- Beranda
- Stories from the Heart
Rekan kerja
...
TS
shirazy02
Rekan kerja

Prolog
Pesan terakhir almarhum Ayah Dani kepada mantan rekan kerjanya, membuat Dani keterima kerja di sebuah perusahaan benefit dengan cuma-cuma. Namun, ada suatu kesalah pahaman yang membuat ia selalu bersitegang dengan Rian, rekan kerjanya satu bagian. Setiap hari selalu saja ada masalah di kantor. Tak hanya itu, ia juga terjebak dalam hubungan rumit bersama teman semasa kuliahnya. Sementara di lain sisi, ia tak sengaja menaruh hati dengan calon tunangan Rian. Akankah Dani mampu melewati semua godaan itu?
Rekan Kerja adalah sebuah cerita (nyata) yang menceritakan perjuangan seorang anak muda bernama Dani (nama disamarkan). Sosok pendiam, penyabar, tapi kepeduliannya sangat tinggi. Ia merasa bahwa dirinya adalah pengaruh utama yang bertanggung jawab atas keluarganya. Segala hiruk-pikuk kehidupan dan masalah yang terjadi di sekitarnya tak luput selalu menjadi beban pikiran, tapi ia selalu tegar bagaimanapun keadaannya, karena ia merasa harapan dan kebaikan selalu ada di setiap jalan.
Cerita ini sangat menarik dan kupastikan kalian akan selalu terbawa untuk mengikutinya, karena jalan ceritanya lain daripada yang lain. Yuk, cekidot!
INDEKS
Spoiler for .:
Spoiler for Sekuel Rekan Kerja:
(Part 1)
Mataku masih tak beralih memandangi Bobi, ponakanku yang berumur setahun itu. Dia berjalan tertatih-tatih mengejar kupu-kupu yang beterbangan. Ibunya, yang tak lain adalah kakakku, berjalan di belakangnya sambil mengomel tiada henti. Ya, baru sebulan ini Bobi bisa jalan. Caranya melangkah lucu sekali ....
Tiba-tiba, dari dalam rumah ibu berseru memanggilku dengan terburu-buru. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel milik ayah.
"Dan, Dani ... ayo diangkat cepat! Atasan ayah telpon."
Atasan? Bukannya ayah sudah pensiun setahun yang lalu. Kira-kira ada urusan apa?
"Angkat aja lah, Bu ... mungkin mau ngucapin bela sungkawa. Kan, baru sebulan ayah meninggal," tukasku.
"Ayolaaahh, angkat! Ibu takut gak bisa ngomong."
Akhirnya, dengan gugup kucoba mengangkat telpon darinya.
"Hallo!" seruku.
Kami mengobrol sepuluh menitan.
Intinya, Pak Dika memintaku datang ke kantor besok. Aku bingung dan heran, ada apa aku disuruh ke kantor?
Karena paksaan dari ibu, akhirnya aku memutuskan menemuinya keesokan hari.
****
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor, menuju bilik ruangan paling pojok. Aku hafal betul ruangan ini, karena sudah pernah magang jaman kuliah dulu. Ayahku yang dulu memintaku magang di tempat ini. Dia berharap aku bisa meneruskan bekerja di sini sepertinya, di salah satu pabrik benefit yang ada di kota kami. Alasannya, selain dekat dengan rumah, gaji pun sudah jelas jika karyawan. Selain itu pabrik ini memang memberi fasilitas tunjangan cukup menarik.
Ketika mau memasuki ruangan Pak Dika, sontak mataku tertuju pada tembok di sebelahku. Terlihat foto almarhum ayah terpampang jelas pada bingkai ukuran 10Rs itu. Dibawah bingkai foto itu bertuliskan "SUJIWO-Supervisor Gd.PM 09"
Wajah ayahku paling terlihat khas dengan kumis tebalnya, berjajar dengan beberapa puluh foto di sampingnya.
Ada rasa heran menyeruak dalam benak. Ayah bukan lagi supervisor di pabrik ini, kenapa fotonya masih saja dipasang? Bahkan foto teman-teman yang lainnya sudah berganti dengan posisi SPV yang baru.
Belum lama aku memandangi foto almarhum ayah, Pak Dika sudah menegurku dari dalam ruangannya. "Hei kamu yang di depan pintu! Kenapa terus berdiri disitu?"
Seketika aku langsung berbalik menghadap ke pintu semi-transparan itu. Mengetuk kecil pintu ruangannya, kemudian melangkahkan kaki pelan masuk ke dalam.
"Oohh, kamu ... yang saya telpon kemarin, ya? Anak Pak Sujiwo?" Pak Dika beranjak dari kursinya menyambutku.
Kusalami tangan Pak Dika seraya memperkenalkan diri, "saya Dani, Pak."
"Ya,ya, ayo duduk!"
Mendengar itu, aku pun mengambil duduk di sebuah kursi yang ada di depannya.
"Heeeemm, kamu anak Pak Sujiwo?" tanyanya lagi dengan raut wajah seperti tak percaya.
"Ya, Pak. Benar." Kujawab tegas pertanyaan Pak Dika dengan seulas senyum. Lelaki itu kemudian manggut-manggut menatapku. "Kamu yang baru wisuda bulan kemarin itu, kan? Yang besoknya ayah kamu meninggal?"
"Ya, Pak. Benar."
"Hem, yaaa, yaaa ...." Pak Dika beranjak lagi dari tempat duduknya, mengambil sebuah buku bersampul hitam tebal dari rak di belakangnya. Dia buka halaman pertama, lalu menyodorkannya padaku.
"Itu kenangan foto-foto ayah kamu semenjak bekerja di sini, banyak. Saya merasa baru kemarin ayah kamu pamit berhenti kerja, kok tahu-tahu sudah meninggal. Kena apa?" tanya Pak Dika sembari lebih mendekatkan wajahnya padaku.
"Saya kurang tahu, Pak. Ayah saat itu sedang melayani pembeli di toko. Saya tak tahu persis kejadian ayah saya jatuh di dalam toko itu, tahu-tahu ketika saya masuk, saya sudah menemukan ayah saya jatuh sekarat."
"Lho? Memang ada riwayat penyakit apa? Jangan-jangan jantung?"
"Kemungkinan vertigonya kambuh, Pak. Kami sekeluarga telat menolong. Tapi, entahlah ... sebelumnya pernah mengeluh sama tetangga, jika dadanya nyeri. Banyak juga yang bilang jantung, karena jatuhnya menelungkup."
Pak Dika kembali manggut-manggut. Dia bersidekap sembari menyandarkan punggungnya di kursi duduknya.
"Mengagetkan sekali tentunya, ya. Ya sudah, saya sedikit mau cerita. Jadi, begini ... seminggu sebelum ayahmu wafat, dia telepon saya. Dia bilang kamu mau wisuda, lalu dia titipkan kamu pada saya." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, sambil memungut album di depannya, lalu membuka-bukanya.
".... sebenarnya saya tak bisa asal nerima karyawan seperti ini. Tapi, karena ini amanah terakhir beliau, dan saya yakin, kamu menuruni sifat tegas seperti bapak kamu. Jadi ... kamu besok kesini ya, berpakaian rapi. Seragam ayah kamu masih ada, kan? Dipakai saja!"
"Lho, Pak? Maksudnya ... saya bekerja di sini?" Mataku membelalak seolah tak percaya dengan berita yang barusan kudengar.
"Iya. Kamu besok mulai kerja. Sudah, belakangan saja lamarannya kalau kamu tak sempat, yang penting kamu masuk dulu."
Sontak kedua netra berbinar kala mendengar perkataan itu. Ini benar-benar kejutan di pagi hari.
Tanpa banyak pertimbangan, keesokannya aku pun masuk jam delapan pagi berseragam lengkap sesuai yang diminta.
Sungguh keberuntungan bagiku. Disaat semua berlomba-lomba mengikuti tes agar bisa masuk di perusahaan benefit ini, aku malah dengan mudahnya bisa langsung bergabung sebagai karyawan. Aku ingat pesan ibuku, agar selalu bisa bekerja dengan baik, berteman dengan semua karyawan dengan baik, menunjukkan kinerja yang baik, dan bisa menjaga tata tertib perusahaan dengan baik. Aku tahu, semua ini karena almarhum ayah. Kalau bukan karena ayah, tak mungkin aku bisa segampang ini masuk perusahaan.
Di saat briefing, Pak Dika mulai mengenalkanku pada beberapa karyawan yang lain. Kemudian aku ditunjuknya sebagai admin, dan di training oleh salah seorang admin lawas bernama Rian.
Rian ....
Ya, aku mengenalnya. Dia kebetulan juga tetangga desa. Umurnya selisih dua tahun di atasku. Ayahnya pun bekerja di perusahaan ini, namanya Pak Heri. Pak Heri dulu juga teman satu bagian almarhum ayah. Dia juga seorang Supervisor.
Kuikuti langkah santai Rian menuju sebuah ruangan. Dia menyuruhku masuk lebih dulu.
"Ruangan ini khusus admin. Nah, adminnya kita berdua. Itu tempatmu!" Rian menunjuk sebuah meja di paling belakang.
"Terima kasih," ucapku.
"Jangan duduk di sana dulu! ambil saja kursinya, bawa kemari! Lihat caraku bekerja di sini, kalau sudah paham, baru kerjakan di mejamu," tukasnya.
Tanpa menjawab, segera kuambil kursi duduk di meja belakang, dan meletakkannya di samping kursinya.
Rian mulai mengoperasikan komputer, seraya menunjukkan berkas-berkas di mejanya.
"Ini berkas sebelum di-input, kamu ambili dulu dari beberapa gudang yang kamu pegang. Kamu bawa motor yang disediakan, jangan lupa pake helm keselamatan warna kuning yang ada di luar itu!" Ia menunjukkan sebuah helm yang seperti helm pekerja proyekan.
"Cara nginputnya gini ...." Ia lalu mulai mencontohkan cara bekerja dengan secarik kertas yang dipegangnya, dan aku tentu mengamati setiap penuturan Rian dari awal sampai akhir.
"Sudah, kamu kerjakan berkasku dulu. Kan, belum dibagi sama Pak Dika, kamu megang gudang mana saja" ucapnya lagi sembari menyodorkan setumpuk berkas setebal kira-kira seratus halaman lebih itu ke tanganku. Lalu dia beranjak dari duduknya seraya berucap, "Aku tinggal dulu."
"Lho, Mas? Ini harus selesai hari ini?"
"Nggak harus. Kalau kamu sanggup ya lebih bagus, sih."
Seusai berkata begitu, Rian pergi berlalu dari ruangan.
Kupandang tumpukan berkas di tanganku kali ini. Sebanyak ini mana mungkin selesai dalam satu hari? Namun, kuoptimiskan diriku sendiri bahwa 'AKU BISA!' Akhirnya kupungut secarik kertas hadapan, dan mulai mengerjakan tugas.
-----
Jam istirahat ....
"Siang, Mas!"
Suara seorang lelaki tua paruh baya menegurku dari belakang. Ia mengambil duduk di sebelahku sambil meletakkan bekal makannya yang terbungkus kertas minyak itu.
"Podo mbontote, Mas. Enak masakane bojo (sama bawa bekalnya, Mas. Enak masakan istri)," Lelaki itu terkekeh padaku seraya membuka bekal yang dibawanya.
"Ya, Pak. Lebih hemat juga," balasku.
"Ngomong-ngomong, sampean anak Pak Wo, ya?"
"Pak Sujiwo."
"Lah, nggih.... Itu maksud saya. Orang di gudang semua manggilnya pak Wo,Mas. Eh, tapi wajahnya kok beda, ya?"
Aku tertawa lucu mendengar ucapan bapak itu. Memang, wajahku tirus,sama seperti ibu. Hidungku juga mancung. Kalau ayah berhidung pesek, wajahnya persegi, menurun ke kakak perempuanku.
Lelaki paruh baya itu lalu menceritakan tentang sosok ayah yang disegani para anak buahnya. Caranya bekerja, yang tak disukainya apa, dan banyak lagi yang lainnya. Sepertinya peran ayahku penting bagi yang lain, sehingga mereka semua merasa kaget dan sangat kehilangan saat mendengar ayah meninggal.
Tiba-tiba, bapak paruh baya ini menghentikan ceritanya saat seorang lelaki kebetulan melintas di depan kami.
"Itu tuh, si Bambang. Bocah ndablek! Banyak banget bikin kesalahan, tapi dibelain terus sama Pak Wo. Semua anak segudang gak ada yang suka, banyak mengeluh karenanya, tapi pak Wo selalu membelanya."
Aku terdiam sejenak memandang pria berwajah tirus dengan banyak jambang tak beraturan di wajahnya. Kali ini, akhirnya kulihat sendiri pria bernama Bambang itu. Ya, dulu aku sering mendengar namanya dari ayah. Di mata ayah, Bambang sebenarnya pekerja keras. Hanya saja hutangnya banyak di luar sana, yang kemudian membuatnya malas bekerja. Dia hampir di PHK, tapi ayah terus membelanya.
"Begitulah, Nak, kalau salah langkah sedikit. Semuanya hancur. Hutangnya banyak, rumah tangga berantakan, kerja seperti apapun tetap saja terasa malas nggak ada semangat. Karena apa? Karena dia merasa gajinya selalu kurang untuk menutup hutang. Makanya, ayah peringatkan kamu sebagai laki-laki, jangan sekali-kali mengenal judi, narkoba, ataupun bermain-main perempuan!" Aku ingat betul nasehat ayah saat itu.
Kulihat ID card yang tergantung di leher bapak sebelahku itu. Membaca namanya. Syaiful.
"Saya tadi lihat anaknya Pak Heri asyik merokok, Mas." Pak Syaiful menghentikan bicaranya, melempar kertas minyak pembungkus bekalnya tepat ke lubang kotak sampah.
"Ealah, Mas ... yang sabar satu bagian sama Mas Rian. Mentang-mentang anaknya Pak Heri, kerja sak enak'e dewe (kerja seenaknya saja)," ungkapnya lagi.
Hmmmmm ... seperti itukah? Aku tak seberapa akrab mengenalnya di rumah. Namun, kebanyakan temanku memang berkata dia anak yang sombong. Karena merasa anak orang kaya, bicaranya terlalu tinggi.
Ah, kalau cuma masalah gaya bicara, aku tak terlalu mempedulikan. Itu sudah karakter, dan aku tak selalu mengambil hati setiap perkataan orang yang terasa aneh.
Sorenya, aku pulang dengan badan yang begitu lunglai. Hari pertamaku bekerja sungguh capek luar biasa. Tak hanya duduk di depan monitor, tapi juga pergi ke sana- ke mari mengambil berkas dari satu gudang ke gudang yang lain, yang tak cukup sekali jalan. Terkadang ikut memeriksa truk besar masuk menurunkan barang mentah, memeriksa kode barcode, dan lain-lain. Sebenarnya tugasku tak serumit ini, tapi Rian berkata, Pak Dika yang memintaku seperti itu. Sekalian menghafal lokasi gudang A,B,C bagianku. Serta agar mengetahui proses keluar-masuknya barang.
Malam ini kuistirahatkan total badan, setelah ibu dan kakak menginterogasiku di hari pertama masuk kerja. Tak pakai mandi,tak pakai ganti seragam, langsung kupejamkan mataku kala itu juga ....
****
Pukul 08.30 WIB
Tak terasa sudah sebulan aku bekerja di perusahaan ini. Begitu senangnya saat aku menerima gaji pertamaku kemarin.
Kupastikan pertama kalinya aku pegang uang sebanyak itu.
Selesai menata berkas,kuhidupkan tombol On/Off komputer di hadapan. Sembari menunggu, kuambil dompet dari saku celana, mengeluarkan secarik foto. Yups, foto terakhirku bersama ayah saat aku wisuda. Di foto itu ada pula ibu, kakak perempuanku dan kedua anaknya.
Aku tersenyum memandang mereka dalam foto. Lalu, kuselipkan foto itu di meja kerjaku yang bertumpuk dengan kaca tebal. Wajah kedua orangtua terlihat tersenyum di foto itu, seolah bahagia. Kemudian, kualihkan pandangan kembali pada monitor. Sejenak, memilah-milah berkas di atas meja. Menyendirikan berkas yang sudah kuinput dan yang baru kuterima.
Tak lama Rian masuk ke ruangan. Matanya masih awas menatap gawai digenggamannya. "Gimana? Sudah kau kerjakan sampai mana?" tanyanya tanpa menoleh sedikit pun.
"Yang kemarin hampir selesai, Mas. Ini aku juga mau ngerjain yang baru kuambil."
Lelaki berkulit putih itu lalu berjalan ke arahku, menarik posisi monitor menghadap kepadanya.
"Ini tanggalnya rubah saja! Pakai tanggal kemarin." Ia mulai menggerakkan mouse. Mengganti angka 14 menjadi 12 di kolom yang menunjukkan tanggal.
"Emang gak apa, Mas, kalo nggak sama dengan yang di form?"
"Siapa yang mau lihat berkas segitu banyaknya? Yang pasti dilihat itu langsung di komputer," jawabnya enteng. Aku bergeming mendengar itu.
Rian pun kembali ke meja kerjanya, sambil menyalakan rokok. "Sudah, cepat kerjakan!" titahnya.
Memandang sekilas, membuat perasaanku sedikit gemas karenanya. Sedari awal aku bekerja, ia hanya menyerahkan berkas-berkasnya padaku. Yang dilakukannya hanya menatap gawai, main game online berjam-jam, dan berkas yang di mejanya hanyalah kamuflase untuk mengelabuhi Pak Dika atau Pak Heri yang muncul tiba-tiba. Jika pekerjaanku sudah selesai, baru dia tukarkan berkasnya itu dengan milikku. Aku merasa dia menjadikanku sebagai budak!
Ah, sudahlah! Aku ingat omongan kakakku, bahwa yang namanya kerja pertama kali, tentu wajib disuruh-suruh. Apalagi disuruh yang mentraining kita. Ini hanyalah sementara. Ini tak akan lama ....
"Gimana, Mas ... kerja satu bagian sama Mas Rian?" tanya Pak Syaiful padaku.
Beginilah, setiap jam istirahat Pak Syaiful selalu mendekatiku, bertanya-tanya.
Aku tersenyum dan berkata, "Biasa saja, Pak."
"Sing betah, Mas. (yang betah, Mas). Dia memang suka mentang-mentang karena ada bapaknya disitu."
"Nggih, Pak."
Kami tak lagi bercerita. Fokus melahap makanan masing-masing.
Seusai makan dan minum, aku langsung balik ke ruanganku.
Ketika kaki melangkah hendak memasuki ruangan, betapa kagetnya kedua netra saat menemui Pak Dika sudah berada di sana dengan raut wajah seperti kesal.
"Siang, Pak." Aku menyapanya sembari tersenyum.
"Sini, Mas!" Pak Dika melambaikan tangan padaku, yang akhirnya membuatku menghampirinya.
"Mas, kalau kerja itu yang jujur! Kalau di form ini bertanggal sekian, ngetiknya juga tanggal sekian. Tolong, ya ... ini sama saja melimpahkan kesalahan pada orang gudang. Saya dari kemarin marah-marah, lho, sama supervisornya. Saya pikir mereka yang lelet, ternyata samean yang gak bisa kerja dengan benar!"
"...." Aku tak bisa berkata.
"Kerja pertama-kedua, nginput molor gak masalah bagi saya, Mas. Ini kan udah sebulan, ya? Coba kontrol diri sendiri, Mas. Misal berkasnya ada seratus lembar, paling tidak selesai dua hari. Samean, kan, kerja berdua, Mas ... masa' satu orang pegang tujuh gudang saja, kerja sampai lima-enam hari?"
Aku menunduk. Bingung. Bagaimana bisa aku menjelaskan kalau selama ini yang bekerja hanyalah aku. Sementara Rian sibuk dengan HP-nya.
"Mas Rian training samean bagaimana, Mas? Apa memang tanggalnya disuruh ngerubah? Masalahnya, baru kali ini, lho, tanggal bisa salah."
Tiba-tiba, omongan Pak Dika membuatku tersentak. Baru mau membuka mulut, Rian datang membuka pintu. Matanya masih awas dengan ponsel di tangan, sehingga ia tak mengetahui ada Pak Dika di depannya.
"Mas Rian!" Tampaknya suara dari Pak Dika membuatnya kaget luar biasa. Rian segera menyaku HPnya dan menghampiri.
"Saya curiga dari awal, sudah saya duga kalau Mas Dani ini bekerja sendirian ...." Pak Dika menghentikan bicaranya sejenak, beranjak dari kursi dan menghadapkan posisi berdirinya di antara kami.
"Kalau Mas Dani tak bekerja sendiri, mana mungkin dia bisa lelet seperti ini! Telat kirim form, mana dia sampai mengganti tanggal di komputernya. Ckckck ...." Pak Dika menggeleng-gelengkan kepala menatapnya.
Keringatku mulai bercucuran dingin. Sekilas kutatap Rian memicing sinis padaku.
"Bagaimanapun, kau yang salah! Mentraining bukan berarti melimpahkan kerjaanmu padanya. Bukankah sudah saya bagi, kamu pegang gudang mana saja? Kerjaan itu dikerjakan Mas Dani sendiri, jelas saja dia tak sanggup!" Suara Pak Dika mulai meninggi.
"Ayo, kamu ke ruangan saya! Saya panggil Pak Heri juga!"
Seusai berkata begitu, Pak Dika pun berlalu.
Wajah Rian mulai memerah. Ia menatapku awas, dengan napas yang memburu kesal.
"Awas kau!" Ancamnya kemudian.
Dia lalu pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Kutelan ludah pahit, seiring dengan rasa cemas yang menggebu.
Wah, rasa-rasanya bakal meledak ini ....
(bersambung)
Diubah oleh shirazy02 24-02-2020 22:24
manik.01 dan 46 lainnya memberi reputasi
45
74.8K
739
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
shirazy02
#7
Rekan Kerja (part 2)
"Kok pulang telat, Dan?"
Mbak Diah berseru menghampiriku. Sambil menggendong Bobi, ia coba membukakan pintu pagar.
Aku langsung tancap gas, masuk dan memarkirkan motor. Selesai melepas helm dan jaket, aku berkata,
"Ketemu Yanto tadi di jalan, Mbak. Mampir ngopi."
Tak banyak berkata, kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Sampai di ambang pintu, Kinara -anak sulung Mbak Diah- sudah tegap berdiri menghadangku. Diulurkannya sebuah kaleng minuman sambil memasang senyum manis.
"Aduh, baik betul ponakan Om," seruku sambil meraih minuman itu dari tangannya.
"Bukain, Om! Jangan diminum!" Suara kalem gadis berumur lima tahun itu membuatku spontan kaget.
"Eh, maaf ...."
Kubuka kaleng minuman yang ternyata larutan anak rasa jeruk itu. Lalu, kuberikan kembali padanya. Kinara pun berlari pergi sambil bersenandung, setelah mencomot minuman itu dari tanganku.
Huft! Kuembuskan napas lesu. Kepala yang terasa buntu mengurungkan niatku memasuki rumah. Langkah bertolak menduduki kursi yang ada di teras. Kutarik napas panjang dengan pandangan lurus kedepan. Lalu, menyalakan sebatang rokok, sambil menyelaraskan kedua kaki pada kantong meja di hadapan.
Pikiranku mengambang. Aku tak sanggup menerka apa yang terjadi di ruangan Pak Dika kala itu. Lebih tak enak lagi karena Pak Dika ikut memanggil Pak Heri bersamanya. Jelas ada perang kata antara ayah dan anak saat kembali ke rumah.
Bahkan pagi tadi, Rian sama sekali tak mau bicara. Gara-gara kejadian kemarin itu, dia pun tak mau memalingkan mukanya lagi padaku. Kami bekerja di satu ruangan bagaikan patung. Dia tak pernah membuka mulutnya, apalagi aku yang benar-benar tak enak hati. Sudah kucoba menyapa dan mengajaknya bicara, jawabannya singkat-singkat. Bahkan saat aku mencoba menjelaskan padanya mengenai Pak Dika kemarin, ia memilih keluar meninggalkan ruangan.
Sungguh ini tak nyaman buatku!
"Haduuuhh, kebiasaan arek iki! (kebiasaan anak ini!) Mbok ya ganti baju sana, langsung mandi. Baumu itu, lho." Ibu berseru mengagetkanku dari balik pintu. Tak kurespon ucapannya. Masih asyik menikmati rokok di tangan.
Bobi yang sedang berjalan ke arahku, cepat-cepat ditarik Mbak Diah lalu digendongnya kembali. "Om bau rokok. Masuk yuk, mainan sama kakak," bujuknya sambil melangkah pergi.
Tinggal aku berdua dengan ibu saat ini.
Ibu mengambil duduk di sebelah, dengan mengarahkan posisinya menghadapku. "Kenapa, Le? Kayaknya dari kemarin kamu gak ada semangat."
"Tak apa-apa, Bu."
"Preett! Aku ini ibumu, lho ... dan ibu tahu jika anak ibu ada yang aneh."
Setelah lama ibu memaksaku bercerita, akhirnya aku mengalah juga karena merasa terpojok. "Aku tak enak hati, Bu. Rian salah paham denganku."
"Salah paham kenapa?"
"Pak Dika memergokinya mainan HP saat jam kerja. Sebenarnya, tak ada masalah bermain HP. Cuma dia kemarin masuk nyelonong langsung, tanpa melihat Pak Dika ada di tempat kami. Mana hampir lima menit Rian asyik dengan HP-nya tanpa memandang kami berdua ...."
"Ealaaaah ... trus, apa hubungannya kok kamu jadi nggak enak? Kan, dia ketahuan sendiri."
"Panjang, Bu. Ibu sudah kuceritakan bukan, kalau di kantor Rian suka berlagak seperti bos?"
"Ya, trus salahnya di kamu apa?" Ibu mengernyitkan dahi, semakin penasaran.
Akhirnya kuceritakan kejadian kemarin siang pada ibu. Bahkan cerita kuflashback kembali dari hari-hari sebelumnya. Merasa penat, lalu kusandarkan punggung ke kursi sambil melempar puntung rokok ke halaman.
"Sepertinya kamu kerumahnya saja, Le ... kamu jelaskan padanya kalau kamu tak pernah menjawab sepatah kata pun omongan pak Dika," usul ibu kemudian.
"Ah, gak perlu. Itu hanya akan memperburuk keadaan. Aku slow saja, lah. Semua orang di kantor tahu, kok, bagaimana sikapnya."
"Ibu khawatir kamu di kantor terus-terusan begitu, Le. Tak ada salahnya main kerumahnya, bicara jadi lebih leluasa. Kamu cari tahu padanya dulu, Pak Dika ngomong apa saja ke dia. Lalu keluarkan semua uneg-unegmu ...."
"Ah, ngelantur ibu ini mikirnya! Ngapain aku ngorek-ngorek tentang omongan Pak Dika padanya? Nanti dia mikirnya yang enggak-enggak. Makin ribet jadinya," sahutku seraya beranjak dari duduk.
"Aku tidur saja, Bu. Aku capek."
Seusai bicara begitu, aku langsung nyelonong masuk rumah. Entah kenapa, membicarakan hal itu pada ibu, malah membuat kepala makin pusing.
****
Keesokan harinya ....
Adzan dzuhur selesai berkumandang. Kutengok jam dinding dari balik pintu kamar. Ah, begitu pulasnya tidurku dari semalam, membuatku malas beranjak bangun.
Kuhampiri jendela kamar dan menyibak sedikit gorden. Mataku memicing silau. Panas banget siang ini. Aku beralih ke almari, menarik perlahan celana kerjaku dari tumpukan baju. Tak lupa mengambil seragam yang tertenteng pada hanger, lalu meraih handuk yang terpasang di gantungan belakang pintu. Setelahnya, bergegas menuju kamar mandi.
"Seger'ee, Om, bubuk'e.... (segarnya om, tidurnya)" Kinara menyapaku dari meja makan. Kubalas sapanya dengan sedikit senyum.
Selesai mandi dan berganti baju, cepat-cepat kususul Kinara ke meja makan. "Halo, cantik!" Sapaku sembari membalik piring yang tadinya tengkurap rapi. Lalu, mengambil nasi.
"Ayo, balapan sama om makannya. Daritadi dikunyah mulu gak ditelan-telan ...."
Kinara hanya tersenyum mendengar ucapku.
"Le, hari ini bekalnya ibu belikan saja, ya? Kinara pesen tuh, ayamnya gak boleh dimakan sama Om," tukas ibu sambil berjalan menuju dapur.
Kupandang Kinara sekilas sambil melancipkan bibir. "Aduuuh, jahat bener ponakan Om," godaku dengan nada merengek.
Kinara masih saja senyum-senyum memandang. Aku pun beringsut, menghampiri ibu yang ada di dapur. "Bu, gak usah mbontot wis. (gak usah bawa bekal) Aku beli di warung belakang kantor saja. Murah ... sepuluh ribu sudah sama es teh. Bonus satu batang rokok pula."
"Lho? Emang lauk apa kok murah ...."
"Aaah, lauk ala kadarnya, Bu ... yang penting ngganjal perut. Nasinya juga penuh."
"Oalah, ya wis terserah."
Ibu menerima piring yang baru kusodorkan. "Makan seberapa kamu, Le? Kok cepet?" tanyanya bingung.
Aku tersenyum, berlalu meninggalkan ibu.
"Aku kunyah kok, Bu. Gak asal telen," jawabku setengah berteriak, sambil terkekeh melirik Kinara yang masih saja bergelut dengan piring di depannya.
Kuraih tas pinggang dari atas sofa, mengambil kontak motor, lalu bergegas berangkat kerja.
****
Jam menunjukkan pukul 13.50 WIB. Kuambil langkah cepat masuk ke kantor. Buru-buru segera ceklok. Sesudah itu, melangkah masuk ke ruanganku.
Di sana, kudapati Rian sudah anteng di dalam ruangan. Mukanya masam menghadap monitor. Aku cuek tak menggubris. Tak lagi kusapa dia, dan langsung nyelonong menduduki mejaku.
Hari ini aku mulai kerja shift. Jika Rian masuk pagi, maka jadwalku siang. Begitu pula sebaliknya. Tapi kami bertemu di kantor selama empat jam. Saat aku masuk kerja jam dua siang, maka dia menunggu jam lima sore untuk ceklok pulang.
Kuhidupkan layar komputer. Sembari menunggu komputer siap, kuluangkan waktu untuk membersihkan meja kerja. Mataku tiba-tiba terpaku pada sebuah stiker yang tertempel di atas meja paling pojok. Stiker bertuliskan enam deret angka acak, seperti sebuah sandi.
"Mas, apa ini, ya?" Dengan terpaksa, kuberanikan juga membuka mulut pada lelaki berwajah jutek itu.
Rian menoleh sekilas, lalu kembali menatap monitor di depannya. "Nomor." Ia menjawab singkat.
"Iya, maksudnya nomor apa?"
Rian bergeming. Agaknya dia tak mendengar kataku, karena baru saja disumpalnya kedua telinga itu dengan headsheet.
Aku hanya tertegun sambil menghela napas panjang. Beginikah seorang rekan kerja itu? batinku.
Tak mau kesal melihat suasana yang ada, kucoba netralkan perasaan dengan melangkah ke luar ruangan. Mengambil salah satu helm kuning yang ada di loker, lalu melajukan motor kantor menghampiri setiap gudang bagianku.
Sampai di gudang CG12, gudang terakhir yang kuhampiri. Kulihat Pak Hernoko sudah berada di depan menyambut.
"Monggo, Pak Dani," serunya seraya menyerahkan beberapa lembar form padaku. Kuterima berkas itu dari tangannya, lalu menjadikannya satu pada sebuah map.
"Maaf, Pak Dani ... saya mau menanyakan tentang masalah data yang di komputer itu. Kok bisa salah tanggal ya, Pak? Waaah, saya dimarahin Pak Dika habis-habisan kemarin."
"Mohon maaf, Pak. Semua salah saya. Maaf, telah menjadikan Pak Hernoko kena imbasnya. Lain kali akan saya teliti lagi." Kuanggukkan pelan wajahku pada sosok supervisor yang berkuasa di gudang itu.
"Iya, Pak. Saya bisa maklum. Lah wong saya yang kerja puluhan tahun saja kadang ada kekeliruan, Pak. Semoga tak terulang lagi ya, Pak?"
Aku mengangguk lagi, mengiyakan sambil tersenyum. Kemudian berpamitan pada Pak Hernoko untuk kembali ke kantor.
Kulajukan motor dengan sedikit cepat. Berharap segera menyelesaikan kerjaku tepat waktu.
Sampai depan kantor, tak sengaja aku berpapasan dengan Pak Heri, ayah si Rian.
"Pak ...." Kusapa lelaki yang seumuran almarhum ayahku itu dengan tersenyum.
"Ya," jawabnya datar tanpa menolehkan wajah sedikitpun padaku.
Aku pun menelan ludah menatapnya. Sudahlah ... bapak dan anak sepertinya sedang tak enak hati padaku.
Tanpa banyak omong, segera aku masuk keruangan sembari kembali menata berkas-berkas yang baru kuterima.
Sejauh kami bekerja, kami benar-benar saling diam. Aku tak mau membuka omongan lagi padanya kalau tak penting. Karena aku tahu ... seperti apapun mengutarakan penjelasanku padanya, tak akan mungkin dia bisa enak menjawab omongku. Setidaknya aku bersikap masa bodoh!
Jam menunjukkan pukul 17.00 WIB.
Rian mulai mengemasi barangnya. Kupandang sejenak lelaki itu. Aaah, lama-lama kok ikut kesal melihatnya. Lantas, kualihkan kembali pandanganku pada monitor.
Lelaki bertubuh jangkung berkulit putih itu kemudian pergi meninggalkan ruangan. Akhirnya tinggal aku sendiri ....
Kurang setengah jam lagi rehat. Semakin kukebut pekerjaanku dengan pasti, agar nanti saat rehat bisa lebih bersantai. Dua jam berlalu, akhirnya tinggal separuh form bakal tuntas, dan aku bisa bernapas lega.
Mulai hari ini kutargetkan setiap hari harus selesai input semua berkas!
------------
Jam istirahat ....
Aku melangkah gontai menuju sebuah warung yang cukup ramai di sebelah parkiran. Di sana kulihat Pak Syaiful dan Pak Johan sedang duduk berhadapan sambil tertawa-tawa.
"Hei, Mas Dani!" Pak Syaiful melambaikan tangannya padaku.
Kubalas tegurannya dengan mengangkat tangan kananku. Tetap berdiri di depan ibu penjual nasi, mengantri makanan.
Akhirnya, kuterima nasi pecel dan sebatang rokok dari mbak penjual. Kusaku rokok itu, seraya beralih mengambil teh yang sudah berjajar rapi di meja samping.
Setelah itu melangkah pergi, menghampiri meja Pak Syaiful.
"Dungaren mboten mbontot, Pak? (Tumben tak bawa bekal, Pak?)" tanyaku sembari melempar senyum ke Pak Syaiful.
"Hoalaaahh, masaknya saja dari pagi, kok dibuat mbontot? Makan malemnya udah gak seger, Mas," jawabnya sembari ngikik memandang Pak Johan.
Aku tersenyum, mulai melahap makanku.
"Shift-shift'an yaa sekarang, Mas?" Pak Johan bertanya padaku.
"Nggih, Pak."
"Enak wis, gak ketemu arek mlete."
Ucapan pak Johan membuatku tertawa spontan.
"He, Mas ... habis ada masalah sama Mas Rian, ya? Kok, denger-denger Pak Heri juga habis dipanggil sama Pak Dika." Kali ini Pak Syaiful ganti bertanya.
Aku mengangguk sambil menjawab,"Salah paham saja, kok, Pak."
"Lhooo, awas! Semua berawal dari salah paham, ujungnya salah kaprah. (ujungnya salah semua) Wahahahaha...."
Kami bertiga kembali tertawa.
Kuhabiskan semua makananku, meminum teh sedikit, sembari menyalakan sebatang rokok.
"Lah wong dikasih rokok, kok, gandengannya es teh? Gak cocok nggih, Mas?" Pak Syaiful menyikut kecil lenganku.
"Nggih, Pak," jawabku sambil tertawa lirih. Kulirik di depan Pak Syaiful ada dua gelas teh dan juga dua cangkir kopi.
"Waaah, pesen kopi juga, Pak?" selorohku.
"Yaiyalah ... gak doyan teh aku, nggarai anyang-anyangen. (membuat susah kencing) Wahahahah ...." Pak Syaiful semakin tertawa kencang, disusul Pak Johan dengan tawa meremnya.
Yaaa, Pak Johan seperti orang cina. Kecil putih pawakannya, matanya pun sipit. Jadi kalau tertawa merem. Lucu sih, melihatnya ....
"Lah, iki penadahe es tehku! (lah, ini penadah es tehku)" Lagi-lagi Pak Syaiful tertawa sambil menunjuk Pak Johan.
Aku masih tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah keduanya. Lalu, kutarik sebuah tisu di depanku,menyeka mulut. "Balik dulu, Pak," pamitku pada kedua lelaki paruh baya itu.
"Lho, jam berapa sih, Mas? Ayo santai dulu."
"Nggih, lain kali." Kuanggukkan kepalaku pelan sebagai ganti permisi. Tanpa menunggu ucapan mereka, segera kulangkahkan kaki berlalu.
Ketika aku menguak pintu perlahan, spontan tercengang mendapati Pak Heri sedang ada di dalam ruangan menduduki kursi anaknya.
Wajahnya memandangku sekilas, lalu beralih pada komputer di depannya.
Kusapa ia, dan permisi melangkahkan kaki menghampiri meja. Baru saja menggerakkan mouse dan membuka secarik form di hadapan, suara itu nyeletuk mengagetkan, "Gimana kerjanya, Dan? Krasan?"
"Alhamdulillah," jawabku singkat.
"Selagi kerja gak cari muka, pasti lah krasan," ucapnya lagi.
Aku terhenyak mendengar bicaranya. Apa maksudnya cari muka?
"Maaf, Pak ... yang dimaksud cari muka itu apa?"
"Cari muka, ya, ngathokk istilah jawanya. Kamu jelas paham tanpa bertanya."
Kali ini aku diam tak berkata. Seketika tak konsentrasi menatap komputer di depanku.
"Kalian kerja satu bagian, harusnya yang rukun! Gak usah ngathokk! Kerja itu cari uang, gak cari muka."
Seusai bicara begitu, Pak Heri berdiri dari duduknya. Tanpa basa-basi lagi, ia langsung meninggalkan ruangan.
Lengkaplah sudah. Anaknya sewot, bapaknya pun ikut sewot. Seharusnya mungkin ini kesempatanku bercerita pada Pak Heri tentang kejadian yang sebenarnya. Tapi, sudahlah ... aku tahu bagaimana perangainya. Semua warga desa pun tahu, mereka sekeluarga bagaimana. Sama saja, saling membela satu sama lain meskipun salah. Jadi, tak perlu aku bersusah-susah menjelaskan, karena bagaimana pun, tetap dia di pihak anaknya meski sang anak salah.
Kuhela napas berat sambil menatap monitor dengan pandangan kosong. Mungkin seharusnya aku mengalah saja, daripada gak enak terus-terusan begini ....
(bersambung) Terinspirasi dari kisah nyata. Kasih cendol dan komen yang banyak, ya!
Makasih sudah mengikuti ceritanya 😊
Mbak Diah berseru menghampiriku. Sambil menggendong Bobi, ia coba membukakan pintu pagar.
Aku langsung tancap gas, masuk dan memarkirkan motor. Selesai melepas helm dan jaket, aku berkata,
"Ketemu Yanto tadi di jalan, Mbak. Mampir ngopi."
Tak banyak berkata, kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Sampai di ambang pintu, Kinara -anak sulung Mbak Diah- sudah tegap berdiri menghadangku. Diulurkannya sebuah kaleng minuman sambil memasang senyum manis.
"Aduh, baik betul ponakan Om," seruku sambil meraih minuman itu dari tangannya.
"Bukain, Om! Jangan diminum!" Suara kalem gadis berumur lima tahun itu membuatku spontan kaget.
"Eh, maaf ...."
Kubuka kaleng minuman yang ternyata larutan anak rasa jeruk itu. Lalu, kuberikan kembali padanya. Kinara pun berlari pergi sambil bersenandung, setelah mencomot minuman itu dari tanganku.
Huft! Kuembuskan napas lesu. Kepala yang terasa buntu mengurungkan niatku memasuki rumah. Langkah bertolak menduduki kursi yang ada di teras. Kutarik napas panjang dengan pandangan lurus kedepan. Lalu, menyalakan sebatang rokok, sambil menyelaraskan kedua kaki pada kantong meja di hadapan.
Pikiranku mengambang. Aku tak sanggup menerka apa yang terjadi di ruangan Pak Dika kala itu. Lebih tak enak lagi karena Pak Dika ikut memanggil Pak Heri bersamanya. Jelas ada perang kata antara ayah dan anak saat kembali ke rumah.
Bahkan pagi tadi, Rian sama sekali tak mau bicara. Gara-gara kejadian kemarin itu, dia pun tak mau memalingkan mukanya lagi padaku. Kami bekerja di satu ruangan bagaikan patung. Dia tak pernah membuka mulutnya, apalagi aku yang benar-benar tak enak hati. Sudah kucoba menyapa dan mengajaknya bicara, jawabannya singkat-singkat. Bahkan saat aku mencoba menjelaskan padanya mengenai Pak Dika kemarin, ia memilih keluar meninggalkan ruangan.
Sungguh ini tak nyaman buatku!
"Haduuuhh, kebiasaan arek iki! (kebiasaan anak ini!) Mbok ya ganti baju sana, langsung mandi. Baumu itu, lho." Ibu berseru mengagetkanku dari balik pintu. Tak kurespon ucapannya. Masih asyik menikmati rokok di tangan.
Bobi yang sedang berjalan ke arahku, cepat-cepat ditarik Mbak Diah lalu digendongnya kembali. "Om bau rokok. Masuk yuk, mainan sama kakak," bujuknya sambil melangkah pergi.
Tinggal aku berdua dengan ibu saat ini.
Ibu mengambil duduk di sebelah, dengan mengarahkan posisinya menghadapku. "Kenapa, Le? Kayaknya dari kemarin kamu gak ada semangat."
"Tak apa-apa, Bu."
"Preett! Aku ini ibumu, lho ... dan ibu tahu jika anak ibu ada yang aneh."
Setelah lama ibu memaksaku bercerita, akhirnya aku mengalah juga karena merasa terpojok. "Aku tak enak hati, Bu. Rian salah paham denganku."
"Salah paham kenapa?"
"Pak Dika memergokinya mainan HP saat jam kerja. Sebenarnya, tak ada masalah bermain HP. Cuma dia kemarin masuk nyelonong langsung, tanpa melihat Pak Dika ada di tempat kami. Mana hampir lima menit Rian asyik dengan HP-nya tanpa memandang kami berdua ...."
"Ealaaaah ... trus, apa hubungannya kok kamu jadi nggak enak? Kan, dia ketahuan sendiri."
"Panjang, Bu. Ibu sudah kuceritakan bukan, kalau di kantor Rian suka berlagak seperti bos?"
"Ya, trus salahnya di kamu apa?" Ibu mengernyitkan dahi, semakin penasaran.
Akhirnya kuceritakan kejadian kemarin siang pada ibu. Bahkan cerita kuflashback kembali dari hari-hari sebelumnya. Merasa penat, lalu kusandarkan punggung ke kursi sambil melempar puntung rokok ke halaman.
"Sepertinya kamu kerumahnya saja, Le ... kamu jelaskan padanya kalau kamu tak pernah menjawab sepatah kata pun omongan pak Dika," usul ibu kemudian.
"Ah, gak perlu. Itu hanya akan memperburuk keadaan. Aku slow saja, lah. Semua orang di kantor tahu, kok, bagaimana sikapnya."
"Ibu khawatir kamu di kantor terus-terusan begitu, Le. Tak ada salahnya main kerumahnya, bicara jadi lebih leluasa. Kamu cari tahu padanya dulu, Pak Dika ngomong apa saja ke dia. Lalu keluarkan semua uneg-unegmu ...."
"Ah, ngelantur ibu ini mikirnya! Ngapain aku ngorek-ngorek tentang omongan Pak Dika padanya? Nanti dia mikirnya yang enggak-enggak. Makin ribet jadinya," sahutku seraya beranjak dari duduk.
"Aku tidur saja, Bu. Aku capek."
Seusai bicara begitu, aku langsung nyelonong masuk rumah. Entah kenapa, membicarakan hal itu pada ibu, malah membuat kepala makin pusing.
****
Keesokan harinya ....
Adzan dzuhur selesai berkumandang. Kutengok jam dinding dari balik pintu kamar. Ah, begitu pulasnya tidurku dari semalam, membuatku malas beranjak bangun.
Kuhampiri jendela kamar dan menyibak sedikit gorden. Mataku memicing silau. Panas banget siang ini. Aku beralih ke almari, menarik perlahan celana kerjaku dari tumpukan baju. Tak lupa mengambil seragam yang tertenteng pada hanger, lalu meraih handuk yang terpasang di gantungan belakang pintu. Setelahnya, bergegas menuju kamar mandi.
"Seger'ee, Om, bubuk'e.... (segarnya om, tidurnya)" Kinara menyapaku dari meja makan. Kubalas sapanya dengan sedikit senyum.
Selesai mandi dan berganti baju, cepat-cepat kususul Kinara ke meja makan. "Halo, cantik!" Sapaku sembari membalik piring yang tadinya tengkurap rapi. Lalu, mengambil nasi.
"Ayo, balapan sama om makannya. Daritadi dikunyah mulu gak ditelan-telan ...."
Kinara hanya tersenyum mendengar ucapku.
"Le, hari ini bekalnya ibu belikan saja, ya? Kinara pesen tuh, ayamnya gak boleh dimakan sama Om," tukas ibu sambil berjalan menuju dapur.
Kupandang Kinara sekilas sambil melancipkan bibir. "Aduuuh, jahat bener ponakan Om," godaku dengan nada merengek.
Kinara masih saja senyum-senyum memandang. Aku pun beringsut, menghampiri ibu yang ada di dapur. "Bu, gak usah mbontot wis. (gak usah bawa bekal) Aku beli di warung belakang kantor saja. Murah ... sepuluh ribu sudah sama es teh. Bonus satu batang rokok pula."
"Lho? Emang lauk apa kok murah ...."
"Aaah, lauk ala kadarnya, Bu ... yang penting ngganjal perut. Nasinya juga penuh."
"Oalah, ya wis terserah."
Ibu menerima piring yang baru kusodorkan. "Makan seberapa kamu, Le? Kok cepet?" tanyanya bingung.
Aku tersenyum, berlalu meninggalkan ibu.
"Aku kunyah kok, Bu. Gak asal telen," jawabku setengah berteriak, sambil terkekeh melirik Kinara yang masih saja bergelut dengan piring di depannya.
Kuraih tas pinggang dari atas sofa, mengambil kontak motor, lalu bergegas berangkat kerja.
****
Jam menunjukkan pukul 13.50 WIB. Kuambil langkah cepat masuk ke kantor. Buru-buru segera ceklok. Sesudah itu, melangkah masuk ke ruanganku.
Di sana, kudapati Rian sudah anteng di dalam ruangan. Mukanya masam menghadap monitor. Aku cuek tak menggubris. Tak lagi kusapa dia, dan langsung nyelonong menduduki mejaku.
Hari ini aku mulai kerja shift. Jika Rian masuk pagi, maka jadwalku siang. Begitu pula sebaliknya. Tapi kami bertemu di kantor selama empat jam. Saat aku masuk kerja jam dua siang, maka dia menunggu jam lima sore untuk ceklok pulang.
Kuhidupkan layar komputer. Sembari menunggu komputer siap, kuluangkan waktu untuk membersihkan meja kerja. Mataku tiba-tiba terpaku pada sebuah stiker yang tertempel di atas meja paling pojok. Stiker bertuliskan enam deret angka acak, seperti sebuah sandi.
"Mas, apa ini, ya?" Dengan terpaksa, kuberanikan juga membuka mulut pada lelaki berwajah jutek itu.
Rian menoleh sekilas, lalu kembali menatap monitor di depannya. "Nomor." Ia menjawab singkat.
"Iya, maksudnya nomor apa?"
Rian bergeming. Agaknya dia tak mendengar kataku, karena baru saja disumpalnya kedua telinga itu dengan headsheet.
Aku hanya tertegun sambil menghela napas panjang. Beginikah seorang rekan kerja itu? batinku.
Tak mau kesal melihat suasana yang ada, kucoba netralkan perasaan dengan melangkah ke luar ruangan. Mengambil salah satu helm kuning yang ada di loker, lalu melajukan motor kantor menghampiri setiap gudang bagianku.
Sampai di gudang CG12, gudang terakhir yang kuhampiri. Kulihat Pak Hernoko sudah berada di depan menyambut.
"Monggo, Pak Dani," serunya seraya menyerahkan beberapa lembar form padaku. Kuterima berkas itu dari tangannya, lalu menjadikannya satu pada sebuah map.
"Maaf, Pak Dani ... saya mau menanyakan tentang masalah data yang di komputer itu. Kok bisa salah tanggal ya, Pak? Waaah, saya dimarahin Pak Dika habis-habisan kemarin."
"Mohon maaf, Pak. Semua salah saya. Maaf, telah menjadikan Pak Hernoko kena imbasnya. Lain kali akan saya teliti lagi." Kuanggukkan pelan wajahku pada sosok supervisor yang berkuasa di gudang itu.
"Iya, Pak. Saya bisa maklum. Lah wong saya yang kerja puluhan tahun saja kadang ada kekeliruan, Pak. Semoga tak terulang lagi ya, Pak?"
Aku mengangguk lagi, mengiyakan sambil tersenyum. Kemudian berpamitan pada Pak Hernoko untuk kembali ke kantor.
Kulajukan motor dengan sedikit cepat. Berharap segera menyelesaikan kerjaku tepat waktu.
Sampai depan kantor, tak sengaja aku berpapasan dengan Pak Heri, ayah si Rian.
"Pak ...." Kusapa lelaki yang seumuran almarhum ayahku itu dengan tersenyum.
"Ya," jawabnya datar tanpa menolehkan wajah sedikitpun padaku.
Aku pun menelan ludah menatapnya. Sudahlah ... bapak dan anak sepertinya sedang tak enak hati padaku.
Tanpa banyak omong, segera aku masuk keruangan sembari kembali menata berkas-berkas yang baru kuterima.
Sejauh kami bekerja, kami benar-benar saling diam. Aku tak mau membuka omongan lagi padanya kalau tak penting. Karena aku tahu ... seperti apapun mengutarakan penjelasanku padanya, tak akan mungkin dia bisa enak menjawab omongku. Setidaknya aku bersikap masa bodoh!
Jam menunjukkan pukul 17.00 WIB.
Rian mulai mengemasi barangnya. Kupandang sejenak lelaki itu. Aaah, lama-lama kok ikut kesal melihatnya. Lantas, kualihkan kembali pandanganku pada monitor.
Lelaki bertubuh jangkung berkulit putih itu kemudian pergi meninggalkan ruangan. Akhirnya tinggal aku sendiri ....
Kurang setengah jam lagi rehat. Semakin kukebut pekerjaanku dengan pasti, agar nanti saat rehat bisa lebih bersantai. Dua jam berlalu, akhirnya tinggal separuh form bakal tuntas, dan aku bisa bernapas lega.
Mulai hari ini kutargetkan setiap hari harus selesai input semua berkas!
------------
Jam istirahat ....
Aku melangkah gontai menuju sebuah warung yang cukup ramai di sebelah parkiran. Di sana kulihat Pak Syaiful dan Pak Johan sedang duduk berhadapan sambil tertawa-tawa.
"Hei, Mas Dani!" Pak Syaiful melambaikan tangannya padaku.
Kubalas tegurannya dengan mengangkat tangan kananku. Tetap berdiri di depan ibu penjual nasi, mengantri makanan.
Akhirnya, kuterima nasi pecel dan sebatang rokok dari mbak penjual. Kusaku rokok itu, seraya beralih mengambil teh yang sudah berjajar rapi di meja samping.
Setelah itu melangkah pergi, menghampiri meja Pak Syaiful.
"Dungaren mboten mbontot, Pak? (Tumben tak bawa bekal, Pak?)" tanyaku sembari melempar senyum ke Pak Syaiful.
"Hoalaaahh, masaknya saja dari pagi, kok dibuat mbontot? Makan malemnya udah gak seger, Mas," jawabnya sembari ngikik memandang Pak Johan.
Aku tersenyum, mulai melahap makanku.
"Shift-shift'an yaa sekarang, Mas?" Pak Johan bertanya padaku.
"Nggih, Pak."
"Enak wis, gak ketemu arek mlete."
Ucapan pak Johan membuatku tertawa spontan.
"He, Mas ... habis ada masalah sama Mas Rian, ya? Kok, denger-denger Pak Heri juga habis dipanggil sama Pak Dika." Kali ini Pak Syaiful ganti bertanya.
Aku mengangguk sambil menjawab,"Salah paham saja, kok, Pak."
"Lhooo, awas! Semua berawal dari salah paham, ujungnya salah kaprah. (ujungnya salah semua) Wahahahaha...."
Kami bertiga kembali tertawa.
Kuhabiskan semua makananku, meminum teh sedikit, sembari menyalakan sebatang rokok.
"Lah wong dikasih rokok, kok, gandengannya es teh? Gak cocok nggih, Mas?" Pak Syaiful menyikut kecil lenganku.
"Nggih, Pak," jawabku sambil tertawa lirih. Kulirik di depan Pak Syaiful ada dua gelas teh dan juga dua cangkir kopi.
"Waaah, pesen kopi juga, Pak?" selorohku.
"Yaiyalah ... gak doyan teh aku, nggarai anyang-anyangen. (membuat susah kencing) Wahahahah ...." Pak Syaiful semakin tertawa kencang, disusul Pak Johan dengan tawa meremnya.
Yaaa, Pak Johan seperti orang cina. Kecil putih pawakannya, matanya pun sipit. Jadi kalau tertawa merem. Lucu sih, melihatnya ....
"Lah, iki penadahe es tehku! (lah, ini penadah es tehku)" Lagi-lagi Pak Syaiful tertawa sambil menunjuk Pak Johan.
Aku masih tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah keduanya. Lalu, kutarik sebuah tisu di depanku,menyeka mulut. "Balik dulu, Pak," pamitku pada kedua lelaki paruh baya itu.
"Lho, jam berapa sih, Mas? Ayo santai dulu."
"Nggih, lain kali." Kuanggukkan kepalaku pelan sebagai ganti permisi. Tanpa menunggu ucapan mereka, segera kulangkahkan kaki berlalu.
Ketika aku menguak pintu perlahan, spontan tercengang mendapati Pak Heri sedang ada di dalam ruangan menduduki kursi anaknya.
Wajahnya memandangku sekilas, lalu beralih pada komputer di depannya.
Kusapa ia, dan permisi melangkahkan kaki menghampiri meja. Baru saja menggerakkan mouse dan membuka secarik form di hadapan, suara itu nyeletuk mengagetkan, "Gimana kerjanya, Dan? Krasan?"
"Alhamdulillah," jawabku singkat.
"Selagi kerja gak cari muka, pasti lah krasan," ucapnya lagi.
Aku terhenyak mendengar bicaranya. Apa maksudnya cari muka?
"Maaf, Pak ... yang dimaksud cari muka itu apa?"
"Cari muka, ya, ngathokk istilah jawanya. Kamu jelas paham tanpa bertanya."
Kali ini aku diam tak berkata. Seketika tak konsentrasi menatap komputer di depanku.
"Kalian kerja satu bagian, harusnya yang rukun! Gak usah ngathokk! Kerja itu cari uang, gak cari muka."
Seusai bicara begitu, Pak Heri berdiri dari duduknya. Tanpa basa-basi lagi, ia langsung meninggalkan ruangan.
Lengkaplah sudah. Anaknya sewot, bapaknya pun ikut sewot. Seharusnya mungkin ini kesempatanku bercerita pada Pak Heri tentang kejadian yang sebenarnya. Tapi, sudahlah ... aku tahu bagaimana perangainya. Semua warga desa pun tahu, mereka sekeluarga bagaimana. Sama saja, saling membela satu sama lain meskipun salah. Jadi, tak perlu aku bersusah-susah menjelaskan, karena bagaimana pun, tetap dia di pihak anaknya meski sang anak salah.
Kuhela napas berat sambil menatap monitor dengan pandangan kosong. Mungkin seharusnya aku mengalah saja, daripada gak enak terus-terusan begini ....
(bersambung) Terinspirasi dari kisah nyata. Kasih cendol dan komen yang banyak, ya!
Makasih sudah mengikuti ceritanya 😊
Diubah oleh shirazy02 13-12-2019 19:06
Dewi777299 dan 30 lainnya memberi reputasi
31