota ini butuh waktu satu jam yang aslinya paling sekitar sepuluh menitan.”
“Iya….”
“kamu pikir aja kalau temen deket, kayak Anis, nikah terus kamu nggak dateng karena kena macet enak nggak?”
“Nggak enak…”
“Atau kamu udah mengharapkan teman-teman dekat kamu datang ke nikahan kamu, tapi nyatanya mereka absen, dengan berbagai macam alasan, sedih nggak kamu?”
“Ya pasti sedih lah…”
“Nah sekarang bayangin kamu ada di posisi Vino dan Azi yang mana dua-duanya teman dekat aku. Kebayang nggak gimana perasaan mereka?”
“Kok kamu nyalahin aku sih jadinya? Ini kan macet bukan karena aku…”
“Tapi kamu yang kelewat santai!! Kan udah dibilangin, dari pagi siap-siapnya. Ini bahkan aku udah dateng dari pagi belum juga siap-siap.”
“Iya maaf….”
“Sekarang solusi dari kamu apa biar kita ngfak telat dateng kesana?”
“……..”
“Kenapa diem aja?? Jawab dong.”
“Maaf aku nggak tau. Soalnya aku nggak tau jalan, aku nggak bisa nyetir!”
“Nah, sekarang kalo udah kejadian begini bingung, minta maaf. Terus selesai gitu aja? JugaDikira resepsi gini bisa diulang.”
“Udah dong Zi. Kamu marah-marah mulu gini juga nggak akan ngurangin macet kan?”
“Aku capek ya berulang kali kalo dibilangin susah. Diperingatin susah. Giliran ada urusannya sendiri sama temen-temen akunya harus sesempurna mungkin, giliran ada urusan aku sama teman-teman aku, kamu boro-boro mau maksimal usahanya.”
“Maaf….”
Gue menyetir dalam diam. Dan hampir disepanjang jalan macet. Gilanya, bahkan sebelum masuk ke gedung aja itu udah hampur jam satu siang. Gue udah super emosi, nyetir capek, macet, malah nggak bisa masuk ke resepsi karena acaranya udah kelar begitu gue masuk ke pelataran parkir gedung.
Gue langsung tancap gas lagi keluar karena bahkan dekorasi aja udah mulai diberesin, pihak catering udah mulai angkut-angkut piring dan meja.
“Liat? Kita jadi nggak datang sama sekali jatuhnya kalau gini ceritanya kan?!” gue udah sangat emosi.
“Iya maaf!” Dee nggak kalah emosi.
“Aku udah ngecewain mereka berdua, karena aku udah janji datang. Eh sekarang emang datang, tapi pas acara udah selesai. Kamu ni bener-bener ya. Egoisnya nggak ilang.”
“Maafin aku. Aku kan udah minta maaf yank.”
“Terserah kamu aja lah Dee. Capek aku kalau kamu egois gini terus.”
“Maaf. Aku sekarang Cuma bisa minta maaf. Aku nggak bisa ngelakuin apapun lagi, selain minta maaf.”
“Udahlah ya. Ayo kita pulang aja. Percuma, buang-buang waktu, buang-buang bensin, buang-buang tenaga. Emang kalau kepentingan aku mah di entar-entarin juga nggak apa-apa.”
Sepanjang perjalanan pulang dari sana, gue dan dia cekcok terus nggak berhenti. Sampai udah menjelang gerbang tol keluar, gue meminggirkan mobil gue.
“Kamu turun aja mendingan sekarang!” bentak gue.
“Tapi ini masih tol.” Kata Dee.
“Emang aku peduli?? Kamu aja nggak peduli sama urusan aku.”
“Ya tapi gimana aku pulangnya?”
“Emang aku peduli?? Kamu bisa pulang sendiri. Otak pinter itu dipake!”
“Kamu kok jahat banget sih Zi?!”
“Jahat mana sama kamu yang selalu aja mau mentingin kepentingan kamu terus hah?!”
“Aku juga peduli sama kamu kali.”
“Yaudah kalau peduli sama aku, sekarang kamu turun.”
“Tapi Zi……”
“TURUN KATA AKU!!!” gue membentak dengan sangat keras.
Sementara dia bergeming. Gue lebih menepikan lagi mobil gue. Lalu gue turun, dan menyeret Dee paksa untuk turun.
“Kamu turun!”
“Nggak mau Zi, aku nggak tau jalan.”
“Turun!!!”
Gue paksa dengan menarik lengan kirinya, lalu gue menjauhkannya dari mobil gue. Gue nggak peduli adegan memalukan ini dilihat pengguna jalan tol yang lewat.
“Hubungi aku kalau kamu udah mau benar-benar peduli sama aku.” Kata gue sambil menunjuk mukanya.
“Ziii…maaafiin akuu…” katanya sambil menangis.
Gue udah bodo amat, gue lari ke mobil, dan akhirnya gue tancap gas. Seharusnya kalau dia emang pintar, ya tinggal hubungin aja bantuan tol, gue sengaja menurunkan dia didekat plang telepon bantuan tol, dan sudah dekat dengan pintu keluar, paling tinggal jalan sekitar 500-600 meteran aja.
--
Gue semakin rajin menggunakan sosial media, terutama twitter. Gue bisa mengtwit sampai ratusan kali untuk mengeluarkan unek-unek, memaki, ngata-ngatain, juga memuji dan memberikan semangat. Tapi gue juga muak sama si Uun ini yang agresif banget ngedekat ke gue.
Gue padahal hanya chat biasa dan nggak aneh-aneh, modus pendekatan pun nggak. Tapi ini anak parah banget menurut gue gerilya di sosmednya. Dari mulai FB sampai twitter, dia nggak lelah untuk sekedar mention gue. Dan gue sangat terganggu dengan ini. Gue pun memilih untuk nggak menanggapinya. Gue terus ngetwit, tapi dia mention, gue cuekin. Haha.
Untungnya Dee nggak terlalu paham soal sosmed begini. Jadinya ya aman lah. Kalau nggak, dia bisa ngamuk-ngamuk. Haha. Gue akhirnya memaafkan dia (lagi) setelah kejadian itu.
Gue memberikan pelajaran untuknya, kenapa juga gue suruh dia turun di tol. Itu intinya buat dia sadar, segala sesuatu itu diusahakan, di perjuangkan, jangan maunya instan terus. Kalau mau dihargai, hargai orang lain dulu. Ini yang miss dari hubungan gue dan dia dari awal jadi beberapa tahun lalu.
“Yank, aku udah buat keputusan.” Kata Dee.
Diubah oleh yanagi92055 24-11-2019 01:39
itkgid dan 38 lainnya memberi reputasi
39
Tutup
![Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2](https://s.kaskus.id/images/2019/10/14/10668384_20191014114347.jpg)
![Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2](https://s.kaskus.id/images/2019/11/11/10668384_20191111104352.png)
Mulustrasi Dwina, 98,66% mirip, tapi Dwina tinggi kurus langsing
Mulustrasi Rinda, 85% mirip cewek ini, baik badan maupun mukanya
Mulustrasi Dinar, 99,17% mirip, tapi Dinar tinggi semampai dan matanya lebih lebar
serta apresiasi cendol

) Sungguh Tuhan sangat baik pada gue dengan mengirimkan informasi melalui orang ini.