- Beranda
- Stories from the Heart
🚫 Let Me Tell You a Story (Konten Dewasa) 🚫
...
TS
deadtree
🚫 Let Me Tell You a Story (Konten Dewasa) 🚫
Halo,
sengaja aku buat akun baru untuk nulis cerita ini. Bukan karena apa-apa, aku gak mau ada yang tau siapa aku dan orang-orang yang akan kuceritakan disini. Sengaja juga gak daftar kreator, ahaha karena tujuanku nulis cuma pengen ngeluarin uneg-uneg yang aku simpen selama ini.
Cerita ini gak ada bagus-bagusnya, gak ada romantis-romantisnya, isinya cuma aku dan semua cobaan hidup yang kutelan sendiri dan akhirnya juga harus bangkit sendiri.
Quote:
Oke, aku mulai ya....
- Chapter 1 - Adik Ibuku
- Chapter 2 - Puber & Foto Mesum
- Chapter 3 - Kata Ibu, Aku Aib
- Chapter 4 - Aku dan Kakak Part 1
- Chapter 5 - Aku dan Kakak Part 2
- Chapter 6 - Ayah & Ibu
- Chapter 7 - Awal Mula Jatuhnya Aku Part 1
- Chapter 8 - Awal Mula Jatuhnya Aku Part 2
- Chapter 9 - Duniaku Abu-abu Part 1
- Chapter 10 - Duniaku Abu-abu Part 2
- Chapter 11 - Duniaku Abu-abu Part 3
- Chapter 12 - Babak Baru
- Chapter 13 - Sama Saja
- Chapter 14 - Mas Ibra
- Chapter 15 - Berawal Dari Twitter
- Chapter 16 - Aku Ini Murahan
- Chapter 17 - Gelap
- Chapter 18 - Duniaku Hancur
- Chapter 19 - Tuhan
- Chapter 20 - Kusut
- Chapter 21 - Selalu Begini Berulang-ulang
- Chapter 22 - Mulai Dari Nol
- Chapter 23 - Gereja dan Ustadz
- Chapter 24 - Kambing Hitam
- Chapter 25 - Cinta Yang Salah
- Chapter 26 - Selembar Perselingkuhan
- Chapter 27 - Tunas
SIDE STORY:
1 - Major Depressive Disorder
2 - Adara Putra [Part 1]
Prolog:
Namaku Kamila, saat ini umurku hampir 28 tahun. Berkeluarga? belum. Ingin berkeluarga? Ya, mungkin. Aku bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan Jakarta. Sejak umur 17 tahun, aku tinggal sendiri di kota ini. Tanpa satupun anggota keluarga atau kerabat jauh. Tak ada yang kukenal saat pertama kali aku menginjakkan kakiku di sini 10 tahun lalu, tepatnya di bulan Agustus 2009.
Aku lahir dan besar di sebuah desa, berseberangan dari tempatku tinggal. Jauh dan butuh sekitar 24 jam perjalanan darat dan laut. Sekarang sudah bisa dilewati transportasi udara, walau tetap harus memakan waktu 6 jam jika ditotal untuk tiba di desaku. Desa terpencil yang tampak tenang, tak ada masalah namun tetap dengan stigma buruk di masyarakat Indonesia. Banyak yang bilang desaku ini sarangnya ilmu hitam dengan orang-orang berhati jahat yang tak segan-segan menelan bulat-bulat manusia lainnya. Well, tak sepenuhnya benar, seingatku aku belum pernah makan daging manusia.
Aku ini tak cantik, tak manis, tak menarik perhatian, seingatku seperti itu. Dari kecil aku dibesarkan oleh orangtua yang keras mendidikku, tumbuh besar bersama hutan, teriknya matahari dan gersangnya tanah desa. Aku ini kumal, hitam legam, tak ada anggun-anggunnya. Masa kecilku kuhabiskan bermain layangan, menerobos hutan mengumpulkan sayuran, mendaki gunung mengumpulkan buah-buahan, bermain di pantai mengumpulkan kerang dan merebusnya untuk makanan dan entah kenapa aku waktu kecil selalu jadi korban pelecehan.
Ch.1: Adik Ibuku
Ingatanku sedikit samar, mungkin waktu itu aku masih kelas 1 sekolah dasar dan di momen kumpul keluarga yang aku lupa untuk acara apa.
Seperti biasanya, rumah orangtuaku selalu menjadi tempat berkumpulnya keluarga besar setiap diadakannya hajatan keluarga. Mungkin karena Ibuku sedang sukses-suksesnya saat itu, anak kedua dari 8 bersaudara, dan rumah keluargaku termasuk yang paling luas dan memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat hajatan keluarga mulai dari pernikahan sampai sekedar pengajian.
Sore itu, Ibu dan adik-adiknya sedang sibuk di halaman belakang yang cukup luas. Mereka mempersiapkan hidangan untuk hajatan esok paginya (Di desaku memang terbiasa selalu memasak sendiri untuk hajatan). Saat itu, hanya aku dan kakak laki-lakiku cucu di keluarga besar ini karena memang Ibuku anak kedua dan anak pertama a.k.a Kakaknya Ibu belum memiliki keturunan seingatku. Aku asik bermain dengan kakakku di ruang tengah, ditemani oleh adik Ibu yang paling bungsu, namanya Om Yuda. Om Yuda umurnya tidak berbeda jauh dari kakakku, hanya berbeda sekitar 6-7 tahunan.
Selayaknya anak-anak, aku bermain bersama kakak hanya menggunakan celana pendek dan kaos dalaman tanpa lengan karena memang cuaca juga sedang panas-panasnya saat itu. Saat kakakku sibuk dengan robot-robotannya, Om Yuda memanggilku.
"Dik, adik.. Sini"
Dia menarik kursi kayu di pojok ruangan dan menaruhnya di tengah ruangan. Saat itu di ruang tengah hanya ada kami bertiga dan kakakku acuh, asik dengan mainannya.
"Kenapa om?", tanyaku.
Om Yuda yang kemudian duduk di kursi kayu dan tersenyum menatapku tajam. Dia memegang lenganku dan berkata:
"Coba, buka celanamu deh"
Aku yang saat itu masih bodoh dan belum mengerti betul perkara organ intim yang boleh dan tidak boleh dilihat lawan jenis dengan polosnya langsung menuruti Om Yuda.
Om Yuda saat itu menatap kemaluanku dengan tatapan tajam sejurus kemudian membuka celana dan mengeluarkan kemaluannya. Dia kembali menatap mataku tajam.
"Untuk membuktikan kalau kita keluarga, Om harus nempelin ini ke tempat pipismu dik. Ok?", tangan kirinya yang masih memegang lenganku terasa dingin dan sedikit gemetar. Aku hanya mengangguk menuruti perkataan Om Yuda, lagi-lagi dengan polosnya.
Kegiatan menjijikkan itu tak berlangsung lama, aku juga tak memperhatikan apa yang dia lakukan karena aku masih sibuk memainkan boneka yang ada di genggamanku. Tak sampai 2 menit sepertinya, Om Yuda melepaskan kemaluannya yang menempel di area pubisku dan aku reflek melirik ke arah kemaluanku. Ada cairan putih di sana yang dengan cepat langsung diseka oleh Om Yuda.
"Apa itu Om?", tanyaku.
"Itu cat putih, tadi om tuang untuk menguatkan hubungan keluarga kita. Udah, pake celananya lagi. Jangan cerita-cerita, nanti kamu dimakan setan", ancamnya serius.
Pelecehan pertama, yang tak pernah kusadari sampai beberapa tahun terakhir. Terkubur dan terlupakan begitu saja mungkin karena saat itu aku terlalu kecil untuk mengerti dan mengingat hal tak bermoral itu.
Aku lahir dan besar di sebuah desa, berseberangan dari tempatku tinggal. Jauh dan butuh sekitar 24 jam perjalanan darat dan laut. Sekarang sudah bisa dilewati transportasi udara, walau tetap harus memakan waktu 6 jam jika ditotal untuk tiba di desaku. Desa terpencil yang tampak tenang, tak ada masalah namun tetap dengan stigma buruk di masyarakat Indonesia. Banyak yang bilang desaku ini sarangnya ilmu hitam dengan orang-orang berhati jahat yang tak segan-segan menelan bulat-bulat manusia lainnya. Well, tak sepenuhnya benar, seingatku aku belum pernah makan daging manusia.
Aku ini tak cantik, tak manis, tak menarik perhatian, seingatku seperti itu. Dari kecil aku dibesarkan oleh orangtua yang keras mendidikku, tumbuh besar bersama hutan, teriknya matahari dan gersangnya tanah desa. Aku ini kumal, hitam legam, tak ada anggun-anggunnya. Masa kecilku kuhabiskan bermain layangan, menerobos hutan mengumpulkan sayuran, mendaki gunung mengumpulkan buah-buahan, bermain di pantai mengumpulkan kerang dan merebusnya untuk makanan dan entah kenapa aku waktu kecil selalu jadi korban pelecehan.
Ch.1: Adik Ibuku
Ingatanku sedikit samar, mungkin waktu itu aku masih kelas 1 sekolah dasar dan di momen kumpul keluarga yang aku lupa untuk acara apa.
Seperti biasanya, rumah orangtuaku selalu menjadi tempat berkumpulnya keluarga besar setiap diadakannya hajatan keluarga. Mungkin karena Ibuku sedang sukses-suksesnya saat itu, anak kedua dari 8 bersaudara, dan rumah keluargaku termasuk yang paling luas dan memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat hajatan keluarga mulai dari pernikahan sampai sekedar pengajian.
Sore itu, Ibu dan adik-adiknya sedang sibuk di halaman belakang yang cukup luas. Mereka mempersiapkan hidangan untuk hajatan esok paginya (Di desaku memang terbiasa selalu memasak sendiri untuk hajatan). Saat itu, hanya aku dan kakak laki-lakiku cucu di keluarga besar ini karena memang Ibuku anak kedua dan anak pertama a.k.a Kakaknya Ibu belum memiliki keturunan seingatku. Aku asik bermain dengan kakakku di ruang tengah, ditemani oleh adik Ibu yang paling bungsu, namanya Om Yuda. Om Yuda umurnya tidak berbeda jauh dari kakakku, hanya berbeda sekitar 6-7 tahunan.
Selayaknya anak-anak, aku bermain bersama kakak hanya menggunakan celana pendek dan kaos dalaman tanpa lengan karena memang cuaca juga sedang panas-panasnya saat itu. Saat kakakku sibuk dengan robot-robotannya, Om Yuda memanggilku.
"Dik, adik.. Sini"
Dia menarik kursi kayu di pojok ruangan dan menaruhnya di tengah ruangan. Saat itu di ruang tengah hanya ada kami bertiga dan kakakku acuh, asik dengan mainannya.
"Kenapa om?", tanyaku.
Om Yuda yang kemudian duduk di kursi kayu dan tersenyum menatapku tajam. Dia memegang lenganku dan berkata:
"Coba, buka celanamu deh"
Aku yang saat itu masih bodoh dan belum mengerti betul perkara organ intim yang boleh dan tidak boleh dilihat lawan jenis dengan polosnya langsung menuruti Om Yuda.
Om Yuda saat itu menatap kemaluanku dengan tatapan tajam sejurus kemudian membuka celana dan mengeluarkan kemaluannya. Dia kembali menatap mataku tajam.
"Untuk membuktikan kalau kita keluarga, Om harus nempelin ini ke tempat pipismu dik. Ok?", tangan kirinya yang masih memegang lenganku terasa dingin dan sedikit gemetar. Aku hanya mengangguk menuruti perkataan Om Yuda, lagi-lagi dengan polosnya.
Kegiatan menjijikkan itu tak berlangsung lama, aku juga tak memperhatikan apa yang dia lakukan karena aku masih sibuk memainkan boneka yang ada di genggamanku. Tak sampai 2 menit sepertinya, Om Yuda melepaskan kemaluannya yang menempel di area pubisku dan aku reflek melirik ke arah kemaluanku. Ada cairan putih di sana yang dengan cepat langsung diseka oleh Om Yuda.
"Apa itu Om?", tanyaku.
"Itu cat putih, tadi om tuang untuk menguatkan hubungan keluarga kita. Udah, pake celananya lagi. Jangan cerita-cerita, nanti kamu dimakan setan", ancamnya serius.
Pelecehan pertama, yang tak pernah kusadari sampai beberapa tahun terakhir. Terkubur dan terlupakan begitu saja mungkin karena saat itu aku terlalu kecil untuk mengerti dan mengingat hal tak bermoral itu.
Ch.2: Puber & Foto Mesum
Bertahun-tahun berlalu, banyak yang kulalui. Pelecehan-pelecehan minor yang tak perlu kujelaskan di sini, selain karena kisahnya hanya seputar catcall, dipegang, dll, aku juga sudah mulai lupa kisah-kisah ini.
Kita akan lanjut ke kisah saat aku masuk SMA ya.
Dulu, waktu aku masih bayi, Ibuku sudah pindah ke rumah baru yang dibangun di atas tanah sawah milik almarhum kakekku. Rumah itu cukup besar hingga bisa menampung Ibu, Ayah, Kakak, Aku, 1 Adik perempuan Ibu, 2 Adik laki-laki Ayah, dan 1 kerabat jauh Ibu (laki-laki). Ibu dan Ayah saat itu menyekolahkan mereka sampai semuanya lulus SMA, dengan kondisi keuangan Ayah yang juga pas-pasan. Adik-adik Ibu dan Ayah sukses dan bekerja, mereka juga sangat amat sayang padaku. Berbeda dengan kerabat jauh Ibu yang memutuskan untuk menjadi buruh bangunan saja saat itu. Ibu tidak melarang sama-sekali, malah mendukung dan membantunya.
Sebut saja si kerabat Ibu ini Om Sapri. Om Sapri ini baik orangnya, merawatku dari lahir sampai aku umur 4 tahun sebelum akhirnya memutuskan berkeluarga dan pindah ke rumahnya sendiri. Aku dianggap seperti anak sendiri oleh Om Sapri, dan aku menganggap beliau seperti Ayahku sendiri.
Tak ada yang berarti, semua berjalan baik-baik saja saat itu. Setiap Ibu ingin merenovasi rumah, membetulkan genteng atau sekedar mempercantik rumah, Om Sapri selalu menawarkan membantu Ibu. Aku juga senang, bisa bertemu Om Sapri lebih sering dan bisa dimanjakan Om Sapri saat itu. Hal ini berlangsung terus sampai Ibuku memutuskan membuka bisnisnya sendiri saat aku masuk SMP, Ibu makin jarang di rumah. Bahkan seringkali aku tidak bertemu Ibu seharian. Bangun tidur, Ibu sudah berangkat kerja begitupun Ayah. Pulang sekolah, rumah sepi, kakakku sibuk les. Mereka baru akan pulang saat aku dan kakak sudah tertidur pulas di kamar masing-masing.
Kesepianku ini berlanjut sampai aku duduk di bangku SMA, sama saja tanpa orangtua. Ibu dan Ayah jadi semakin sering marah-marah hanya karena perkara sepele. Aku jadi semakin malas jika mereka ada di rumah, aku jadi semakin menikmati kesendirianku.
Siang itu sepulang sekolah, aku langsung masuk rumah, mengunci kamar, menyalakan pendingin ruangan dan menjatuhkan diri di atas kasurku yang empuk. Beperapa hari belakangan Ibu meminta tolong Om Sapri untuk memasang plafon di ruang tamu bersama dengan tukang-tukang lain. Tapi setibanya aku di rumah, aku tak melihat Om Sapri dan teman-temannya, mungkin sedang istirahat siang. (FYI, posisi ruang tamuku ada di sebelah kiri kamarku, di depan kamarku ruang tengah, di sebelah kananku kamar kakak, dan di depan kamar kakak adalah ruang keluarga).
Cuaca siang itu sungguh terik, badanku rasanya penuh dengan keringat tapi rasanya malas sekali berganti pakaian. Aku hanya melepas rok dan membuka beberapa kancing baju bagian atas. Tiduran hanya dengan underwear, bra dan kemeja sekolah yang terbuka sana-sini. 'Ah tak ada yang liat, aku di kamar sendirian. Lagipula, pintu juga sudah kukunci', fikirku. FYI, sejak aku puber di kelas 3 SMP (maaf) bagian payudaraku tumbuh dengan cepat dan saat aku menginjak kelas 1 SMA, payudaraku sudah termasuk sangat besar untuk anak sekolah seusiaku (kalau tidak salah sudah cup C saat itu, sekarang cup D).
Aku masih asik tenggelam dengan novel teenlit yang kubeli beberapa hari lalu saat tiba-tiba aku melihat sekelebat cahaya putih di ventilasi atas pintu kamarku (di desaku, setiap pintu dan jendela dilengkapi ventilasi berukuran sekitar 60x100cm di bagian atas agar memudahkan udara segar keluar masuk ruangan). Kuperhatikan bagian ventilasi yang mulai berdebu itu namun tak ada yang mencurigakan, aku kembali melanjutkan membaca novelku sambil sesekali melirik ke arah ventilasi.
Bertahun-tahun berlalu, banyak yang kulalui. Pelecehan-pelecehan minor yang tak perlu kujelaskan di sini, selain karena kisahnya hanya seputar catcall, dipegang, dll, aku juga sudah mulai lupa kisah-kisah ini.
Kita akan lanjut ke kisah saat aku masuk SMA ya.
Dulu, waktu aku masih bayi, Ibuku sudah pindah ke rumah baru yang dibangun di atas tanah sawah milik almarhum kakekku. Rumah itu cukup besar hingga bisa menampung Ibu, Ayah, Kakak, Aku, 1 Adik perempuan Ibu, 2 Adik laki-laki Ayah, dan 1 kerabat jauh Ibu (laki-laki). Ibu dan Ayah saat itu menyekolahkan mereka sampai semuanya lulus SMA, dengan kondisi keuangan Ayah yang juga pas-pasan. Adik-adik Ibu dan Ayah sukses dan bekerja, mereka juga sangat amat sayang padaku. Berbeda dengan kerabat jauh Ibu yang memutuskan untuk menjadi buruh bangunan saja saat itu. Ibu tidak melarang sama-sekali, malah mendukung dan membantunya.
Sebut saja si kerabat Ibu ini Om Sapri. Om Sapri ini baik orangnya, merawatku dari lahir sampai aku umur 4 tahun sebelum akhirnya memutuskan berkeluarga dan pindah ke rumahnya sendiri. Aku dianggap seperti anak sendiri oleh Om Sapri, dan aku menganggap beliau seperti Ayahku sendiri.
Tak ada yang berarti, semua berjalan baik-baik saja saat itu. Setiap Ibu ingin merenovasi rumah, membetulkan genteng atau sekedar mempercantik rumah, Om Sapri selalu menawarkan membantu Ibu. Aku juga senang, bisa bertemu Om Sapri lebih sering dan bisa dimanjakan Om Sapri saat itu. Hal ini berlangsung terus sampai Ibuku memutuskan membuka bisnisnya sendiri saat aku masuk SMP, Ibu makin jarang di rumah. Bahkan seringkali aku tidak bertemu Ibu seharian. Bangun tidur, Ibu sudah berangkat kerja begitupun Ayah. Pulang sekolah, rumah sepi, kakakku sibuk les. Mereka baru akan pulang saat aku dan kakak sudah tertidur pulas di kamar masing-masing.
Kesepianku ini berlanjut sampai aku duduk di bangku SMA, sama saja tanpa orangtua. Ibu dan Ayah jadi semakin sering marah-marah hanya karena perkara sepele. Aku jadi semakin malas jika mereka ada di rumah, aku jadi semakin menikmati kesendirianku.
Siang itu sepulang sekolah, aku langsung masuk rumah, mengunci kamar, menyalakan pendingin ruangan dan menjatuhkan diri di atas kasurku yang empuk. Beperapa hari belakangan Ibu meminta tolong Om Sapri untuk memasang plafon di ruang tamu bersama dengan tukang-tukang lain. Tapi setibanya aku di rumah, aku tak melihat Om Sapri dan teman-temannya, mungkin sedang istirahat siang. (FYI, posisi ruang tamuku ada di sebelah kiri kamarku, di depan kamarku ruang tengah, di sebelah kananku kamar kakak, dan di depan kamar kakak adalah ruang keluarga).
Cuaca siang itu sungguh terik, badanku rasanya penuh dengan keringat tapi rasanya malas sekali berganti pakaian. Aku hanya melepas rok dan membuka beberapa kancing baju bagian atas. Tiduran hanya dengan underwear, bra dan kemeja sekolah yang terbuka sana-sini. 'Ah tak ada yang liat, aku di kamar sendirian. Lagipula, pintu juga sudah kukunci', fikirku. FYI, sejak aku puber di kelas 3 SMP (maaf) bagian payudaraku tumbuh dengan cepat dan saat aku menginjak kelas 1 SMA, payudaraku sudah termasuk sangat besar untuk anak sekolah seusiaku (kalau tidak salah sudah cup C saat itu, sekarang cup D).
Aku masih asik tenggelam dengan novel teenlit yang kubeli beberapa hari lalu saat tiba-tiba aku melihat sekelebat cahaya putih di ventilasi atas pintu kamarku (di desaku, setiap pintu dan jendela dilengkapi ventilasi berukuran sekitar 60x100cm di bagian atas agar memudahkan udara segar keluar masuk ruangan). Kuperhatikan bagian ventilasi yang mulai berdebu itu namun tak ada yang mencurigakan, aku kembali melanjutkan membaca novelku sambil sesekali melirik ke arah ventilasi.
2 menit berlalu, aku seperti mendengar bunyi-bunyian di depan pintu kamarku. Seperti bunyi gesekan ke pintu kamar. Jantungku mulai berdegup kencang, di rumah sedang tak ada siapa-siapa seingatku. Lalu siapa yang sedang berdiri di depan pintu kamarku? Kulihat di celah bagian bawah pintu, nampak bayangan orang yang berdiri mondar-mandir namun tak ada suara hanya dengusan nafasnya yang terdengar sedikit berat. Aku semakin panik, saat itu aku hanya bisa memikirkan maling yang masuk rumah karena beberapa tahun lalu rumahku juga kemalingan dan malingnya membawa pisau hampir menyerangku yang baru saja tiba di rumah saat itu.
Selang beberapa detik diantara kepanikanku, tiba-tiba cahaya putih itu kembali muncul di ventilasi kamar. Kali ini diiringi dengan bunyi 'ckrekkk' berkali-kali, yang menyadarkanku kalau itu ternyata flash kamera. Aku semakin panik, ada orang memotretku dari luar, dan sialnya posisiku saat itu setengah telanjang. "MAMPUS", gumamku dalam hati. Aku gemetaran, tak tau harus berbuat apa. Badanku kaku, aku hanya bisa pura-pura tak tau apa yang terjadi saat itu. Tapi tak dapat dipungkiri, aku sudah mau hampir menangis berharap orang itu cepat-cepat pergi. Namun disela-sela ketakutanku, tiba-tiba aku mendengar suara,
"Ngapain Mas Sapri? Ventilasinya rusak?", tanya orang itu. Aku tak mendengar sahutan dari orang yang tengah berdiri di depan pintu kamarku.
'Anj***********ng', umpatku lirih. Orang yang daritadi memotretku ternyata Om Sapri. Mau apa dia dengan foto-fotoku? Apa dia lupa kalau aku ini anak dari saudara yang sudah membesarkannya? Kenapa dia malah bertindak tidak senonoh seperti ini?
Banyak pertanyaan yang berputar-putar dalam kepalaku, tanpa kusadari aku mulai menangis tersedu-sedu di dalam kamar tanpa berani keluar. Sampai malam tiba dan kakak serta papaku pulang, aku masih belum berani keluar kamar.
Papa mengetuk-ngetuk pintu kamarku bertanya kenapa aku mengurung diri. Aku takut, tapi kupaksakan keluar. Kubuka pintu kamar perlahan, masih dengan sedikit terisak. Papa kebingungan melihatku yang amburadul dengan rambut acak-acakan dan mata yang sembab.
"Kenapa dik?", tanya Papaku.
"Gak kenapa-kenapa pa, cuma banyak PR adik capek", sahutku masih dengan sedikit bergetar.
Papa mengelus kepalaku pelan dan memelukku. Dia menyuruhku untuk segera mandi, berganti pakaian dan mengajakku makan malam. Sepanjang makan malam, aku diam membisu. Tak ada sepatah kata yang berani kukeluarkan.
Beberapa hari setelah itu, aku sudah kembali ceria. Aku tak lagi memikirkan apa yang terjadi, yah namanya anak sekolah. Seperti biasa, pukul 14.00 aku langsung bergegas pulang ke rumah untuk melanjutkan novel teenlit yang belum selesai kubaca. Di rumah juga sepi, hanya ada aku dan beberapa tukang. Tak lama setelah aku pulang, kakakku juga pulang dari sekolahnya. Dia langsung lari ke ruang keluarga dan bermain game konsolnya yang baru dibeli beberapa hari lalu. Kubiarkan sajalah, fikirku.
Aku langsung masuk ke kamar, mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari ini terlalu panas dan aku terlalu gerah untuk langsung baca novel, karena itu kuputuskan untuk mandi dan makan siang dahulu.
Kamar mandiku terletak di belakang ruang keluarga, di area dapur bersih menuju ke dapur kotor dan di depan kamar mandi terdapat lorong selebar 2 meter yang cukup gelap jika tidak dinyalakan lampu. Ditengah-tengah aktifitas mandiku yang berisik karena aku juga bersenandung, lagi-lagi aku terkejut dengan cahaya putih yang muncul sekelebat di atas ventilasi pintu kamar mandiku. Aku langsung panik, "Anj*ng, aku telanjang loh ini! Om Sapri gak kapok-kapok!", umpatku dalam hati. Dengan cepat aku bersembunyi di pojok belakang pintu kamar mandi agar dia tak bisa memotretku dari sela ventilasi. Bunyi kamera itu masih terus kudengar sekitar 3-4 kali selama aku bersembunyi dan kemudian hening, tak ada suara apa-apa. Dan sesaat Om Sapri memanggilku, "Dik? Kamu di kamar mandi? Om baru mau pipis nih. Masih lama gak?", tanyanya menyelidik.
Tak ada kata yang keluar dari mulutku, aku diam tak berani bersuara. Om Sapri kembali memanggil, "Dik? Kamu gausah takut Om cuma nanya", timpalnya lagi.
'Hah? Takut? Apa-apaan sih? Apa maksudnya? Kenapa dia malah jadi seperti om-om cabul yang mau merudapaksaku?', aku masih tak bersuara sama sekali, hanya bisa menangis dalam diam dan ketakutanku. Jantungku berdegub kencang sekali dengan ketakutanku diapa-apakan dan tanpa kusadari sudah 1 jam aku mengurung diri di dalam kamar mandi sampai kakakku menggedor-gedor kamar mandi dengan paniknya, "Dik? Dik??!!! Kamu pingsan? Mandi kok gak kelar-kelar? Dikkk????".
"Iya kak, aku cuma lagi gosok-gosok kaki", sahutku lega. Kakakku ternyata masih ada di luar.
"Yaudah cepetan mandinya, kita makan siang. Kakak laper", jawabnya.
"Iya kak, ini udah kok".
Aku tak berani menatap Om Sapri setelah itu, aku juga tak berani menceritakan pada siapa-siapa perkara hal ini. Beberapa bulan berlalu semenjak itu, tak ada lagi teror foto-foto itu, aku fikir masalah sudah selesai. Mungkin aku yang terlalu panik.
Tapi ternyata? Belum, belum selesai. Masih ada yang akan terjadi di depanku....
AKAN ADA KELANJUTANNYA, PANJANG GAN HAHA.
AKU AKAN CURHAT BERKALA, KARENA SAMBIL KERJA.
NAMANYA JUGA CURHAT :").
NAMANYA JUGA CURHAT :").
MOHON MASUKANNYA KALAU ADA KEKURANGAN, TRIMS.
Diubah oleh deadtree 20-12-2019 10:59
jamalfirmans282 dan 61 lainnya memberi reputasi
60
130.2K
629
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
deadtree
#324
Chapter 23 - Gereja dan Ustadz
Ibunya Herri baik sekali padaku, jauh dari sosok Ibu yang kukenal dulu. Aku merasakan indahnya disayang oleh wanita yang menganggapku anaknya. Seolah tak ada masalah antara aku dan dia sebelum ini, seolah aku ini benar-benar anak perempuannya. Bagian dari keluarga kandungnya. 1 bulan kemudian aku sudah bekerja di sebuah perusahaan startup, pekerjaan ini kudapatkan dari teman sekantor Herri (Oh iya, Herri lebih dulu diterima di sebuah perusahaan media swasta satu bulan sebelum aku mendapatkan pekerjaan). Semua berjalan dengan baik, meski gajiku jauh dari standart UMR Jakarta aku tetap bersyukur. Aku sisihkan sebagian gajiku untuk mengirimi Ibu dan Ayah di kampung.
Ibuku bercerita dia sakit-sakitan akhir-akhir ini. Beliau mengidap diabetes, jantung, hipertensi dan sudah dalam tahap parah. Ibu makin kurus saat aku pulang di Idul Fitri, sedih rasanya melihat beliau sakit-sakitan dan aku tak bisa disana untuk menemaninya. Ibuku juga mulai berubah, Ibu mulai melibatkanku dalam berbagai hal yang terjadi di hidupnya. Beliau selalu meneleponku dan menanyakan kabarku, kadang mengajakku videocall untuk sekedar melepas rindu. Aku senang bukan kepalang dengan perubahan Ibu yang sekarang selalu memanggil aku "anakku sayang". Perjuanganku untuk mendapatkan cinta Ibu kini berbuah manis, walau Ibu masih tetap dengan sifat kerasnya sekarang sudah jauh berubah dibanding Ibu yang dulu.
Di lain pihak, aku sudah tak pernah lagi menyentuh sajadah dan mukena warna merah muda kesayanganku. Beberapa minggu terakhir aku bahkan mengikuti Herri beribadah minggu di Gereja. Di sana, aku merasa bisa lebih puas menumpahkan keluh kesahku. Aku lebih mudah bercerita, menitipkan rindu pada anakku, dan menenangkan diri. Herri selalu mengingatkanku untuk beribadah sampai membelikanku Alkitab dan Rosario. Meski begitu, Herri tak pernah memintaku untuk ikut agamanya atau belajar pendidikan agama Katolik. Aku yang menawarkan diri untuk belajar di sebuah gereja dekat kost kami (Aku dan Herri pindah kost, tetap sebelahan kamar). Aku belajar setiap minggu sore sebelum ibadah Misa sendirian, Herri tak menemani. Katanya biarkan aku belajar sendiri tanpa tekanan darinya.
--
3 bulan berlalu, aku mendapat kabar bahwa Ibuku masuk rumah sakit karena diabetes dan jantungnya membengkak. Aku panik dan langsung pulang ke kampung halaman. Untungnya aku punya simpanan yang sengaja kusiapkan untuk momen-momen penting seperti ini. Awalnya Ibu menolak kepulanganku, sayang ongkos katanya. Tapi aku tetap pulang diam-diam dan menemaninya selama 2 minggu, sekalian melewatkan tahun baru 2014 ke 2015 fikirku.
Hari ketiga disana, aku sedang tidur-tiduran di ruang tv saat Ibu menghampiriku (mulai sekarang aku sebut Mama aja ya, biar ga nyaru sama Ibunya Herri)
Mama: "Nak..."
Aku: "Iya ma..."
Mama: "Kamu masih ya sama Herri?"
Aku: "Iya ma, kenapa?"
Mama: "Mama kok ngerasa kamu tuh jauh ya sama mama, kayak mama tuh gabisa gapai kamu gitu. Kayak ada yang berubah dari kamu, tapi sifat, sikap sama fisikmu ga berubah"
Aku langsung deg-degan takut mama tahu kalau aku sedang belajar agama Katolik. Aku belum siap bilang karena bagiku kesehatan mama sekarang sedang tidak baik, aku takut beliau kenapa-napa.
Aku: "Eh..eeemmm, nggak kok. Mama banyak fikiran aja. Lha aku disini lho nemenin mama biar cepet sembuh."
Mama: "Hmmm... yaudah"
Mama langsung pergi ke kamar dan seperti sedang berbincang dengan Papa (panggil papa aja ya jangan ayah biar sepasang). Aku cuek dan sibuk dengan tontonanku sore itu.
--
Selepas maghrib, aku berniat pergi ke rumah teman untuk temu kangen. Tapi mama tiba-tiba melarangku bilang kalau kakak dan adik iparku mau main ke rumah. Aku bingung kenapa aku harus nemenin mereka. Tak lama, kakak dan Bima adik iparku tiba di rumah dengan seorang lelaki berperawakan besar, tidak terlalu tinggi, memakai celana cingkrang dan janggut tebal, mukanya bersih dengan kulit coklat kehitaman khas terbakar matahari. Dia memperkenalkan diri padaku dan Mama Papa sebagai Ustadz Jemi. 'Wadaw, dijodohin nih gue!', fikirku dalam hati. Apalagi coba? Dilarang pergi, disuruh ikut ngobrol, disuruh pakai pakaian rapi, didatengin mas-mas sholehah pula.
Mama: "Jadi gimana dik Jemi, bisa bantu Ibu nggak buat Mila?"
Ustadz: "Oh bisa Bu, saya siap membantu Mila"
Kakak dan Bima cuma manggut-manggut setuju, sedangkan Papa sibuk meneliti si Ustadz ini dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku makin panik, tanganku langsung iseng mencomot gorengan yang tersaji lengkap segunung dengan minuman di atas meja ruang tamu.
Ustadz: "Di lantai aja kali ya Bu? Sudah bisa dimulai sekarang kok"
Aku: "Eh, eh. Bentar. Ada apa ini ya? Kok aku? Kok udah dimulai? Apaan ini?"
Ustadz: "Loh, dek Mila belum dikasi tahu toh? Ruqiyah kamu dek."
Aku: "Loh apaan nih? Ruqyah? Emang aku kesurupan setan???"
Mama: "Enggak kesurupan, cuma biar kamu bersih aja dari hal-hal negatif aja. Udah nurut aja, gak diapa-apain ini."
Kami berenam pun pindah dari ruang tamu ke ruang tengah dan aku duduk ditengah dikelilingi keluargaku. Si Ustadz duduk berhadapan denganku. Yang aku bingung, kenapa ruqyah bisa dilakukan dengan sentuhan fisik? Bukan muhrim kan? Sama aja zinah? Tapi ustadz ini dengan santainya megang tanganku dan baca-bacain ayat yang aku gak familiar. Sejurus kemudian menyuruhku meluruskan kedua kakiku, memegang keningku dengan telapak tangannya sambil memintaku memejamkan mata (dihipnotis katanya). Aku kemudian ditidurkan oleh Papa terlentang dengan telapak kakiku menghadap ke si Ustadz tadi.
Ustadz memegang jari manis kaki kananku dan ditekan sedikit dengan telunjuknya, tiba-tiba rasa sakit yang teramat sangat menjalar di seluruh tubuhku. Sekujur kakiku rasanya mau putus dan aku teriak-teriak tak karuan tapi si ustadz tak mempedulikanku.
"Nah, ini nih. Ada orang yang gak suka sama Dek Mila. Dia diguna-guna, makanya cuma ditekan dikit jari manisnya langsung kesakitan."
Sekeluargaku hanya manggut-manggut gak karuan, seolah-olah ngerti. Aku yang sadar dan gak kena pengaruh hipnotisnya langsung bilang "Ya sakit orang ditekan di sarafnya pake kuku!! Udah ih sakit astagaaaaa!!!", teriakku.
Ustadz itu kemudian jawab, "Ini yang ngomong bukan Kamila anak Ibu Bapak. Ini jin yang mendiami tubuhnya Mila. Maklum, makhluk seperti ini penuh tipu muslihat ya."
Sekeluargaku kembali manggut-manggut, aku bengong melihat mereka yang seolah bertemu Tuhan dan nurut-nurut aja padahal anaknya kesakitan.
Si Ustadz melanjutkan kalimatnya lagi, "Oke, ini sebelum saya keluarkan jinnya, saya mau anak ini meluapkan beban batinnya ke Ibu dan Bapak ya. Soalnya dia ini terlalu menutup-nutupi beban hidupnya, dia merasa orangtuanya tidak sayang dia dan terlalu keras padanya. Sebentar lagi pasti dia menangis"
Wadu, aku bingung. Kalau aku gak nangis ntar dikira kerasukan iblis bukan lagi jin. Kalau nangis nanti malah si ustadznya kesenengan berhasil bohongin keluargaku. Aku diam, seisi rumah hening sesaat. Aku paksakan nangis dengan meresapi betapa sakitnya kakiku yang masih ditekannya di bagian urat saraf.
Aku nangis beberapa saat dan si ustadz makin kegirangan dan bilang "Nah kan, Ibu Bapak tolong ya anaknya diperhatikan lagi. Bebannya berat sekali ini". Dia ngomong begitu sambil matanya melirik ke dadaku berkali-kali dengan mata berbinar-binar.
Setelah itu dia kembali memegang keningku dan memintaku buka mata. Si ustadz kemudian banyak berbincang hal-hal omong kosong yang aku lupa tentang apa. Seingatku dia berpesan untuk mencari dan merebus daun pohon gesak (entah benar apa tidak, aku lupa) untukku minum agar tubuhku pulih. Beliau juga bilang akan datang ke rumahku lagi di malam rabu atau malam jumat aku agak lupa untuk memandikanku untuk melindungiku dengan ayat suci. Dia bilang, aku akan dimandikan di tepi sungai tepat jam 12 malam, Ibuku disuruh memandikanku ditemani sang Ustadz. Beliau menyuruh menyiapkan beberapa butir telur ayam kampung dan beberapa hal yang gak masuk akal untuk prosesi mandi itu. Papa dan Mama seolah terhipnotis, mereka berterima kasih pada ustadz atas bantuannya dan menyalaminya dengan amplop yang cukup tebal. Aku? I'm so pissed that night.
--
2 hari sebelum prosesi pemandian itu aku masih terus membujuk mama untuk membatalkan, tapi mama tetap bersikukuh kalau itu untuk kebaikanku dan dia tidak enak karena sudah terlanjur berjanji pada si ustadz. Tak lama setelah berdebat, papa datang sambil bersungut-sungut dan bilang kalau dia habis diomeli tetangga sebelah yang juga dukun sekaligus indigo. Pak dukun bilang dia punya daun pohon itu tapi dia tak mau memberikannya pada papa, dan bahkan malah kesal kenapa menuruti si ustadz karena sebenarnya air rebusan pohon gesak itu bisa mengeringkan rahim terutama wanita yang belum bekeluarga. Pak dukun menceramahi papa untuk tidak menuruti sang ustadz dan jangan ambil resiko karena dia selama ini tidak melihat ada sosok jin yang menempel padaku atau energi negatif yang ada di tubuhku. Dia bilang aku baik-baik saja. Mama bilang yasudah jangan diminum, diam saja jangan bilang-bilang ke ustadz kalau kita tahu efek dari daun itu.
Aku makin merasa aneh, kenapa kalau sudah tahu bahwa air rebusan itu saja bisa bermasalah untukku kenapa masih mau meneruskan prosesi mandi tengah malam sih???
Siangnya, si ustadz tiba-tiba mengirimiku pesan.
Ustadz: "Assalamualaikum Dek, ini Ustadz Jemi"
Aku: "Waalaikumsalam ustadz, ada apa ya?"
Ustadz: "Sebelum proses mandi nanti, ustadz mau tanya sedikit. Kamu pernah keputihan tidak?"
Aku makin aneh, apa hubungannya ruqyah sama keputihan anjir: "Pernah lah tadz, namanya perempuan"
Ustadz: "Oh kalau begitu kita harus ketemu dulu sebelum prosesi ini, ustadz harus periksa kamu dulu"
Aku: "Periksa gimana ya? Saya perawat kok, tahu gimana sembuhin keputihan."
Ustadz: "Nggak, ini karena jin yang lama di tubuhmu. Ustadz harus lihat dulu. Kamu kalau perlu cukur bulu kemaluan dulu ya sebelum kita ketemu. Biar ustadz bisa cek lebih dalam"
Aku yang sudah banyak makan asam garam bacotan pria-pria cabul langsung jawab: "Eh gitu yaaa? Ceknya gimana tadz? Aku takut"
Ustadz: "Kalau bisa gak usah bawa Mama ya, ketemu berdua saja. Ustadz akan lihat kemaluanmu dulu untuk dicek gimana kondisinya, parah atau tidaknya. Maaf sebelumnya, kamu masih perawan atau nggak?"
Aku: "Enggak tadz, udah sering gituan sama beberapa mantanku"
Ustadz: "Astaghfirullahaladzim, ini harus segera diobati sebelum dimandikan. Sore ini bisa ketemu? Nanti ketemu diluar, setelah itu ustadz bawa ke tempat pengobatan"
Aku: "Kapan tadz?"
Ustadz: "Jam 3 ya. Kalau bisa nanti proses mandinya juga biar ustadz saja yang lakukan. Mamamu tunggu di rumah saja. Nanti siapkan kain sarung dan beberapa barang yang ustadz minta tadi. Kamu nanti mandi di sungainya telanjang saja, sama ustadz gak usah takut. Kan untuk pengobatanmu, baru ditutupi sarung setelah mandi jam 12 malam nanti.
Aku: "Oke aku izin mama dulu ya.."
Aku langsung menunjukkan pesan itu ke mama dan suprisingly mama jawab kalau dia gak enak mau batalkan prosesi itu karena ustadz itu teman dekatnya Bima dan Besannya. Nanti mama takut besannya kesel sama mama. Aku makin emosi dan jadilah siang itu aku bertengkar habis-habisan sama mama. Dan akhirnya aku nangis, mamapun ikut nangis. Aku bilang ke mama aku tetap jadi Kamila anaknya, aku akan tetap rajin ibadah dan jangan percaya hal-hal bodoh itu. Akhirnya mama setuju, tapi dengan persyaratan jangan ceritakan isi pesan itu ke papa. Papaku tempramental tinggi, mama takut malah ustadz itu dipukuli dan besannya dimusuhi. Aku setuju dan langsung lapor ke kakak. Kakak lebih pakai logika dan langsung minta Bima batalkan urusan itu dengan ustadz Jemi.
Sehabis maghrib di malam tahun baru, sang ustadz kembali mengirimiku pesan yang intinya adalah:
Assalamualaikum dek, ustadz sudah dengar dari Bima tentang batal itu. Demi Allah ustadz gak pernah ada niat lain selain nyembuhin kamu. Banyak orang yang udah sembuh di tangan ustadz, kalau kamu mau batal silahkan tapi jangan jatuhkan nama baik ustadz begini. Kalau gini caranya ustadz juga gak mau bantu adek. Semoga adek bisa mengerti ya, Assalamualaikum.
Kubalas dengan:
Aku gak ngomong apa-apa ke kakak dan Bima, aku cuma bilang gak jadi mandi dan kirim screenshot pesan dari ustadz. Mereka yang membuat kesimpulannya dari omongan ustadz sendiri. Waalaikumsalam
Malam tahun baruku berlalu dengan berhasil keluar dari jebakan pelecehan seksual berkedok pengobatan.
(Bersambung)
Ibunya Herri baik sekali padaku, jauh dari sosok Ibu yang kukenal dulu. Aku merasakan indahnya disayang oleh wanita yang menganggapku anaknya. Seolah tak ada masalah antara aku dan dia sebelum ini, seolah aku ini benar-benar anak perempuannya. Bagian dari keluarga kandungnya. 1 bulan kemudian aku sudah bekerja di sebuah perusahaan startup, pekerjaan ini kudapatkan dari teman sekantor Herri (Oh iya, Herri lebih dulu diterima di sebuah perusahaan media swasta satu bulan sebelum aku mendapatkan pekerjaan). Semua berjalan dengan baik, meski gajiku jauh dari standart UMR Jakarta aku tetap bersyukur. Aku sisihkan sebagian gajiku untuk mengirimi Ibu dan Ayah di kampung.
Ibuku bercerita dia sakit-sakitan akhir-akhir ini. Beliau mengidap diabetes, jantung, hipertensi dan sudah dalam tahap parah. Ibu makin kurus saat aku pulang di Idul Fitri, sedih rasanya melihat beliau sakit-sakitan dan aku tak bisa disana untuk menemaninya. Ibuku juga mulai berubah, Ibu mulai melibatkanku dalam berbagai hal yang terjadi di hidupnya. Beliau selalu meneleponku dan menanyakan kabarku, kadang mengajakku videocall untuk sekedar melepas rindu. Aku senang bukan kepalang dengan perubahan Ibu yang sekarang selalu memanggil aku "anakku sayang". Perjuanganku untuk mendapatkan cinta Ibu kini berbuah manis, walau Ibu masih tetap dengan sifat kerasnya sekarang sudah jauh berubah dibanding Ibu yang dulu.
Di lain pihak, aku sudah tak pernah lagi menyentuh sajadah dan mukena warna merah muda kesayanganku. Beberapa minggu terakhir aku bahkan mengikuti Herri beribadah minggu di Gereja. Di sana, aku merasa bisa lebih puas menumpahkan keluh kesahku. Aku lebih mudah bercerita, menitipkan rindu pada anakku, dan menenangkan diri. Herri selalu mengingatkanku untuk beribadah sampai membelikanku Alkitab dan Rosario. Meski begitu, Herri tak pernah memintaku untuk ikut agamanya atau belajar pendidikan agama Katolik. Aku yang menawarkan diri untuk belajar di sebuah gereja dekat kost kami (Aku dan Herri pindah kost, tetap sebelahan kamar). Aku belajar setiap minggu sore sebelum ibadah Misa sendirian, Herri tak menemani. Katanya biarkan aku belajar sendiri tanpa tekanan darinya.
--
3 bulan berlalu, aku mendapat kabar bahwa Ibuku masuk rumah sakit karena diabetes dan jantungnya membengkak. Aku panik dan langsung pulang ke kampung halaman. Untungnya aku punya simpanan yang sengaja kusiapkan untuk momen-momen penting seperti ini. Awalnya Ibu menolak kepulanganku, sayang ongkos katanya. Tapi aku tetap pulang diam-diam dan menemaninya selama 2 minggu, sekalian melewatkan tahun baru 2014 ke 2015 fikirku.
Hari ketiga disana, aku sedang tidur-tiduran di ruang tv saat Ibu menghampiriku (mulai sekarang aku sebut Mama aja ya, biar ga nyaru sama Ibunya Herri)
Mama: "Nak..."
Aku: "Iya ma..."
Mama: "Kamu masih ya sama Herri?"
Aku: "Iya ma, kenapa?"
Mama: "Mama kok ngerasa kamu tuh jauh ya sama mama, kayak mama tuh gabisa gapai kamu gitu. Kayak ada yang berubah dari kamu, tapi sifat, sikap sama fisikmu ga berubah"
Aku langsung deg-degan takut mama tahu kalau aku sedang belajar agama Katolik. Aku belum siap bilang karena bagiku kesehatan mama sekarang sedang tidak baik, aku takut beliau kenapa-napa.
Aku: "Eh..eeemmm, nggak kok. Mama banyak fikiran aja. Lha aku disini lho nemenin mama biar cepet sembuh."
Mama: "Hmmm... yaudah"
Mama langsung pergi ke kamar dan seperti sedang berbincang dengan Papa (panggil papa aja ya jangan ayah biar sepasang). Aku cuek dan sibuk dengan tontonanku sore itu.
--
Selepas maghrib, aku berniat pergi ke rumah teman untuk temu kangen. Tapi mama tiba-tiba melarangku bilang kalau kakak dan adik iparku mau main ke rumah. Aku bingung kenapa aku harus nemenin mereka. Tak lama, kakak dan Bima adik iparku tiba di rumah dengan seorang lelaki berperawakan besar, tidak terlalu tinggi, memakai celana cingkrang dan janggut tebal, mukanya bersih dengan kulit coklat kehitaman khas terbakar matahari. Dia memperkenalkan diri padaku dan Mama Papa sebagai Ustadz Jemi. 'Wadaw, dijodohin nih gue!', fikirku dalam hati. Apalagi coba? Dilarang pergi, disuruh ikut ngobrol, disuruh pakai pakaian rapi, didatengin mas-mas sholehah pula.
Mama: "Jadi gimana dik Jemi, bisa bantu Ibu nggak buat Mila?"
Ustadz: "Oh bisa Bu, saya siap membantu Mila"
Kakak dan Bima cuma manggut-manggut setuju, sedangkan Papa sibuk meneliti si Ustadz ini dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku makin panik, tanganku langsung iseng mencomot gorengan yang tersaji lengkap segunung dengan minuman di atas meja ruang tamu.
Ustadz: "Di lantai aja kali ya Bu? Sudah bisa dimulai sekarang kok"
Aku: "Eh, eh. Bentar. Ada apa ini ya? Kok aku? Kok udah dimulai? Apaan ini?"
Ustadz: "Loh, dek Mila belum dikasi tahu toh? Ruqiyah kamu dek."
Aku: "Loh apaan nih? Ruqyah? Emang aku kesurupan setan???"
Mama: "Enggak kesurupan, cuma biar kamu bersih aja dari hal-hal negatif aja. Udah nurut aja, gak diapa-apain ini."
Kami berenam pun pindah dari ruang tamu ke ruang tengah dan aku duduk ditengah dikelilingi keluargaku. Si Ustadz duduk berhadapan denganku. Yang aku bingung, kenapa ruqyah bisa dilakukan dengan sentuhan fisik? Bukan muhrim kan? Sama aja zinah? Tapi ustadz ini dengan santainya megang tanganku dan baca-bacain ayat yang aku gak familiar. Sejurus kemudian menyuruhku meluruskan kedua kakiku, memegang keningku dengan telapak tangannya sambil memintaku memejamkan mata (dihipnotis katanya). Aku kemudian ditidurkan oleh Papa terlentang dengan telapak kakiku menghadap ke si Ustadz tadi.
Ustadz memegang jari manis kaki kananku dan ditekan sedikit dengan telunjuknya, tiba-tiba rasa sakit yang teramat sangat menjalar di seluruh tubuhku. Sekujur kakiku rasanya mau putus dan aku teriak-teriak tak karuan tapi si ustadz tak mempedulikanku.
"Nah, ini nih. Ada orang yang gak suka sama Dek Mila. Dia diguna-guna, makanya cuma ditekan dikit jari manisnya langsung kesakitan."
Sekeluargaku hanya manggut-manggut gak karuan, seolah-olah ngerti. Aku yang sadar dan gak kena pengaruh hipnotisnya langsung bilang "Ya sakit orang ditekan di sarafnya pake kuku!! Udah ih sakit astagaaaaa!!!", teriakku.
Ustadz itu kemudian jawab, "Ini yang ngomong bukan Kamila anak Ibu Bapak. Ini jin yang mendiami tubuhnya Mila. Maklum, makhluk seperti ini penuh tipu muslihat ya."
Sekeluargaku kembali manggut-manggut, aku bengong melihat mereka yang seolah bertemu Tuhan dan nurut-nurut aja padahal anaknya kesakitan.
Si Ustadz melanjutkan kalimatnya lagi, "Oke, ini sebelum saya keluarkan jinnya, saya mau anak ini meluapkan beban batinnya ke Ibu dan Bapak ya. Soalnya dia ini terlalu menutup-nutupi beban hidupnya, dia merasa orangtuanya tidak sayang dia dan terlalu keras padanya. Sebentar lagi pasti dia menangis"
Wadu, aku bingung. Kalau aku gak nangis ntar dikira kerasukan iblis bukan lagi jin. Kalau nangis nanti malah si ustadznya kesenengan berhasil bohongin keluargaku. Aku diam, seisi rumah hening sesaat. Aku paksakan nangis dengan meresapi betapa sakitnya kakiku yang masih ditekannya di bagian urat saraf.
Aku nangis beberapa saat dan si ustadz makin kegirangan dan bilang "Nah kan, Ibu Bapak tolong ya anaknya diperhatikan lagi. Bebannya berat sekali ini". Dia ngomong begitu sambil matanya melirik ke dadaku berkali-kali dengan mata berbinar-binar.
Setelah itu dia kembali memegang keningku dan memintaku buka mata. Si ustadz kemudian banyak berbincang hal-hal omong kosong yang aku lupa tentang apa. Seingatku dia berpesan untuk mencari dan merebus daun pohon gesak (entah benar apa tidak, aku lupa) untukku minum agar tubuhku pulih. Beliau juga bilang akan datang ke rumahku lagi di malam rabu atau malam jumat aku agak lupa untuk memandikanku untuk melindungiku dengan ayat suci. Dia bilang, aku akan dimandikan di tepi sungai tepat jam 12 malam, Ibuku disuruh memandikanku ditemani sang Ustadz. Beliau menyuruh menyiapkan beberapa butir telur ayam kampung dan beberapa hal yang gak masuk akal untuk prosesi mandi itu. Papa dan Mama seolah terhipnotis, mereka berterima kasih pada ustadz atas bantuannya dan menyalaminya dengan amplop yang cukup tebal. Aku? I'm so pissed that night.
--
2 hari sebelum prosesi pemandian itu aku masih terus membujuk mama untuk membatalkan, tapi mama tetap bersikukuh kalau itu untuk kebaikanku dan dia tidak enak karena sudah terlanjur berjanji pada si ustadz. Tak lama setelah berdebat, papa datang sambil bersungut-sungut dan bilang kalau dia habis diomeli tetangga sebelah yang juga dukun sekaligus indigo. Pak dukun bilang dia punya daun pohon itu tapi dia tak mau memberikannya pada papa, dan bahkan malah kesal kenapa menuruti si ustadz karena sebenarnya air rebusan pohon gesak itu bisa mengeringkan rahim terutama wanita yang belum bekeluarga. Pak dukun menceramahi papa untuk tidak menuruti sang ustadz dan jangan ambil resiko karena dia selama ini tidak melihat ada sosok jin yang menempel padaku atau energi negatif yang ada di tubuhku. Dia bilang aku baik-baik saja. Mama bilang yasudah jangan diminum, diam saja jangan bilang-bilang ke ustadz kalau kita tahu efek dari daun itu.
Aku makin merasa aneh, kenapa kalau sudah tahu bahwa air rebusan itu saja bisa bermasalah untukku kenapa masih mau meneruskan prosesi mandi tengah malam sih???
Siangnya, si ustadz tiba-tiba mengirimiku pesan.
Ustadz: "Assalamualaikum Dek, ini Ustadz Jemi"
Aku: "Waalaikumsalam ustadz, ada apa ya?"
Ustadz: "Sebelum proses mandi nanti, ustadz mau tanya sedikit. Kamu pernah keputihan tidak?"
Aku makin aneh, apa hubungannya ruqyah sama keputihan anjir: "Pernah lah tadz, namanya perempuan"
Ustadz: "Oh kalau begitu kita harus ketemu dulu sebelum prosesi ini, ustadz harus periksa kamu dulu"
Aku: "Periksa gimana ya? Saya perawat kok, tahu gimana sembuhin keputihan."
Ustadz: "Nggak, ini karena jin yang lama di tubuhmu. Ustadz harus lihat dulu. Kamu kalau perlu cukur bulu kemaluan dulu ya sebelum kita ketemu. Biar ustadz bisa cek lebih dalam"
Aku yang sudah banyak makan asam garam bacotan pria-pria cabul langsung jawab: "Eh gitu yaaa? Ceknya gimana tadz? Aku takut"
Ustadz: "Kalau bisa gak usah bawa Mama ya, ketemu berdua saja. Ustadz akan lihat kemaluanmu dulu untuk dicek gimana kondisinya, parah atau tidaknya. Maaf sebelumnya, kamu masih perawan atau nggak?"
Aku: "Enggak tadz, udah sering gituan sama beberapa mantanku"
Ustadz: "Astaghfirullahaladzim, ini harus segera diobati sebelum dimandikan. Sore ini bisa ketemu? Nanti ketemu diluar, setelah itu ustadz bawa ke tempat pengobatan"
Aku: "Kapan tadz?"
Ustadz: "Jam 3 ya. Kalau bisa nanti proses mandinya juga biar ustadz saja yang lakukan. Mamamu tunggu di rumah saja. Nanti siapkan kain sarung dan beberapa barang yang ustadz minta tadi. Kamu nanti mandi di sungainya telanjang saja, sama ustadz gak usah takut. Kan untuk pengobatanmu, baru ditutupi sarung setelah mandi jam 12 malam nanti.
Aku: "Oke aku izin mama dulu ya.."
Aku langsung menunjukkan pesan itu ke mama dan suprisingly mama jawab kalau dia gak enak mau batalkan prosesi itu karena ustadz itu teman dekatnya Bima dan Besannya. Nanti mama takut besannya kesel sama mama. Aku makin emosi dan jadilah siang itu aku bertengkar habis-habisan sama mama. Dan akhirnya aku nangis, mamapun ikut nangis. Aku bilang ke mama aku tetap jadi Kamila anaknya, aku akan tetap rajin ibadah dan jangan percaya hal-hal bodoh itu. Akhirnya mama setuju, tapi dengan persyaratan jangan ceritakan isi pesan itu ke papa. Papaku tempramental tinggi, mama takut malah ustadz itu dipukuli dan besannya dimusuhi. Aku setuju dan langsung lapor ke kakak. Kakak lebih pakai logika dan langsung minta Bima batalkan urusan itu dengan ustadz Jemi.
Sehabis maghrib di malam tahun baru, sang ustadz kembali mengirimiku pesan yang intinya adalah:
Assalamualaikum dek, ustadz sudah dengar dari Bima tentang batal itu. Demi Allah ustadz gak pernah ada niat lain selain nyembuhin kamu. Banyak orang yang udah sembuh di tangan ustadz, kalau kamu mau batal silahkan tapi jangan jatuhkan nama baik ustadz begini. Kalau gini caranya ustadz juga gak mau bantu adek. Semoga adek bisa mengerti ya, Assalamualaikum.
Kubalas dengan:
Aku gak ngomong apa-apa ke kakak dan Bima, aku cuma bilang gak jadi mandi dan kirim screenshot pesan dari ustadz. Mereka yang membuat kesimpulannya dari omongan ustadz sendiri. Waalaikumsalam
Malam tahun baruku berlalu dengan berhasil keluar dari jebakan pelecehan seksual berkedok pengobatan.
(Bersambung)
Diubah oleh deadtree 08-11-2019 16:03
lovve dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup