- Beranda
- Stories from the Heart
AKHIR PENANTIANKU (JILID IV) [18+] [TRUE STORY]
...
TS
dissymmon08
AKHIR PENANTIANKU (JILID IV) [18+] [TRUE STORY]
SELAMAT DATANG AGAN SISTA
Halo! 
Gue ucapkan terima kasih yang teramat sangat terhadap dukungan dan apresiasi agan sista untuk tulisan gue di JILID IIIsebelumnya. Setelah merenung dan mencoba membuka kembali memori lama gue, akhirnya gue mendapatkan khilal gue. Sekarang gue udah siap untuk menulis kelanjutannya, yaitu JILID IV!
Kali ini gue masih menceritakan tentang kisah cinta gue, yang pada cerita sebelumnya masih berkutat di Kampus. Gue yang di kisah kali ini sedang mendekati akhir perjuangan di Kampus pun akan menjalani tahap baru, dimana gue akan bertemu dengan dunia kerja dan dunia nyata. Bakalan banyak konflik di diri gue ini, ketika gue yang tengah mencari jati diri ini dihadapkan dengan kenyataan bahwa hidup itu benar-benar penuh lika liku. Saat kita salah memilih jalan, ga ada putar balik, kita harus terus menjalani dan menghadapinya seraya mencari solusi terbaik atas pilihan kita itu. Dan kesabaran menjadi kunci utama segalanya, buat gue.
Masih dengan gaya menulis gue yang penuh strong language, absurd-nya hidup gue, kebodohan gue dalam memilih keputusan, pengalaman hidup lain, dan beberapa kali akan nyempil ++-nya, jadi gue masih ga akan melepas rating 18+ di cerita gue kali ini. Mungkin akan ada beberapa penyesuaian penggunaan bahasa atau panggilan yang gue lakuin di sini, demi kenyamanan bersama. Semoga ga merusak ciri khas gue dalam menulis! Amiiin.
Dan gue berharap semoga agan sista tetap suka dan betah mantengin thread ane ini sampe selesai!
Oh iya, kalau misalnya agan sista belum baca cerita di JILID III atau mau refresh kembali cerita saat itu, monggo mampir ke LINK INI.

Gue ucapkan terima kasih yang teramat sangat terhadap dukungan dan apresiasi agan sista untuk tulisan gue di JILID IIIsebelumnya. Setelah merenung dan mencoba membuka kembali memori lama gue, akhirnya gue mendapatkan khilal gue. Sekarang gue udah siap untuk menulis kelanjutannya, yaitu JILID IV!
Kali ini gue masih menceritakan tentang kisah cinta gue, yang pada cerita sebelumnya masih berkutat di Kampus. Gue yang di kisah kali ini sedang mendekati akhir perjuangan di Kampus pun akan menjalani tahap baru, dimana gue akan bertemu dengan dunia kerja dan dunia nyata. Bakalan banyak konflik di diri gue ini, ketika gue yang tengah mencari jati diri ini dihadapkan dengan kenyataan bahwa hidup itu benar-benar penuh lika liku. Saat kita salah memilih jalan, ga ada putar balik, kita harus terus menjalani dan menghadapinya seraya mencari solusi terbaik atas pilihan kita itu. Dan kesabaran menjadi kunci utama segalanya, buat gue.
Masih dengan gaya menulis gue yang penuh strong language, absurd-nya hidup gue, kebodohan gue dalam memilih keputusan, pengalaman hidup lain, dan beberapa kali akan nyempil ++-nya, jadi gue masih ga akan melepas rating 18+ di cerita gue kali ini. Mungkin akan ada beberapa penyesuaian penggunaan bahasa atau panggilan yang gue lakuin di sini, demi kenyamanan bersama. Semoga ga merusak ciri khas gue dalam menulis! Amiiin.
Dan gue berharap semoga agan sista tetap suka dan betah mantengin thread ane ini sampe selesai!

Oh iya, kalau misalnya agan sista belum baca cerita di JILID III atau mau refresh kembali cerita saat itu, monggo mampir ke LINK INI.
![AKHIR PENANTIANKU (JILID IV) [18+] [TRUE STORY]](https://s.kaskus.id/images/2019/11/15/10712020_20191115112915.jpg)
Spoiler for INDEX:
Spoiler for MULUSTRASI:
HT @ STORY
Alhamdulillah berkat supportdari agan sista, thread ane ini jadi HT!
Terima kasih banyak ane ucapin buat agan sista yang udah setia nunggu update-an cerita-cerita ane.
Semoga tulisan ane bisa terus lebih baik dan bisa menyajikan cerita lebih seru buat dibaca agan sista!

Spoiler for PERATURAN:
Quote:
Diubah oleh dissymmon08 30-12-2019 07:57
bukhorigan dan 48 lainnya memberi reputasi
49
134.2K
1.6K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dissymmon08
#86
KISAH TENTANG F: BARISAN SAKIT HATI (PART 03)
“Lusi, ada apa? Saya sampe merinding kamu liatin begitu selama di kelas tadi. Ternyata kamu mau ada yang dibicarakan sama saya?” tanya Pak Abner sambil duduk di singgasananya yang ada di dalam ruangannya. Gue, Lusi, dan Iwan duduk di bangku yang ada di hadapan beliau.
Lusi pun kembali mengulang cerita dia dari awal dan mengutarakan keperluan kita ke Pak Abner ini. Kami udah coba ke beberapa dosen, namun hanya beliau yang bersedia untuk diminta waktunya. Bukan karena dosen kami sok sibuk, tapi karena antrian bimbingan dosen kami yang mengular. Sedangkan Pak Abner? Hanya mahasiswa S2 saja yang berani bimbingan dengannya, mengingat tabiat Pak Abner yang cukup keras dan teliti.
Pak Abner ini rutin pergi ke Negara Jepang karena istri dan anaknya yang kebetulan tinggal di Negeri Sakura ini, jadi menurut kami beliau mungkin bisa membantu kami mencari donator atau mungkin kami bisa dapat best dealbiaya keberangkatan untuk kepergian kami. Setelah kami bertiga rinci biaya keberangkatan kami PP Jakarta - Tokyo, masing-masing kami membutuhkan biaya minimal Rp10.000.000,- itu tanpa biaya hidup di sana. Karena kami sudah konfirmasi ulang ke panitia bahwa biaya hidup memang ditanggung oleh mereka.
“Oh begitu… Jadi kalian mau coba buka jalan lewat saya untuk dapat bantuan biaya keberangkatan ya?”
“Mohon maaf merepotkan, Pak. Tapi kami sangat membutuhkan biaya ini. Kami sudah coba mengajukan proposal ke Jurusan dan Fakultas, tapi yang merespon hanya Jurusan. Kami hanya mendapatkan biaya Rp500.000,- per mahasiswa. Itu sama sekali ga membantu, Pak…”
Pak Abner membuka kacamata yang ia gunakan. “Memang sulit meminta bantuan dana untuk kegiatan mahasiswa di Jurusan AB ini. Kalian bukan yang pertama meminta bantuan melalui saya. Saya juga bingung, harusnya mereka membantu kalian dan bangga dengan prestasi kalian. Mengapa mereka malah jadi menghambat kalian…”
“Bukan menghambat sih, Pak… Hanya tidak cukup membantu.” Gue coba mencairkan suasana.
“Ya sama saja menurut saya. Jurusan kita hanya punya dana untuk keberangkatan dosen-dosen mungkin, tapi kalo mahasiswa seperti dipersulit. Hahaha. Kalau saya punya dana dan diperbolehkan oleh keluarga, saya ajak kalian berangkat bersama saya ke Jepang. Yang penting kalian modal membeli pakaian dingin kalian saja, bulan ini Jepang sedang bersalju soalnya…”
Lusi terlihat excited dengan jawaban Pak Abner tersebut. “Tapi masalahnya… Keluarga saya sudah menolak dan melarang saya sejak beberapa tahun terakhir ini. Karena ini bukan tanggungjawab pribadi saya, tapi tanggungjawab Jurusan AB. Nanti takutnya Jurusan AB keenakan dan merasa apa yang saya lakukan itu jadi semacam cara buat mereka lolos dari tanggungjawab mereka untuk membantu mahasiswa…”
Senyum kami bertiga perlahan menghilang. “Oh begitu, Pak… Tapi kira-kira apa Bapak mungkin bisa membantu kami kira-kira siapa yang bisa kami hubungi untuk membantu permasalahan kami ini, Pak?” tanya Iwan.
“Andai saya tau… Tapi mohon maaf, saya kurang tau. Apalagi melihat kalian sudah kesana kemari bahkan sampai ke tingkat Fakultas, saya kaget kalian dapet zero response.”
TOKTOKTOK
“Selamat siang, Pak Abner, saya ingin bimbingan dengan Bapak…” Kami bertiga dan Pak Abner menengok ke arah sumber suara. Di depan pintu ada mahasiswa S2 bimbingannya Bapak Abner menunggu giliran.
“Baik sebentar… Mohon tunggu di bantu sebelah sana terlebih dahulu.” Pak Abner mengarahkan tangannya ke sofa yang ada di sebrang meja beliau.
“Hmm. Pak, sepertinya kami sekalian pamit saja. Terima kasih atas waktunya. Kami mohon diri…” kata gue sambil menggandeng tangan Lusi yang dingin. Hanya kali ini gue coba memegang tangan dia. Dia kayaknya yang paling kecewa di antara kami. Gue dan Iwan hanya diajak oleh dia, tapi Lusi adalah orang yang berjuang dari awal.
Kami bertiga jalan ke arah Laboratorium dalam diam. “Lus, sabar ya…” Gue elus-elus pundak dia.
“Mungkin belum rejeki kita untuk berangkat ke Jepang. Insya Alloh lain kali kalo ada kesempatan lagi, langsung hajar!” kata Iwan, berusaha memberi Lusi semangat.
Tangisan Lusi sudah tidak terbendung lagi. Dia jatoh terduduk di lantai. “Aku itu tinggal di kampung pedalaman di Lampung. Aku bisa tetep sekolah sampai ke jenjang perguruan tinggi tuh perjuangannya sulit. Aku kesini bermodalkan beasiswa. Kalau misalnya aku ga dapet beasiswa, entah aku bisa kuliah apa ga. Impian aku cuman bisa buktiin anak kampung kayak aku bisa ke Luar Negri, bisa menuntut ilmu sampai ke Negeri Cina…”
Gue peluk Lusi erat. “Hey, Lusi! Hey! Ga boleh nangis! Emang cuman karena lu ga bisa berangkat sekarang, mimpi lu bisa ilang gitu aja, Lus? Ga lah! Gila kali! Umur kita masih muda, masih banyak waktu kita untuk ngejar mimpi kita itu. Lu sekarang anak Kelas Percepatan aja itu udah sangat membanggakan. Mungkin nanti dari Kelas Percepatan itu lu bisa ngejar S2 lagi di Luar Negri kan? Who knows? Gue dan Iwan pun insya Alloh akan coba nyari cara buat keberangkatan kita, tapi kalo sulit jalannya, tolong banget lu jangan malah jadi give up. Kita ambil positifnya…”
“Apa emang positifnya?”
“Who knows ternyata Alloh kasih jalan ini karena ini jalan terbaik untuk kita? Who knows taunya nanti kita ada apa-apa di jalan atau di sana kalo maksain berangkat? Dengan cobaan ini, Alloh sayang sama kita, Lus… Kita coba se-optimal mungkin dulu sekarang untuk cari cara buat berangkat kesana. Tapiiii… Janji sama gue, kalo misalnya kita belum rejeki untuk berangkat, lu jangan pernah putus asa oke? Jangan pernah lupain mimpi lu untuk ke Luar Negri itu. Gue yakin banget, lu pasti bisa. Gue dan Iwan pun pasti bisa! Oke?”
Lusi melepas pelukannya dari gue. Dia menghapus air mata dia. “Aku anak BEM Kampus… Aku coba ke Rektorat dan BEM Kampus deh coba cari informasi. Nanti aku info ke kalian kalo misalnya ada bantuan…”
“Gue coba cari kenalan di Komunitas Jejepangan gue…”
Iwan mengangkat tangannya. “Gue coba tanya temen-temen gue yang udah pernah punya pengalaman sama, mungkin ada yang bisa bantu mengarahkan gue ke orang yang tepat…”
“See? Kita bertiga semangat ya! Jangan nyerah! Gue punya bejibun mimpi di umur gue yang segini, gue ga mau menyerah kok ngejar mimpi gue sampe seluruh mimpi gue abis dicoretin sama gue! Gue yang ga sepinter lu aja punya semangat begitu, masa lu kagak?” kata gue sambil ngerangkul Lusi.
“Aku NIM 03, kamu 05, Iwan 06. Kita itu urutan 2 sampai 4 di presensi kelas. Ga ada bukti valid kita bertiga orang lebih pinter satu sama lainnya. Hahaha.” Lusi udah mulai bisa ketawa. “Love you My Wife. I never wrong to be with you forever ever after like Negeri Dongeng in Movie Disney.” Lusi meluk gue lagi dan cium-cium pipi gue.
“WOOOOY!!!” Gue dorong-dorong badan Lusi dan kabur dari dia. “INI LUSI YANG GUE KENAL! JANGAN PERNAH NANGIS LAGI UNTUK GIVE UP OKE? JANJI LU HANYA BOLEH NANGIS KARENA TERHARU KETIKA NANTI SEMUA MIMPI LU TERCAPAI!” teriak gue yang udah jauh dari dia.
“Aku janji, My Wife. Makasih Emi… MAKASIH!”
“Well, gue harus coba cari cara kesana… Demi Lusi dan impiannya. Semoga ada jalan.” kata gue dalam hati. Gue buka handphone gue, ada beberapa sms dari Bang Firzy.
“Buset, banyak bener sms dia. Dulu pas belum pacaran aja udah begitu amat sms dia, apalagi sekarang.” kata gue dalem hati. Gue memutuskan ga ke Laboratorium. Gue mau ngerjain data gue di koridor Jurusan AE aja, biar tanpa gangguan orang-orang, kecuali gangguan si Bang Firzy ini. Hahaha.
Gue buka laptop gue dan akses akun Facebookgue. Di sana langsung ada notifikasi chat masuk dari Bang Firzy.
“Link Youtube?” Gue klik linkyang dia kasih. Gue pasang headphone gue untuk denger lagu apa yang dia kasih.
Gue scroll chat-nya ke atas. “Oh oke, gue duluan yang chatdia dengan capslock dan ga nyantai. Hahaha.”
Gue senyum dengan pertanyan dia. Dia ga tau gimana perjuangan gue di sini cuma karena berpredikat ‘PACAR SEORANG FIRZY WIDZVIANTRA ANDREANO’.
“Halo, Pacar!”
“Apa dah? Demen banget manggil aku begitu?”
“Cewek lain tuh mimpi lho dipanggil begitu sama aku?”
“Aku mah ga.”
“Yaudah deh… Aku mah cinta sendiri kalo begini namanya di hubungan ini.”
“Dih apaan sih?”
“Becandaaa! Hahaha. Buru, mau cerita apa?”
“Zy---”
“Sayang! Suseh bener manggil aku sayang???”
“GELI BANGS*T!”
“Dicobaaa, biar kalo lagi ew* manggilnya ‘AH YANK’, jangan ‘AH ZY’. Ga enak aja gitu, gue berasa lagi dipanggil biji-biji gitu.”
“Dih udeh mikir ew* aja!”
“Hahaha. Namanya juga usaha! Hahaha. Yaudah ayo cerita…”
“Zy…”
“Hmm.”
“Yank… Hadeuh. Yang aus yang aus yang aus. Akuamijonakuamijon!” kata gue berusaha mencairkan rasa geli gue.
Ga pernah kepikiran gue manggil si Bang Firzy ini dengan sebutan itu. Gue terakhir manggil Fani karena Fani bukan cowok yang tipenya kayak ini orang. Hahaha. Makanya gue jadi ngerasa alay manggil make begitu. Gue juga udah ga begitu alay kayak dulu lah. hahaha.
“Jurnal aku, Lusi, dan Iwan lolos buat jadi peserta salah satu konferensi internasional di Jepang, Yank…”
“Wah! Seriusan? Bagus dong kayak aku dulu??? Sumpah, bangga banget aku sama kamu!”
“Aku juga bangga sama kelompok aku, ga akan mungkin berangkat kalo ga ngerjain bareng mereka dan utamanya ya usahanya Lusi buat daftarin kita ke sana… Tapi.”
“Tapi?”
“Tapi kita udah kesana kesini, ga dapet biaya untuk berangkat, Yank…”
“Biaya? Jurusan ga bisa bantu?”
“Rp500.000,-… Mereka cuman bisa bantu segitu per mahasiswa yang berangkat. Itu bahkan ga setengah dari biaya keberangkatan kami.”
“KOK BANGS*T??? Terus kamu udah coba kemana lagi?”
“Fakultas udah, ga ada respon. Dosen yang bersedia diajak ngomong cuman Pak Abner, tapi itu juga dia ga bisa bantu karena ada alesan tersendiri. Aku bingung…”
“Ke Rektorat aja sekalian, minta informasi di sana. Langsung aja gapapa. Kalo misalnya Rektorat negor kenapa ngelangkahin Jurusan dan Fakultas, kamu langsung cerita aja keadaan yang sebenernya terjadi. Biar semuanya ditegor sama Rektorat sekalian dah. Heran! Ada mahasiswa yang berprestasi gini malah ga didukung sih? Terus dana yang mereka punya cuman buat jalan-jalan dosennya doang? Kesel aku dengernya! ANJ*NG!”
“Lusi udah mau ke Rektorat sama BEM Kampus sih minta informasi… Tapi entah gimana nanti hasilnya. Aku mau coba nyari di Komunitas Jejepangan…”
“Kamu lagi sarkas kan?”
“Kok sarkas?”
“Anak komunitas kita mana ada yang anak eksakta kayak kita?”
“Aku ada beberapa kok! Jangan ngeledek kamu… Komunitas Jejepangan kita itu banyak orang pinter kali!”
“Pinter? Bidang eksakta bukan?”
“Ada temen aku.”
“Nulis jurnal ilmiah ga?”
“Mungkin ada.”
“Lulus di skala internasional sampe harus dipresentasiin di sana ga?”
“Hmm. Ga tau.”
“Aku yakin di sana ada yang mungkin kayak kita, tapi kayaknya ga banyak. Terus kamu mengharapkan apa dari mereka? Kita aja nasibnya begini, mereka belum berarti ga senasib kan? Atau kamu ngarep bantuan donasi dari anak komunitas yang tajir? Mereka dapet apaan nanti kalo mau biayain kamu? Mending kamu usaha di Kampus aja. Kalo ga dapet ya berarti bukan rejeki kamu… Biarin aja Jurusan AB kesusahan naekin akreditasi karena nyusahin mahasiswa berprestasinya sendiri…”
“Iya… Nanti aku bilang begitu. Sebenernya kalo nanti aku ga jadi pergi, aku ngelepas kesempatan aku untuk pergi dua kali…”
“Dua kali? Kamu ada tulisan lain emang?”
“Bukan… Waktu SMA, sebelum keterima di Kampus kita ini, aku sempet ngejar beasiswa ke Jepang lewat jalur tes akademik, soalnya aku kan ga bisa Bahasa Jepang.”
“Terus? Ga kamu ambil apa gimana?”
“Aku udah lolos sampe masuk tahap tes akademik-nya. Tapi pas mau tes akademik, aku diminta ga usah banyak belajar sama pacar aku dulu. Soalnya dia ga ikhlas kalo misalnya aku berangkat ke Jepang 4 tahun. Dia ngelarang aku belajar pokoknya. Akhirnya nilai tes aku pun belum mencukupi, dikit lagi. Cuman tau lah, yang ikut tes kan ga cuma aku doang. Ya aku ga bisa lolos. Padahal dari tahap seleksi awalnya tuh panjang biar sampe ke tahap tes akademiknya itu. Ampun, nyesel banget!”
“KOK GOBL*G??? TOL*L BANGET ANJ*NG!! Kalo aku udah jadi pacar kamu mah aku biarin aja LDR dulu, bahkan aku mungkin berangkat sama kamu malah. Aku cari kerja atau beasiswa S2 paling di sana…”
“Yah, masalahnya kita baru pacaran beberapa tahun kemudian…”
“Saat harusnya kita udah ketemu dari beberapa tahun yang lalu…”
“Dan mungkin emang jalannya mesti begini kali? Hehehe.”
“Kalo jadi berangkat, kamu mau berangkat kapan?”
“Akhir bulan ini, Yank…”
“Waduh? Lagi musim dingin dong? Kamu ada bajunya?”
“Ga ada, palingan aku minjem atau ya aku beli dulu…”
“Baju musim dingin itu mahal-mahal lho! Mending cari pinjeman aja… Oh iya! Aku pinjemin jaket aku ke Uun lho! Jaket musim dingin aku waktu di Eropa dulu… Kamu ambil gih, buat kamu aja.”
“Uun? Ah males ah, kamu yang nagih gih. Hmm. Sebentar… Ini jaket yang dia omongin pas kamu ultah ya?”
“Iyak! Belom dibalikin sama dia. Udah abis dicium-ciumin kali itu jaket. Hahaha. Nanti kamu londri ya, jangan langsung pake!”
“Dih suudzonnya ampun. Sok ganteng lu, Zy!”
“Emang ganteng kali! Hahaha. Nanti aku hubungin Uun, aku suruh titip ke kamu ya?”
“Apa ga bikin Uun marah ya?”
“Kenapa Uun marah? Kamu emang salah apa sama dia?”
“Dia maunya pasti ketemu sama kamu langsung buat balikin jaketnya.”
“Kamu sama aku itu sekarang satu. Jadi balikin ke kamu sama aja kayak balikin ke aku. Ga usah banyak cincong!”
“Hmm ya ya ya. Terserah kamu aja, Yank…”
“Janji ya ambilin? Aku sms dia sekarang kalo gitu…”
“Monggo… Eh aku mau ngerjain data dulu ya, 1 jam aja. Abis itu teleponan lagi pas aku jalan pulang ke kosan?”
“Yaudah… Nanti kabarin kalo mau ditelepon. Aku juga mau reviewdulu.”
“Yo! Jangan ketiduran atau meleng review-nya!”
“Semoga! Ngantuk soalnya aku! Aku ga ngantuk kalo teleponan sama kamu.”
“COOOOT!”
“Hahaha. Bye sayang.”
“Bye.”
Lusi pun kembali mengulang cerita dia dari awal dan mengutarakan keperluan kita ke Pak Abner ini. Kami udah coba ke beberapa dosen, namun hanya beliau yang bersedia untuk diminta waktunya. Bukan karena dosen kami sok sibuk, tapi karena antrian bimbingan dosen kami yang mengular. Sedangkan Pak Abner? Hanya mahasiswa S2 saja yang berani bimbingan dengannya, mengingat tabiat Pak Abner yang cukup keras dan teliti.
Pak Abner ini rutin pergi ke Negara Jepang karena istri dan anaknya yang kebetulan tinggal di Negeri Sakura ini, jadi menurut kami beliau mungkin bisa membantu kami mencari donator atau mungkin kami bisa dapat best dealbiaya keberangkatan untuk kepergian kami. Setelah kami bertiga rinci biaya keberangkatan kami PP Jakarta - Tokyo, masing-masing kami membutuhkan biaya minimal Rp10.000.000,- itu tanpa biaya hidup di sana. Karena kami sudah konfirmasi ulang ke panitia bahwa biaya hidup memang ditanggung oleh mereka.
“Oh begitu… Jadi kalian mau coba buka jalan lewat saya untuk dapat bantuan biaya keberangkatan ya?”
“Mohon maaf merepotkan, Pak. Tapi kami sangat membutuhkan biaya ini. Kami sudah coba mengajukan proposal ke Jurusan dan Fakultas, tapi yang merespon hanya Jurusan. Kami hanya mendapatkan biaya Rp500.000,- per mahasiswa. Itu sama sekali ga membantu, Pak…”
Pak Abner membuka kacamata yang ia gunakan. “Memang sulit meminta bantuan dana untuk kegiatan mahasiswa di Jurusan AB ini. Kalian bukan yang pertama meminta bantuan melalui saya. Saya juga bingung, harusnya mereka membantu kalian dan bangga dengan prestasi kalian. Mengapa mereka malah jadi menghambat kalian…”
“Bukan menghambat sih, Pak… Hanya tidak cukup membantu.” Gue coba mencairkan suasana.
“Ya sama saja menurut saya. Jurusan kita hanya punya dana untuk keberangkatan dosen-dosen mungkin, tapi kalo mahasiswa seperti dipersulit. Hahaha. Kalau saya punya dana dan diperbolehkan oleh keluarga, saya ajak kalian berangkat bersama saya ke Jepang. Yang penting kalian modal membeli pakaian dingin kalian saja, bulan ini Jepang sedang bersalju soalnya…”
Lusi terlihat excited dengan jawaban Pak Abner tersebut. “Tapi masalahnya… Keluarga saya sudah menolak dan melarang saya sejak beberapa tahun terakhir ini. Karena ini bukan tanggungjawab pribadi saya, tapi tanggungjawab Jurusan AB. Nanti takutnya Jurusan AB keenakan dan merasa apa yang saya lakukan itu jadi semacam cara buat mereka lolos dari tanggungjawab mereka untuk membantu mahasiswa…”
Senyum kami bertiga perlahan menghilang. “Oh begitu, Pak… Tapi kira-kira apa Bapak mungkin bisa membantu kami kira-kira siapa yang bisa kami hubungi untuk membantu permasalahan kami ini, Pak?” tanya Iwan.
“Andai saya tau… Tapi mohon maaf, saya kurang tau. Apalagi melihat kalian sudah kesana kemari bahkan sampai ke tingkat Fakultas, saya kaget kalian dapet zero response.”
TOKTOKTOK
“Selamat siang, Pak Abner, saya ingin bimbingan dengan Bapak…” Kami bertiga dan Pak Abner menengok ke arah sumber suara. Di depan pintu ada mahasiswa S2 bimbingannya Bapak Abner menunggu giliran.
“Baik sebentar… Mohon tunggu di bantu sebelah sana terlebih dahulu.” Pak Abner mengarahkan tangannya ke sofa yang ada di sebrang meja beliau.
“Hmm. Pak, sepertinya kami sekalian pamit saja. Terima kasih atas waktunya. Kami mohon diri…” kata gue sambil menggandeng tangan Lusi yang dingin. Hanya kali ini gue coba memegang tangan dia. Dia kayaknya yang paling kecewa di antara kami. Gue dan Iwan hanya diajak oleh dia, tapi Lusi adalah orang yang berjuang dari awal.
Kami bertiga jalan ke arah Laboratorium dalam diam. “Lus, sabar ya…” Gue elus-elus pundak dia.
“Mungkin belum rejeki kita untuk berangkat ke Jepang. Insya Alloh lain kali kalo ada kesempatan lagi, langsung hajar!” kata Iwan, berusaha memberi Lusi semangat.
Tangisan Lusi sudah tidak terbendung lagi. Dia jatoh terduduk di lantai. “Aku itu tinggal di kampung pedalaman di Lampung. Aku bisa tetep sekolah sampai ke jenjang perguruan tinggi tuh perjuangannya sulit. Aku kesini bermodalkan beasiswa. Kalau misalnya aku ga dapet beasiswa, entah aku bisa kuliah apa ga. Impian aku cuman bisa buktiin anak kampung kayak aku bisa ke Luar Negri, bisa menuntut ilmu sampai ke Negeri Cina…”
Gue peluk Lusi erat. “Hey, Lusi! Hey! Ga boleh nangis! Emang cuman karena lu ga bisa berangkat sekarang, mimpi lu bisa ilang gitu aja, Lus? Ga lah! Gila kali! Umur kita masih muda, masih banyak waktu kita untuk ngejar mimpi kita itu. Lu sekarang anak Kelas Percepatan aja itu udah sangat membanggakan. Mungkin nanti dari Kelas Percepatan itu lu bisa ngejar S2 lagi di Luar Negri kan? Who knows? Gue dan Iwan pun insya Alloh akan coba nyari cara buat keberangkatan kita, tapi kalo sulit jalannya, tolong banget lu jangan malah jadi give up. Kita ambil positifnya…”
“Apa emang positifnya?”
“Who knows ternyata Alloh kasih jalan ini karena ini jalan terbaik untuk kita? Who knows taunya nanti kita ada apa-apa di jalan atau di sana kalo maksain berangkat? Dengan cobaan ini, Alloh sayang sama kita, Lus… Kita coba se-optimal mungkin dulu sekarang untuk cari cara buat berangkat kesana. Tapiiii… Janji sama gue, kalo misalnya kita belum rejeki untuk berangkat, lu jangan pernah putus asa oke? Jangan pernah lupain mimpi lu untuk ke Luar Negri itu. Gue yakin banget, lu pasti bisa. Gue dan Iwan pun pasti bisa! Oke?”
Lusi melepas pelukannya dari gue. Dia menghapus air mata dia. “Aku anak BEM Kampus… Aku coba ke Rektorat dan BEM Kampus deh coba cari informasi. Nanti aku info ke kalian kalo misalnya ada bantuan…”
“Gue coba cari kenalan di Komunitas Jejepangan gue…”
Iwan mengangkat tangannya. “Gue coba tanya temen-temen gue yang udah pernah punya pengalaman sama, mungkin ada yang bisa bantu mengarahkan gue ke orang yang tepat…”
“See? Kita bertiga semangat ya! Jangan nyerah! Gue punya bejibun mimpi di umur gue yang segini, gue ga mau menyerah kok ngejar mimpi gue sampe seluruh mimpi gue abis dicoretin sama gue! Gue yang ga sepinter lu aja punya semangat begitu, masa lu kagak?” kata gue sambil ngerangkul Lusi.
“Aku NIM 03, kamu 05, Iwan 06. Kita itu urutan 2 sampai 4 di presensi kelas. Ga ada bukti valid kita bertiga orang lebih pinter satu sama lainnya. Hahaha.” Lusi udah mulai bisa ketawa. “Love you My Wife. I never wrong to be with you forever ever after like Negeri Dongeng in Movie Disney.” Lusi meluk gue lagi dan cium-cium pipi gue.
“WOOOOY!!!” Gue dorong-dorong badan Lusi dan kabur dari dia. “INI LUSI YANG GUE KENAL! JANGAN PERNAH NANGIS LAGI UNTUK GIVE UP OKE? JANJI LU HANYA BOLEH NANGIS KARENA TERHARU KETIKA NANTI SEMUA MIMPI LU TERCAPAI!” teriak gue yang udah jauh dari dia.
“Aku janji, My Wife. Makasih Emi… MAKASIH!”
“Well, gue harus coba cari cara kesana… Demi Lusi dan impiannya. Semoga ada jalan.” kata gue dalam hati. Gue buka handphone gue, ada beberapa sms dari Bang Firzy.
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
“Buset, banyak bener sms dia. Dulu pas belum pacaran aja udah begitu amat sms dia, apalagi sekarang.” kata gue dalem hati. Gue memutuskan ga ke Laboratorium. Gue mau ngerjain data gue di koridor Jurusan AE aja, biar tanpa gangguan orang-orang, kecuali gangguan si Bang Firzy ini. Hahaha.
Gue buka laptop gue dan akses akun Facebookgue. Di sana langsung ada notifikasi chat masuk dari Bang Firzy.
Quote:
“Link Youtube?” Gue klik linkyang dia kasih. Gue pasang headphone gue untuk denger lagu apa yang dia kasih.
Quote:
Quote:
Gue scroll chat-nya ke atas. “Oh oke, gue duluan yang chatdia dengan capslock dan ga nyantai. Hahaha.”
Quote:
Gue senyum dengan pertanyan dia. Dia ga tau gimana perjuangan gue di sini cuma karena berpredikat ‘PACAR SEORANG FIRZY WIDZVIANTRA ANDREANO’.
Quote:
Quote:
“Halo, Pacar!”
“Apa dah? Demen banget manggil aku begitu?”
“Cewek lain tuh mimpi lho dipanggil begitu sama aku?”
“Aku mah ga.”
“Yaudah deh… Aku mah cinta sendiri kalo begini namanya di hubungan ini.”
“Dih apaan sih?”
“Becandaaa! Hahaha. Buru, mau cerita apa?”
“Zy---”
“Sayang! Suseh bener manggil aku sayang???”
“GELI BANGS*T!”
“Dicobaaa, biar kalo lagi ew* manggilnya ‘AH YANK’, jangan ‘AH ZY’. Ga enak aja gitu, gue berasa lagi dipanggil biji-biji gitu.”
“Dih udeh mikir ew* aja!”
“Hahaha. Namanya juga usaha! Hahaha. Yaudah ayo cerita…”
“Zy…”
“Hmm.”
“Yank… Hadeuh. Yang aus yang aus yang aus. Akuamijonakuamijon!” kata gue berusaha mencairkan rasa geli gue.
Ga pernah kepikiran gue manggil si Bang Firzy ini dengan sebutan itu. Gue terakhir manggil Fani karena Fani bukan cowok yang tipenya kayak ini orang. Hahaha. Makanya gue jadi ngerasa alay manggil make begitu. Gue juga udah ga begitu alay kayak dulu lah. hahaha.
“Jurnal aku, Lusi, dan Iwan lolos buat jadi peserta salah satu konferensi internasional di Jepang, Yank…”
“Wah! Seriusan? Bagus dong kayak aku dulu??? Sumpah, bangga banget aku sama kamu!”
“Aku juga bangga sama kelompok aku, ga akan mungkin berangkat kalo ga ngerjain bareng mereka dan utamanya ya usahanya Lusi buat daftarin kita ke sana… Tapi.”
“Tapi?”
“Tapi kita udah kesana kesini, ga dapet biaya untuk berangkat, Yank…”
“Biaya? Jurusan ga bisa bantu?”
“Rp500.000,-… Mereka cuman bisa bantu segitu per mahasiswa yang berangkat. Itu bahkan ga setengah dari biaya keberangkatan kami.”
“KOK BANGS*T??? Terus kamu udah coba kemana lagi?”
“Fakultas udah, ga ada respon. Dosen yang bersedia diajak ngomong cuman Pak Abner, tapi itu juga dia ga bisa bantu karena ada alesan tersendiri. Aku bingung…”
“Ke Rektorat aja sekalian, minta informasi di sana. Langsung aja gapapa. Kalo misalnya Rektorat negor kenapa ngelangkahin Jurusan dan Fakultas, kamu langsung cerita aja keadaan yang sebenernya terjadi. Biar semuanya ditegor sama Rektorat sekalian dah. Heran! Ada mahasiswa yang berprestasi gini malah ga didukung sih? Terus dana yang mereka punya cuman buat jalan-jalan dosennya doang? Kesel aku dengernya! ANJ*NG!”
“Lusi udah mau ke Rektorat sama BEM Kampus sih minta informasi… Tapi entah gimana nanti hasilnya. Aku mau coba nyari di Komunitas Jejepangan…”
“Kamu lagi sarkas kan?”
“Kok sarkas?”
“Anak komunitas kita mana ada yang anak eksakta kayak kita?”
“Aku ada beberapa kok! Jangan ngeledek kamu… Komunitas Jejepangan kita itu banyak orang pinter kali!”
“Pinter? Bidang eksakta bukan?”
“Ada temen aku.”
“Nulis jurnal ilmiah ga?”
“Mungkin ada.”
“Lulus di skala internasional sampe harus dipresentasiin di sana ga?”
“Hmm. Ga tau.”
“Aku yakin di sana ada yang mungkin kayak kita, tapi kayaknya ga banyak. Terus kamu mengharapkan apa dari mereka? Kita aja nasibnya begini, mereka belum berarti ga senasib kan? Atau kamu ngarep bantuan donasi dari anak komunitas yang tajir? Mereka dapet apaan nanti kalo mau biayain kamu? Mending kamu usaha di Kampus aja. Kalo ga dapet ya berarti bukan rejeki kamu… Biarin aja Jurusan AB kesusahan naekin akreditasi karena nyusahin mahasiswa berprestasinya sendiri…”
“Iya… Nanti aku bilang begitu. Sebenernya kalo nanti aku ga jadi pergi, aku ngelepas kesempatan aku untuk pergi dua kali…”
“Dua kali? Kamu ada tulisan lain emang?”
“Bukan… Waktu SMA, sebelum keterima di Kampus kita ini, aku sempet ngejar beasiswa ke Jepang lewat jalur tes akademik, soalnya aku kan ga bisa Bahasa Jepang.”
“Terus? Ga kamu ambil apa gimana?”
“Aku udah lolos sampe masuk tahap tes akademik-nya. Tapi pas mau tes akademik, aku diminta ga usah banyak belajar sama pacar aku dulu. Soalnya dia ga ikhlas kalo misalnya aku berangkat ke Jepang 4 tahun. Dia ngelarang aku belajar pokoknya. Akhirnya nilai tes aku pun belum mencukupi, dikit lagi. Cuman tau lah, yang ikut tes kan ga cuma aku doang. Ya aku ga bisa lolos. Padahal dari tahap seleksi awalnya tuh panjang biar sampe ke tahap tes akademiknya itu. Ampun, nyesel banget!”
“KOK GOBL*G??? TOL*L BANGET ANJ*NG!! Kalo aku udah jadi pacar kamu mah aku biarin aja LDR dulu, bahkan aku mungkin berangkat sama kamu malah. Aku cari kerja atau beasiswa S2 paling di sana…”
“Yah, masalahnya kita baru pacaran beberapa tahun kemudian…”
“Saat harusnya kita udah ketemu dari beberapa tahun yang lalu…”
“Dan mungkin emang jalannya mesti begini kali? Hehehe.”
“Kalo jadi berangkat, kamu mau berangkat kapan?”
“Akhir bulan ini, Yank…”
“Waduh? Lagi musim dingin dong? Kamu ada bajunya?”
“Ga ada, palingan aku minjem atau ya aku beli dulu…”
“Baju musim dingin itu mahal-mahal lho! Mending cari pinjeman aja… Oh iya! Aku pinjemin jaket aku ke Uun lho! Jaket musim dingin aku waktu di Eropa dulu… Kamu ambil gih, buat kamu aja.”
“Uun? Ah males ah, kamu yang nagih gih. Hmm. Sebentar… Ini jaket yang dia omongin pas kamu ultah ya?”
“Iyak! Belom dibalikin sama dia. Udah abis dicium-ciumin kali itu jaket. Hahaha. Nanti kamu londri ya, jangan langsung pake!”
“Dih suudzonnya ampun. Sok ganteng lu, Zy!”
“Emang ganteng kali! Hahaha. Nanti aku hubungin Uun, aku suruh titip ke kamu ya?”
“Apa ga bikin Uun marah ya?”
“Kenapa Uun marah? Kamu emang salah apa sama dia?”
“Dia maunya pasti ketemu sama kamu langsung buat balikin jaketnya.”
“Kamu sama aku itu sekarang satu. Jadi balikin ke kamu sama aja kayak balikin ke aku. Ga usah banyak cincong!”
“Hmm ya ya ya. Terserah kamu aja, Yank…”
“Janji ya ambilin? Aku sms dia sekarang kalo gitu…”
“Monggo… Eh aku mau ngerjain data dulu ya, 1 jam aja. Abis itu teleponan lagi pas aku jalan pulang ke kosan?”
“Yaudah… Nanti kabarin kalo mau ditelepon. Aku juga mau reviewdulu.”
“Yo! Jangan ketiduran atau meleng review-nya!”
“Semoga! Ngantuk soalnya aku! Aku ga ngantuk kalo teleponan sama kamu.”
“COOOOT!”
“Hahaha. Bye sayang.”
“Bye.”
itkgid dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup
![AKHIR PENANTIANKU (JILID IV) [18+] [TRUE STORY]](https://s.kaskus.id/images/2019/10/10/10712020_20191010014133.jpg)

dan 
