- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#23
Rekan Kerja (Part 4)
Masih tak pernah terfikirkan olehku ... caranya menghasut, mengelabuhi, serta mengajak semua rekan yang lain untuk membenciku. Sungguh kurang kerjaan sekali! Ckckck ....
Bagaimana bisa dia berbuat seperti itu, sementara semua sudah tahu seperti apa dia, bahkan hafal betul bagaimana sikapnya di kantor.
Kuhela napas panjang sambil meminum segelas teh di meja kerja.
Aaah, seharusnya aku tak terlalu mengambil hati seperti ini. Biar dia berbuat apapun yang dia suka, karena kurasa, orang-orang yang bekerja di sini bisa menilai sendiri mana yang benar dan mana yang tidak.
Kualihkan tatapanku pada program di hadapan. Kurang sedikit pekerjaan rampung! Aku bisa sedikit bersantai setelah ini ....
Kuembuskan napas panjang, lalu menyelonjorkan lurus kedua kaki pada kolong meja. Sekilas kutatap jam di layar komputer. Hmmm ... lima belas menit lagi adalah jam masuk kerja laki-laki itu.
Pandanganku menatap sayu sebuah meja kerja yang masih kosong di depan.
Ya ... itulah meja kerjanya. Meja rekanku, senior yang empat tahun lebih dulu menjadi karyawan setelahku. Rekan kerja satu bagian, anak seorang supervisor di perusahaan ... yang angkuh, yang seenak hatinya, dan selalu membuat gara-gara.
Sungguh, jika yang lainnya jadi aku, pastilah sudah tak kuat. Ini sudah tujuh bulan lamanya aku bertahan dengan posisi seperti ini. Satu team, tapi tidak pernah kompak. Satu ruangan, tapi saling diam. Kita sesama rekan, tapi dia selalu berusaha menjatuhkan.
"Aku berhenti saja, Bu. Tak kurang di luar sana yang membutuhkan tenaga kerja," ucapku kemarin sore pada ibu.
Saat itu, di ruang tengah ada ibu, Mbak Diah, lengkap beserta dua orang keponakan.
"Pikir-pikirkan lagi, Le ... banyak di luar sana yang ingin masuk di pabrik itu. Kamu yang digampangkan, malah ingin mengundurkan diri. Setidaknya bertahanlah, meski itu membuatmu sakit!" Kulihat, kala itu, ibu berkata dengan mata berkaca-kaca.
"Kita tak bisa memaksanya, Bu. Kerja satu bagian jika merasa tak nyaman, apalagi dengan teman satu bagian, jelas saja dia tak betah," seloroh Mbak Diah membela.
"Sekarang kalau dia mau wirausaha, usaha apa juga, Nduk? Pengalamannya belum ada. Kita fokuskan usaha toko onderdil saja sudah. Property juga ada. Uang pensiun dari ayahmu biar tetap utuh, jangan dikurangi dengan sesuatu yang belum pasti untung tidaknya!"
Aku dan Mbak Diah hanya diam memandang. Ah, terlalu sempit pemikiran ibu. Bukankah rejeki sudah ada yang mengatur?
"Toh, kamu kerja yaa buat dirimu sendiri, Le ... Ibu masih bisa makan tanpa uang darimu. Ibu hanya mikir nantinya kamu bakal menyesal. Lihat itu, si Yanto! Yanto saja nitip surat lamaran, pingin kerja di tempatmu. Kok, kamu yang sudah dikasih tempat terbaik, malah pingin kerja di pabriknya sepupu Yanto."
Huft!
Kuembuskan napas berat. Ya, berat memikirkan jika ibu sudah bicara begitu. Jika mengingat kejadian sore itu, sumpah, benar-benar membuatku bingung. Bingung di antara dua pilihan. Haruskah aku ikuti kata ibu, atau tetap pada pendirianku?
Ibu berkata demikian karena tak tahu rasanya jadi aku. Andai Ibu berada di posisi ini.
Lebih tak tega lagi, saat ibu menitikkan air mata karena menyangkutkan masalah Mbak Diah dalam obrolan kami. "Biar ibu tinggal mikir anak perempuan ibu, Le. Lihatlah nasib Mbakmu! kalau kamu keluar kerja, apa kamu tega melihat ibu seorang diri memikirkan dua anak ibu nantinya," ucapnya sambil sesenggukan.
Sampai saat ini, omongan itu masih membuatku bimbang. Lantas, aku harus bertindak seperti apa kemudian?
"Jalan satu-satunya cuma itu, ajak bicara empat mata. Ceritakan semua keseluruhan, Dan! Biar tak semakin berlarut-larut. Kalau tak karena kejadian itu, kalian pasti baik-baik saja."
Seketika aku teringat ucapan Adel melalui telepon kemarin malam.
Setelah perbincanganku sore itu bersama ibu di ruang tengah, malamnya aku curhat via udara padanya. Ternyata responnya sama dengan yang awal ibu minta padaku. 'Menjelaskan pada Rian!' itulah sarannya.
Memang, semenjak Pak Dika menegur Rian saat itu, dari situlah awal munculnya masalah kami. Masih teringat jelas saat matanya menyorot sinis padaku dan mengancam dengan kata 'awas', membuatku semalaman tak bisa tidur karena tak enak hati memikirkan ....
Awalnya aku memang tak terlalu mempermasalahkan, dan pastinya akan kujelaskan padanya keesokan hari. Siapa tahu saat itu dia sedang uring-uringan dan tak mau mendengarkan omonganku, barang sekedar tegur sapa sekalipun.
Ah, betapa childistnya pria ini. Padahal usianya lebih tua. Kuharap semua berlalu tanpa harus basa-basi menjelaskan kepadanya. Namun, siapa yang bisa menduga bila akhirnya bakal lebih parah dari sekarang?
Cklek!
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka.
Rian masuk, menduduki kursinya, lalu menghidupkan komputer.
Sepertinya aku harus berbicara. Ya, kubulatkan tekad untuk mengajaknya bicara. Terserah mau didengar ataupun tidak. Mau dia pergi pun, aku akan mengejarnya. Tak kan mungkin dia membiarkanku bicara membuntutinya sepanjang perjalanan.
Akhirnya, aku beranjak dari kursi, berjalan menghampiri Rian sambil menepuk kecil pundaknya.
"Mas," tegurku lirih.
Rian menoleh ke tanganku, kemudian menggoyangkan pundaknya. Seperti dugaan, dia mencoba menghindar dengan melangkahkan kaki pergi.
Kuikuti dia dari belakang ....
"Mas, dengarkan aku! Ayo kita bicara enak-enakan," ucapku sembari terus melangkahkan kaki membuntutinya.
Rian diam. Terus melangkah pergi.
"Kau bisa betah dengan semua ini ... tapi, aku tidak! Ayolah, kita satu team bukan?"
Rian tetap tak merespon. Aku merasa malu sekali. Mengekor di belakangnya, dan semua menoleh memandangi kami.
Agaknya Rian mulai risih, sehingga ia menghentikan langkahnya tepat saat berada di luar kantor. Lalu, ia berbalik badan. Menatapku dengan raut wajah kesal.
"Kenapa? Apa kau sudah merasa bersalah sekarang?" tanyanya ketus.
"Oke, anggap saja begitu. Tapi, dengarkan ceritaku dulu ...."
"... tak ada yang harus didengar! Kau memang salah, dan kau menyuruhku menganggapmu pura-pura salah? Ciihh, munafik sekali," sahutnya sambil memalingkan muka.
"Nah, itulah salahmu, Mas! Kau ingin didengar orang dengan segala penuturanmu, tapi kau tak pernah mau mendengarkan penuturan orang barang sedikitpun."
"Haah? Apa kau bilang? Apa aku kau suruh untuk mendengarkanmu? Heeeh, memang siapa kau di sini?" Ia membulatkan matanya lebar-lebar.
Aku diam sejenak, menstabilkan napas yang masih tak beraturan, kemudian berkata, "tolong,mengertilah! Kau hanya salah paham mengenai kejadian dengan Pak Dika waktu lalu."
Lelaki itu berdecak, menyeringai sinis sambil berkacak pinggang menatapku.
"Aku sama sekali tak mengadukanmu. Tak juga menyebutkan namamu. Pak Dika tahu dengan sendirinya ...."
"Tahu dengan sedetail itu? Ciihh ... percuma kau jelaskan seperti apapun. Tak usah melakukan pembelaan, karena tetap aku yang dipercayanya. Orang baru kerja, pastinya harus mau disuruh-suruh. Bukannya sepertimu, yang gak terima disuruh, lantas membuat pengaduan!"
Aku mengernyitkan dahi tak percaya mendengarnya. Entah kenapa, jiwaku terbakar semakin ingin memberontak rasanya mendengar itu.
"Siapa yang mengadu, Mas? Coba kita ke Pak Dika sekarang. Pernahkah aku mengadu tentangmu? Pernah jugakah aku sebutkan namamu? Kita tanyakan bersama biar jelas!" Kutinggikan pula nada suaraku berbicara.
"Alaaah, gak usah banyak tingkah! Seharusnya mikir kau. Kau bisa kerja begini, siapa yang training? Gak berterima kasih malah cari masalah. Gak usah cari masalah denganku, kalau kau masih mau kerja disini terus. Ingat itu!"
Degub jantung seakan menabuhkan genderang perang. Semakin lama rasanya semakin panas aku mendengar ucapannya. Apalagi caranya bicara dengan nada tinggi seperti itu, sambil berkacak pinggang pula. Sok seperti boss!
Spontan aku teringat lagi tentang beberapa bulan lalu. Beberapa kesalahan yang sangat sengaja dibuatnya. Saat dia berusaha menghapus file pribadiku, tak memberitahuku mengenai kode adminku yang baru, menyuruh supir forklift mengambili form dari gudang dan aku yang kena imbasnya, dengan sengaja menukar posisi form dengan miliknya, belum lagi aduan dari beberapa orang kantor dan gudang tentangnya yang menghasutku.
Kali ini emosiku benar-benar tak bisa kutahan. Kudekati dia, kutunjuk mukanya persis dengan wajah yang sama begitu kesal.
"Heeii, dengar juga kataku, ya!" Kuhentikan bicaraku, mengatur napas tak beraturan karena sengalnya.
"Aku bekerja di sini ataupun tidak, kau tak punya pengaruh untukku diberhentikan. Kau di sini siapa? Mikiiiirr!! Pak Dika yang berpengaruh di sini saja, belum ada apa-apanya. Apalagi dirimu! Kita semua buruh di sini. Ayahmu juga! Masih ada yang lebih di atasnya! Gak usah sombong jadi orang,"
Mata itu menatapku semakin kesal. Sedikit puas aku melihatnya, lalu kulanjutkan lagi bicaraku, "... dan harusnya kau yang tak banyak tingkah. Tak perlu dengan mulut berbusa kau racuni semua orang tentangku. Karena mereka sendiri tahu bagaimana kau,"
Lagi, kuhentikan bicaraku, saat aku merasa di sekelilingku tampak beberapa pasang mata yang melihat kami berdua tengah bertengkar.
"Berani kau ...." Rian semakin memelototkan matanya, dengan tangan telunjuk yang nyaris mengenai mataku.
"Apa?? Selagi aku benar, aku berani. Aku sudah cukup diam! Aku tak bekerja di sini pun tak masalah. Kalau kau bisa membuatku dipecat, ayo lakukan! Kutunggu."
Seusai berbicara seperti itu, aku pun memilih bertolak masuk ke dalam kantor.
Kuterobos beberapa pasang mata yang menyorot kami di luar sedari tadi. Keringatku terasa bercucuran deras, jantungku masih berdegub kencang. Tak percaya kali ini akhirnya aku bisa seberani ini ....
Kubuka pintu ruangan, menduduki kursi, lalu menyenggol kecil mouse di depan. Mataku tak fokus lagi rasanya melihat monitor. Masih tak menyangka aku bisa bertindak segila ini. Di luar tadi banyak yang melihat kami. Aahh, bisa-bisa aku dipanggil Pak Dika lagi setelah ini.
Kupandang foto keluargaku yang terselip di kaca mejaku. Amarah sedikit mereda setelah menatapnya.
Kucoba beristighfar dalam hati, sambil meraih segelas teh di meja yang tinggal separuh. Kuminum sedikit, lalu kutaruh kembali.
'Ayah, maafkan anakmu ... kalaupun aku nanti benar berhenti, mungkin pabrik ini bukan jodohku. Tapi aku janji, tak kan kubuat istri dan anak cucumu sedih,' janjiku dalam batin.
Belum lama kupandangi foto di meja, aku dikejutkan oleh sosok Pak Heri yang masuk ke ruangan.
Wajahnya memerah, dengan raut yang tak enak dilihat, persis anaknya jika sedang kesal, selalu merah seperti itu.
"Masalahmu itu apa sebenarnya?" Pak Heri mulai mendekat padaku.
Aku diam tak menjawab, menelan ludah, dengan mata fokus ke layar monitor.
"Kau tak cocok satu bagian dengan Rian? Tak cocok karena apa? Kalau kau tak mau bilang padanya buat dia instropeksi diri, bilang sama saya! Nanti saya yang bilangi dia," ucapnya lagi. Lantang.
Pak Heri lalu mengambil duduk di kursi anaknya, sambil memutar kursi, menghadap kembali padaku.
"Anak saya orang baik. Tak pernah bermasalah dengan siapa pun di sini, kecuali denganmu. Bocah kencur ndablek temen (bocah ingusan. Nakal betul) ...."
Tak berselang lama, Pak Dika muncul dengan tiba-tiba ... membuat aku dan Pak Heri sama-sama tersentak kaget.
"Pak Heri, sedang apa di sini?" Pak Dika menegur Pak Heri yang sedang duduk menyilangkan kaki kanannya menghadapku.
Aku langsung beranjak dari dudukkl sambil mengatupkan kedua tangan. Cepat-cepat Pak Heri ikut berdiri, lalu berkata, "Di gudang sepi, belum ada container turun. Hanya ingin melihat kerjaan anak-anak saja." Seusai bicara begitu, Pak Heri langsung permisi, beranjak pergi.
Ganti Pak Dika memandangiku sambil berpangku tangan.
"Piye, Dan... Inputane wis mari? (bagaimana, Dan. Nginputnya sudah selesai?)" tanyanya datar.
Kubalas dengan sedikit anggukan.
Tak lama ganti si Rian masuk. Tangannya menenteng map berisi form laporan, seperti biasa. Wajahnya ikut kaget kala memandang Pak Dika. Lalu, ia lewat begitu saja sambil sedikit menjongkokkan badan.
"Kalian berdua kok lucu kalau saya lihat-lihat. Kenapa?" tanya Pak Dika lagi.
Kami berdua tak menjawab apapun.
"Sebelum pulang kamu ke ruangan saya, yo, Dan. Sama kamu juga, Rian," perintah lelaki yang menjabat sebagai atasan kami itu.
Seusai bicara seperti itu, Pak Dika melangkahkan kaki menuju pintu. Dibukanya pintu itu, didorong sampai menyentuh tembok. Kemudian mengambil vas besar yang tadinya posisi di luar pintu.
"Ini buat ngganjal pintu saja. Mulai sekarang, pintu ini gak boleh tertutup! Saya nggak mau lihat pintu ini ditutup," pesannya lagi.
"Ruangan sudah sempit, ditambah pintunya tertutup, pantes hawa panas terus." Kali ini Pak Dika terkekeh. Membuatku ikut tertawa karenanya. Tapi, tidak dengan lelaki di dua jangkah di depanku itu.
Pak Dika pun berlalu. Diikuti suara ketikan Rian dari keyboardnya ....
*****
Kuambil ID card dari dalam saku, lalu mensejajarkan posisi barcode persis pada monitor ceklok.
Kuayunkan langkah menuju ruangan Pak Dika. Mengetuk pintu kecil, kemudian segera masuk, tanpa lagi menoleh pada dinding di depan pintunya seperti biasa.
"Duduk, Dan!"
Perintah datar Pak Dika membuatku mengambil duduk di sebuah kursi di depannya.
"Mana Rian?"
"Masih nginput, Pak. Mungkin sebentar lagi menyusul ...."
Pak Dika manggut-manggut dengan mata masih terus menatap komputer di depannya. Aku menelan ludah, bimbang. Entah kasus apalagi yang akan dibahas kali ini ....
Mungkinkah ada yang mengadu tentang kejadian siang tadi?
Tak berselang lama, si Rian muncul. Kemudian ia mengambil duduk di kursi sebelahku.
Hatiku semakin was-was saja.
"Rian, gimana kerja Dani di kantor? Gimana kesehariannya? Apakah dia bisa jadi team yang menyenangkan?" Pak Dika tiba-tiba langsung menyerang beberapa pertanyaan pada lelaki di sebelahku itu.
Belum sempat kudengar Rian menjawab, Pak Dika berucap kembali, yang kali ini ditujukan padaku.
"Bagaimana denganmu, Dan? Gimana rasanya kerja satu bagian dengan Rian? Apakah seniormu memberikan pengarahan yang baik? Apakah kamu nyaman bekerja dengannya?"
Kutegakkan kembali dudukku tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu. Aku bingung berkata. Kulihat Rian juga terdiam. Kami berdua sama-sama tak bisa menjawab karena saling tak enak berbicara di depan orang yang dimaksud.
"Sudah kuduga ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, menatap kami berdua yang masih terpaku. Heran.
"Kamu kembali kerja, Rian! Nanti ganti kamu saya panggil. Saya mau bicara dengan Dani dulu," perintahnya kemudian, yang akhirnya dituruti pergi oleh si Rian.
Kini, di ruangan tinggal aku berdua bersama pak Dika. Lelaki berumur empat puluhan itu memutar-mainkan sebuah kunci di tangannya, sambil terus menatapku.
Kubenarkan kerah seragam dengan posisi begitu salah tingkah.
"Saya tahu kamu nggak nyaman kerja bareng dia. Betul, kan?" tanyanya lirih.
Aku terhenyak, lalu berucap lirih,"Nyaman, Pak."
"Yang jujur!"
"Nyaman, Pak. Karena tujuan saya bekerja, mengabdi dan memberikan yang terbaik untuk perusahaan. Soal yang lain,saya bisa kondisikan." Aku beringsut sambil menelan ludah.
"Dikondisikan seperti apa, hayoo? Mana bisa kerja satu bagian itu cuek. Bukankah kalian saling berkesinambungan?"
Aku terdiam. Lagi-lagi tak mampu menjawab.
"Sebenarnya saya sudah tahu, saya hanya ingin melihatmu jujur sekaliiii saja. Jangan pernah menutupi boroknya Rian karena perasaan takut. Biasa saja ...."
Aku mengangguk kecil, kemudian berkata, "Maaf, Pak. Saya bukannya tak mau jujur. Bukan juga karena takut. Saya memang tak terlalu mengambil pusing sikap-sikapnya, oleh karena itu saya merasa nyaman bekerja bagaimana pun juga." Kututup sejenak bibirku, menekan HP dari saku yang tengah berbunyi.
"Ehm ... namanya juga kerja satu ruangan, memang tak enak jika tak pernah bicara, Pak," lanjutku lagi.
Pak Dika tak menjawab. Ia mengalihkan tatapan ke monitor. Kami terdiam selama lima menit.
Kusilangkan kedua kaki, menundukkan pandangan dengan pikiran tak enak sendiri. Seketika terbesit di pikiran, apakah Pak Dika tahu kejadian siang tadi sehingga kembali memanggil kami di sini?
Kutatap sekilas wajahnya yang serius menatap monitor, lalu mengalihkan pandangan.
"Kamu belajar autocad, ya, mulai besok," ucapnya tiba-tiba.
Aku diam sejenak serta mengernyitkan dahi. Belajar autocad, buat apa? Akhirnya kuberanikan bertanya,"Maaf, Pak ... belajar di mana? Ambil kursus kah?"
"Kursus juga boleh kalau kamu mau. Ah, tapi buang-buang duit ... kamu seminggu ini shift pagi terus, kan? Mulai besok sepulang kerja, kamu ke ruangan Sefti, ya! Kamu belajar autocad sama dia."
Aku masih tak menangkap maksud perkataan dari Pak Dika. Ingin bertanya lagi, kenapa harus belajar itu,tapi tak enak hati. Akhirnya kubalas ucapannya dengan sedikit anggukan.
"Kamu bikin lamaran baru, ya? Kirim via e-mail saja nggak apa."
Lho? Semakin penasaran saja aku. Lamaran baru? Batinku semakin bertanya-tanya.
"Nanti saya pikirkan lagi, Dan ... kamu enaknya ditempatkan di mana. Tetap di admin, apa alih bagian. Sambil jadi admin, sementara kamu nyambi belajar autocad."
Aku masih bergeming. Tak mau banyak bertanya, kemudian kuanggukkan kepalaku lagi.
"Aku bosen, Dan ... denger tentangmu dan Rian yang begitu-begitu terus dari banyak orang. Mblenger nyeluk awakmu karo, perkoro masalah sing disengojo. (bosan memanggil kalian berdua, perihal masalah yang disengaja) Aku paham posisimu, aku mengerti kinerjamu. Sementara kamu nganut omongan saya saja. Buat lamaran baru ...."
Aku diam sejenak. Sejurus kemudian berkata, "Ya, Pak. Saya mohon maaf selama saya bekerja di sini selalu ada masalah."
"Wis ojo dibahas. Tak kek'i bagian luweh enak! Enak maksud'e tentrem karo wong jowo (sudah jangan dibahas. Saya beri bagian lebih enak. Enak dalam artian nyaman dengan orang baik)" Pak Dika memainkan kursi putarnya ke kanan-kiri sambil terus menatapku.
"Saya juga kesal sebenarnya dari dulu sama Rian. Tapi, mau bagaimana lagi? Bapaknya itu suka ikut campur terus. Yang punya masalah anaknya, bapaknya ikut-ikutan protes. Meski di sini saya yang lebih bertanggung jawab, tapi saya juga menghormati Pak Heri yang lebih lama bekerja di sini. Pak Heri itu banyak protesnya."
"Nggih, Pak." Aku menjawab se-kenanya, bingung berkata-kata.
"Kamu itu sama persis sifatnya seperti Pak Sujiwo. Suka menutupi kesalahan orang. Ha ha ha ... praenmu melas, Le. Aku dadi kepikiran ....(wajahmu lugu, Le. Aku jadi kepikiran)"
"Ya sudah, kamu sekarang pulang! Jangan lupa buat lamaran baru," pesannya kemudian, sambil kembali memainkan mouse di depannya.
Aku mengangguk dengan menyimpulkan senyum. Tanpa banyak basa-basi, langsung berpamitan pulang seraya mengambil langkah pergi ....
****
Kuhentikan langkahku di parkiran motor, mencoba memeriksa ponsel yang tadinya ku-reject.
Panggilan dari Adel!
Kucoba kirim message padanya, '10 menit lagi kuhubungi balik. Otw go home.'
Seusai mengirim pesan, kusaku kembali ponsel ke celana. Dengan senyum begitu sumringah, dengan hati yang lebih lega dari biasanya ....
Kuberikan nomor parkiran pada pak jukir beserta selembar uang dua ribu rupiah yang sudah lecek, lalu bergegas mengeluarkan motorku.
Sepanjang perjalanan pulang, aku tak lelah terus bersiul ....
Tuhan, terima kasih sudah memberi jalan terbaik bagiku saat ini. Semoga ke depannya perjalanan karierku lebih baik lagi dari hari ini ....
(bersambung)
Bagaimana bisa dia berbuat seperti itu, sementara semua sudah tahu seperti apa dia, bahkan hafal betul bagaimana sikapnya di kantor.
Kuhela napas panjang sambil meminum segelas teh di meja kerja.
Aaah, seharusnya aku tak terlalu mengambil hati seperti ini. Biar dia berbuat apapun yang dia suka, karena kurasa, orang-orang yang bekerja di sini bisa menilai sendiri mana yang benar dan mana yang tidak.
Kualihkan tatapanku pada program di hadapan. Kurang sedikit pekerjaan rampung! Aku bisa sedikit bersantai setelah ini ....
Kuembuskan napas panjang, lalu menyelonjorkan lurus kedua kaki pada kolong meja. Sekilas kutatap jam di layar komputer. Hmmm ... lima belas menit lagi adalah jam masuk kerja laki-laki itu.
Pandanganku menatap sayu sebuah meja kerja yang masih kosong di depan.
Ya ... itulah meja kerjanya. Meja rekanku, senior yang empat tahun lebih dulu menjadi karyawan setelahku. Rekan kerja satu bagian, anak seorang supervisor di perusahaan ... yang angkuh, yang seenak hatinya, dan selalu membuat gara-gara.
Sungguh, jika yang lainnya jadi aku, pastilah sudah tak kuat. Ini sudah tujuh bulan lamanya aku bertahan dengan posisi seperti ini. Satu team, tapi tidak pernah kompak. Satu ruangan, tapi saling diam. Kita sesama rekan, tapi dia selalu berusaha menjatuhkan.
"Aku berhenti saja, Bu. Tak kurang di luar sana yang membutuhkan tenaga kerja," ucapku kemarin sore pada ibu.
Saat itu, di ruang tengah ada ibu, Mbak Diah, lengkap beserta dua orang keponakan.
"Pikir-pikirkan lagi, Le ... banyak di luar sana yang ingin masuk di pabrik itu. Kamu yang digampangkan, malah ingin mengundurkan diri. Setidaknya bertahanlah, meski itu membuatmu sakit!" Kulihat, kala itu, ibu berkata dengan mata berkaca-kaca.
"Kita tak bisa memaksanya, Bu. Kerja satu bagian jika merasa tak nyaman, apalagi dengan teman satu bagian, jelas saja dia tak betah," seloroh Mbak Diah membela.
"Sekarang kalau dia mau wirausaha, usaha apa juga, Nduk? Pengalamannya belum ada. Kita fokuskan usaha toko onderdil saja sudah. Property juga ada. Uang pensiun dari ayahmu biar tetap utuh, jangan dikurangi dengan sesuatu yang belum pasti untung tidaknya!"
Aku dan Mbak Diah hanya diam memandang. Ah, terlalu sempit pemikiran ibu. Bukankah rejeki sudah ada yang mengatur?
"Toh, kamu kerja yaa buat dirimu sendiri, Le ... Ibu masih bisa makan tanpa uang darimu. Ibu hanya mikir nantinya kamu bakal menyesal. Lihat itu, si Yanto! Yanto saja nitip surat lamaran, pingin kerja di tempatmu. Kok, kamu yang sudah dikasih tempat terbaik, malah pingin kerja di pabriknya sepupu Yanto."
Huft!
Kuembuskan napas berat. Ya, berat memikirkan jika ibu sudah bicara begitu. Jika mengingat kejadian sore itu, sumpah, benar-benar membuatku bingung. Bingung di antara dua pilihan. Haruskah aku ikuti kata ibu, atau tetap pada pendirianku?
Ibu berkata demikian karena tak tahu rasanya jadi aku. Andai Ibu berada di posisi ini.
Lebih tak tega lagi, saat ibu menitikkan air mata karena menyangkutkan masalah Mbak Diah dalam obrolan kami. "Biar ibu tinggal mikir anak perempuan ibu, Le. Lihatlah nasib Mbakmu! kalau kamu keluar kerja, apa kamu tega melihat ibu seorang diri memikirkan dua anak ibu nantinya," ucapnya sambil sesenggukan.
Sampai saat ini, omongan itu masih membuatku bimbang. Lantas, aku harus bertindak seperti apa kemudian?
"Jalan satu-satunya cuma itu, ajak bicara empat mata. Ceritakan semua keseluruhan, Dan! Biar tak semakin berlarut-larut. Kalau tak karena kejadian itu, kalian pasti baik-baik saja."
Seketika aku teringat ucapan Adel melalui telepon kemarin malam.
Setelah perbincanganku sore itu bersama ibu di ruang tengah, malamnya aku curhat via udara padanya. Ternyata responnya sama dengan yang awal ibu minta padaku. 'Menjelaskan pada Rian!' itulah sarannya.
Memang, semenjak Pak Dika menegur Rian saat itu, dari situlah awal munculnya masalah kami. Masih teringat jelas saat matanya menyorot sinis padaku dan mengancam dengan kata 'awas', membuatku semalaman tak bisa tidur karena tak enak hati memikirkan ....
Awalnya aku memang tak terlalu mempermasalahkan, dan pastinya akan kujelaskan padanya keesokan hari. Siapa tahu saat itu dia sedang uring-uringan dan tak mau mendengarkan omonganku, barang sekedar tegur sapa sekalipun.
Ah, betapa childistnya pria ini. Padahal usianya lebih tua. Kuharap semua berlalu tanpa harus basa-basi menjelaskan kepadanya. Namun, siapa yang bisa menduga bila akhirnya bakal lebih parah dari sekarang?
Cklek!
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka.
Rian masuk, menduduki kursinya, lalu menghidupkan komputer.
Sepertinya aku harus berbicara. Ya, kubulatkan tekad untuk mengajaknya bicara. Terserah mau didengar ataupun tidak. Mau dia pergi pun, aku akan mengejarnya. Tak kan mungkin dia membiarkanku bicara membuntutinya sepanjang perjalanan.
Akhirnya, aku beranjak dari kursi, berjalan menghampiri Rian sambil menepuk kecil pundaknya.
"Mas," tegurku lirih.
Rian menoleh ke tanganku, kemudian menggoyangkan pundaknya. Seperti dugaan, dia mencoba menghindar dengan melangkahkan kaki pergi.
Kuikuti dia dari belakang ....
"Mas, dengarkan aku! Ayo kita bicara enak-enakan," ucapku sembari terus melangkahkan kaki membuntutinya.
Rian diam. Terus melangkah pergi.
"Kau bisa betah dengan semua ini ... tapi, aku tidak! Ayolah, kita satu team bukan?"
Rian tetap tak merespon. Aku merasa malu sekali. Mengekor di belakangnya, dan semua menoleh memandangi kami.
Agaknya Rian mulai risih, sehingga ia menghentikan langkahnya tepat saat berada di luar kantor. Lalu, ia berbalik badan. Menatapku dengan raut wajah kesal.
"Kenapa? Apa kau sudah merasa bersalah sekarang?" tanyanya ketus.
"Oke, anggap saja begitu. Tapi, dengarkan ceritaku dulu ...."
"... tak ada yang harus didengar! Kau memang salah, dan kau menyuruhku menganggapmu pura-pura salah? Ciihh, munafik sekali," sahutnya sambil memalingkan muka.
"Nah, itulah salahmu, Mas! Kau ingin didengar orang dengan segala penuturanmu, tapi kau tak pernah mau mendengarkan penuturan orang barang sedikitpun."
"Haah? Apa kau bilang? Apa aku kau suruh untuk mendengarkanmu? Heeeh, memang siapa kau di sini?" Ia membulatkan matanya lebar-lebar.
Aku diam sejenak, menstabilkan napas yang masih tak beraturan, kemudian berkata, "tolong,mengertilah! Kau hanya salah paham mengenai kejadian dengan Pak Dika waktu lalu."
Lelaki itu berdecak, menyeringai sinis sambil berkacak pinggang menatapku.
"Aku sama sekali tak mengadukanmu. Tak juga menyebutkan namamu. Pak Dika tahu dengan sendirinya ...."
"Tahu dengan sedetail itu? Ciihh ... percuma kau jelaskan seperti apapun. Tak usah melakukan pembelaan, karena tetap aku yang dipercayanya. Orang baru kerja, pastinya harus mau disuruh-suruh. Bukannya sepertimu, yang gak terima disuruh, lantas membuat pengaduan!"
Aku mengernyitkan dahi tak percaya mendengarnya. Entah kenapa, jiwaku terbakar semakin ingin memberontak rasanya mendengar itu.
"Siapa yang mengadu, Mas? Coba kita ke Pak Dika sekarang. Pernahkah aku mengadu tentangmu? Pernah jugakah aku sebutkan namamu? Kita tanyakan bersama biar jelas!" Kutinggikan pula nada suaraku berbicara.
"Alaaah, gak usah banyak tingkah! Seharusnya mikir kau. Kau bisa kerja begini, siapa yang training? Gak berterima kasih malah cari masalah. Gak usah cari masalah denganku, kalau kau masih mau kerja disini terus. Ingat itu!"
Degub jantung seakan menabuhkan genderang perang. Semakin lama rasanya semakin panas aku mendengar ucapannya. Apalagi caranya bicara dengan nada tinggi seperti itu, sambil berkacak pinggang pula. Sok seperti boss!
Spontan aku teringat lagi tentang beberapa bulan lalu. Beberapa kesalahan yang sangat sengaja dibuatnya. Saat dia berusaha menghapus file pribadiku, tak memberitahuku mengenai kode adminku yang baru, menyuruh supir forklift mengambili form dari gudang dan aku yang kena imbasnya, dengan sengaja menukar posisi form dengan miliknya, belum lagi aduan dari beberapa orang kantor dan gudang tentangnya yang menghasutku.
Kali ini emosiku benar-benar tak bisa kutahan. Kudekati dia, kutunjuk mukanya persis dengan wajah yang sama begitu kesal.
"Heeii, dengar juga kataku, ya!" Kuhentikan bicaraku, mengatur napas tak beraturan karena sengalnya.
"Aku bekerja di sini ataupun tidak, kau tak punya pengaruh untukku diberhentikan. Kau di sini siapa? Mikiiiirr!! Pak Dika yang berpengaruh di sini saja, belum ada apa-apanya. Apalagi dirimu! Kita semua buruh di sini. Ayahmu juga! Masih ada yang lebih di atasnya! Gak usah sombong jadi orang,"
Mata itu menatapku semakin kesal. Sedikit puas aku melihatnya, lalu kulanjutkan lagi bicaraku, "... dan harusnya kau yang tak banyak tingkah. Tak perlu dengan mulut berbusa kau racuni semua orang tentangku. Karena mereka sendiri tahu bagaimana kau,"
Lagi, kuhentikan bicaraku, saat aku merasa di sekelilingku tampak beberapa pasang mata yang melihat kami berdua tengah bertengkar.
"Berani kau ...." Rian semakin memelototkan matanya, dengan tangan telunjuk yang nyaris mengenai mataku.
"Apa?? Selagi aku benar, aku berani. Aku sudah cukup diam! Aku tak bekerja di sini pun tak masalah. Kalau kau bisa membuatku dipecat, ayo lakukan! Kutunggu."
Seusai berbicara seperti itu, aku pun memilih bertolak masuk ke dalam kantor.
Kuterobos beberapa pasang mata yang menyorot kami di luar sedari tadi. Keringatku terasa bercucuran deras, jantungku masih berdegub kencang. Tak percaya kali ini akhirnya aku bisa seberani ini ....
Kubuka pintu ruangan, menduduki kursi, lalu menyenggol kecil mouse di depan. Mataku tak fokus lagi rasanya melihat monitor. Masih tak menyangka aku bisa bertindak segila ini. Di luar tadi banyak yang melihat kami. Aahh, bisa-bisa aku dipanggil Pak Dika lagi setelah ini.
Kupandang foto keluargaku yang terselip di kaca mejaku. Amarah sedikit mereda setelah menatapnya.
Kucoba beristighfar dalam hati, sambil meraih segelas teh di meja yang tinggal separuh. Kuminum sedikit, lalu kutaruh kembali.
'Ayah, maafkan anakmu ... kalaupun aku nanti benar berhenti, mungkin pabrik ini bukan jodohku. Tapi aku janji, tak kan kubuat istri dan anak cucumu sedih,' janjiku dalam batin.
Belum lama kupandangi foto di meja, aku dikejutkan oleh sosok Pak Heri yang masuk ke ruangan.
Wajahnya memerah, dengan raut yang tak enak dilihat, persis anaknya jika sedang kesal, selalu merah seperti itu.
"Masalahmu itu apa sebenarnya?" Pak Heri mulai mendekat padaku.
Aku diam tak menjawab, menelan ludah, dengan mata fokus ke layar monitor.
"Kau tak cocok satu bagian dengan Rian? Tak cocok karena apa? Kalau kau tak mau bilang padanya buat dia instropeksi diri, bilang sama saya! Nanti saya yang bilangi dia," ucapnya lagi. Lantang.
Pak Heri lalu mengambil duduk di kursi anaknya, sambil memutar kursi, menghadap kembali padaku.
"Anak saya orang baik. Tak pernah bermasalah dengan siapa pun di sini, kecuali denganmu. Bocah kencur ndablek temen (bocah ingusan. Nakal betul) ...."
Tak berselang lama, Pak Dika muncul dengan tiba-tiba ... membuat aku dan Pak Heri sama-sama tersentak kaget.
"Pak Heri, sedang apa di sini?" Pak Dika menegur Pak Heri yang sedang duduk menyilangkan kaki kanannya menghadapku.
Aku langsung beranjak dari dudukkl sambil mengatupkan kedua tangan. Cepat-cepat Pak Heri ikut berdiri, lalu berkata, "Di gudang sepi, belum ada container turun. Hanya ingin melihat kerjaan anak-anak saja." Seusai bicara begitu, Pak Heri langsung permisi, beranjak pergi.
Ganti Pak Dika memandangiku sambil berpangku tangan.
"Piye, Dan... Inputane wis mari? (bagaimana, Dan. Nginputnya sudah selesai?)" tanyanya datar.
Kubalas dengan sedikit anggukan.
Tak lama ganti si Rian masuk. Tangannya menenteng map berisi form laporan, seperti biasa. Wajahnya ikut kaget kala memandang Pak Dika. Lalu, ia lewat begitu saja sambil sedikit menjongkokkan badan.
"Kalian berdua kok lucu kalau saya lihat-lihat. Kenapa?" tanya Pak Dika lagi.
Kami berdua tak menjawab apapun.
"Sebelum pulang kamu ke ruangan saya, yo, Dan. Sama kamu juga, Rian," perintah lelaki yang menjabat sebagai atasan kami itu.
Seusai bicara seperti itu, Pak Dika melangkahkan kaki menuju pintu. Dibukanya pintu itu, didorong sampai menyentuh tembok. Kemudian mengambil vas besar yang tadinya posisi di luar pintu.
"Ini buat ngganjal pintu saja. Mulai sekarang, pintu ini gak boleh tertutup! Saya nggak mau lihat pintu ini ditutup," pesannya lagi.
"Ruangan sudah sempit, ditambah pintunya tertutup, pantes hawa panas terus." Kali ini Pak Dika terkekeh. Membuatku ikut tertawa karenanya. Tapi, tidak dengan lelaki di dua jangkah di depanku itu.
Pak Dika pun berlalu. Diikuti suara ketikan Rian dari keyboardnya ....
*****
Kuambil ID card dari dalam saku, lalu mensejajarkan posisi barcode persis pada monitor ceklok.
Kuayunkan langkah menuju ruangan Pak Dika. Mengetuk pintu kecil, kemudian segera masuk, tanpa lagi menoleh pada dinding di depan pintunya seperti biasa.
"Duduk, Dan!"
Perintah datar Pak Dika membuatku mengambil duduk di sebuah kursi di depannya.
"Mana Rian?"
"Masih nginput, Pak. Mungkin sebentar lagi menyusul ...."
Pak Dika manggut-manggut dengan mata masih terus menatap komputer di depannya. Aku menelan ludah, bimbang. Entah kasus apalagi yang akan dibahas kali ini ....
Mungkinkah ada yang mengadu tentang kejadian siang tadi?
Tak berselang lama, si Rian muncul. Kemudian ia mengambil duduk di kursi sebelahku.
Hatiku semakin was-was saja.
"Rian, gimana kerja Dani di kantor? Gimana kesehariannya? Apakah dia bisa jadi team yang menyenangkan?" Pak Dika tiba-tiba langsung menyerang beberapa pertanyaan pada lelaki di sebelahku itu.
Belum sempat kudengar Rian menjawab, Pak Dika berucap kembali, yang kali ini ditujukan padaku.
"Bagaimana denganmu, Dan? Gimana rasanya kerja satu bagian dengan Rian? Apakah seniormu memberikan pengarahan yang baik? Apakah kamu nyaman bekerja dengannya?"
Kutegakkan kembali dudukku tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu. Aku bingung berkata. Kulihat Rian juga terdiam. Kami berdua sama-sama tak bisa menjawab karena saling tak enak berbicara di depan orang yang dimaksud.
"Sudah kuduga ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, menatap kami berdua yang masih terpaku. Heran.
"Kamu kembali kerja, Rian! Nanti ganti kamu saya panggil. Saya mau bicara dengan Dani dulu," perintahnya kemudian, yang akhirnya dituruti pergi oleh si Rian.
Kini, di ruangan tinggal aku berdua bersama pak Dika. Lelaki berumur empat puluhan itu memutar-mainkan sebuah kunci di tangannya, sambil terus menatapku.
Kubenarkan kerah seragam dengan posisi begitu salah tingkah.
"Saya tahu kamu nggak nyaman kerja bareng dia. Betul, kan?" tanyanya lirih.
Aku terhenyak, lalu berucap lirih,"Nyaman, Pak."
"Yang jujur!"
"Nyaman, Pak. Karena tujuan saya bekerja, mengabdi dan memberikan yang terbaik untuk perusahaan. Soal yang lain,saya bisa kondisikan." Aku beringsut sambil menelan ludah.
"Dikondisikan seperti apa, hayoo? Mana bisa kerja satu bagian itu cuek. Bukankah kalian saling berkesinambungan?"
Aku terdiam. Lagi-lagi tak mampu menjawab.
"Sebenarnya saya sudah tahu, saya hanya ingin melihatmu jujur sekaliiii saja. Jangan pernah menutupi boroknya Rian karena perasaan takut. Biasa saja ...."
Aku mengangguk kecil, kemudian berkata, "Maaf, Pak. Saya bukannya tak mau jujur. Bukan juga karena takut. Saya memang tak terlalu mengambil pusing sikap-sikapnya, oleh karena itu saya merasa nyaman bekerja bagaimana pun juga." Kututup sejenak bibirku, menekan HP dari saku yang tengah berbunyi.
"Ehm ... namanya juga kerja satu ruangan, memang tak enak jika tak pernah bicara, Pak," lanjutku lagi.
Pak Dika tak menjawab. Ia mengalihkan tatapan ke monitor. Kami terdiam selama lima menit.
Kusilangkan kedua kaki, menundukkan pandangan dengan pikiran tak enak sendiri. Seketika terbesit di pikiran, apakah Pak Dika tahu kejadian siang tadi sehingga kembali memanggil kami di sini?
Kutatap sekilas wajahnya yang serius menatap monitor, lalu mengalihkan pandangan.
"Kamu belajar autocad, ya, mulai besok," ucapnya tiba-tiba.
Aku diam sejenak serta mengernyitkan dahi. Belajar autocad, buat apa? Akhirnya kuberanikan bertanya,"Maaf, Pak ... belajar di mana? Ambil kursus kah?"
"Kursus juga boleh kalau kamu mau. Ah, tapi buang-buang duit ... kamu seminggu ini shift pagi terus, kan? Mulai besok sepulang kerja, kamu ke ruangan Sefti, ya! Kamu belajar autocad sama dia."
Aku masih tak menangkap maksud perkataan dari Pak Dika. Ingin bertanya lagi, kenapa harus belajar itu,tapi tak enak hati. Akhirnya kubalas ucapannya dengan sedikit anggukan.
"Kamu bikin lamaran baru, ya? Kirim via e-mail saja nggak apa."
Lho? Semakin penasaran saja aku. Lamaran baru? Batinku semakin bertanya-tanya.
"Nanti saya pikirkan lagi, Dan ... kamu enaknya ditempatkan di mana. Tetap di admin, apa alih bagian. Sambil jadi admin, sementara kamu nyambi belajar autocad."
Aku masih bergeming. Tak mau banyak bertanya, kemudian kuanggukkan kepalaku lagi.
"Aku bosen, Dan ... denger tentangmu dan Rian yang begitu-begitu terus dari banyak orang. Mblenger nyeluk awakmu karo, perkoro masalah sing disengojo. (bosan memanggil kalian berdua, perihal masalah yang disengaja) Aku paham posisimu, aku mengerti kinerjamu. Sementara kamu nganut omongan saya saja. Buat lamaran baru ...."
Aku diam sejenak. Sejurus kemudian berkata, "Ya, Pak. Saya mohon maaf selama saya bekerja di sini selalu ada masalah."
"Wis ojo dibahas. Tak kek'i bagian luweh enak! Enak maksud'e tentrem karo wong jowo (sudah jangan dibahas. Saya beri bagian lebih enak. Enak dalam artian nyaman dengan orang baik)" Pak Dika memainkan kursi putarnya ke kanan-kiri sambil terus menatapku.
"Saya juga kesal sebenarnya dari dulu sama Rian. Tapi, mau bagaimana lagi? Bapaknya itu suka ikut campur terus. Yang punya masalah anaknya, bapaknya ikut-ikutan protes. Meski di sini saya yang lebih bertanggung jawab, tapi saya juga menghormati Pak Heri yang lebih lama bekerja di sini. Pak Heri itu banyak protesnya."
"Nggih, Pak." Aku menjawab se-kenanya, bingung berkata-kata.
"Kamu itu sama persis sifatnya seperti Pak Sujiwo. Suka menutupi kesalahan orang. Ha ha ha ... praenmu melas, Le. Aku dadi kepikiran ....(wajahmu lugu, Le. Aku jadi kepikiran)"
"Ya sudah, kamu sekarang pulang! Jangan lupa buat lamaran baru," pesannya kemudian, sambil kembali memainkan mouse di depannya.
Aku mengangguk dengan menyimpulkan senyum. Tanpa banyak basa-basi, langsung berpamitan pulang seraya mengambil langkah pergi ....
****
Kuhentikan langkahku di parkiran motor, mencoba memeriksa ponsel yang tadinya ku-reject.
Panggilan dari Adel!
Kucoba kirim message padanya, '10 menit lagi kuhubungi balik. Otw go home.'
Seusai mengirim pesan, kusaku kembali ponsel ke celana. Dengan senyum begitu sumringah, dengan hati yang lebih lega dari biasanya ....
Kuberikan nomor parkiran pada pak jukir beserta selembar uang dua ribu rupiah yang sudah lecek, lalu bergegas mengeluarkan motorku.
Sepanjang perjalanan pulang, aku tak lelah terus bersiul ....
Tuhan, terima kasih sudah memberi jalan terbaik bagiku saat ini. Semoga ke depannya perjalanan karierku lebih baik lagi dari hari ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 17-12-2019 17:33
Dewi777299 dan 23 lainnya memberi reputasi
24