Kaskus

Story

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
Rekan kerja
Rekan kerja

Prolog

Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?

Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.

Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!


INDEKS
Spoiler for .:


Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:


(Part 1)

Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....

Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.

"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."

Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?

"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.

"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."

Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.

Kami mengobrol sepuluh menitan.

Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.

****

Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.

Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.

Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.

Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"

Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.

"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.

Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."

"Ya,ya, ayo duduk!"

Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.

"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.

"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"

"Ya, Pak. Benar."

"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.

"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.

"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."

"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"

"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."

Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.

"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.

".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"

"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.

"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."

Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.

Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.

Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.

Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.

Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.

"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.

"Terima kasih," ucapku.

"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.

Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.

Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.

"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.

"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.

"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."

"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"

"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."

Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.

Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.

-----

Jam istirahat ....

"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.

"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.

"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.

"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"

"Pak Sujiwo."

"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"

Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.

Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.

Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.

"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."

Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.

"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.

Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.

"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.

"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.

Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.

Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.

Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....

****

Pukul 08.30 WIB

Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.

Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.

Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.

Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.

"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."

Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.

"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.

"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"

"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.

Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.

Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!

Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....

"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.

Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.

Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."

"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."

"Nggih, Pak."

Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.

Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.

Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.

"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.

"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.

"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"

"...." Aku tak bisa berkata.

"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"

Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.

"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."

Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.

"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.

"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.

"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.

Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.

"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.

"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.

Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.

"Awas kau!" Ancamnya kemudian.

Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.

Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....

(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
erman123Avatar border
OkkyVanessaMAvatar border
manik.01Avatar border
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.4KAnggota
Tampilkan semua post
shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
#30
Rekan Kerja (part 5)
Terik matahari mulai hangat terasa, membuatku setengah berlari menuju pintu gerbang pabrik. Sesekali kutengok jam yang melingkar di tangan. Ah,masih belum terlambat.

Dalam deru langkah, hampir saja kuterjatuh menimpuk kotak sampah yang berada di pojok loby. Kepalaku memang sedikit pening.

"Selamat pagi, Mas Dani." Dari dalam pintu masuk kantor, Pak Ikhsan menyapa sembari mengulas senyum, membuatku sedikit malu. Sepertinya ia sadar melihatku tengah terhuyung.

"Pagi, Pak," balasku pada cleaning servis paruh baya itu.

Sesekali aku menguap. Ya ampun, benar-benar mengantuk hebat!

Kupercepat kembali langkah kaki menuju ruangan admin dengan mata sengaja kubelalakkan lebih lebar. Semoga saja tak seorang pun melihatku dalam keadaan setengah sadar ini. Akibat semalaman teleponan dengan Adel sampai jam dua dini hari, aku terlanjur insomnia hingga menjelang pagi.
Sekarang, baru terasa ini mata sulit sekali terbuka. Selalu saja ingin mengatup. Padahal ini jam kerja.

Hoaaaeeehm, menguap lagi.

Selesai ceklok pagi, aku langsung tancap memasuki ruanganku. Sebelum masuk, kucuci muka dari wastafel yang berada pas di depan ruang admin.

Namun saat langkahku memasuki ruangan, kedua mata ini terkejut seketika mendapati si Rian sudah duduk anteng di mejanya.

Tanpa basa-basi, langsung kududuki tempatku, dan lekas menghidupkan komputer. Entah ... kepalaku jadi semakin pusing. Apakah hari ini aku salah masuk shift? Sepertinya rasa kantukku benar-benar tak mampu mengontrol otak dalam berpikir.

Masih dengan posisi bingung, cepat-cepat kuperiksa ponsel. Melirik kalender yang terpampang dari balik wallpaper. Eh, ternyata benar! Sekarang hari Jumat, kok. Aku masih shift pagi.

Eh, tapi ... kenapa Rian hari ini ikut shift-ku?
Hmmm, tak usahlah menanyakan!
Belum tentu jawabannya mengenakkan telinga.

Aku langsung bergegas pergi dari ruangan, melanjutkan aktivitas seperti biasa ....

****

"Woeeii, Mas Dani!" suara khas Pak Syaiful dari belakang, membuatku segera menge-rem motor.

Lelaki bertubuh tambun dengan tinggi 160'an itu menghampiriku terengah-engah sambil menenteng sebuah map.

"Nyoh, Mas!"

"Lho, Pak ... tak usah wara-wiri! Biar saya saja yang ngambil ke gudang."

"Rapopo, Mas (Tidak apa-apa, Mas). Sekalian saya mau ke gudangnya Pak Romi, minta jatah lembur. Ini anak-anak pada komplain minta lemburan buat tahun baru."

Kuterima map itu dari tangan Pak Syaiful seraya berucap, "Suwun, Pak Ipul. (makasih)"

"Nggeh, sami-sami. (ya, sama-sama) Eh, Mas, kenapa matanya itu? Habis begadang ya kayaknya?"

Mendengar itu, aku langsung melebarkan kedua mataku dan berucap,"Ya sedikit ngantuk, Pak. Kelihatan banget ya, Pak?"

"Ya gak kelihatan lagi, Mas. Emang udah nampak jelas itu. Hahahaha ...."

Aku tersenyum sembari menutup mulutku yang tengah menguap.

"Suruh bikin kopi si Udin, Mas," saran Pak Syaiful kemudian. Menyebutkan nama salah satu Office Boy di kantor.

"Nggih, Pak. Tadi sudah bungkus dari rumah. Dibuatkan Mbak."

"Awas ngetik'e salah kabeh,Mas. Diamuk maneh modiyyaaarrr samean, hahahahah .... (awas ngetiknya salah semua, Mas. Dimarahi lagi, mati anda) "

Aku ikut tertawa mendengar guyonan Pak Syaiful. Tak banyak bicara,lantas aku berpamitan pergi sembari melajukan motor.

Kukebut segera aktivitas yang sudah menjadi rutinitasku bekerja. Menghampiri beberapa gudang, mengambili form, beralih dari satu gudang ke gudang lain.

Selesai semua, akhirnya kulajukan motor kembali menuju kantor.

*****

Ruang admin.

Kubuka map di meja, mengambil selembar form, mulai menginput. Baru saja selesai mengerjakan satu lembar, suara menyebalkan itu berseru.

"Apa matamu tak lihat, ada dua gelas teh di mejaku?"

Tanganku berhenti memijat keyboard, beralih memandang mejanya yang dua jangkah didepanku, di samping pojok.

"Apa itu tehku?"

"Mbuh. Masih tanya saja! Lihat di mejamu ada teh apa tidak?"

Aku tak membalas bicaranya. Segera beranjak, mengambil satu gelas teh dari mejanya, lalu kembali lagi ke mejaku.

Perkara gini doank bisa jadi rame!
Hoaeeehmm, aku menguap lagi.

Sontak aku teringat kopi yang dibungkuskan mbak Diah untukku. Kuraih gelas teh didepanku, kemudian menuju wastafel yang ada didepan.

Cuuuurrr ....
Kukucurkan habis teh dari gelas itu, lalu kubawa kembali masuk tanpa mencucinya.
Tanganku kemudian meraih sebuah bungkusan plastik dari dalam tas. Ganti kukucurkan kopi bekal itu kedalam gelas bekas teh.

Rian yang penasaran, nampak menoleh, matanya tak lepas memandang. Akhirnya kudengar lagi kata-kata menyebalkan dari mulutnya.

"Kau pikir aku menaruh racun di gelasmu? Sampai kau ganti tehmu dengan minuman yang kau bawa," ucapnya dengan nada kesal.

Aku tersenyum. "Mbok ya, jangan suudzon!" balasku santai.

"Munafik."

Aku masih saja tersenyum mendengarnya.

"Gak usah sok. Koen iku nisorku! Gak onok opo-opone mbek aku. (Kamu itu bawahanku, tak ada apa-apanya denganku) Lihat saja, sebentar lagi kau bakal di pindah ke belakang," serunya lagi dengan raut muka sinis.

Aku menimpali santai. Meneguk sedikit kopi, lalu bertanya seolah-olah bodoh,"Memang begitu, ya? Kira-kira dipindah kemana?"

"Ha ha ha, kenapa aku harus tahu?"

"Lalu, siapa yang bilang begitu?"

"Menurutmu?" Dia balik bertanya.

"Oohh, ya sudah lah."

"Ya sudah ... jangan bicara lagi! ngomong'ae koen iku (bicara saja kau itu) ... diajak ngomong sekali saja sok akrab. Males aku akrab denganmu!"

Aku tersenyum kecil mendengarnya. Lama-lama terlihat lucu juga pria di depanku ini.

"Asal kau tahu, ya? Pak Dika itu tak berani padaku. Sudah kubilang, kau jangan macam-macam."

Ckckck! Aku menggeleng-gelengkan kepala memandangnya. Masih saja belaga. 'Benar tak berani, mungkin lebih tepatnya sungkan karena ayahmu! Begitu sombongnya dirimu,' gumamku.

Namun, tak pernah kuambil hati omongannya. Kuanggap aku sedang satu ruangan dengan orang gila.

Kukebut kerjaku dengan semangat. Mataku seketika enggan  menutup kembali. Kantukku langsung hilang seketika. Begitu semangatnya aku hari ini. Aku yakin pak Dika akan memberikan pekerjaan lebih baik padaku dari ini. Seperti janjinya di awal.

****

Pukul 17.15 WIB.

Aku segera mengemasi barangku, menata meja kerja, kemudian beranjak dan pergi meninggalkan ruang admin.

Rian sudah pulang lebih dulu sepuluh menit yang lalu. Sengaja kubiarkan dia pulang duluan, kuatir menimbulkan masalah jika aku meninggalkan ruanganku lebih dulu. Aku tahu, dia selalu ingin menjadi yang utama. Dia tak pernah mau didahului dalam hal apapun.

"Hei, Dan!"

Kuhentikan langkahku sesaat setelah kudengar suara Pak Dika memanggil.

Tanpa menunggu perintahnya lagi, aku langsung mengambil langkah cepat menghadapnya.

"Ya, Pak." Aku mengangguk kecil padanya yang seperti sedang terburu-buru.

"Jangan pulang dulu! Kamu langsung menuju ruangannya Sefti. Tahu,kan?" ucapnya sembari membalutkan jaket kulit ke tubuhnya.

"Oh, iya, Pak ... tadi saat jam rehat, sudah saya tanyakan pada Bu Firda tempatnya."

"Oh, oke oke ... kamu makan dulu saja! Nanti setelah selesai magrib, baru menemui Sefti."

Aku mengangguk tanpa menjawab.

Pak Dika lalu memegang pundakku dengan tangan kirinya, sembari tersenyum.
"Pertahankan!" ucapnya lirih.

Lagi-lagi aku mengangguk.

Seusai bicara seperti itu, lelaki itu langsung ngeluyur meninggalkanku tanpa pamit.

Entah kenapa, perasaan bersemangatku jauh lebih tinggi dari biasanya. Kulangkahkan kaki gontai menuju mesin ceklok, setelah selesai langsung melenggang pergi menuju ruangan perempuan bernama Sefti itu.

*****

Aku mengetuk pintu ruangan Sefti pelan. Suara dari dalam ruangan berseru menjawab. Perlahan kudorong pintu semi-transparan itu, lalu masuk dengan menenteng tas di tangan.

"Hallo! Mas Dani, ya? Saya Sefti."
Wanita bertubuh kecil itu mengulurkan tangannya padaku sambil tersenyum.

Aku mengangguk pelan, menjabat tangannya lembut seraya berkata,"Mohon bimbingannya!"

"Oke." Wanita bernama sefti itu membalas singkat, masih dengan senyum manisnya. Ia lalu kembali menduduki kursinya, mengalihkan pandangan pada monitor di hadapan. Tangannya yang kecil putih, mulai menggerakkan mouse.

Sefti ... sepertinya dia seumuranku.  Pawakannya kecil, sedang saja -tak tinggi, tak juga pendek-,baby face. Malah terlihat seperti anak baru SMA. Kulitnya putih, rambutnya lurus dengan ujung mengombak kemerahan.
Gadis itu terkenal ramah dan murah senyum9 sepenuturan orang-orang.

"Ehm .... memang kata Pak Dika, Mas Dani mau di bagian apa?" tanyanya tiba-tiba.

"Oh, eh, apa yaa?" Aku gugup dan salah tingkah menjawabnya.

"Apa Mas Dani mau kerja bareng saya, ya? Hehe," ucapnya lagi menduga-duga.

"Ehm .... tak tahu, Mbak. Saya disuruh belajar autocad dulu sama embak," balasku  sembari mengeluarkan laptop milikku dari dalam tasku.

Sekilas Sefti menoleh, lalu menghadap komputernya kembali.

"Buat apa bawa laptop,Mas?"

"Eh, anu Mbak ... buat belajar autocad di rumah juga nanti. Biar cepat bisa."

"Oooh, jadi kita belajar dari laptop Mas Dani sajakah?"

"Terserah, Mbak."

Sefti kemudian memutar kursinya menghadapku. Kemudian diraihnya laptopku.

"Udah ada autocadnya belum?"

"Belum, Mbak."

Tanpa menyahut lagi, gadis itu mulai mencolokkan kabel USB.

Kami terdiam.

Selagi Sefti sibuk, mataku mulai berputar memperhatikan sudut-sudut ruangan. Bersih sekali ruangannya, harum pula. Arsip-arsip tertata rapi, dengan segala perabot yang mengkilat seperti tanpa debu. Benar-benar nyaman sekali yang berada di dalamnya.

"Gimana ya trainingnya?" Sefti berseru, mengagetkanku yang tengah melamun.

Dia memperlihatkan layar laptop padaku.

"Aku bingung jelasin awalnya dari mana. Belum pernah training orang. Hemmm ...."

"Hehe, gak usah bingung, Mbak! wis samean ngomong sembarang. (Anda bicara terserah)"

"Lho? Kalo gitu tak jak curhat'ae wis. Piye? (Kalo gitu kuajak curhat saja, gimana?)"

Spontan kami berdua tertawa.

"Aneh-aneh kamu ini, Mas!"

"Lha, trus gimana? Saya lihatin mbak aja, deh. Nanti kalau saya bingung baru saya bertanya."

"Lho? Liatin saya?" pekik wanita itu dengan nada tak percaya.

"Eh, monitor, mbak maksudnya."

"Wiiihhh, keren. Modal liatin monitor doang, yakin bisa?"

"Yaaaa, ndak tahu sih. Ya coba saja saya lihat."

"Nggak bisa gitu. Jelas nggak mudeng nanti."

Wanita itu kemudian menunduk ke bawah meja. Mengambil sesuatu di dalam sebuah tas yang diambilnya dari laci.

"Nih, cemilan!" Diulurkannya sebuah plastik hitam itu padaku. Kulirik isinya ada beberapa macam makanan ringan.

"Enggak deh, Mbak. Makasih..." kuletakkan plastik itu diatas meja.

"Kenapa? Gak usah sungkan, biasa saja. Eh, kripik pisang coklat itu enak. Coba deh!" Sefti meraih bungkus kresek hitam itu, lalu membuka satu kemasan. Diincipnya sebiji, kemudian sisanya disodorkan kembali padaku.

"Makan aja, Mas. Gak usah sungkan!" ujarnya, yang membuatku tersenyum mengiyakan.

"Mas Dani shift pagi?"

"Ya, Mbak."

"Berarti kalau sekarang ada di sini, dihitung lembur,dong?"

"Ehm, ndak tau, Mbak."

"Kok, nggak tahu? Ya pasti lah."

Aku diam lagi.

"Aku shift siang. Jadi baru beberapa jam saja masuk. Ngomong-ngomong, Mas Dani gak penat apa ya, harus kerja lagi. Kok ya nggak dari pagi tadi aja sih pak Dika nyuruh?"

Aku terdiam sejenak, lalu berkata, "Memang kata Pak Dika, sementara saya masih kerja di admin, Mbak. Jadi pagi tadi saya masih nginput kerjanya."

Sefti manggut-manggut. Matanya terus memandangku tajam. Hampir lima menitan dia menatapku awas, membuatku salah tingkah dan gak enak.

"Ehm, Mbak. Ruangan kerja samean besar, ya?" Aku mencoba mengalihkan pandangannya dengan mengajaknya berbasa-basi.

Perempuan itu mulai melirik sekitarnya. "Memang ruanganmu? Seberapa?" tanyanya.

"Ya. Lumayanlah, lebih kecil dari ini," jawabku lirih. Akhirnya aku berhasil membuatnya mengalihkan pandangan.

"Perasaan ini gak besar, kok. Lihat saja perabotnya, hampir memenuhi ruangan. Emang sesempit apa ruangan admin gudang?"

"Ehm, yang jelas lebih besar tempat kerja Mbak Sefti lah. Admin gudang masih di bawahnya. Mungkin karena ada dua orang di dalamnya yang membuat sempit. He je he ...."

"Kok bisa? Itu ruangan baru, kan? Coba deskripsikan, jadi pingin ngerti."

Hadeeeehhh, aku menggumam dalam hati. Jadi dongeng ini ntar ceritanya.

"Yaaa ... gimana ya, Mbak. Meja saya dengan meja rekan saya hanya selisih dua jangkah. Dia di depan pojok kanan, dan saya di belakang pojok kiri. Sementara samping saya persis sudah rak map yang berdiri menyamping. Dua langkah lagi ke depan dari meja rekan saya sudah pintu. Heeeemm, terbatas lah, Mbak."

Sefti hanya tersenyum mendengarku. Kemudian berkata, "Mas Daniiii, saya beritahu, nggih ... kalian kerja dua orang dengan posisi yang sama, kan? Admin satu dan admin dua saling berhubungan karena memang kerjanya satu fungsi. Maka tempatnya harus berdekatan. Agar apa? Agar mudah menjangkau jarak. Nah, kalau butuh 'kan, yang depan bisa langsung putar kursi tanpa repot-repot melangkah. Memang sudah diatur seperti itu ...."

Aku terdiam. Benar juga yang dia bilang. Tatanan yang awal malah hanya sejangkah dari mejaku. Cuma Rian lebih menyeretnya ke depan lagi.

"Ada AC-nya kan? Tak masalah dong, selagi tak membuat pengap dan gerah. Lampu juga selalu On," lanjutnya lagi.

"Iya, Mbak," aku membalas lirih. Jadi tak enak sendiri membahas ruang kerjaku. Terkesan membandingkan.

"Heeeemm, paling yang bikin sempit, ruang di hatinya lagi surem. Hihihi ... gara-gara anak Pak Heri, kan?"

Ceplosan kalimat itu membuatku sedikit tersentak. Kaget campur malu. Yang membuat malu karena seorang wanita cantik yang berkata padaku. Namun, memang tak heran jika perdebatan kami yang cukup lama ini mengundang rasa penasaran orang untuk bertanya. Memang sudah menjadi asumsi publik di kantor. Semua yang awalnya tak mengenalku, jadi mengenalku. Dan banyak orang yang tak mengenalku selalu menyapa jika berpapasan.

"Maaf, Mbak. Sebenarnya kami berdua hanya salah paham. Tapi, memang Rian itu sedikit dhengkal. Aku wis berusaha njelasno, tapi dia tak pernah mau dengar. Opo maneh, wis gak percoyo ...." (aku sudah berusaha menjelaakan, tapi dia gak pernah mau dengar. Apalagk, sudah tak percaya)

"Heeeemmm ... gitu, ya?"

"Nggih, mbak. Tapi saya tak ambil pusing, Mbak. Mungkin mbak sendiri sudah paham bagaimana sifat dia di sini. Banyak yang bilang sama saya kalau dia itu sok. Mungkin karena ada ayahnya di situ, jadi sedikit mentang-mentang ...."

"Heeemm, iya ya?"

"Ah, saya anggap angin saja, Mbak. Mau dia diam seperti apapun, saya terima. Tak saya pusingkan lagi. Banyak yang bilang sama saya kalau dia mengadu yang aneh-aneh. Saya tanggapi santai saja. Karena saya di sini kerja cari duit, Mbak. Gak cari musuh. Apalagi cari muka."

Sefti langsung tertawa ngakak. "Hahaha ... jadi, trainingnya gimana ini? Kok jadi curhat beneran, ya?"

Eh!

Ya Tuhan, malu sekali aku kali ini. Kok bisa cerita panjang lebar? Semudah ini aku membicarakan Rian, padahal sebelumnya tak pernah aku senyaman ini membicarakannya pada orang lain, terlebih saat dipancing orang gudang.

"Maaf, Mbak." Kutundukkan kepalaku. Salah tingkah jadinya.

Sefti tampak menegakkan duduk, lalu mengemil kripik yang sedari tadi dianggurkan di meja. Dia masih menatapku sambil tersenyum. Lagi-lagi membuat malu.

"Santai saja, Mas ... Rian itu sebenernya baik kok, meski memang radak menyebalkan di sini. Saya akui memang pendapat orang lain tentangnya selalu minus ...."

"Ya, Mbak. Maaf ... saya jadi keceplosan."

"Nggak apa. Nanti saya bilangin dia, biar nggak tuman. Hehe ...."

"Lho, lho? Jangan, Mbak! Nanti mikirnya aneh-aneh sama saya. Konflik lagi. Saya bisa dimusuhi sampai tujuh turunan." Aku mencoba memperingati Sefti agar tak sumbar. Tapi, Sefti menampik, "Santai. Dia takutnya memang sama saya. Saya sendiri sering jengkel lihat kelakuannya."

Lho??
Semakin mengernyitkan dahi aku menatap perempuan cantik di depanku itu. Takut? Kenapa Rian takut padanya?

"Memang Mbak Sefti sering bertengkar ya sama Rian?"

"Waaahh, gak usah ditanya lagi. Sering, pake banget ...."

"Masalah apa?"

Sefti tersenyum seraya menjawab, "Masalah sepele, jadinya besar."

Kemudian perempuan itu memutar kursinya ke belakang, mengambil sebuah spidol hitam. Mulai menulis pada sebuah arsip.

Aku semakin penasaran karenanya.

"Memang sejak kapan admin gudang berhubungan kerjanya dengan drafter?" tanyaku heran.

"Hubungannya tak ada di pekerjaan," jawabnya datar. Matanya masih fokus dengan apa yang ia tulis. Tapi kemudian dia berucap lagi, "Saya tunangannya."

Deg!

Seketika aku hanya bisa mematung. Yakin kali ini aku tak bisa berkata lagi ....
Diubah oleh shirazy02 18-12-2019 13:04
elangbiru00
g.gowang
Dewi777299
Dewi777299 dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.