- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#18
Rekan Kerja (Part 3)
Hari ini, aku mandi lebih pagi dari biasanya. Tak sedang terburu-buru berangkat kerja, tapi hanya ingin menyibukkan diri menjaga toko. Semenjak bekerja, aku tak pernah lagi membantu ibu mengurus toko. Sepertinya barang di etalase dan rak hampir kosong. Saatnya kulak barang.
Kulangkahkan kaki gontai menuju toko. Kulihat, Mbak Diah sudah menyapu teras depan sambil menggendong Bobi.
"Hei, hei, Bobi ...." Kupanggil bayi yang baru bisa berjalan itu sambil menjentikkan jari ke arahnya.
Bobi hanya melongo memandang, ekspresinya yang lucu membuatku tengah menahan tertawa.
"Eh, Mbak ... sudah dicatat belum, yang habis apa saja?" tanyaku pada Mbak Diah.
"Ya. Itu kutaruh laci. Minyak rem yang besar tambahin satu dus, sama jari-jari TDR coba lihat lagi barangkali ada yang nipis!"
Kubuka laci seperti pesan Mbak Diah. Mengambil secarik kertas berisi daftar barang belanjaan, lalu memeriksa kembali jari-jari TDR seperti yang dia bilang.
"Eh, Dan! Jangan lupa bearing klaker ... coba cek yang habis nomor berapa," pesan Mbak Diah lagi.
Aku mengangguk pelan.
Beginilah aktivitasku dulu sebelum bekerja di pabrik. Selain sibuk kuliah, aku ikut sibuk mengurus toko onderdil bersama almarhum Ayah. Setelah toko kami jalan empat tahunan, pada saat itulah Mbak Diah pulang kerumah. Suaminya sedang bermasalah, yang Mbakku sendiri tak tahu pucuk masalahnya itu bermula sejak kapan. Tahu-tahu masalah melebar, membuat mobil Mbak terjual karenanya. Semua harta Mbak Diah pemberian dari kedua orangtuaku habis karena ulah suaminya. Kini sang suami merantau entah ke mana, manakala anak bungsu Mbak Diah berumur empat bulan. Ah, bisa di bilang 'minggat' lah.
Belum lama setelah Mbak Diah pulang ke rumah dan berkumpul bersama kami, terjadilah insiden Ayah tengah sekarat hingga nyawanya tak terselamatkan. Hanya dalam waktu sebentar saja Ayah berkumpul bersama anak perempuannya ....
Benar-benar sedih jika diingat. Entah sudah berapa lama Ayah tengkurap dalam keadaan seperti itu, sedih terlambat menolong. Namun, kukembalikan lagi, mungkin memang sudah digariskan umur beliau tinggal sekian.
"Cepetan perginya, Dan! Antrinya pasti banyak ... ntar kamu telat istirahatnya sebelum ngantor," pesan Mbak datar.
Aku kembali mengangguk.
"Oke, aku pergi," seruku, sambil berjalan keluar toko.
Baru mau menghidupkan motor, terdengar suara dari ponselku. Nada deringnya menandakan sebuah telpon masuk. Kuambil gawai segera dari saku celana. Adel rupanya ....
"Assalamuallaikum, kok gak pernah kasih kabar?" Suara perempuan di seberang sana terdengar menggerutu.
"Wa'alaikumsalam ... hei, hallo! Nanti kutelepon balik, ya? Aku mau jalan, nih ...."
"Jalan ke mana?"
"Ini ... mau ambil barang dagangan."
"Oke, kalau sudah di tempat langsung calling."
"Siap!" Aku tersenyum bersemangat, sambil mematikan telepon dan menyaku kembali gawai. Tak menunggu lama, kustarter motor, kemudian menarik gas pelan melaju ke jalanan ....
Gadis yang menelponku itu ... Adel namanya. Cewek berjilbab yang cantik dan humble. Aku menyukainya. Sepertinya dia pun sama, tapi hubungan kami tak jauh hanya sebatas teman dari semasa kuliah dulu.
Adel ... dia pernah bilang, kalau ia tak terlalu memikirkan pacaran. Dia mau yang langsung menikah, dan itu pula yang membuatku mundur perlahan untuk mendekati. Bukan berarti aku tak niat menjadikannya serius. Hanya saja ... aku belum berpikiran bisa membimbing dia saat itu. Apalagi dalam posisi masih kuliah. Namanya saja anak kuliahan, yang diandalkan hanya uang pemberian dari orang tua.
Kuparkir motor persis di depan toko grosir onderdil. Tanpa basa-basi, langsung kulangkahkan kaki menuju ke salah seorang karyawan yang ada di depan. Menyodorkan secarik kertas daftar belanjaan, kemudian mengambil duduk di salah satu kursi tunggu.
Lalu, cepat-cepat kuambil ponsel dari saku. Mau apa lagi kalau tak untuk menelepon Adel ....
"Assalamuallaikum." Suara di seberang sana menyapa.
"Wa'alaikumsalam. Hai, Del!"
"Eh, kamu. Gimana kabarnya? Semenjak lulus kuliah tak lagi hubungi aku. Lupa, ya?" Gadis itu masih terdengar menggerutu.
Aku tersenyum seraya menjawab,"Enggak lah, Del."
"Eh, denger-denger ayah kamu baru meninggal. Kok, gak ngabarin?"
"Heeeemm, Ayahku meninggal di sini. Rumah kamu melesat di sono. Gak enak ah, nyusahin teman jauh."
"Yeeee, jelas kudu bilang laaah! Oh ya, kamu udah kerja?"
"Iya, sudah. Kamu?"
"Lagi nunggu panggilan, nih. Kamu kerja di mana?"
"Di sini, deket rumah."
"Di pabrik apa di mana?"
"Ya, di pabrik. Jadi buruh pabrik. He he he."
Gadis di seberang telepon tak lagi bersuara.
"Hallo, Del? Masih di situ?"
"Ya, bentar. Lagi benahin bros jilbab ini," sanggahnya.
Lagi-lagi diam.
"Eh, Dan ... kapan ke Surabaya? Ngumpul, yuk!"
"Heeeemm, terserah. Liburku Sabtu-Minggu. Oh, ya ... ijazahnya keluar kapan? Udah ada kabaran belum?"
"Belum. Bulan depan mungkin."
"Oohh ...."
"Dan, ngomong-ngomong udahan dulu, ya? Mau nemenin ibu pergi, nih. Teleponnya nggak dari tadi,sih."
"Oh, oke ... kututup, ya?"
"Jangan lupa kabar-kabar, ya! Awas, lho!"
Aku tersenyum sambil berucap, "Assalamuallaikum ...."
Gadis di ujung telepon membalas, Walaikumsalam ... diikuti dengan suara 'nut nut nut' pada akhirnya.
Adel ... Adel ....
Aku tersenyum seketika mengingatnya. Dia gadis anak orang kaya yang low profile. Aku selalu kagum dengannya. Cara dia bersikap, cara dia berbicara, caranya berpenampilan yang biasa-biasa saja dan tak menunjukkan jika orang berada, satu lagi ... pola berpikirnya kritis. Dia terlalu dewasa di usianya yang tergolong masih muda. Menurutku begitu, sih.
Aku selalu suka tutur katanya, caranya bercanda, kalau ngambek apalagi. Ha ha ha ....
Kita dulu teman dekat, bisa dibilang sangat dekat. Karena kedekatan kami dulu lah, aku merasa sangat nyaman bersamanya. Kukira dia juga punya perasaan yang sama. Semua terlihat dari sikap perhatian dan cerewetnya mengatur yang kadang melebihi batas. Namun, sampai detik ini, kami tak pernah saling mengakui ...
"Wooeeii, Mas!"
Lamunanku seketika buyar, saat kulihat lambaian seorang montir lewat tepat di depan muka.
"Pagi-pagi udah ngelamun, Mas. Tuh, dipanggil Mbak kasir dari tadi." Mas montir menunjuk seorang kasir yang berada paling ujung.
Aku langsung tersenyum malu sembari berjalan menghampiri si Kasir.
"Berapa semua, Mbak?"
****
"Om, Om ... bangun!" Suara lirih Kinara mencoba membangunkanku yang masih terlelap.
Aku menggeliat lemas. Perlahan membuka mata.
"Lho, lho? Om ketiduran di sini ...."
Aku terkesiap, beranjak sambil mengucek kedua mata.
"Huuuu, bilangnya mau nungguin toko. Habis kulak, tahunya ngorok! Untung Mbakmu cepat ke sini," cibir ibu, diikuti gelak tawa kecil Mbak Diah. Semua kejadian membuatku ikut tertawa saking merasa konyolnya.
"Jam berapa, Sayang?" Kucubit kecil pipi kiri Kinara dengan gemas.
Gadis yang rambutnya mengombak itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih terus tersenyum menatap.
Akhirnya, kupilih menilik jam dari gawai. Eh, tahu-tahu ada notif telepon masuk. Empat panggilan tak terjawab dari Pak Dika!
Ingin kutelepon balik, ternyata keburu ada SMS masuk duluan.
'Dani ... tolong kamu langsung ke ruangan saya nanti setelah ceklok'
Deg!
Haduuuuhh, ada apa ini? Tiba-tiba saja aku berubah panik.
****
Kupercepat langkah kaki, berjalan memasuki kantor. Setelah ceklok dan meletakkan tas, aku sedikit berlari menuju ruangan pak Dika yang berada di paling ujung. Langkahku kemudian terhenti tepat di depan ruangan itu. Sekilas menatap foto almarhum ayah yang terpampang jelas di depan ruangan.
Dengan perasaan sedikit was-was, aku pun mengetuk kecil pintu ruangan Pak Dika, lalu membukanya ....
"Ayo, duduk!"
Tanpa menjawab omongan Pak Dika, segera kuambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Gimana kerjanya selama ini? Apa yang kamu rasakan?" tanyanya padaku.
"Alhamdulillah, Pak. Saya betah dan senang bergabung dengan perusahaan ini. Setidaknya menambah wawasan dan pengalaman saya, Pak."
"Oke ... kamu sudah paham kinerja admin gudang seperti apa?"
"Ehm ... sudah, Pak."
"Truuuss, kamu tak melakukan kesalahan lagi, kan?"
Aku sedikit mengernyitkan dahi. "Ehm ... sepertinya tidak, Pak. Saya bekerja sesuai yang diperintahkan, dan diajarkan sebelumnya."
"Yakin?" Wajah Pak Dika semakin didekatkan padaku, membuatku jadi panik sendiri.
"Sepertinya saya tak melakukan kesalahan, Pak. Bisa dicek," jawabku yakin.
Pak Dika lalu memiringkan komputer di depannya. Sedikit membungkuk, sambil berucap, "Coba lihat!"
Kuamati jelas tampilan layar yang tertera.
"Sudah sadar salahmu di mana?" tanya Pak Dika lagi sambil mengangkat kedua alisnya.
Aku tak menjawab. Kembali meneliti monitor di samping kananku dengan heran.
"Sepertinya tak ada yang salah, Pak. Ehm ... maaf, Pak! Kalaupun ada yang salah, tolong beritahu saya ... karena saya masih bingung salahnya ada di mana?"
"Ckckck!" Pak Dika menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Daniiii, Daniiii ... percuma kamu kemarin ceklok! Sama saja kamu kemarin gak kerja. Ini program komputernya setelah nginput langsung naik ke atasan lho, ya! Jadi, staff accounting dan yang lainnya pasti juga tahu. Untung pagi tadi saya iseng lihat kinerja kamu."
"Ehm ... maaf, Pak. Saya masih belum mengerti."
Pak Dika kembali duduk sambil menghadapkan komputernya persis di depanku.
"Kamu lihat angka ini! Ini kode Rian yang masuk. Bukannya kamu sudah saya kasih kode sendiri kemarin di meja kerja kamu? Kamu ini lupa, atau kamu memang sengaja gak menggubris omongan saya?"
Mendengar omongan Pak Dika, spontan aku teringat sebuah stiker bertuliskan beberapa angka yang tertempel di meja kerjaku.
"Pak, mohon maaf. Pak Dika menempelkannya saya belum berada di kantor. Saya sudah bertanya pada Mas Rian, lalu ...." Aku menghentikan bicaraku sesaat.
"Lalu apa? Dia nggak jawab kalau itu kode adminmu?"
Kali ini kutelan ludah garing. Harus kujawab apa ini? Kalau aku menyebutkan dia lagi, pasti bertambah lagi masalah yang ada ....
"Hei ... kok diem? Mikir apa?" Pak Dika bertanya lagi padaku dengan geramnya.
"Ehm, tadi saya mau bilang apa? Lupa, Pak ...."
Kulihat wajah Pak Dika semakin memerah, nampak semakin kesal.
"Kamu itu kerjanya sebenarnya cepat, tapi otak kamu yang kayaknya lambat! Kalau temanmu sudah bilang padamu itu kode apa, simpan di sini!" Pak Dika menunjuk kepalanya sendiri, dengan mata tak lepas menatapku kesal.
"Sekarang kalau orang atas tahu ... kamu masuk kerja, tapi yang kerja dikira orang lain, saya mau bilang apa? Kalau saya cerita yang sejujurnya, malah saya yang kena. Karena saya masukin orang tolol macam kamu ...."
Aku kembali menunduk. Hatiku rasanya tak enak kali ini. Pak Dika terlihat sangat berapi-api.
"Sudah. Kembali ke mejamu! Aku tak mau kamu buat kesalahan lagi ...."
Aku pun mengangguk kecil mendengar perintah Pak Dika. Tak menunggu perintah lagi, kemudian kulangkahkan kaki pergi meninggalkan ruangan.
Sampai di depan pintu, lagi-lagi aku terpaku. Melihat bingkai berisi foto mendiang ayah. Ada rasa bersalah yang membelenggu tatkala aku menatap wajah itu semakin dalam.
Baru kusadari, aku lelaki ... tapi, aku tak bisa tegas begini. Kesal bukan karena sakit hati dimarahi Pak Dika, melainkan kesal karena aku merasa telah mengecewakan almarhum. Ayah yang dulunya di pabrik ini disegani, malah aku anaknya yang sekarang di-cap suka membuat ulah ....
Kudorong perlahan pintu ruanganku. Tampak wajah lelaki itu mendongak dengan sombongnya. Rian terus menatap sinis, seraya memperlihatkan senyum nakalnya.
Aku yang merasa kesal, lantas memberanikan diri menghampirinya. Tepat berdiri pas di depannya.
"Mau apa?" tanyanya dengan ketus.
"Kenapa kemarin tak bilang kalau nomer itu ternyata kode adminku?" tanyaku datar.
"Lho? Kamu kemarin tanya kan sudah kujawab, kalau itu nomer? Angkanya saja sudah kelihatan enam digit. Luasin dikit lah penalaranmu, enam digit itu biasanya nomor apa," jawabnya santai. Masih dengan senyum sinis menyeringai.
Hatiku semakin kesal dibuatnya. Tangan langsung mengepal, ingin sekali memukul lelaki itu. Namun perlahan, kutarik napas panjang, mencoba beristighfar. Merasa lebih baik, lantas kuurungkan juga niat burukku memberinya pelajaran.
Tanpa membalas perkataannya, akhirnya kulangkahkan kaki kembali menduduki kursi tempatku. Kemudian kunyalakan komputer di hadapan dengan jari yang tak bersemangat. Mata sontak tertuju pada foto yang terselip di meja kerja.
Ayah, Ibu, aku, dan Mbak Diah beserta kedua anaknya. Ayah yang kini tiada, dan tinggallah ibu serta mbakku ... dua orang perempuan yang sama-sama tak ada yang memberi nafkah.
Aku harus kuat. Aku harus lebih bersemangat. Karena aku sadar, di sini aku adalah seorang tulang punggung ....
(bersambung)
Kulangkahkan kaki gontai menuju toko. Kulihat, Mbak Diah sudah menyapu teras depan sambil menggendong Bobi.
"Hei, hei, Bobi ...." Kupanggil bayi yang baru bisa berjalan itu sambil menjentikkan jari ke arahnya.
Bobi hanya melongo memandang, ekspresinya yang lucu membuatku tengah menahan tertawa.
"Eh, Mbak ... sudah dicatat belum, yang habis apa saja?" tanyaku pada Mbak Diah.
"Ya. Itu kutaruh laci. Minyak rem yang besar tambahin satu dus, sama jari-jari TDR coba lihat lagi barangkali ada yang nipis!"
Kubuka laci seperti pesan Mbak Diah. Mengambil secarik kertas berisi daftar barang belanjaan, lalu memeriksa kembali jari-jari TDR seperti yang dia bilang.
"Eh, Dan! Jangan lupa bearing klaker ... coba cek yang habis nomor berapa," pesan Mbak Diah lagi.
Aku mengangguk pelan.
Beginilah aktivitasku dulu sebelum bekerja di pabrik. Selain sibuk kuliah, aku ikut sibuk mengurus toko onderdil bersama almarhum Ayah. Setelah toko kami jalan empat tahunan, pada saat itulah Mbak Diah pulang kerumah. Suaminya sedang bermasalah, yang Mbakku sendiri tak tahu pucuk masalahnya itu bermula sejak kapan. Tahu-tahu masalah melebar, membuat mobil Mbak terjual karenanya. Semua harta Mbak Diah pemberian dari kedua orangtuaku habis karena ulah suaminya. Kini sang suami merantau entah ke mana, manakala anak bungsu Mbak Diah berumur empat bulan. Ah, bisa di bilang 'minggat' lah.
Belum lama setelah Mbak Diah pulang ke rumah dan berkumpul bersama kami, terjadilah insiden Ayah tengah sekarat hingga nyawanya tak terselamatkan. Hanya dalam waktu sebentar saja Ayah berkumpul bersama anak perempuannya ....
Benar-benar sedih jika diingat. Entah sudah berapa lama Ayah tengkurap dalam keadaan seperti itu, sedih terlambat menolong. Namun, kukembalikan lagi, mungkin memang sudah digariskan umur beliau tinggal sekian.
"Cepetan perginya, Dan! Antrinya pasti banyak ... ntar kamu telat istirahatnya sebelum ngantor," pesan Mbak datar.
Aku kembali mengangguk.
"Oke, aku pergi," seruku, sambil berjalan keluar toko.
Baru mau menghidupkan motor, terdengar suara dari ponselku. Nada deringnya menandakan sebuah telpon masuk. Kuambil gawai segera dari saku celana. Adel rupanya ....
"Assalamuallaikum, kok gak pernah kasih kabar?" Suara perempuan di seberang sana terdengar menggerutu.
"Wa'alaikumsalam ... hei, hallo! Nanti kutelepon balik, ya? Aku mau jalan, nih ...."
"Jalan ke mana?"
"Ini ... mau ambil barang dagangan."
"Oke, kalau sudah di tempat langsung calling."
"Siap!" Aku tersenyum bersemangat, sambil mematikan telepon dan menyaku kembali gawai. Tak menunggu lama, kustarter motor, kemudian menarik gas pelan melaju ke jalanan ....
Gadis yang menelponku itu ... Adel namanya. Cewek berjilbab yang cantik dan humble. Aku menyukainya. Sepertinya dia pun sama, tapi hubungan kami tak jauh hanya sebatas teman dari semasa kuliah dulu.
Adel ... dia pernah bilang, kalau ia tak terlalu memikirkan pacaran. Dia mau yang langsung menikah, dan itu pula yang membuatku mundur perlahan untuk mendekati. Bukan berarti aku tak niat menjadikannya serius. Hanya saja ... aku belum berpikiran bisa membimbing dia saat itu. Apalagi dalam posisi masih kuliah. Namanya saja anak kuliahan, yang diandalkan hanya uang pemberian dari orang tua.
Kuparkir motor persis di depan toko grosir onderdil. Tanpa basa-basi, langsung kulangkahkan kaki menuju ke salah seorang karyawan yang ada di depan. Menyodorkan secarik kertas daftar belanjaan, kemudian mengambil duduk di salah satu kursi tunggu.
Lalu, cepat-cepat kuambil ponsel dari saku. Mau apa lagi kalau tak untuk menelepon Adel ....
"Assalamuallaikum." Suara di seberang sana menyapa.
"Wa'alaikumsalam. Hai, Del!"
"Eh, kamu. Gimana kabarnya? Semenjak lulus kuliah tak lagi hubungi aku. Lupa, ya?" Gadis itu masih terdengar menggerutu.
Aku tersenyum seraya menjawab,"Enggak lah, Del."
"Eh, denger-denger ayah kamu baru meninggal. Kok, gak ngabarin?"
"Heeeemm, Ayahku meninggal di sini. Rumah kamu melesat di sono. Gak enak ah, nyusahin teman jauh."
"Yeeee, jelas kudu bilang laaah! Oh ya, kamu udah kerja?"
"Iya, sudah. Kamu?"
"Lagi nunggu panggilan, nih. Kamu kerja di mana?"
"Di sini, deket rumah."
"Di pabrik apa di mana?"
"Ya, di pabrik. Jadi buruh pabrik. He he he."
Gadis di seberang telepon tak lagi bersuara.
"Hallo, Del? Masih di situ?"
"Ya, bentar. Lagi benahin bros jilbab ini," sanggahnya.
Lagi-lagi diam.
"Eh, Dan ... kapan ke Surabaya? Ngumpul, yuk!"
"Heeeemm, terserah. Liburku Sabtu-Minggu. Oh, ya ... ijazahnya keluar kapan? Udah ada kabaran belum?"
"Belum. Bulan depan mungkin."
"Oohh ...."
"Dan, ngomong-ngomong udahan dulu, ya? Mau nemenin ibu pergi, nih. Teleponnya nggak dari tadi,sih."
"Oh, oke ... kututup, ya?"
"Jangan lupa kabar-kabar, ya! Awas, lho!"
Aku tersenyum sambil berucap, "Assalamuallaikum ...."
Gadis di ujung telepon membalas, Walaikumsalam ... diikuti dengan suara 'nut nut nut' pada akhirnya.
Adel ... Adel ....
Aku tersenyum seketika mengingatnya. Dia gadis anak orang kaya yang low profile. Aku selalu kagum dengannya. Cara dia bersikap, cara dia berbicara, caranya berpenampilan yang biasa-biasa saja dan tak menunjukkan jika orang berada, satu lagi ... pola berpikirnya kritis. Dia terlalu dewasa di usianya yang tergolong masih muda. Menurutku begitu, sih.
Aku selalu suka tutur katanya, caranya bercanda, kalau ngambek apalagi. Ha ha ha ....
Kita dulu teman dekat, bisa dibilang sangat dekat. Karena kedekatan kami dulu lah, aku merasa sangat nyaman bersamanya. Kukira dia juga punya perasaan yang sama. Semua terlihat dari sikap perhatian dan cerewetnya mengatur yang kadang melebihi batas. Namun, sampai detik ini, kami tak pernah saling mengakui ...
"Wooeeii, Mas!"
Lamunanku seketika buyar, saat kulihat lambaian seorang montir lewat tepat di depan muka.
"Pagi-pagi udah ngelamun, Mas. Tuh, dipanggil Mbak kasir dari tadi." Mas montir menunjuk seorang kasir yang berada paling ujung.
Aku langsung tersenyum malu sembari berjalan menghampiri si Kasir.
"Berapa semua, Mbak?"
****
"Om, Om ... bangun!" Suara lirih Kinara mencoba membangunkanku yang masih terlelap.
Aku menggeliat lemas. Perlahan membuka mata.
"Lho, lho? Om ketiduran di sini ...."
Aku terkesiap, beranjak sambil mengucek kedua mata.
"Huuuu, bilangnya mau nungguin toko. Habis kulak, tahunya ngorok! Untung Mbakmu cepat ke sini," cibir ibu, diikuti gelak tawa kecil Mbak Diah. Semua kejadian membuatku ikut tertawa saking merasa konyolnya.
"Jam berapa, Sayang?" Kucubit kecil pipi kiri Kinara dengan gemas.
Gadis yang rambutnya mengombak itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih terus tersenyum menatap.
Akhirnya, kupilih menilik jam dari gawai. Eh, tahu-tahu ada notif telepon masuk. Empat panggilan tak terjawab dari Pak Dika!
Ingin kutelepon balik, ternyata keburu ada SMS masuk duluan.
'Dani ... tolong kamu langsung ke ruangan saya nanti setelah ceklok'
Deg!
Haduuuuhh, ada apa ini? Tiba-tiba saja aku berubah panik.
****
Kupercepat langkah kaki, berjalan memasuki kantor. Setelah ceklok dan meletakkan tas, aku sedikit berlari menuju ruangan pak Dika yang berada di paling ujung. Langkahku kemudian terhenti tepat di depan ruangan itu. Sekilas menatap foto almarhum ayah yang terpampang jelas di depan ruangan.
Dengan perasaan sedikit was-was, aku pun mengetuk kecil pintu ruangan Pak Dika, lalu membukanya ....
"Ayo, duduk!"
Tanpa menjawab omongan Pak Dika, segera kuambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Gimana kerjanya selama ini? Apa yang kamu rasakan?" tanyanya padaku.
"Alhamdulillah, Pak. Saya betah dan senang bergabung dengan perusahaan ini. Setidaknya menambah wawasan dan pengalaman saya, Pak."
"Oke ... kamu sudah paham kinerja admin gudang seperti apa?"
"Ehm ... sudah, Pak."
"Truuuss, kamu tak melakukan kesalahan lagi, kan?"
Aku sedikit mengernyitkan dahi. "Ehm ... sepertinya tidak, Pak. Saya bekerja sesuai yang diperintahkan, dan diajarkan sebelumnya."
"Yakin?" Wajah Pak Dika semakin didekatkan padaku, membuatku jadi panik sendiri.
"Sepertinya saya tak melakukan kesalahan, Pak. Bisa dicek," jawabku yakin.
Pak Dika lalu memiringkan komputer di depannya. Sedikit membungkuk, sambil berucap, "Coba lihat!"
Kuamati jelas tampilan layar yang tertera.
"Sudah sadar salahmu di mana?" tanya Pak Dika lagi sambil mengangkat kedua alisnya.
Aku tak menjawab. Kembali meneliti monitor di samping kananku dengan heran.
"Sepertinya tak ada yang salah, Pak. Ehm ... maaf, Pak! Kalaupun ada yang salah, tolong beritahu saya ... karena saya masih bingung salahnya ada di mana?"
"Ckckck!" Pak Dika menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Daniiii, Daniiii ... percuma kamu kemarin ceklok! Sama saja kamu kemarin gak kerja. Ini program komputernya setelah nginput langsung naik ke atasan lho, ya! Jadi, staff accounting dan yang lainnya pasti juga tahu. Untung pagi tadi saya iseng lihat kinerja kamu."
"Ehm ... maaf, Pak. Saya masih belum mengerti."
Pak Dika kembali duduk sambil menghadapkan komputernya persis di depanku.
"Kamu lihat angka ini! Ini kode Rian yang masuk. Bukannya kamu sudah saya kasih kode sendiri kemarin di meja kerja kamu? Kamu ini lupa, atau kamu memang sengaja gak menggubris omongan saya?"
Mendengar omongan Pak Dika, spontan aku teringat sebuah stiker bertuliskan beberapa angka yang tertempel di meja kerjaku.
"Pak, mohon maaf. Pak Dika menempelkannya saya belum berada di kantor. Saya sudah bertanya pada Mas Rian, lalu ...." Aku menghentikan bicaraku sesaat.
"Lalu apa? Dia nggak jawab kalau itu kode adminmu?"
Kali ini kutelan ludah garing. Harus kujawab apa ini? Kalau aku menyebutkan dia lagi, pasti bertambah lagi masalah yang ada ....
"Hei ... kok diem? Mikir apa?" Pak Dika bertanya lagi padaku dengan geramnya.
"Ehm, tadi saya mau bilang apa? Lupa, Pak ...."
Kulihat wajah Pak Dika semakin memerah, nampak semakin kesal.
"Kamu itu kerjanya sebenarnya cepat, tapi otak kamu yang kayaknya lambat! Kalau temanmu sudah bilang padamu itu kode apa, simpan di sini!" Pak Dika menunjuk kepalanya sendiri, dengan mata tak lepas menatapku kesal.
"Sekarang kalau orang atas tahu ... kamu masuk kerja, tapi yang kerja dikira orang lain, saya mau bilang apa? Kalau saya cerita yang sejujurnya, malah saya yang kena. Karena saya masukin orang tolol macam kamu ...."
Aku kembali menunduk. Hatiku rasanya tak enak kali ini. Pak Dika terlihat sangat berapi-api.
"Sudah. Kembali ke mejamu! Aku tak mau kamu buat kesalahan lagi ...."
Aku pun mengangguk kecil mendengar perintah Pak Dika. Tak menunggu perintah lagi, kemudian kulangkahkan kaki pergi meninggalkan ruangan.
Sampai di depan pintu, lagi-lagi aku terpaku. Melihat bingkai berisi foto mendiang ayah. Ada rasa bersalah yang membelenggu tatkala aku menatap wajah itu semakin dalam.
Baru kusadari, aku lelaki ... tapi, aku tak bisa tegas begini. Kesal bukan karena sakit hati dimarahi Pak Dika, melainkan kesal karena aku merasa telah mengecewakan almarhum. Ayah yang dulunya di pabrik ini disegani, malah aku anaknya yang sekarang di-cap suka membuat ulah ....
Kudorong perlahan pintu ruanganku. Tampak wajah lelaki itu mendongak dengan sombongnya. Rian terus menatap sinis, seraya memperlihatkan senyum nakalnya.
Aku yang merasa kesal, lantas memberanikan diri menghampirinya. Tepat berdiri pas di depannya.
"Mau apa?" tanyanya dengan ketus.
"Kenapa kemarin tak bilang kalau nomer itu ternyata kode adminku?" tanyaku datar.
"Lho? Kamu kemarin tanya kan sudah kujawab, kalau itu nomer? Angkanya saja sudah kelihatan enam digit. Luasin dikit lah penalaranmu, enam digit itu biasanya nomor apa," jawabnya santai. Masih dengan senyum sinis menyeringai.
Hatiku semakin kesal dibuatnya. Tangan langsung mengepal, ingin sekali memukul lelaki itu. Namun perlahan, kutarik napas panjang, mencoba beristighfar. Merasa lebih baik, lantas kuurungkan juga niat burukku memberinya pelajaran.
Tanpa membalas perkataannya, akhirnya kulangkahkan kaki kembali menduduki kursi tempatku. Kemudian kunyalakan komputer di hadapan dengan jari yang tak bersemangat. Mata sontak tertuju pada foto yang terselip di meja kerja.
Ayah, Ibu, aku, dan Mbak Diah beserta kedua anaknya. Ayah yang kini tiada, dan tinggallah ibu serta mbakku ... dua orang perempuan yang sama-sama tak ada yang memberi nafkah.
Aku harus kuat. Aku harus lebih bersemangat. Karena aku sadar, di sini aku adalah seorang tulang punggung ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 14-12-2019 22:13
erman123 dan 17 lainnya memberi reputasi
18