- Beranda
- Stories from the Heart
Demi Surga Yang Terbakar
...
TS
malaikatrindu
Demi Surga Yang Terbakar

ﺑِﺴْــــــــــــــــــﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺮﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮﺣِﻴْﻢِ
--o0o-- BLURB--o0o--
Istri Rasulullah SAW, Khadijah ra, menjadi teladan bagi Asyiah, terutama ketaatannya kepada agama dan juga karena beliau seorang saudagar wanita yang sukses. Asyiah berasal dari keluarga pengurus pesantren. Dia juga seorang pendakwah muda yang memiliki pemikiran kritis, realistis dan logis. Beasiswanya ke Universitas Lincoln, Inggris, diterima. Namun, Abi melarang keras dengan dalih jangan bersekolah di negara non-muslim. Juga biola kesayangannya yang dihancurkan dengan alasan musik itu haram.
Setelah berjuang, akhirnya Asyiah bisa berangkat. Di sana, dia bertemu dengan laki-laki ateis asal Prancis bernama Daniel Jimson. Berbagai pertanyaan tentang Tuhan, agama dan kebenaran dari pria tersebut dijawab dengan baik oleh Asyiah. Sejak saat itulah Daniel mulai mencintai Islam, juga Asyiah. Muslimah itupun sama. Namun saat ia pulang sementara ke Indonesia, Kakak Asyiah tak sengaja menemukan catatan berisi adiknya yang mencintai seorang tak beragama di negeri nun jauh itu. Padahal, keluarga telah menjodohkannya secara sembunyi-sembunyi dengan teman Asyiah sendiri yang telah kenal sejak MTs. Hal ini berakibat pengusiran Asyiah dari pesantren.
Sahar Van Costa, sahabat Asyiah dari Belanda bertanya padanya, apakah agama masih menyuruhnya berbakti pada ayah yang telah mencoba merusak kesuciannya. Tetangga apartemennya, memaki Asyiah dengan sebutan "iblis" karena dianggap sebagai biang kematian suami dan anaknya yang tewas dalam tragedi bom Madrid dan bom London.
Sebuah konspirasi pembunuhan kepada Asyiah bergerak secara bergerilya. Mulai dari percobaan pemusnahan nyawa, pelecehan kehormatan hingga yang lainnya. Tak sampai di sana, sebuah rahasia sangat besar terungkap. Rahasia yang tak seorang pun akan percaya jika mendengarnya.
Rahasia apakah itu? Akankah Asyiah kuat bertahan dan terus menebar dakwah? Lalu, bagaimana nasib cintanya dengan Daniel? Serta hubungannya dengan Abi?
Temukan jawabannya dalam novel ini!
Demi Surga Yang Terbakar
Copyright © 2019 Alfikri Saga / @malaikatrindu
*****
DAFTAR ISI
--o0o---
Diubah oleh malaikatrindu 12-11-2019 13:44
nona212 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
2.7K
29
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
malaikatrindu
#1
BAB 1 - Setengah Rida Allah
ﺑِﺴْــــــــــــــــــﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺮﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮﺣِﻴْﻢِ
***
***

foam.com
Di kaki bukti Mayana, kabut perlahan tersibak siraman cahaya matahari. Udara pagi yang sebelumnya terasa menggigit tulang pun kian menghangat. Sisa hujan semalam menyajikan bau tanah yang menguar segar. Burung gereja dan burung murai seakan tak mau ketinggalan menyambut kegembiraan pagi ini. Mereka asyik bercicit sahut menyahut di balik gulma.
Lantunan ayat-ayat Tuhan dan selawat kepada Sang Nabi menggema dari masjid Pondok Pesantren Al-Ummah. Para santri memadati tempat ibadah tersebut. Beberapa lagi hilir mudik menyiapkan sarapan.
Terlihat, seorang wanita setengah baya berlari tergesa-gesa dari gapura. Wajahnya tampak senang bukan main. Tentu saja karea ada berita gembira yang hendak ia sampaikan kepada seseorang. Beberapa santriwan-santriwati menyapa wanita tersebut. Dia membalasnya dengan senyuman sekilas sembari terus melangkah cepat. Dinaikinya tangga kobong puteri hingga ke lantai tiga. Kobong yang posisinya paling dekat dengan tangga adalah tempat yang ia tuju. Wanita itu pun berhenti dengan napas tersengal-sengal. Tangan kanannya mencoba menopang tubuh dengan menyandar pada tembok. Rehat sejenak.
Akan tetapi, tak mau informasi menggembirakan tersebut ditunda-tunda, wanita itu pun menyudahi istirahatnya. Dia segera mengetuk pintu kobong. "Assalamu'alaikum... assalamu'alaikum, Neng Asyiah!"
Tak kurang dari lima detik, pintu kobong perlahan terbuka.
"Wa'alaikmussalam," sahut seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang membuka pintu. Kulitnya putih bersih, bulu matanya lentik dan tentu berjilbab. "Eh, Bi Anah?! Ada apa, Bi?"
"Anu, Neng Asyiah, itu! Di sana, di gapura, ada tukang pos yang ngirim LOAK dari Universitas. Nama universitasnya itu, Ling... Ling...," Bi Anah menuturkan dengan terbata. Dia lupa-lupa ingat ucapan tukang pos tadi, soalnya pakai bahasa asing.
"LOAK?" Asyiah mengernyit. Bingung. "Oooh... maksud Bibi, LoA--Letter of Acceptance--dari Universitas Lincoln, Inggris?"
"Nah, iya, Neng. Itu yang Bibi maksud."
Asyiah tersenyum merekah. Matanya berbinar. Dia begitu berseri-seri. Ucapan hamdalah sayup-sayup terdengar. Muslimah itu berada dalam kondisi percaya tidak percaya. Ragu, apakah dirinya saat ini tidak sedang bermimpi? Apakah telinganya tak salah dengar? Beasiswa yang diajukannya tahun lalu diterima! Semoga saja semua memang benar adanya. Tak mungkin, bukan, Bi Anah berbohong dalam hal seserius ini? Itu akan menjadi hal yang sangat konyol.
"Kalau begitu, Asyih ingin segera ke tukang pos itu!"
"Ayo, kalau begitu, mah. "
Mereka pun bergegas menuju gapura. Meski pernapasannya masih terasa sesak, wanita yang sudah tak muda lagi itu tetap terlihat bersemangat.
Asyiah merupakan cucu dan putri pemilik Pondok Pesantren Al-Ummah. Walau begitu, hal tersebut tak membuatnya besar kepala. Dia jutsru lebih memilih tinggal di kobong bersama santriwati yang lain. Ingin ala hidup pesantren yang sesungguhnya. Mandiri.
Setelah hampir sampai di tempat yang dituju, tampak seorang lelaki berjaket warna jingga tengah berdiri di samping gapura. Motor dan kotak berisi berbagai barang yang mesti kirim juga memiliki warna serupa. Melihat orang yang mereka tuju sudah dekat, Asyiah dan Bi Inah pun semakin mempercepat langkah, berjalan penuh antusias.
"Maaf, Pak Pos, ini orang yang punya kiriman tadi." Bi Anah memberitahu seraya melirik muslimah tersebut. Yang dilirik tersenyum simpul.
Tukang Pos menyuruh menunggu sebentar. Keduanya memanggut. Patuh. Dia akhirnya menyerahkan LOA alias surat penerimaan tersebut kepada Asyiah. Dengan tangan dan kaki bergementar, muslimah itu segera menerimanya. Dia tersenyum lebar sekali setelah menatap lamat-lamar kertas tersebut.
"Tanda tangan dulu, Teh. Sebagai bukti kalau kiriman sudah diterima dengan baik." Petugas pos tersebut menyodorkan kertas dan pulpen.
Asyiah mengangguk. Guratan tinta yang diminta pria itu sudah ia berikan. Petugas pos itu berterima kasih. Lalu, izin bergegas mengirim ke tempat lain.
Gadis berpenampilan modis itu pelan-pelan membuka kiriman tersebut. Gambar dua angsa yang merupakan lambang Universitas Lincoln, Inggris tertera pada sampul surat. Asyiah kontan tercenung. Setengah tak percaya. Jemarinya meraba pelan. Gemetar. Dibukanya lagi surat itu, 'Siti Asyiah Al-Khadijah', nama tersebut terpampang jelas sebagai calon mahasiswa dari Indonesia yang berhak menerima beasiswa. Tangan kanannya menutup mulut. Terharu. Ucapan syukur terlontar berkali-kali dari lisannya. Kedua sudut bibirnya pun mengembang, menyunggingkan senyum kebahagiaan.
Bi Anah yang berdiri di samping gadis itu tampak kebingungan. Bukan karena ekspresi Asyiah yang tiba-tiba berubah. Tapi, karena surat tersebut menggunakan bahasa Inggris. Dia tidak paham. Jangankan bahasa asing, bahasa Indonesianya saja masih belum fasih betul. Bi Anah selalu berasumsi kalau dirinya hanyalah orang kampung. Jadi, bahasa Sunda sudah cukup baginya.
Asyiah menutup surat itu dengan senyum merekah. Hatinya berbunga bukan main. Dia kemudian menengok ke arah wanita yang tadi begitu semangat membawa kabar ini. Kini, mereka saling tatap penuh kegembiraan. Asyiah pun langsung merangkul wanita tersebut dengan erat.
"Pengajuan beasiswa kuliah ke Inggris diterima, Bi. Tahun ini, Asyiah bisa menuntut ilmu di luar negeri."
"Subhanallah, Gusti! Selamat, ya, Neng! Selamat! Bibi doakan semua cita-cita Neng Asyiah tercapai."
"Aamiin, Bi. Aamiin."
Saat keduanya berpelukan penuh haru, seorang wanita lain berkerudung dan bergamis putih berjalan menghampiri. Umurnya kira-kira empat puluh tahunan. Tangannya terlihat ringkih menjinjing sayuran dan belanjaan lain. Dia tersenyum, "Eh, eh, anak Umi kenapa ini? Kelihatannya senang sekali?"
Karena Asyiah merangkul Bi Inah dalam posisi menghadap ke barat, dia langsung menoleh pada orang yang tadi berbicara. Itu Umi! Gadis itu kemudian melepaskan pelukannya dengan Bi Inah.
"Ada apa, sayang? Kamu, kok, kelihatannya bahagia sekali?" ulang Umi Hindun yang tadi belum sempat dijawab.
Asyiah menyeka cairan bening yang sudah menggelayut di pelupuk mata. Dia lalu menyodorkan surat penerimaan itu ke hadapan Umi dengan wajah berbinar. Wanita paruh baya itu menatap lamat-lamat. Keningnya mengerut. Bi Inah meminta izin biar dia yang menjinjing belanjaan itu. Umi pun segera memberikannya.
Umi Hindun meraih secarik kertas tersebut. Dibukanya lembar demi lembar. Mimik wajahnya pelan-pelan berubah. Beliau tersenyum kagum. Dia memandang khusyuk anaknya dan surat itu secara bergantian. "Kamu keterima, Sayang?"
Asyiah mengangguk mantap.
Umi langung memeluknya. Dia mengelus-ngelus punggung anaknya itu seraya mendoakan yang terbaik baginya.
"Kalau begitu, cepat beritahu Abah, Abi dan Akang. Mereka pasti bangga dan terharu juga mendengar kabar ini," ucap Umi penuh semangat setelah selesai merangkul Asyiah.
Mendengar perintah itu, gairah Asyiah langsung menurun drastis. Senyuman di wajahnya memudar. Dia langsung menunduk dalam-dalam seraya menghembuskan napas. Getir.
Umi Hindun paham betul sebab-musabab perubahan ekspresi anaknya. Abi dan Akang kurang mendukung Asyiah untuk kuliah di Universitas Lincoln. Melarang keras malah. Wanita itu mencoba menenangkan. Dia kembali mengusap-usap pundak Asyiah dengan penuh optimisme, "Temui mereka dulu. Umi akan menyusul. Bila ada apa-apa, insya Allah, Umi usahakan membantu."
Pedakwah muda itu kembali menghembuskan napas. Ini sungguh berat. Perlahan, dia mengangkat kepala. Kemudian, menatap takzim wanita yang selama ini selalu mendukungnya dalam kondisi apapun. Umi. Orang yang paling berharga dalam hidup Asyiah. Beliau terlihat mengangguk, menyemangati.
"Sekarang, kamu jangan pesimis! Jalan menuju cita-cita sudah ada di depan mata. Tak mau terlewat begitu saja, kan?"
Asyiah menangguk. Dia menyeringai, namun disertai hembusan napas kecewa.
Umi menepuk bahu muslimah muda itu. Kemudian, ia dan Bi Anah izin pergi dulu ke dapur untuk menyimpan barang belanjaan.
Dengan perasaan gamang, Asyiah mulai melangkahkan kaki. Kiai Harun alias Abi adalah tipikal orang tua yang jika menyuruh anu, maka mau tak mau, suka tak suka, siap tak siap, harus menurut. Pembawaan yang sungguh keras.
Sesampainya di depan ruang kepengurusan pesantren, pintu tampak terbuka. Ada lima orang di sana. Gadis berpostur tinggi putih itu memejamkan mata. Mengatur napas. Tak lupa mengucap basmalah, berharap tidak ada adu mulut perihal kuliahnya seperti beberapa waktu silam. Dia kemudian mengetuk pintu, "Assalamu'laikum...."
"Wa'alaikummussalam." Lima laki-laki yang ada di ruang tersebut serempak menoleh ke sumber suara. Kiai Quraisy Al-Umar atau yang biasa dipanggil Abah oleh warga pesantren tersebut, terlihat langsung berdiri sambil tersenyum. "Eh, Asyiah! Ada apa?"
Empat pria lain yang tadinya duduk ikut berdiri. Mereka adalah Abi, Kang Yazril dan dua pengurus pesatren, Pak Raihan dan Pak Burqan. Mungkin karena sudah selesai, Pak Raihan dan Pak Burqan merapikan map serta laptop. Mereka meminta diri, kemudian bergegas meninggalkan ruangan.
"Duluan, Asyiah," tutur keduanya sembari menyunggingkan seulas senyum ketika berpapasan dengannya.
Asyiah membalas dengan anggukan seraya balas tersenyum. Dia pun melangkah masuk. Abah mempersilahkan duduk. Mereka semua pun menjatuhkan badan di atas kursi.
"Abah, beasiswa Asyiah ke Universitas Lincoln, Inggris, yang dikirim tahun diterima. Ini surat penerimaannya." Perempuan tersebut menyerahkan LoA kepada Abah.
Pria tua itu meraihnya. Dibacanya sebentar, kemudian ia berdecak kagum, "Masya Allah, Asyiah... kamu hebat sekali!"
Abah memanggut-manggut dengan wajah penuh rasa bangga terhadap cucunya itu. Dia menepuk bahu Asyiah, "Abah yakin, insya Allah kamu akan menjadi orang yang sukses, baik di dunia maupun di akhirat. Cerdas, pekerja keras, kritis dan pantang menyerah adalah karakter-karakter yang harus dimiliki oleh orang sukses. Dan kamu punya itu semua."
"Aamiin, Abah." Kedua pelupuk matanya membening. Terharu.
Pria tua itu segera merangkul Asyiah. Mereka begitu gembira. Namun, tidak dengan dua lelaki lain yang ada di ruangan itu. Siapalagi kalau bukan Abi dan Kang Yazril. Mereka berdua adalah penentang keras hampir setiap tindak-tanduk Asyiah. Wajah keduanya masam. Sesekali membuang muka karena muak.
"Kamu ini memang anak yang tidak pernah mau menurut pada perintah orang tua, Asyiah! Sudah berapa kali Abi bilang, jangan kuliah di negeri orang kafir itu Anak-anak ulama lain perginya ke Kairo, Maroko, Damaskus, Baghdad. Lah, ini?"
Perkataan itu kontan membuat pelukan Asyiah merenggang. Benar, kan, dugaannya. Abi selalu begitu. Bukannya dia durhaka atau apa. Belajar dari Kang Yazril yang selalu menuruti perintah Abi, Asyiah lebih berhati-hati. Ucapan Kiai Harun Al-Umar atau biasa dipanggil Abi itu cenderung egois dan hanya menurut kehendak dirinya, tanpa kompromi sedikitpun.
"Abi... Asyiah pergi ke Inggris untuk menuntut ilmu. Bukankah Rasulullah menyuruh kita untuk mencari ilmu sampai ke negeri Cina. Apakah Cina itu negara muslim? Jawabannya, tentu bukan. Inggris, Prancis, Cina, Amerika, memang tak seperti Mesir dan negara-negara Islam lainnya, tapi ini untuk mencari ilmu, Abi." Asyiah menjawab dengan intonasi seramah dan serendah mungkin. Meski hatinya tetap terganjal dengan sikap kepala batu pria itu.
"Mayoritas ulama pakar hadits menilai bahwa hadits tentang menuntut ilmu hingga ke negeri Cina adalah hadits dho'if --lemah--jika dilihat dari banyak jalan," kilah Kang Yazril. Semua langsung menoleh padanya. Pemuda berusia dua puluh lima tahun itu tak jauh bedanya dengan Kiai Harun. Keras kepala dan selalu merasa paling benar.
"Syaikh Ismail bin Muhammad Al Ajlawaniy rahimahullah telah membahas panjang lebar mengenai derajat hadits ini dalam kitabnya. ‘Mengungkap kesamaran dan menghilangkan kerancuan terhadap hadits-hadits yang sudah terkenal dan dikatakan sebagai perkataan Nabi SAW pada indeks huruf hamzah dan tha.
"Dalam kitab tersebut, beliau mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al Khotib Al Baghdadi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ad Dailamiy dan selainnya, dari Anas r.a. Lalu beliau menegaskan lemahnya riwayat ini. Dinukil pula dari Ibnu Hibban –pemilik kitab Shohih, beliau menyebutkan tentang batilnya hadits ini. Sebagaimana pula hal ini dinukil dari Ibnul Jauziy, beliau memasukkan hadits ini dalam Mawdhu’at--kumpulan hadits palsu." Kang Yazril memang alumnus Universitas Al-Ahzar, Kairo. Ahli hadits.
Wajah Asyiah memerah. Menahan kesal. Dia mencoba membasahi bibir dengan istigfar. Kemudian kembali mengemukakan alasannya, "Setidaknya izinkan Asyiah menginjak bumi Allah yang terhampar luas ini."
"Menjelajahi bumi orang kafir? Asyiah... Asyiah... kamu ini seorang penceramah muda yang dikenal kritis oleh orang-orang. Mengetahui apakah ini benar atau salah saja, kamu masih keliru." Kang Yazril berdecih sambil menggeleng-geleng dengan wajah merendahkan.
Hati Asyiah semakin bergemuruh. Siapa yang keliru di sini?! Dirinya atau mereka berdua. Dia sakit hati. Segala usaha, penjelasan atau apapun itu, di mata mereka berdua selalu salah. Sudah sejak SMP dia dikritik seperti itu. Bahkan sampa sekarang saat umurnya menginjak sembilan belas tahun malah semakin dicerca.
"Rida Allah itu terletak pada rida orang tua. Dan murka Allah itu terletak pada murka orang tua. Kau pasti hafal hadits itu, kan, Asyiah?!" Abi bertanya dengan suara membentak. "Abi ini tidak rida kamu pergi ke negeri orang kafir itu. Dan artinya, kamu tidak mendapat rida Allah."
"Tapi Umi setuju, Abi. Umi meridai," kilah Asyiah lirih.
Abi mendengus. "Kalau begitu, kau hanya mendapat setengah dari rida Allah."
"Apa? Setengah? Asyiah mendapat tiga perempat rida Allah, Abi. Ingat hadits nabi, Ibumu, Ibumu, Ibumu, baru Bapakmu." Perkataan lantang wanita dari arah pintu membuat mereka berempat menoleh bersamaan. Umi datang. Asyiah sedikit menghirup napas lega. Ada orang yang akan membelanya kali ini.
"Assalamu'alaikum," tutur Umi setelahnya. Semua menjawab salam kemudian.
Abi terdiam sesaat. Akang juga.
"Abi, biarkan Asyiah menimba ilmu. Seharusnya, Abi mendoakan, bukan semuanya dilarang," lanjut Umi.
"Abi melarang Asyiah demi kebaikannya, Umi. Tidak kurang, tidak lebih."
"Sudah, sudah!" lerai Abah. "Kalian ini selalu berbantah-bantahan. Dan ingat, rida atau tidaknya Allah, Dia sendiri yang menentukan. Tak ada satu pun yang dapat ikut campur.
"Satu lagi, untuk Yazril, jangan menggunakan dalil-dalil dengan memanipulasi tafsirnya hanya karena kau tidak suka terhadap suatu hal. Omong-omong tentang ini, bukankah kamu dulu juga ingin kuliah di Brimingham, Inggris, sampai-sampai kau mengikuti semua hal-hal yang berbau Inggris. Tapi, kenapa kamu sekarang melarang Asyiah? Karena beasiswamu tidak diterima?"
Semua memilih bungkam kalau menyaksikan Abah yang tadinya berwajah menyenangkan menjadi garang. Kang Yazril mendengkus tak suka. Deru napasnya menggebu.
"Baiklah, tadi Abah hanya mengingatkan. Dan, keputusan setelah tiga kali Abah shalat Istikharah dan tiga kali pula mendapatkan jawaban memperbolehkan. Abah yakin, Asyiah punya pikiran yang matang. Dia tahu mana yanh terbaik bagi dirinya. Sudah dewasa. Dan kalian semua juga tahu hal ini, kan?" lanjut Abah.
Umi dan Asyiah mengangguk. Abi dan Kang Yazril tidak. Mereka membuang muka malah. []
---o0o---
Diubah oleh malaikatrindu 11-11-2019 11:35
lintangayudy dan 5 lainnya memberi reputasi
6