yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 2
Selamat Datang di Thread Gue 



Trit Kedua ini adalah lanjutan dari Trit Pertama gue yang berjudul Muara Sebuah Pencarian [TRUE STORY] - SEASON 1 . Trit ini akan menceritakan lanjutan pengalaman gue mencari muara cinta gue. Setelah lika liku perjalanan mencari cinta gue yang berakhir secara tragis bagi gue pada masa kuliah, kali ini gue mencoba menceritakan perjalanan cinta gue ketika mulai menapaki karir di dunia kerja. Semoga Gansis sekalian bisa terhibur ya


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI GANSIS READER TRIT GUE. SEBUAH KEBAHAGIAAN BUAT GUE JIKA HASIL KARYA GUE MENDAPATKAN APRESIASI YANG LUAR BIASA SEPERTI INI DARI GANSIS SEMUANYA.


AKAN ADA SEDIKIT PERUBAHAN GAYA BAHASA YA GANSIS, DARI YANG AWALNYA MEMAKAI ANE DI TRIT PERTAMA, SEKARANG AKAN MEMAKAI GUE, KARENA KEBETULAN GUE NYAMANNYA BEGITU TERNYATA. MOHON MAAF KALAU ADA YANG KURANG NYAMAN DENGAN BAHASA SEPERTI ITU YA GANSIS


SO DITUNGGU YA UPDATENYA GANSIS, SEMOGA PADA TETAP SUKA YA DI TRIT LANJUTAN INI. TERIMA KASIH BANYAK


Spoiler for INDEX SEASON 2:


Spoiler for Anata:


Spoiler for MULUSTRASI SEASON 2:


Spoiler for Peraturan:


Quote:


Quote:


Quote:

Quote:

Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 03:31
totok.chantenk
al.galauwi
nacity.ts586
nacity.ts586 dan 78 lainnya memberi reputasi
77
284.3K
4.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.1KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#1486
Ada Kejutan
Awal tahun berikutnya, para petinggi kantor dari semua perusahaan Papa dikumpulkan dikantor pusat oleh Om gue. Disana gue pun datang bersama dengan Mas Sigit. Awalnya nggak ada yang ngeh dengan kedatangan gue. Tapi pada akhirnya petinggi-petinggi kantor gue pada kaget kenapa gue ada disini. Feni yang waktu itu juga datang untuk menemani Bos gue juga kaget kenapa gue ada disitu juga.

“Ija, lo ada disini?” kata Feni.

“Iya. Hehehe. Nemenin Mas Sigit gue. lo kan nemenin si Bos noh.” Kata gue.

“Haha sama-sama nemenin ya.”

“Gue sebentar doang paling. Eh Fen katanya lo udah ada panggilan?”

“Iya nih, di perusahaan ekspedisi gitu. Tapi gue bingung Ja.”

“Bingung kenapa?”

“Jauh banget di utara.”

“Yaelah, kan bisa naik KRL Fen.”

“Iya, tapi nanti jadi jauh sama lo Ja.”

“Ya ampun Fen, gue ngapain dipikirin. Karir lo lebih penting kali. Kalo lo kangen gue juga kan tinggal main aja kekostan bisa. Hehehe.”

“Iya sih, tapi kan gue nggak mau jauh-jauh dari lo Ja. hehe.”

“Sama Fen, sebagai sahabat gue juga bakal kehilangan lo kalo lonya jauh-jauh dari gue.”

“Yakin sahabatan doang? Kan kita fwb-an Ja. hehehe.”

“Fwb kalo nggak ngew* emang bisa disebut begitu?hehe.” kata gue berbisik ditelinga Feni.

“Haha. Iya juga sih. Lagian gue udah mau, lonya nolak melulu.” Bisik Feni.

“Yah, mungkin emang kita ditakdirinnya Cuma jadi temen biasa aja Fen.”

“Iya kali ya. ah udah ah, masa ngebahas ginian. Sebentar lagi kayaknya masuk deh ini.”

“Yaudah yuk siap-siap.”

“Siap-siap mau ngapain lo?”

“Ya masuk lah. Kan mau nemenin Mas Sigit gue. hehehe.”

“Hehe iya sih, yaudah gue ke si bos dulu ya.”

Para petinggi kemudian masuk. Beberapa yang udah kenal gue hanya senyum kecil ke gue, dan nggak gue balas apapun. Gue tetap kalem dan tenang, ekspresi datar aja. Gue udah tau para bangs*t ini yang bikin keadaan kantor yang udah dibangun Papa dan Om puluhan tahun harus berakhir berantakan kayak gini. Didalam ternyata udah ada Emir sepupu gue yang mendampingi Om gue. dari jauh dia udah ngode dengan senyumin gue dan gue bales senyum kecil juga ke dia. Gue memilih untuk duduk di kursi yang agak dibelakang. Kemudian Feni bertanya siapa dia.

“Ija, lo kenal siapa dia?” kata Feni berbisik.

“Yang mana?”

“Itu yang disebelah owner.”

“Anaknya kali Fen. Hehehe.”

“Anjir ganteng banget dia Ja. nggak kayak lo. hihi.” Kata Feni berbisik meledek gue.

“Haha percuma ganteng kalo pendek mah. Hehehe.” Kata gue.

“Kok lo tau dia pendek? Kan dia duduk daritadi.”

“Ehhmm…aaaa, iya gue liat dari proporsi badan aja Fen. Nggak panjang kayak gue badannya, jadi kemungkinan dia pendek. Hehehe.”

“Haha, bisa aja lo ngeledek. Tapi beneran deh ganteng itu orang Ja.”

“Ya kenalan aja abis ini. Kapan lagi lo kenal sama anak ownerperusahaan.”

“Haha perusahaan yang kolaps tapi. Hehehe.”

“Iya..hahahaha.” tawa gue sangat hambar.

Setelah semua berkumpul didalam ruangan, Om gue pun mulai berbicara. Pidato yang semi formal ini dilakukan untuk mencairkan suasana biar nggak tegang. Orang kalo salah kan pasti keliatan tegang. Itu yang gue liat dari seluruh petinggi kantor ini yang ada disitu. Kecuali petinggi-petinggi dikantor gue, karena mereka ini relatif masih baru dan kayaknya mulai masuk kantor pasca Papa meninggal, makanya nggak kenal sama gue, pun dengan Mas Sigit yang nggak terlalu kenal juga.

Om gue sedang ditengah pidatonya yang santai dengan pembawaan yang sangat tenang, kemudian dari luar terdengar ketukan pintu. Pas dibuka ternyata ada entah bagian admin atau resepsionis, masuk.

“Maaf Pak, Ibu sudah datang.” Kata mbak-mbak muda itu.

“Oh iya, dipersilakan masuk aja ya.” kata Om gue.

Gue awalnya nggak memperhatikan karena gue sedang melihat HP gue yang gue taruh bawah biar nggak keliatan orang lain, dan gue akhirnya dikagetkan oleh Feni yang menyenggol tangan kiri gue. Feni memilih duduk disebelah gue.

“Ja, itu ada ibu-ibu yang barusan dateng, dia ngedarin pandangan dan senyumin semua orang juga, lo malah main HP aja.”

“Oh, iya iya. Maafin Fen.”

“Maaf ke ibu itu lah.” Bisik Feni sambil nunjuk ke arah Ibu tersebut.

Gue kaget, karena yang barusan datang adalah Mama gue sendiri. Hahaha. Tapi gue belagak tenang aja, biar Feni nggak curiga. Lalu gue dan Feni kembali mendengarkan pidato Om gue. Om gue memperkenalkan Mama sebagai istri dari Co-founder perusahaan ini, dan juga sebagai kakak iparnya yang mana sebagian besar orang-orang yang ada didalam situ udah tau, hanya beberapa aja yang belum tau, termasuk Feni.

“Oh ibu itu iparnya Pak Reza ternyata. Ibu itu berarti istrinya owner yang udah meninggal ya.” Bisik Feni.

Gue Cuma ngangguk aja.

“Tumben diem aja lo, biasanya ada aja celetukan. Hehe.”

“Kan gue lagi dengerin apa kata owner. Kapan lagi ini kumpul diantara para bos dari tiap perusahaan. Hehehe.”

“Iya sih, tapi lo lain aja perasaan daritadi.”

“Perasaan lo aja kali Fen. Hehehe.”

Sekarang giliran Mama gue yang berbicara. intinya Mama mengucapkan banyak terima kasih, entah ikhlas atau nggak, untuk semua yang hadir dan selalu setia sampai akhir. Beliau juga berpesan agar menjaga silaturahmi, karena perusahaan ini dibangun atas azas kekeluargaan, tapi perusahaan ini bukanlah perusahaan keluarga. Jadi nggak selalu harus keturunan langsung yang bisa mengambil alih perusahaan ini.

“Gimana keturunannya mau ngambil alih, wong belum diambil alih udah bubar duluan gara-gara anj*ng-anj*ng yang ada diruangan ini. Bangs*t.” Kata gue menggumam.

“Hah, lo ngomong apa Ja barusan?” kata Feni.

“Ah nggak kok. Salah denger kali lo Fen. Hehehe.” Bisik gue.

Entah gimana gue nggak terlalu memperhatikan awalnya, nama gue tiba-tiba dipanggil dan semua orang menengok kearah gue.

“Firzy. Sini kedepan, nak.” Kata Mama tiba-tiba.

Gue hanya bisa memejamkan mata. Kebongkar semua udah. Walaupun gue nggak pernah bilang dan Feni nggak pernah nanya, tapi gue tetep ngerasa bohong aja sama Feni tentang semuanya yang berhubungan sama kantor ini. Begitu juga para petinggi kantor dimana gue bekerja. Semuanya heran kenapa nama gue dipanggil.

“Perkenalkan untuk yang belum tau, dia adalah Firzy. Anak laki-laki saya yang pertama. Yang seharusnya bisa melanjutkan perusahaan ini kelak, setelah dipegang bapak-bapak sekalian. Tapi sayangnya dia sudah tidak akan bisa lagi mengerjakan apa yang seharusnya dia kerjakan, karena amanah suami saya, untuk melanjutkan ini semua. Warisan ini habis semua, termasuk segala yang kami punya juga habis semua, karena keegoisan personal bapak-bapak sekalian.” Kata Mama dengan suara bergetar.

“Suami saya dan Pak Reza sudah berusaha mati-matian menghidupkan perusahaan ini, dari nol. Bahkan saya dan suami saya sempat berpisah ketika Firzy masih bayi, bahkan sempat memanggil bapaknya dengan sebutan Om saking Papanya mau kesejahteraan keluarga kami terjamin, dan juga kesejahteraan orang-orang yang membantunya membesarkan perusahaan ini. Tapi apa? Semua sudah lenyap tidak bersisa, dan alangkah tidak beruntungnya keluarga saya dan keluarga Pak Reza, harus menanggung semua akibat kekacauan yang anda semua buat. Kini kami harus memulai lagi dari nol, bahkan anak saya yang kedua, hampir saja putus kuliahnya karena ketiadaan biaya lagi. Untung dia mendapatkan beasiswa, sehingga bisa melanjutkan sampai selesai.” Kini Mama sudah meneteskan air mata.

Om gue juga ikut menenangkan. Sementara gue hanya diam mematung dihadapan semua orang dengan wajah entah gimana itu ekspresinya. Gue mau maki-maki semua orang yang ada disini, gue mau keluarin semua kata kasar yang gue tau, gue nggak peduli orang-orang ini dulunya pernah baik sama gue, karena bagi gue mereka ini sekarang nggak ubahnya sebagai pengkhianat.

“Oleh karena sudah tidak dapat tertolong lagi, saya mewakili suami saya dan Pak Reza, memutuskan untuk menutup perusahaan ini sampai ke unit-unit usahanya. Kami memohon maaf karena kami harus merumahkan banyak karyawan yang kami juga tahu memiliki keluarga yang menunggu dirumah. Tapi karena bapak-bapak sekalian yang egoislah mereka semua harus terima akibatnya. Mungkin ini ada salah saya dan Pak Reza juga karena banyak salah ambil keputusan. Sekarang, sudah selesai urusan kami dan kami akan kembali ke masyarakat sebagai warga sipil biasa, sama dengan bapak-bapak dan semua yang pernah bekerja bersama kami. Terima kasih telah mendukung suami saya dan Pak Reza dalam membesarkan perusahaan ini hingga bisa mencapai kejayaannya, melewati rintangan besar seperti krisis 98 dan lainnya. Terima kasih telah mempercayakan kepemimpinan kepada suami saya dan Pak Reza. Terima kasih banyak untuk semuanya.”

Seisi ruangan langsung diliputi rasa haru yang luar biasa. Seperti merasa bersalah. Gue dan Emir hanya bertukar pandang dan diam saja melihat kenyataan ini harus kami hadapi. Gue dan Emir untungnya sudah dididik untuk tidak menjadi orang yang ketergantungan terhadap segala sesuatu yang diberikan atau dihasilkan orang tua, sehingga ketika kehilangan besar ini terjadi pun nggak ada yang perlu disesali, hanya mungkin menyisakan luka batin yang teramat dalam karena pengkhianatan besar yang dilakukan oleh orang-orang yang dulu ditolong Papa dan Om Reza dari nol sampai akhirnya bisa menjadi petinggi-petinggi dikantor ini.

Untuk para bos di perusahaan gue bekerja, mereka menghampiri gue dan masih nggak percaya dengan keadaan ini (gue anak dari owner perusahaan yang mereka jalankan). Tapi mereka kemudian tersadar akan kemampuan yang gue tunjukkan sendiri selama ini, dari mulai lulus pendidikan yang diadakan oleh asosiasi profesi dan menjadi lulusan termuda yang memegang sertifikasi madya, kemudian kinerja yang mereka nilai cukup oke dibandingkan dengan para senior yang lebih dulu bekerja dan lebih pengalaman tentunya.

“Gue nggak pernah nyangka kalau kenyataannya kayak gini Ja.” kata Feni sambil meneteskan air mata.

“Maafin gue ya Fen.” Kata gue, sambil merangkul bahunya.

“Lo bener-bener humble ya Ja. nggak nyangka gue ternyata kayak gini fakta yang sebenernya.”

“Gue nggak suka berada dibawah bayang-bayang orang tua, apa-apa dari orang tua, kapan bisa mandirinya? Nah kalau gue Cuma ngandelin orang tua gue, kalau udah ada keadaan kayak gini, gue nggak akan bisa ngapa-ngapain selain shock dan stres sendiri. Tapi gue biasa aja kan? Karena gue dididik untuk survive disegala keadaan.”

“Iya, gue salut sama lo Ja. dan lo emang ngebuktiin kok kalau emang lo dikantor cukup menonjol dibanding karyawan lainnya, bahkan sama yang senior-senior pun lo bisa bersaing.”

“Makanya, gue mau nunjukin kalau gue tanpa embel-embel “anaknya pak ini, anaknya pak itu” bisa kok berguna buat orang lain. Soalnya rada males juga kalau banyak orang yang nuduh segala pekerjaan atau hasil yang udah gue usahain sendiri malah di klaim, “yah kan dia anak si A, dia kan udah tajir dari sononya, dia kan bla bla bla bla……” t*i banget tau nggak lo Fen kalau digituin. Dan itu udah berulang kali gue diremehin kayak gitu, dan itu sama sekali nggak enak.”

“Iya emang, susahnya pasti kayak gitu Ja. tapi lo tenang aja, dengan kemampuan lo, gue yakin lo survive Ja. walaupun lo harus mulai dengan ikut orang lagi kerjanya, suatu saat gue yakin kok lo pasti bisa ngikutin jejak bokap lo dengan merintis sebuah usaha sendiri, apapun bidang yang lo jalanin nanti. Karena darah pengusaha itu udah ngalir didalam tubuh lo Ja. kemampuan lo memimpin tim aja itu udah ketauan kok kalo lo punya kapabilitas buat itu semua Ja.”

“Makasih ya Fen compliment-nya. Iya gue sih berdoa supaya dimudahkan semuanya. Walaupun abis ini gue mesti freelance-freelance dulu di perusahaan tetangga yang dulu pernah bersaing, nggak apa-apa lagi, toh sekarang modal sertifikasi madya gue udah bisa gue pake. Hehee. Bikin perusahaan itu nggak gampang, apalagi sekarang gue udah nggak punya apa-apa lagi buat modal usahanya. Hahaha.”

“Rejeki udah ada yang ngatur Ja, lo usaha yang bener, pasti nanti nemu jalan kok.”

“Iya, makasih ya Fen.”

"Btw itu sepupu lo ganteng. Mau dong gue dikenalin. hahaha."

"Yuk sini. gue kenalin."

Sesi berikutnya yaitu salam-salaman sekaligus perpisahan. Nanti pun mama dan Om Reza akan berkunjung ke kantor-kantor lainnya untuk berpamitan dan mungkin ada speech kayak gini lagi. Semuanya udah dijadwalin dan pada akhirnya rumah gue kosong buat sementara waktu karena Mama juga akan keluar kota mengunjungi kantor-kantor cabang diluar kota sana. Mama begitu tegar menghadapi semua ini.

Gue aja masih kebawa kesel sampai detik ini, tapi Mama udah melupakan kejadian ini semua. Mama tau persis jungkir balik sampai berdarah-darahnya Papa dulu ngebangun usaha ini, dan selalu support disampingnya. Melihat kenyataan perusahaan ini dihancurleburkan oleh orang-orang yang ditolong dulu itu sangat menyakitkan emang, tapi entah gimana, Mama seperti sudah bisa ikhlas menerima semua ini.

--

Gue memulai hari-hari gue dengan uang seadanya. Belum tau mau ngapain. Hanya mengandalkan sisa tabungan gue yang untungnya masih agak banyak waktu itu. Gue benar-benar jadi freelance yang boleh dibilang ngemis sana sini buat dapat kerjaan. Tapi ada kesenangan juga waktu itu, karena gue mendapati kabar Ara yang akan segera mengerjakan tugas akhirnya. Dia ternyata juga mencari beasiswa. Mungkin mama sempat cerita keadaan keluarga kami ke dia. Soalnya tiba-tiba dia tau, padahal gue juga nggak pernah cerita sama dia.

Sementara Feni udah mulai kerja ditempat barunya. Setelah gagal kemarin di perusahaan ekspedisi, dia melamar disalah satu bank swasta dan keterima. Gue lebih banyak dikostan dan banyak menulis blog. Nggak lupa juga gue membuat CV buat melamar di beberapa tempat. Sudah gue masukin lamaran tapi satu pun belum ada hasil positif. Sementara gue juga menunggu kabar dari Mas Sigit yang sekarang posisinya juga sama dengan gue, jadi Freelance di beberapa tempat.

“Gimana hari ini lancar yank?” kata Dee di telpon.

“Belum ada kabar lagi nih lamaran-lamaran aku. Tapi ini ada proyek lumayan gede. Aku harus berangkat ke Palembang sama Jambi minggu depan, dan mungkin stay disana sampai sekitar 3-4 hari.” Kata gue.

“Wah semangat sayang. Kalau ke Palembang masih banyak saudara aku tuh dari Bapak. Kalau aku bisa ikut sih nanti aku kenalin. Hehehe.”

“Sayangnya kamu nggak bisa ikutan sayang. Hehehe.”

“Iya makanya. Eh iya, proposal aku udah disetujuin. Besok aku mau konsul sama dosbing aku yank. Doain ya. aku jadinya bakalan berangkat
ke Bangka yank buat penelitiannya.”

“Wah bakal jauhan dong kita? Hehehe.”

“Iya, tapi kan nggak lama, Cuma tiga bulanan yank.”

“Tiga bulan cuman? Waduh…itu mah lama yank.”

“Ya mau gimana, kemarin kan ada yang dirombak tu metodenya, dan ada beberapa masukan yang mesti dijalanin yank. Jadinya kurang lebihnya tiga bulan aku bakal menetap disana.”

“Ntar tinggal dirumah warga nggak kayak aku dulu?”

“Rencananya sih gitu yank. Ini kan di desa, kalaupun mau nginep dipenginapan tekor yank aku. Hehe.”

“Hehe. iya makanya. Merakyat aja sekali-kali yank.”

“Iya sayang. Pokoknya nanti selama aku nggak ada, jangan macem-macem kamu. Jangan suka ngomong kasar. Dan aku wanti-wanti sama kamu ya, nggak usah nonton-nonton konser. Nggak ada gunanya juga toh.”

“Lah kok segala nggak boleh nonton konser. Aku kan sekarang nggak ngeband yank. Hiburan aku buat musik ya nonton konser lah.”

“Ya pokoknya aku nggak mau aja. Terus nggak usah tebar jaring ya. aku tau kamu mampu ngebikin cewek suka dalam waktu singkat. Angkatan aku dikelas ada yang suka sama kamu, angkatannya bawah aku juga ada yang suka. Aku udah nitip kawan-kawan aku di GMRD Regency kalau-kalau kamu kekampus buat nyari mangsa adik kelas.”

“Iyaaa. Elaaah. Kamu nih kok jadi gini amat sih yank? Jauh amat mikirnya yank.”

“Ya antisipasi aja.”

“Wanti-wanti yang sama juga berlaku ya yank buat kamu. Bisa nggak ngejalanin apa yang kamu omongin barusan?”

“Bisa dong. Di desa lagian mana ada yang secakep kamu sih? Hahaha.”

“Yee, kita kan nggak tau juga yank. Namanya khilaf mana ada yang sadar. Hahaha.”

“Iya sih. Jangan-jangan aku juga khilaf ya dulu bisa nerima kamu secepet itu.”

“Ya mungkin juga yank. Hahaha.”

Obrolan kami kemudian banyakan wanti-wantinya Dee ke gue. gue sangat nggak nyaman dengan apa yang dibilang Dee ini. Terlalu banyak nuntut, tapi entah kenapa gue ngerasa timbal balik dia nggak sebanding dengan apa yang udah gue korbankan buat dia. Hubungan ini emang bukan perkara untung rugi, tapi ya paling nggak sama-sama enak lah. Jangan berat sebelah. Bikin semuanya bisa kacau nantinya kan.
Gue udah tiba di bandara Soetta setelah mengerjakan pekerjaan yang super melelahkan di Palembang dan Jambi.

Gue menghabiskan empat hari full untuk pekerjaan disana. Gue menginap di mess karyawan. Memang fasilitasnya luar biasa menyenangkan hati dan lengkap. Plus disana banyak hiburan yang bisa gue nikmati dimalam hari. Jadi ya lumayan lah buat ngilangin penat. Selama gue disana gue beberapa kali video call dengan Dee, dan juga dengan Feni. Gue pun video call dengan Ara.

Bis bandara ketika itu udah mulai ada walaupun nggak banyak. Jadinya gue menunggu agak lama waktu itu. Ketika itu udah jam 19.00 dan gue sempatkan menelpon Mama karena gue mau pulang kerumah. Setelahnya gue banyak chattingan dengan Dee dan juga Feni. Nggak kerasa ternyata udah hampir setengah jam dan bis belum juga datang. Begitu bis datang, otomatis di serbu oleh beberapa orang yang udah menunggu juga. Gue pun naik kedalam bis. Ternyata bisnya masih kosong. Jadi gue duduk masih sendiri aja. Gue mengambil buku bacaan yang gue bawa didalam tas. Kemudian gue mulai membaca.

Nggak lama bis pun diumumkan akan segera jalan, dan gue nggak perhatikan sekitar gue sampai gue bisa mencium aroma Bvlgari Amethyste disebelah gue. gue sama sekali nggak nengok karena gue memakai earphone yang cukup kedap sehingga suara dari luar nggak terlalu terdengar dan gue berkonsentrasi membaca buku diiringi alunan musik Jazz instrumental yang menenangkan. Akhirnya orang yang ada disebelah gue nyolek gue. Gue pun sontak nengok dan luar biasa kaget dengan siapa yang ada disebelah gue.

“Hey, Firzy Andreano.”

Gue sempat diam sejenak dan nggak percaya disebelah gue ini siapa.

“Keket?”

fakhrie...
trikarna
sampeuk
sampeuk dan 34 lainnya memberi reputasi
35
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.