- Beranda
- Stories from the Heart
Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2
...
TS
yanagi92055
Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2
Selamat Datang di Thread Gue
![Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2](https://s.kaskus.id/images/2019/10/17/10668384_20191017013511.jpeg)
Trit Kedua ini adalah lanjutan dari Trit Pertama gue yang berjudul Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 1 . Trit ini akan menceritakan lanjutan pengalaman gue mencari muara cinta gue. Setelah lika liku perjalanan mencari cinta gue yang berakhir secara tragis bagi gue pada masa kuliah, kali ini gue mencoba menceritakan perjalanan cinta gue ketika mulai menapaki karir di dunia kerja. Semoga Gansis sekalian bisa terhibur ya
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI GANSIS READER TRIT GUE. SEBUAH KEBAHAGIAAN BUAT GUE JIKA HASIL KARYA GUE MENDAPATKAN APRESIASI YANG LUAR BIASA SEPERTI INI DARI GANSIS SEMUANYA.
AKAN ADA SEDIKIT PERUBAHAN GAYA BAHASA YA GANSIS, DARI YANG AWALNYA MEMAKAI ANE DI TRIT PERTAMA, SEKARANG AKAN MEMAKAI GUE, KARENA KEBETULAN GUE NYAMANNYA BEGITU TERNYATA. MOHON MAAF KALAU ADA YANG KURANG NYAMAN DENGAN BAHASA SEPERTI ITU YA GANSIS
SO DITUNGGU YA UPDATENYA GANSIS, SEMOGA PADA TETAP SUKA YA DI TRIT LANJUTAN INI. TERIMA KASIH BANYAK
Spoiler for INDEX SEASON 2:
Spoiler for Anata:
Spoiler for MULUSTRASI SEASON 2:
Spoiler for Peraturan:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:31
nacity.ts586 dan 78 lainnya memberi reputasi
77
292K
4.2K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2758
Siapa Kembali?
Gue kaget dengan tepukan di bahu kanan gue. Gue sangat surprise ternyata dia yang udah lama nggak ketemu, malah ketemunya disini. Haha.
“Hei Din, apa kabar lo? Haha. Ayo sini gabung.” Kata gue.
“Iya Ja. Kabar baik gue. Lo kok sendirian aja? Nggak sama cewek lo?” Kata Dinar.
“Gue udahan sama cewek gue Din. Hehe. Udah sekitar dua bulan lalu gue udahan. Lo sama siapa kesini?”
“Waduh, sori Ja gue nggak tau. Gue sama dua temen gue, kakak adik. Yang waktu di panggungan Radio Kota dulu itu gue ngedance sama mereka.”
“Oh iya iya gue inget. Lo waktu itu bertiga ya.”
“Iya bener. Nah itu lo tau. Hehe.”
“Terus gimana? Cowoknya temen lo itu masih ngejar-ngejar lo Din? Haha.”
“Udah nggak sih Ja. Dan kayaknya temen gue juga udah bubaran sama cowoknya itu. Tapi nggak tau juga sih.”
“Pesen minum aja dulu Din.”
Gue nggak nyangka Dinar malah bisa ketemu disini. Dia kuliah di salah satu universitas swasta terkenal di kota tetangga. Makanya gue kaget kok dia ada disini. Haha.
“Lo tumben amat balik?”
“Iya gue lagi suntuk Ja. Apalagi dua hari lalu gue abis putus juga sama cowok gue. Jadi males balik kesana gue. Males kuliah.”
“Haha enak banget ya, males kuliah bisa langsung cabut. Coba dikampus gue, bisa bisa diancem DO tuh. Hahaa.”
“Kampus lo kan Negeri Ja. Kalo gue di swasta mah yang penting bayar aja yang teratur. Makanya kalau di kampus gue ada istilah mahasiswa abadi, kalo dikampus lo nggak ada kan? Hahaha.”
“Haha iya juga sih. Tapi seinget gue nggak semua kampus swasta selonggar itu loh. Ada juga yang ketat. Kan akreditasi juga penting buat naikin nama baik kampus.”
“Iya sih bener. Tapi gue sih bodo amat. Yang penting gue udah bisa kuliah udah syukur.”
“Haha udah ah, nggak usah ngomongin kampus Din. Jalan aja yuk abis ini. Habisin dulu minuman lo ya.”
“Oke Ja. Mau kemana? Gue bawa mobil.”
“Temen lo gimana?”
“Mereka juga bawa mobil kok. Jadi nanti gue suruh pulang duluan aja.”
Setelah Dinar menghabiskan minumannya, gue dan dia keluar dari kedai tersebut. Kami langsung menuju parkiran menuju parkiran. Gue agak kaget juga bawaan mobilnya rada serem juga nih Dinar. Satu keluaran mobil dari pabrikan asal Jerman, dua pintu. Wow.
“Lo yang nyetir ya? Bisa kan?”
“Haha bisa, tenang aja. Kan gue pengalaman Din.”
“Jadi driver bis antar kota antar propinsi ya? Kan merknya sama, sama-sama dua pintu juga lagi. Hahaha.”
“Haha bebas Din lo mau kata apa juga. Dulu gue juga ada kebetulan. Sekarang aja udah kagak ada lagi.”
“Oh iya? Mantap dong. Tapi kenapa nggak ada lagi sekarang?”
“Sambil jalan aja yuk.”
Gue menyalakan engine dengan menekan satu tombol bulat di dashboard. Teknologi wah waktu itu. Sekarang sih udah banyak mobil-mobil yang begitu. Suara deru mesin yang sangat halus dan jok dari kulit yang aromanya khas membuat nyaman pengendaranya.
“Jakarta aja yuk.” Usul Dinar.
“Macet kali Din. Gila kali. Haha.” Kata gue.
“Kan ntar bisa gantian sama gue Ja nyetirnya.”
“Haha yaudah deh, bebas tuan puteri.”
Mobil sudah keluar dari parkiran dan menuju ke tol. Sepanjang perjalanan gue menceritakan tapi nggak semuanya, hanya inti-intinya aja kenapa gue bisa kehilangan semuanya.
Dinar agak shock mendengar hal itu. Dia juga nggak ngebayang bagaimana dia bisa hidup kalau ada di posisi gue. Karena dari kecil dia sudah sangat berkecukupan. Hampir sama nih kelakuannya sama adik gue Dania, tapi Dania bisa kompromi dan nerima semuanya.
“Gue bingung Ja pasti kalau ada di posisi lo. Hahaha.”
“Gue nggak sih. Biasa aja. Gue membiasakan untuk hidup yang selow-selow aja soalnya. Yang santai dan cukup-cukup aja, nggak usah berlebihan. Haha.”
“Hebat ya lo Ja. Bisa begitu. Andai aja gue bisa kayak gitu juga. Lo mau ajarin gue nggak kayak gitu Ja?”
“Kalo lo kuat kenapa nggak? Haha.”
“Gue coba. Gimana?”
“Silakan Din. Haha. Yaudah mau di tes nggak?”
“kapan?”
“Sekarang.”
“Sekarang? Kok?”
“Mau nggak? Hahaha.”
“Hmm..oke deh. Ayo coba.”
“Nanti ini mobil parkirin di kostan gue dulu aja ya. Nanti kita jalannya naik angkutan umum, gimana?”
“Oke, gue coba ya. Kan sama lo ini. Hehe.”
Gue dan Dinar sampai di kostan udah hampir tengah malam. Tapi ibukota sepertinya nggak akan pernah tidur ya warganya, atau orang-orang yang mencari makan disana. Tetap gemerlap, tetap ramai dan tetap seru. Gue mengajak Dinar makan dikaki lima didaerah Pusat. Gue dan Dinar kesana naik angkutan umum, dari mulai naik bajaj, angkot sampai ojek.
Dinar yang awalnya agak takut dan bergidik, ternyata bisa juga menikmati itu semua. Dan itu pertama kalinya dia lakukan selama hidupnya. Gila, selama hidupnya dia nggak pernah susah dong ya berarti. Haha. Enak banget.
Pulangnya Dinar membeli beberapa minuman beralkohol. Gue udah nolak tapi dia tetap mau minum. Yaudah dia minum tapi gue nggak. Kami pulang ke kostan naik taksi.
“Ja gue udah mulai pusing ni. Gue nginep di kostan lo ya.”
“Yaudah santai aja Din. Lo ntar pake kasur gue aja ya.”
“Makasih ya Ja.”
Dalam keadaan udah mulai teler dia merebahkan kepalanya dibahu kiri gue. Akhirnya dia ketiduran. Sepanjang jalan dia kadang meracau pakai bahasa yang nggak gue kenal. Kayaknya bahasa dari balkan, eropa timur.
Sesampainya didepan kostan, gue menggendong Dinar. Alamak luar biasa berat dia ini. Maklum, tingginya dia hampir sama dengan gue, tapi proporsi bobot tubuhnya lebih berat dari gue kayaknya, seksi banget pokoknya (lihat mulustrasi), jadi berasa juga ngegendong dia.
Gue melepas sepatunya setelah gue rebahkan dia dikasur gue. Gue menyalakan AC dan kemudian menyelimutinya. Dinar tidurnya bunyi cuy. Haha. Mungkin kebanyakan kali minumnya. Tapi nggak juga perasaan. Atau emang dari sananya gitu.
--
Paginya ketika gue bangun, Dinar udah bangun lebih dulu. Dia terlihat udah seger banget daripada semalam.
“Udah seger lo Din?” Kata gue.
“Good morning Ja. Enak banget lo tidur semalam? Haha.”
“Haha lo juga kali. Lo bisa sampe kasur gue gimana ceritanya coba?”
“Digendong lo kan? Haha.”
“Iya makanya gue merhatiin tidur lo. Mana pake bonus bunyi lagi. Haha.”
“Ha? Emang iya ya? Hahaha. Aduh maaf ya Ja. Jadi berisik.”
“Selow aja Din. Haha.”
“Din nama lo ada Illinovic nya belakangnya? Baru tau gue.”
“Haha iya Ja. Kok lo tau? Pasti liat layar HP gue ya?”
“Iya semalem gue bantu charge HP lo dan muncul nama itu di layar. Berasa pemain bola dari Eropa ya. Haha.”
“Itu nama belakang dari keluarga bokap gue. bokap gue keturunan Serbia Ja.” katanya.
“Hooo. Pantesan. Hahaha. Bule lagi yang deket sama gue.”
“Hah? Bule lagi? Maksudnya?”
“Haha nggak Din. Dulu mantan gue kan turunan bule juga sama kayak lo. Bapaknya orang Belgia Din.”
“Ohhh. Hahaha. Hebat ya lo Ja. pasti cakep dong menurut orang sini?”
“Haha iya, tapi menurut orang bule beneran mah malah nggak.”
“Iya sih bener. Haha. Eh semalem kenapa lo minum banyak bener sih? Jadi teler kan lo jadinya.”
“Tau, mungkin gue lagi suntuk aja kali Ja. Masih males aja gue sama kejadian putusnya gue dan cowok gue.”
“Lo belum cerita lengkap Din. Ceritain aja biar asyik.”
Dinar bercerita sambil menyiapkan sandwich yang gue suka.
“Kok lo bikin sandwich?”
“Iya, gue suka sarapan ini soalnya Ja.”
“Oh iya? Sama dong. Gue juga suka makan sandwich Din. Hahaha. Nggak biasa sarapan pake nasi malahan gue. sok bule banget ya? hahaha.”
“Wah iya ya? hahaha. Bisa kebetulan gini.”
Lalu Dinar bercerita tentang cowoknya. Intinya cowoknya ini adalah orang yang sangat kasar. Gue diperlihatkan beberapa luka memar akibat cowok Dinar yang suka memukulnya dilengan.
Gile,cewek secakep ini ditabokin. Haha. Gue aja kalau sama cewek walaupun suka ngomong kasar, tapi nggak kasar secara fisik. Paling pantang gue mukul cewek. Paling banter nusuk pake benda tumpul, itu juga sakit diawal doang, tapi berikutnya malah minta lagi biasanya.
“Terus karena nggak tahan dipukulin mulu dan dikatain kasar-kasar terus, gue minta udahan. Tapi ketika gue minta udahan tu dia kayak yang nyesel seumur-umur gitu Ja. janji nggak ngulangin, tapi begitu lagi selalu. Gue capek Ja. Akhirnya apa yang selama ini gue pertahankan harus bubar juga.”
“Iya sih, gue agak ngeri juga kalau dia kasar kayak gitu. Ntar salah-salah pas lagi kalap malah kebunuh lagi lo. repot. Apalagi dia suka mabuk gitu kan. Takutnya malah jadi bahaya.”
“Iya Ja. makanya sejak pertama kita ketemu dulu di Singapura, sama beberapa kali kita chat, gue ngerasa, masih banyak kok cowok yang santai, yang ngehargain cewek. Salah satunya lo.”
“Hahaha. Gue sih emang maunya baik ke semua orang Din. Ya gue males juga kalau harus kasar-kasar? Buat apa? Toh gue nggak dibesarkan dengan kekerasan di keluarga gue dulu Din. Jadi nggak ada alasan untuk gue menjadi seorang yang kasar. Hahaha.”
“Iya makanya itu Ja. lo pasti bisa dapetin semua tipe cewek yang lo mau kan?”
“Ehhmm. Nggak gitu juga sih. Gue juga perlu usaha kok.”
“Tapi nggak susah kan buat bikin cewek-cewek itu suka sama lo?”
“Hmm..iya sih. Ada yang susah, ada yang gampang. Macem-macem. Hehehe.”
“Kalau seandainya gue nanti jadi suka sama lo gimana?”
“Laah, ya nggak apa-apa kok pake nanya sih Din. Hahaha.”
“Ya, kan gue juga mau Ja, dispesialin sama cowok. Gue tuh udah bertahun-tahun ngejaga hubungan gue yang kayak gitu Ja. jadi gue tuh kayak nggak bisa gitu ngerasain gimana sih kalau dibahagiain sama cowok.”
“Tapi gue kan biasa-biasa aja memperlakukan cewek Din.”
“Menurut lo biasa, tapi menurut gue, dari pihak cewek, itu nggak biasa. Itu ngasih kenyamanan buat kita Ja.”
Lagi-lagi masalah ini yang selalu diangkat. Isu ini seperti udah melekat dalam sikap gue. Gue pun bingung, apakah harus mengurangi hal ini atau bagaimana.
“Hmm. Iya juga kali ya. lo bukan yang pertama ngomong kayak gini Din. Hahaha.”
“Iya, tapi emang bener kan?”
“Kali.. haha. Tapi gue itu orangnya frontal loh Din. Gue seneng banget ngomong kasar. Bangs*t, Anj*ng, Bab*, T*i, dan saudara-saudaranya itu rutin keluar dari mulut gue tiap harinya. Hahaha. Mana gue kan juga tempramental juga, walaupun gue nggak bisa ngasarin cewek.”
“Iya, makanya itu yang menarik Ja dari lo, lo bisa ngimbangin itu dengan sikap lembut dan menyenangkan kalau sama cewek.”
“Haha, selama ini gue nggak bisa jadi diri gue sendiri Din. Kebanyakan nahan gue. gue nggak bisa ngomong kasar leluasa, nggak bisa ini itu. Banyak lah. Gue jadi kayak nggak kenal diri gue sendiri Din.”
“Kok gitu?”
“Ya gue terbiasa dengan cewek-cewek cakep yang menyarankan pasangannya supaya jadi lebih elegan gitu. Padahal menurut gue, dengan gue yang apa adanya juga sebenernya gue bisa tampil elegan kok. Daripada gini kan gue jadi kayak kurang bebas aja gitu.”
“Sama gue sih lo bebas Ja. Lo bisa jadi diri lo sendiri. Gue tau lah anak band itu kayak gimana pemikirannya. Mereka nggak mau dikekang jadi bisa bikin karya yang oke. Kalau seniman dibatasin, ya akhirnya ngaco semuanya. Kayak yang selama ini lo alamin Ja. Gue malah nggak nyangka lo begini. Soalnya setiap ketemu gue kayaknya lo asyik-asyik aja. Hahaha.”
“Ya kan nggak semua harus tau gue lagi kenapa Din. Haha.”
Dinar yang sedari tadi memperhatikan gue ngomong tiba-tiba mencium gue. Gue otomatis langsung berhenti ngomong. Gue tau ini ciuman nafsu. Dinar terus menciumi gue. Tapi gue nggak balas sama sekali. Lalu Dinar menidurkan gue kembali kekasur, dan dia menindih perut gue. Dia menunduk dan kembali menciumi gue. Kali ini sampai turun ke tengkuk, leher, telinga. Anak ini udah biasa kayak gini nih.
“Nggak apa-apa kan Ja?” katanya.
Gue hanya diam aja. Dan dia langsung melanjutkan aksinya. Nggak lama dia malah membuka kaosnya. Lalu branya. Dan gue melihat dengan tercengang. Anj*ng, bangs*t, kok mirip banget kayak punya Keket ini? Gila banget. bentuknya, ukurannya, warnanya, identik banget sama punya Keket.
Tapi gue tersadar dan akhirnya menutup badan Dinar dengan selimut gue. Entah kenapa gue feeling kalau nggak boleh ada kayak gini disini sekarang.
“Maaf Din gue nggak bisa.”
“Kenapa Ja? Kurang ya?”
“Nggak Din. Oke, maafin gue banget.”
Lalu gue memeluk Dinar. Dinar balas memeluk gue.
“Gue nggak akan siap kayaknya kalau untuk pacaran lagi selain sama mantan gue.”
“Kenapa gitu?”
“Gue udah sayang banget sama dia. Dan kalaupun gue pacaran lagi, peluangnya hanya balikan, nggak menjalin hubungan dengan orang lain lagi.”
“Yakin Ja?”
“Iya. Gue yakin.”
Lalu Dinar turun dari perut gue.
“Maafin gue juga ya Ja.”
Dinar memeluk gue lalu kembali mengenakan pakaiannya. Gue bingung sama perasaan gue sendiri waktu itu. Apaan deh, kok peluang besar gitu ditolak? Feeling macam apa ini?
“Ja gue pamit ya?”
“Din lo marah ya sama gue?”
“Nggak kok. Beneran. Tenang aja pertemanan kita masih akan lanjut kok.” Katanya sambil tersenyum manis.
“Makasih ya Din. Gue nggak tau kenapa feeling gue bilang buat nggak ngelakuin ini disini sama lo Din.”
“Iya Ja, nggak apa-apa. Gue ngerti kok. Perasaan gue juga sama sebenernya lagi kacau. Makanya, maafin gue ya. Pokoknya kita keep contact ya.”
“Hmm iya Din..”
Lalu Dinar melangkah keluar dan mengulas senyum manisnya didepan pintu kamar gue. Gue mengantarnya sampai kepagar biar memudahkannya untuk mengeluarkan mobil mewahnya.
Sekitar setengah jam berikutnya, ada lagi yang mengetuk pintu kostan gue. Dan suaranya seperti nggak asing bagi gue. Gue sedang main PS pakai headset, jadinya nggak dengar awalnya.
“Tolong bukain pintunya ya..” kata suara itu lembut.
“Hei Din, apa kabar lo? Haha. Ayo sini gabung.” Kata gue.
“Iya Ja. Kabar baik gue. Lo kok sendirian aja? Nggak sama cewek lo?” Kata Dinar.
“Gue udahan sama cewek gue Din. Hehe. Udah sekitar dua bulan lalu gue udahan. Lo sama siapa kesini?”
“Waduh, sori Ja gue nggak tau. Gue sama dua temen gue, kakak adik. Yang waktu di panggungan Radio Kota dulu itu gue ngedance sama mereka.”
“Oh iya iya gue inget. Lo waktu itu bertiga ya.”
“Iya bener. Nah itu lo tau. Hehe.”
“Terus gimana? Cowoknya temen lo itu masih ngejar-ngejar lo Din? Haha.”
“Udah nggak sih Ja. Dan kayaknya temen gue juga udah bubaran sama cowoknya itu. Tapi nggak tau juga sih.”
“Pesen minum aja dulu Din.”
Gue nggak nyangka Dinar malah bisa ketemu disini. Dia kuliah di salah satu universitas swasta terkenal di kota tetangga. Makanya gue kaget kok dia ada disini. Haha.
“Lo tumben amat balik?”
“Iya gue lagi suntuk Ja. Apalagi dua hari lalu gue abis putus juga sama cowok gue. Jadi males balik kesana gue. Males kuliah.”
“Haha enak banget ya, males kuliah bisa langsung cabut. Coba dikampus gue, bisa bisa diancem DO tuh. Hahaa.”
“Kampus lo kan Negeri Ja. Kalo gue di swasta mah yang penting bayar aja yang teratur. Makanya kalau di kampus gue ada istilah mahasiswa abadi, kalo dikampus lo nggak ada kan? Hahaha.”
“Haha iya juga sih. Tapi seinget gue nggak semua kampus swasta selonggar itu loh. Ada juga yang ketat. Kan akreditasi juga penting buat naikin nama baik kampus.”
“Iya sih bener. Tapi gue sih bodo amat. Yang penting gue udah bisa kuliah udah syukur.”
“Haha udah ah, nggak usah ngomongin kampus Din. Jalan aja yuk abis ini. Habisin dulu minuman lo ya.”
“Oke Ja. Mau kemana? Gue bawa mobil.”
“Temen lo gimana?”
“Mereka juga bawa mobil kok. Jadi nanti gue suruh pulang duluan aja.”
Setelah Dinar menghabiskan minumannya, gue dan dia keluar dari kedai tersebut. Kami langsung menuju parkiran menuju parkiran. Gue agak kaget juga bawaan mobilnya rada serem juga nih Dinar. Satu keluaran mobil dari pabrikan asal Jerman, dua pintu. Wow.
“Lo yang nyetir ya? Bisa kan?”
“Haha bisa, tenang aja. Kan gue pengalaman Din.”
“Jadi driver bis antar kota antar propinsi ya? Kan merknya sama, sama-sama dua pintu juga lagi. Hahaha.”
“Haha bebas Din lo mau kata apa juga. Dulu gue juga ada kebetulan. Sekarang aja udah kagak ada lagi.”
“Oh iya? Mantap dong. Tapi kenapa nggak ada lagi sekarang?”
“Sambil jalan aja yuk.”
Gue menyalakan engine dengan menekan satu tombol bulat di dashboard. Teknologi wah waktu itu. Sekarang sih udah banyak mobil-mobil yang begitu. Suara deru mesin yang sangat halus dan jok dari kulit yang aromanya khas membuat nyaman pengendaranya.
“Jakarta aja yuk.” Usul Dinar.
“Macet kali Din. Gila kali. Haha.” Kata gue.
“Kan ntar bisa gantian sama gue Ja nyetirnya.”
“Haha yaudah deh, bebas tuan puteri.”
Mobil sudah keluar dari parkiran dan menuju ke tol. Sepanjang perjalanan gue menceritakan tapi nggak semuanya, hanya inti-intinya aja kenapa gue bisa kehilangan semuanya.
Dinar agak shock mendengar hal itu. Dia juga nggak ngebayang bagaimana dia bisa hidup kalau ada di posisi gue. Karena dari kecil dia sudah sangat berkecukupan. Hampir sama nih kelakuannya sama adik gue Dania, tapi Dania bisa kompromi dan nerima semuanya.
“Gue bingung Ja pasti kalau ada di posisi lo. Hahaha.”
“Gue nggak sih. Biasa aja. Gue membiasakan untuk hidup yang selow-selow aja soalnya. Yang santai dan cukup-cukup aja, nggak usah berlebihan. Haha.”
“Hebat ya lo Ja. Bisa begitu. Andai aja gue bisa kayak gitu juga. Lo mau ajarin gue nggak kayak gitu Ja?”
“Kalo lo kuat kenapa nggak? Haha.”
“Gue coba. Gimana?”
“Silakan Din. Haha. Yaudah mau di tes nggak?”
“kapan?”
“Sekarang.”
“Sekarang? Kok?”
“Mau nggak? Hahaha.”
“Hmm..oke deh. Ayo coba.”
“Nanti ini mobil parkirin di kostan gue dulu aja ya. Nanti kita jalannya naik angkutan umum, gimana?”
“Oke, gue coba ya. Kan sama lo ini. Hehe.”
Gue dan Dinar sampai di kostan udah hampir tengah malam. Tapi ibukota sepertinya nggak akan pernah tidur ya warganya, atau orang-orang yang mencari makan disana. Tetap gemerlap, tetap ramai dan tetap seru. Gue mengajak Dinar makan dikaki lima didaerah Pusat. Gue dan Dinar kesana naik angkutan umum, dari mulai naik bajaj, angkot sampai ojek.
Dinar yang awalnya agak takut dan bergidik, ternyata bisa juga menikmati itu semua. Dan itu pertama kalinya dia lakukan selama hidupnya. Gila, selama hidupnya dia nggak pernah susah dong ya berarti. Haha. Enak banget.
Pulangnya Dinar membeli beberapa minuman beralkohol. Gue udah nolak tapi dia tetap mau minum. Yaudah dia minum tapi gue nggak. Kami pulang ke kostan naik taksi.
“Ja gue udah mulai pusing ni. Gue nginep di kostan lo ya.”
“Yaudah santai aja Din. Lo ntar pake kasur gue aja ya.”
“Makasih ya Ja.”
Dalam keadaan udah mulai teler dia merebahkan kepalanya dibahu kiri gue. Akhirnya dia ketiduran. Sepanjang jalan dia kadang meracau pakai bahasa yang nggak gue kenal. Kayaknya bahasa dari balkan, eropa timur.
Sesampainya didepan kostan, gue menggendong Dinar. Alamak luar biasa berat dia ini. Maklum, tingginya dia hampir sama dengan gue, tapi proporsi bobot tubuhnya lebih berat dari gue kayaknya, seksi banget pokoknya (lihat mulustrasi), jadi berasa juga ngegendong dia.
Gue melepas sepatunya setelah gue rebahkan dia dikasur gue. Gue menyalakan AC dan kemudian menyelimutinya. Dinar tidurnya bunyi cuy. Haha. Mungkin kebanyakan kali minumnya. Tapi nggak juga perasaan. Atau emang dari sananya gitu.
--
Paginya ketika gue bangun, Dinar udah bangun lebih dulu. Dia terlihat udah seger banget daripada semalam.
“Udah seger lo Din?” Kata gue.
“Good morning Ja. Enak banget lo tidur semalam? Haha.”
“Haha lo juga kali. Lo bisa sampe kasur gue gimana ceritanya coba?”
“Digendong lo kan? Haha.”
“Iya makanya gue merhatiin tidur lo. Mana pake bonus bunyi lagi. Haha.”
“Ha? Emang iya ya? Hahaha. Aduh maaf ya Ja. Jadi berisik.”
“Selow aja Din. Haha.”
“Din nama lo ada Illinovic nya belakangnya? Baru tau gue.”
“Haha iya Ja. Kok lo tau? Pasti liat layar HP gue ya?”
“Iya semalem gue bantu charge HP lo dan muncul nama itu di layar. Berasa pemain bola dari Eropa ya. Haha.”
“Itu nama belakang dari keluarga bokap gue. bokap gue keturunan Serbia Ja.” katanya.
“Hooo. Pantesan. Hahaha. Bule lagi yang deket sama gue.”
“Hah? Bule lagi? Maksudnya?”
“Haha nggak Din. Dulu mantan gue kan turunan bule juga sama kayak lo. Bapaknya orang Belgia Din.”
“Ohhh. Hahaha. Hebat ya lo Ja. pasti cakep dong menurut orang sini?”
“Haha iya, tapi menurut orang bule beneran mah malah nggak.”
“Iya sih bener. Haha. Eh semalem kenapa lo minum banyak bener sih? Jadi teler kan lo jadinya.”
“Tau, mungkin gue lagi suntuk aja kali Ja. Masih males aja gue sama kejadian putusnya gue dan cowok gue.”
“Lo belum cerita lengkap Din. Ceritain aja biar asyik.”
Dinar bercerita sambil menyiapkan sandwich yang gue suka.
“Kok lo bikin sandwich?”
“Iya, gue suka sarapan ini soalnya Ja.”
“Oh iya? Sama dong. Gue juga suka makan sandwich Din. Hahaha. Nggak biasa sarapan pake nasi malahan gue. sok bule banget ya? hahaha.”
“Wah iya ya? hahaha. Bisa kebetulan gini.”
Lalu Dinar bercerita tentang cowoknya. Intinya cowoknya ini adalah orang yang sangat kasar. Gue diperlihatkan beberapa luka memar akibat cowok Dinar yang suka memukulnya dilengan.
Gile,cewek secakep ini ditabokin. Haha. Gue aja kalau sama cewek walaupun suka ngomong kasar, tapi nggak kasar secara fisik. Paling pantang gue mukul cewek. Paling banter nusuk pake benda tumpul, itu juga sakit diawal doang, tapi berikutnya malah minta lagi biasanya.
“Terus karena nggak tahan dipukulin mulu dan dikatain kasar-kasar terus, gue minta udahan. Tapi ketika gue minta udahan tu dia kayak yang nyesel seumur-umur gitu Ja. janji nggak ngulangin, tapi begitu lagi selalu. Gue capek Ja. Akhirnya apa yang selama ini gue pertahankan harus bubar juga.”
“Iya sih, gue agak ngeri juga kalau dia kasar kayak gitu. Ntar salah-salah pas lagi kalap malah kebunuh lagi lo. repot. Apalagi dia suka mabuk gitu kan. Takutnya malah jadi bahaya.”
“Iya Ja. makanya sejak pertama kita ketemu dulu di Singapura, sama beberapa kali kita chat, gue ngerasa, masih banyak kok cowok yang santai, yang ngehargain cewek. Salah satunya lo.”
“Hahaha. Gue sih emang maunya baik ke semua orang Din. Ya gue males juga kalau harus kasar-kasar? Buat apa? Toh gue nggak dibesarkan dengan kekerasan di keluarga gue dulu Din. Jadi nggak ada alasan untuk gue menjadi seorang yang kasar. Hahaha.”
“Iya makanya itu Ja. lo pasti bisa dapetin semua tipe cewek yang lo mau kan?”
“Ehhmm. Nggak gitu juga sih. Gue juga perlu usaha kok.”
“Tapi nggak susah kan buat bikin cewek-cewek itu suka sama lo?”
“Hmm..iya sih. Ada yang susah, ada yang gampang. Macem-macem. Hehehe.”
“Kalau seandainya gue nanti jadi suka sama lo gimana?”
“Laah, ya nggak apa-apa kok pake nanya sih Din. Hahaha.”
“Ya, kan gue juga mau Ja, dispesialin sama cowok. Gue tuh udah bertahun-tahun ngejaga hubungan gue yang kayak gitu Ja. jadi gue tuh kayak nggak bisa gitu ngerasain gimana sih kalau dibahagiain sama cowok.”
“Tapi gue kan biasa-biasa aja memperlakukan cewek Din.”
“Menurut lo biasa, tapi menurut gue, dari pihak cewek, itu nggak biasa. Itu ngasih kenyamanan buat kita Ja.”
Lagi-lagi masalah ini yang selalu diangkat. Isu ini seperti udah melekat dalam sikap gue. Gue pun bingung, apakah harus mengurangi hal ini atau bagaimana.
“Hmm. Iya juga kali ya. lo bukan yang pertama ngomong kayak gini Din. Hahaha.”
“Iya, tapi emang bener kan?”
“Kali.. haha. Tapi gue itu orangnya frontal loh Din. Gue seneng banget ngomong kasar. Bangs*t, Anj*ng, Bab*, T*i, dan saudara-saudaranya itu rutin keluar dari mulut gue tiap harinya. Hahaha. Mana gue kan juga tempramental juga, walaupun gue nggak bisa ngasarin cewek.”
“Iya, makanya itu yang menarik Ja dari lo, lo bisa ngimbangin itu dengan sikap lembut dan menyenangkan kalau sama cewek.”
“Haha, selama ini gue nggak bisa jadi diri gue sendiri Din. Kebanyakan nahan gue. gue nggak bisa ngomong kasar leluasa, nggak bisa ini itu. Banyak lah. Gue jadi kayak nggak kenal diri gue sendiri Din.”
“Kok gitu?”
“Ya gue terbiasa dengan cewek-cewek cakep yang menyarankan pasangannya supaya jadi lebih elegan gitu. Padahal menurut gue, dengan gue yang apa adanya juga sebenernya gue bisa tampil elegan kok. Daripada gini kan gue jadi kayak kurang bebas aja gitu.”
“Sama gue sih lo bebas Ja. Lo bisa jadi diri lo sendiri. Gue tau lah anak band itu kayak gimana pemikirannya. Mereka nggak mau dikekang jadi bisa bikin karya yang oke. Kalau seniman dibatasin, ya akhirnya ngaco semuanya. Kayak yang selama ini lo alamin Ja. Gue malah nggak nyangka lo begini. Soalnya setiap ketemu gue kayaknya lo asyik-asyik aja. Hahaha.”
“Ya kan nggak semua harus tau gue lagi kenapa Din. Haha.”
Dinar yang sedari tadi memperhatikan gue ngomong tiba-tiba mencium gue. Gue otomatis langsung berhenti ngomong. Gue tau ini ciuman nafsu. Dinar terus menciumi gue. Tapi gue nggak balas sama sekali. Lalu Dinar menidurkan gue kembali kekasur, dan dia menindih perut gue. Dia menunduk dan kembali menciumi gue. Kali ini sampai turun ke tengkuk, leher, telinga. Anak ini udah biasa kayak gini nih.
“Nggak apa-apa kan Ja?” katanya.
Gue hanya diam aja. Dan dia langsung melanjutkan aksinya. Nggak lama dia malah membuka kaosnya. Lalu branya. Dan gue melihat dengan tercengang. Anj*ng, bangs*t, kok mirip banget kayak punya Keket ini? Gila banget. bentuknya, ukurannya, warnanya, identik banget sama punya Keket.
Tapi gue tersadar dan akhirnya menutup badan Dinar dengan selimut gue. Entah kenapa gue feeling kalau nggak boleh ada kayak gini disini sekarang.
“Maaf Din gue nggak bisa.”
“Kenapa Ja? Kurang ya?”
“Nggak Din. Oke, maafin gue banget.”
Lalu gue memeluk Dinar. Dinar balas memeluk gue.
“Gue nggak akan siap kayaknya kalau untuk pacaran lagi selain sama mantan gue.”
“Kenapa gitu?”
“Gue udah sayang banget sama dia. Dan kalaupun gue pacaran lagi, peluangnya hanya balikan, nggak menjalin hubungan dengan orang lain lagi.”
“Yakin Ja?”
“Iya. Gue yakin.”
Lalu Dinar turun dari perut gue.
“Maafin gue juga ya Ja.”
Dinar memeluk gue lalu kembali mengenakan pakaiannya. Gue bingung sama perasaan gue sendiri waktu itu. Apaan deh, kok peluang besar gitu ditolak? Feeling macam apa ini?
“Ja gue pamit ya?”
“Din lo marah ya sama gue?”
“Nggak kok. Beneran. Tenang aja pertemanan kita masih akan lanjut kok.” Katanya sambil tersenyum manis.
“Makasih ya Din. Gue nggak tau kenapa feeling gue bilang buat nggak ngelakuin ini disini sama lo Din.”
“Iya Ja, nggak apa-apa. Gue ngerti kok. Perasaan gue juga sama sebenernya lagi kacau. Makanya, maafin gue ya. Pokoknya kita keep contact ya.”
“Hmm iya Din..”
Lalu Dinar melangkah keluar dan mengulas senyum manisnya didepan pintu kamar gue. Gue mengantarnya sampai kepagar biar memudahkannya untuk mengeluarkan mobil mewahnya.
Sekitar setengah jam berikutnya, ada lagi yang mengetuk pintu kostan gue. Dan suaranya seperti nggak asing bagi gue. Gue sedang main PS pakai headset, jadinya nggak dengar awalnya.
“Tolong bukain pintunya ya..” kata suara itu lembut.
itkgid dan 35 lainnya memberi reputasi
36
Tutup
![Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2](https://s.kaskus.id/images/2019/10/14/10668384_20191014114347.jpg)
![Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2](https://s.kaskus.id/images/2019/11/11/10668384_20191111104352.png)
Mulustrasi Dwina, 98,66% mirip, tapi Dwina tinggi kurus langsing
Mulustrasi Rinda, 85% mirip cewek ini, baik badan maupun mukanya
Mulustrasi Dinar, 99,17% mirip, tapi Dinar tinggi semampai dan matanya lebih lebar
serta apresiasi cendol

) Sungguh Tuhan sangat baik pada gue dengan mengirimkan informasi melalui orang ini.