TS
chrisbaldam
Gie
Pertama-tama ijinkan nubie sungkeman dulu sama Momod & suhu-suhu sekalian yang karyanya bagus-bagus
Cerita ini sebelumnya udah pernah diposting 5 tahun yang lalu kira-kira dan berhubung banyak yang dirubah, ya ane bikin baru lagi aja. General rules udah ane baca dikit-dikit, terkait BB17 ane serahin ke momod sekalian. Sok atuh kalau mau ditutup, karna batasannya sampai mana ane juga gak ngerti.
Ini merupakan karya pertama dan kemungkinan terakhir, lantaran bagian dari ceritanya ane alamin sendiri. Pastinya dengan nama-nama karakter yang disamarkan.
Langsung aja ya agan-sista, gak nolak kalau dapet cendol ataupun bintang kejora.
Mohon kritik dan saran buat kelanjutan penulisan.
Terkait update, tergantung mood dan respon ya gan, gak menutup kemungkinan mingguan atau bulanan.
Nuhun
Quote:
Prolog
““Mbak, kita stop dulu” kata seorang lelaki yang terbaring di atas tempat tidur
“Kenapa emang ‘a? tanya seorang wanita berparas cantik khas wanita-wanita Bandung dengan muka kecewanya.
“Percuma mbak, aku nggak merasa apa-apa”
“A’a mah aneh”
Antara sindiran atau kritik, aku tidak begitu paham maksudnya. Aku memilih bangun dari tempat tidur dan meninggalkan wanita itu.
“Terus gimana ‘a? aku capek ‘a kalau sampai harus service 2x nantinya”
Tanpa memperhatikan pertanyaannya, aku berlalu ke kamar mandi yang berada di sisi sebelah kanan tempat tidur. Sejenak aku memikirkan segala sesuatu yang telah aku lakukan dalam 20 menit terakhir.
“Menurut mbak, aku aneh?”
“Aneh ‘a. Aku perhatiin juga dari tadi Aa gak fokus ke aku. Keliatan dari matanya ‘a, Aa tuh kayak banyak pikiran. Kalau gini kan jadi aku yang gak enak ‘a, jadi sayang duitnya ‘a kalau gak dinikmatin…malah” jawab Renata yang mengambil shower dan membasuh kulitnya
“Aku gak nuntut macem-macem mbak. Buat apa gak enak? Aku juga nggak serendah yang mbak kira.” balasku menyela
“…… pinjam sabunnya ‘a” pinta Renata yang sudah selesai membasuh kulitnya
Aku melihatnya lagi, tubuh sempurna seperti impianku. Tapi aku berlalu meninggalkannya dan kembali ke tempat tidur.
“Kenapa sih ‘a” tanya Renata yang mengenakan kembali bajunya dan duduk bersamaku di ranjang.
“Masih ada 30 menit kan mbak waktuku? Kita sambil ngobrol ya mbak”
“Sok atuh ‘a, mau ngobrol teh gak usah pakai izin. Menurut aku teh, A’a mending periksa ke dokter”
“Saling jujur ya mbak. Aku sendiri … “ sebelum menjelaskan, aku merebahkan diriku kembali ke tempat tidur setelah selesai mengenakan bajuku. “aku jujur gak ngerasain apa-apa. Bukannya mbak gak menarik buat aku, toh aku yang milih mbak kan? Cuma aku ngerasa aneh mbak kalau baru ketemu, tapi langsung ngelakuin seperti ini.”
“Terus kenapa atuh ‘a nyoba-nyoba kayak gini?” tanya Renata yang ikut merebahkan dirinya di sampingku.
“Namanya juga penasaran. Terus kalau mbak, apa yang mbak rasain tadi?”
“Kalau aku mah ‘a. Kalau aku gak berusaha nikmatin, malah sakit di akunya ‘a~” jawab Renata
* * * *
“Oh iya, aku punya sesuatu buat mbak” kataku mengambil tempat aku menyimpan berkas-berkas.
“A’a dapet darimana fotoku yang ini?” tanya Renata
“Dari IG mbak”
“Berarti A’a mah tau gitu nama asli aku?”
“Menurutmu? Iya mbak Vivi aku tau”
“Boleh liat gambar yang lain ‘a?” tanya Vivi penasaran dengan filekeeper berwana hijau yang ku pegang. “Bagus-bagus ‘a, jago A’a teh”
“Yang jago banyak mbak, aku cuma kebetulan bisa”. Entah kenapa aku paling malas saat disebut hebat atau jago.
“Terus ini siapa aja ‘a yang digambar kok cewek semua?” tanya Vivi yang berpindah-pindah dari gambar satu ke yang lainnya.
“Kebanyakan mantan-mantanku mbak. Kenapa juga aku harus gambar laki-laki, kalau aku sukanya perempuan”
“Hahahahaha. Terus kok aku digambar ‘a?”
“Anggep aja hadiah mbak karna udah jadi pacar aku selama 1 jam” jawabku tersenyum
“Hahahaha, makasih ya ‘a buat gambarnya” kata Vivi yang langsung menyosor pipiku
“Kalau gitu aku pamit ya mbak, sudah lewat 1 jam. Nggak enak sama yang lain kalau akunya kelamaan”
“Iya ‘a hati-hati di jalan”
“Jangan panggil ‘a mbak, aku baru 16 tahun” kataku mengakhiri dan meninggalkan kamar itu dengan raut muka keheranan yang Vivi perlihatkan.
“Kenapa emang ‘a? tanya seorang wanita berparas cantik khas wanita-wanita Bandung dengan muka kecewanya.
“Percuma mbak, aku nggak merasa apa-apa”
“A’a mah aneh”
Antara sindiran atau kritik, aku tidak begitu paham maksudnya. Aku memilih bangun dari tempat tidur dan meninggalkan wanita itu.
“Terus gimana ‘a? aku capek ‘a kalau sampai harus service 2x nantinya”
Tanpa memperhatikan pertanyaannya, aku berlalu ke kamar mandi yang berada di sisi sebelah kanan tempat tidur. Sejenak aku memikirkan segala sesuatu yang telah aku lakukan dalam 20 menit terakhir.
“Menurut mbak, aku aneh?”
“Aneh ‘a. Aku perhatiin juga dari tadi Aa gak fokus ke aku. Keliatan dari matanya ‘a, Aa tuh kayak banyak pikiran. Kalau gini kan jadi aku yang gak enak ‘a, jadi sayang duitnya ‘a kalau gak dinikmatin…malah” jawab Renata yang mengambil shower dan membasuh kulitnya
“Aku gak nuntut macem-macem mbak. Buat apa gak enak? Aku juga nggak serendah yang mbak kira.” balasku menyela
“…… pinjam sabunnya ‘a” pinta Renata yang sudah selesai membasuh kulitnya
Aku melihatnya lagi, tubuh sempurna seperti impianku. Tapi aku berlalu meninggalkannya dan kembali ke tempat tidur.
“Kenapa sih ‘a” tanya Renata yang mengenakan kembali bajunya dan duduk bersamaku di ranjang.
“Masih ada 30 menit kan mbak waktuku? Kita sambil ngobrol ya mbak”
“Sok atuh ‘a, mau ngobrol teh gak usah pakai izin. Menurut aku teh, A’a mending periksa ke dokter”
“Saling jujur ya mbak. Aku sendiri … “ sebelum menjelaskan, aku merebahkan diriku kembali ke tempat tidur setelah selesai mengenakan bajuku. “aku jujur gak ngerasain apa-apa. Bukannya mbak gak menarik buat aku, toh aku yang milih mbak kan? Cuma aku ngerasa aneh mbak kalau baru ketemu, tapi langsung ngelakuin seperti ini.”
“Terus kenapa atuh ‘a nyoba-nyoba kayak gini?” tanya Renata yang ikut merebahkan dirinya di sampingku.
“Namanya juga penasaran. Terus kalau mbak, apa yang mbak rasain tadi?”
“Kalau aku mah ‘a. Kalau aku gak berusaha nikmatin, malah sakit di akunya ‘a~” jawab Renata
* * * *
“Oh iya, aku punya sesuatu buat mbak” kataku mengambil tempat aku menyimpan berkas-berkas.
“A’a dapet darimana fotoku yang ini?” tanya Renata
“Dari IG mbak”
“Berarti A’a mah tau gitu nama asli aku?”
“Menurutmu? Iya mbak Vivi aku tau”
“Boleh liat gambar yang lain ‘a?” tanya Vivi penasaran dengan filekeeper berwana hijau yang ku pegang. “Bagus-bagus ‘a, jago A’a teh”
“Yang jago banyak mbak, aku cuma kebetulan bisa”. Entah kenapa aku paling malas saat disebut hebat atau jago.
“Terus ini siapa aja ‘a yang digambar kok cewek semua?” tanya Vivi yang berpindah-pindah dari gambar satu ke yang lainnya.
“Kebanyakan mantan-mantanku mbak. Kenapa juga aku harus gambar laki-laki, kalau aku sukanya perempuan”
“Hahahahaha. Terus kok aku digambar ‘a?”
“Anggep aja hadiah mbak karna udah jadi pacar aku selama 1 jam” jawabku tersenyum
“Hahahaha, makasih ya ‘a buat gambarnya” kata Vivi yang langsung menyosor pipiku
“Kalau gitu aku pamit ya mbak, sudah lewat 1 jam. Nggak enak sama yang lain kalau akunya kelamaan”
“Iya ‘a hati-hati di jalan”
“Jangan panggil ‘a mbak, aku baru 16 tahun” kataku mengakhiri dan meninggalkan kamar itu dengan raut muka keheranan yang Vivi perlihatkan.
Quote:
INDEX
Bag I - Gie Fajar Putera
Bag II - Winda Wulandari
Bag III-I - Vivi
Bag III-II - Vivi
Pengenalan Tokoh
Bag IV-I - Cover, Judgement, Attitude
Bag IV-II - Cover, Judgement, Attitude
Mulustrasi
Bag V-I - Inquisitorial
Bag V-II - Inquisitorial
Bag V-III - Inquisitorial
Bag V-IV - Inquisitorial
Bag VI-I - Do U?
Bag VI-II - Do U?
Bag VI-III - Do U?
Bag VII-I - A-P-E
Bag VII-II - A-P-E
Bag VII-III - A-P-E
Bag VII-IV - A-P-E
Bag VII-V - A-P-E
Bag VII-VI - A-P-E
Bag VIII-I - I, My, Me, Mine
Bag VIII-II - I, My, Me, Mine
Bag IX-I - POV
Bag IX-II - POV
Bag IX-III - POV
Bag X-I - Loosing
Bag X-II - Loosing
Bag X-III - Loosing
Bag I - Gie Fajar Putera
Bag II - Winda Wulandari
Bag III-I - Vivi
Bag III-II - Vivi
Pengenalan Tokoh
Bag IV-I - Cover, Judgement, Attitude
Bag IV-II - Cover, Judgement, Attitude
Mulustrasi
Bag V-I - Inquisitorial
Bag V-II - Inquisitorial
Bag V-III - Inquisitorial
Bag V-IV - Inquisitorial
Bag VI-I - Do U?
Bag VI-II - Do U?
Bag VI-III - Do U?
Bag VII-I - A-P-E
Bag VII-II - A-P-E
Bag VII-III - A-P-E
Bag VII-IV - A-P-E
Bag VII-V - A-P-E
Bag VII-VI - A-P-E
Bag VIII-I - I, My, Me, Mine
Bag VIII-II - I, My, Me, Mine
Bag IX-I - POV
Bag IX-II - POV
Bag IX-III - POV
Bag X-I - Loosing
Bag X-II - Loosing
Bag X-III - Loosing
Diubah oleh chrisbaldam 05-05-2020 06:36
someshitness dan 10 lainnya memberi reputasi
11
40.5K
Kutip
277
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chrisbaldam
#224
Spoiler for Bag IX-III:
POV
Quote:
“TERSERAH KAMU YA DEK!! MAMA KECEWA SAMA KAMU!!” Suara telepon tertutup malam itu. Winda baru kali ini mendengar ibunya sedemikian emosi, dirinya berinisiatif untuk menambah durasi liburan untuk pergi ke Jogja setelah mengetahui dari Gie kalau jarak ke Jogja hanya butuh waktu selama 2 jam. Winda benar-benar ingin berduaan saja dengan Gie tanpa ada gangguan, meskipun dia juga belum memberitahu Gie mengenai rencananya. Sambil melenguh lemas, Winda merebahkan dirinya di atas tempat tidur.
“Nona, ayo makan” ajak Gie
“Iya mas, nanti aku nyusul kok. Oh iya mas, mama udah ngasih ijin buat extend ke Jogja. Besok kita mau berangkat jam berapa?” dengan sedikit berat hati, perasaan Winda ke Gie mengalahkan aturan main dari ibunya sendiri.
“Rada siang mungkin ya kalau kereta Prameks, aku kurang ngerti sih soalnya beli tiketnya langsung di tempat. Nanti kamu coba tanya aja ke tante”
“Oh yaudah deh kalau gitu” jawab Winda berbohong kepada Gie
“Yaudah apa? Ayok makan sama-sama, jangan sampai ku sepak ya pantatmu”
“Hahahaha, iya mas iya, manut”. Sambil mengekor Gie, akhirnya mereka berdua sudah sampai di meja makan.
“Ee lah dalah, arep dahar kok yo enak dijemput ke kamar”
“Hihihihi, iya nih tan sok-sok perhatian Gie nya” balas Winda
“Masih untung kamu nak. Lah coba jadi tante, wis ditinggal lunga karo om, anak semuanya di Malang, ngerawat si mbok, jadi anak yatim, wis wis~. Pancen mesakke”
“Hahahaha~” kita semua tertawa di situ, tidak terkecuali mbah Uti yang sedang memasak.
“Gie, kamu tau ndak waktu Ellen sama bude bulan kemarin ke sini?”
“Iya, tau kok tan” sambil mereka semua bersantap, Winda tampak mulai memperhatikan tante Gie yang akan bercerita.
“Masa si Ellen ngeliat tuyul Gie”
“Hah, serius tan? Di mana? Di jendela teras?
“Lah piye, nek nang teras yo wong kampung wis maklum. Lah iki, de’e gek adus lho sek awan. Kon ngerti toh jendela ning kamar mandi?”
“Iya tan, yang bisa lihat keluar gitu kan?” Winda tampak membayangkan kembali bentuk jendela yang berada di kamar mandi. Jika dipikir-pikir posisi jendela yang berada di atas kepala membelakangi posisi wc memang dirasa cukup mengerikan kalau di malam hari. Selain kamar mandi yang berbentuk persegi panjang, memang benar adanya kaca yang digunakan pada jendela itu bukan kaca buram yang umum digunakan untuk kamar mandi. Malah Winda bisa melihat langsung daun pisang yang kerap bergoyang ditiup angin. Dan apesnya, posisi ember sebagai bak bisa diibaratkan seperti kiblat yang membuat kita mau tidak mau pas terus-terusan melihat ke arah jendela.
“Tuyul’e gih ngintip dari jendela. Coba kon bayangke nek dadi Ellen, Winda. Untunge ‘ra ono cah lanang. De’e yo langsung keluar kamar mandi, kondisi gak pakai baju atau handuk”
“……”
“Tan, Winda belum mandi sore lho tadi” kata Gie berusaha membatasi cerita tantenya yang membuat Winda mulai enggan untuk mandi.
“Hahahaha, mau mandi bareng tante aja nak? Biar kamunya nggak takut”
“Hahahaha, nggak usah kok tan”
Setelah mereka semua sudah selesai bersantap, Gie langsung membereskan piring-piring yang berserakan dan beranjak keluar rumah menuju wastafel yang letaknya dekat dengan banyak pohon pisang.
“Mas, nanti temenin aku ya”
“Kemana?”
“Ituuu, aku kan mau mandi!!”
“Katanya tadi bera-“ DEG lampu rumah tiba-tiba mati semua. Winda langsung ketakutan, dirinya ingin sekali berteriak tetapi entah mengapa suaranya tertahan. Suasana malam yang benar-benar gelap dan mendengar suara gesekan dedaunan pisang di sekitar mereka berdua membuat Winda untuk menggerakkan tubuhnya membelakangi Gie untuk berlindung. “Biasa kok ini nona, bentar aku ambil korek dulu di dapur”
“Ih,, aku ikuttt”
“Gie!! Listriknya dinyalain ya!! Tv sudah tante matiin!!”. Akhirnya listrik menyala lagi dan Gie melanjutkan aktivitasnya untuk mencuci piring di wastafel. Winda pun berangsur tenang dan melepaskan pegangannya dari Gie. Winda juga berinisiatif untuk mencuci bekas piring yang dimakan agar mendapat nilai plus dari Gie.
“Kamu siap-siap gih buat mandi, aku nanti nunggu di dalem apa luar nih?”
“Yeee, maunya kamu itu mah di dalem. Nanti ya sayang, kalau udah muhrim” balas Winda sambil tersenyum, menepuk dagu Gie dengan jari telunjuknya.
* * * *
“Kamu nggak marah kan?” tanya Gie ketika melihat Winda yang baru saja bangun dengan matanya yang masih sayu, hendak mencuci muka.
“ITU KAN BAJU AKU! Kok kamu nyuci baju aku sih?” mata Winda terbelalak ketika melihat pakaiannya sedang dicuci oleh Gie di depan kamar mandi.
“Biar sekalian nona. Toh baju kamu tinggal satu pasang kan di koper buat kita berangkat ke Jogja nanti”
“Ya tapi kaaannnn~ kita kan bisa beli di toko baju sana. Ah kamu mah bener-bener mas, aku juga pernah kok nyuci baju di rumah, tapi…”
“Tapiii apa hayo?”
“Ya taunya sih aku pakai mesin cuci, hehehehehe. Tapi pakaian dalam aku nggak kamu cuci juga kan?” tanya Winda memastikan, derajat dirinya sebagai wanita yang harusnya bisa mengurus pakaiannya sendiri benar-benar dijatuhkan oleh Gie seketika di pagi itu.
“Aman kok mbak bosss, lagian itu juga bagian privat kamu. Toh aku rada takut sendiri kalau ngurusin pakaian dalem cewek, takut salah gimana-gimana”
“Hahahaha, sebegitunya ya?”
“Ya iya lah, kan wajib hukumnya itu. Biar nggak ada noda membandel. Hahahaha.Yaudah gih cuci muka atau kamu sekalian mandi gimana? Mumpung akunya ada di sini.”
“Iya ya, yaudah deh. Aku mandi dulu ya sayang. Cup”. Karena merasa aman karena tidak ada orang yang melihat, Winda pun mengecup pipi Gie. Gaya berpacaran Gie yang lebih keseharian, membuat Winda makin menyadari perhatian Gie yang begitu adanya, tidak dilebih-lebihkan.
* * * *
Selesainya mereka berdua berbenah sampai jam 1 siang, Winda dan Gie pamit kepada tante dan mbah Uti. Seperti halnya orang tua Jawa, entah itu Gie ataupun Winda, keduanya mendapatkan masing-masing sebuah petuah. Winda senang karena dirinya sudah banyak belajar dari mbah Uti dari segi pembelajaran hidup ataupun resep masakan kesukaan Gie, tidak lupa juga Winda mencium tangan tante gaul nan cantik. Dengan berat hati, Winda melambaikan tangan ketika angkutan yang sudah dipesan oleh tante sudah beranjak meninggalkan rumah di kampung.
“Windaa,,,”
“Eh iya mas, kenapa?”
“Kamu kenapa bohong sama aku? Sama mama juga lagi!”. Dengan nada serius Gie mencecar Winda dengan pertanyaan, Gie memang merasa ada yang janggal selama perjalanan ke stasiun. Selain Winda yang lebih banyak diam, Winda juga sering kelihatan cemas saat melihat layar handphone. Dari situ lah Gie berinisiatif untuk bertanya ke ibu Winda dengan toilet sebagai alasannya untuk menghubungi ibu Winda.
“Aku nggak ngerti cara pikir kamu. Aku juga mau ngabisin waktu berdua sama kamu, tapi nggak seharusnya aku bisa ngalahin tanggungjawab kamu ke mamah…… Aku emang nggak ngerti gimana rasanya punya mamah sama papah. Tapi aku bener-bener nggak suka cara kamu yang kayak gini.”
“…… maaf ya mas” Sambil menghela napas, Gie tidak ingin mempermasalahkannya lebih lanjut.
“Sekarang kita pulang langsung ke Jakarta ya. Tapi ada 2 masalah sekarang, yang pertama masalahnya tiket ke Jakarta tinggal yang eksekutif, kamu tahu sendiri kan harganya selangit. Aku tadi udah izin ke mamah buat nambah satu hari aja, karna mau cari harga tiket yang sesuai. Aku soalnya kurang tau kalau naik bis antar provinsi di sini gimana caranya. Untungnya mamah ngerti posisi aku yang udah ngajak kamu liburan, buat nolak bantuan mamah yang mau bayarin tiket pulang. Masalah yang ke 2 itu, kita udah terlanjur pamit lho sama mbah Uti, masa mau balik lagi. Aku takut malah orang rumah khawatir. Menurut kamu gimana sekarang?”
“Mau sewa hotel aja mas?”
“Yakin kamu?”
“Iya mas, daripada kita nunggu nggak jelas di stasiun kan? Aku masih ada pegangan kok”
“Yaudah, nanti kita patungan aja buat bayar hotelnya. Sekarang aku cari info hotelnya dulu ke tukang becak di sana” kata Gie sambil menunjuk kumpulan becak yang berada di luar stasiun. Setelah mendapat info dari orang sekitar stasiuan, mereka berdua pun berangkat ke hotel menggunakan becak. Selang 10 menit, becak pun berhenti di hotel yang terlihat cukup sederhana. Sambil menaiki tangga di hotel, akhirnya mereka berdua merebahkan diri setelah kecapaian harus mengangkut banyak oleh-oleh yang disiapkan oleh mbah Uti.
“Mas, maaf ya”
“Kamu telpon dulu mamah~”
* * * *
“Nona, ayo makan” ajak Gie
“Iya mas, nanti aku nyusul kok. Oh iya mas, mama udah ngasih ijin buat extend ke Jogja. Besok kita mau berangkat jam berapa?” dengan sedikit berat hati, perasaan Winda ke Gie mengalahkan aturan main dari ibunya sendiri.
“Rada siang mungkin ya kalau kereta Prameks, aku kurang ngerti sih soalnya beli tiketnya langsung di tempat. Nanti kamu coba tanya aja ke tante”
“Oh yaudah deh kalau gitu” jawab Winda berbohong kepada Gie
“Yaudah apa? Ayok makan sama-sama, jangan sampai ku sepak ya pantatmu”
“Hahahaha, iya mas iya, manut”. Sambil mengekor Gie, akhirnya mereka berdua sudah sampai di meja makan.
“Ee lah dalah, arep dahar kok yo enak dijemput ke kamar”
“Hihihihi, iya nih tan sok-sok perhatian Gie nya” balas Winda
“Masih untung kamu nak. Lah coba jadi tante, wis ditinggal lunga karo om, anak semuanya di Malang, ngerawat si mbok, jadi anak yatim, wis wis~. Pancen mesakke”
“Hahahaha~” kita semua tertawa di situ, tidak terkecuali mbah Uti yang sedang memasak.
“Gie, kamu tau ndak waktu Ellen sama bude bulan kemarin ke sini?”
“Iya, tau kok tan” sambil mereka semua bersantap, Winda tampak mulai memperhatikan tante Gie yang akan bercerita.
“Masa si Ellen ngeliat tuyul Gie”
“Hah, serius tan? Di mana? Di jendela teras?
“Lah piye, nek nang teras yo wong kampung wis maklum. Lah iki, de’e gek adus lho sek awan. Kon ngerti toh jendela ning kamar mandi?”
“Iya tan, yang bisa lihat keluar gitu kan?” Winda tampak membayangkan kembali bentuk jendela yang berada di kamar mandi. Jika dipikir-pikir posisi jendela yang berada di atas kepala membelakangi posisi wc memang dirasa cukup mengerikan kalau di malam hari. Selain kamar mandi yang berbentuk persegi panjang, memang benar adanya kaca yang digunakan pada jendela itu bukan kaca buram yang umum digunakan untuk kamar mandi. Malah Winda bisa melihat langsung daun pisang yang kerap bergoyang ditiup angin. Dan apesnya, posisi ember sebagai bak bisa diibaratkan seperti kiblat yang membuat kita mau tidak mau pas terus-terusan melihat ke arah jendela.
“Tuyul’e gih ngintip dari jendela. Coba kon bayangke nek dadi Ellen, Winda. Untunge ‘ra ono cah lanang. De’e yo langsung keluar kamar mandi, kondisi gak pakai baju atau handuk”
“……”
“Tan, Winda belum mandi sore lho tadi” kata Gie berusaha membatasi cerita tantenya yang membuat Winda mulai enggan untuk mandi.
“Hahahaha, mau mandi bareng tante aja nak? Biar kamunya nggak takut”
“Hahahaha, nggak usah kok tan”
Setelah mereka semua sudah selesai bersantap, Gie langsung membereskan piring-piring yang berserakan dan beranjak keluar rumah menuju wastafel yang letaknya dekat dengan banyak pohon pisang.
“Mas, nanti temenin aku ya”
“Kemana?”
“Ituuu, aku kan mau mandi!!”
“Katanya tadi bera-“ DEG lampu rumah tiba-tiba mati semua. Winda langsung ketakutan, dirinya ingin sekali berteriak tetapi entah mengapa suaranya tertahan. Suasana malam yang benar-benar gelap dan mendengar suara gesekan dedaunan pisang di sekitar mereka berdua membuat Winda untuk menggerakkan tubuhnya membelakangi Gie untuk berlindung. “Biasa kok ini nona, bentar aku ambil korek dulu di dapur”
“Ih,, aku ikuttt”
“Gie!! Listriknya dinyalain ya!! Tv sudah tante matiin!!”. Akhirnya listrik menyala lagi dan Gie melanjutkan aktivitasnya untuk mencuci piring di wastafel. Winda pun berangsur tenang dan melepaskan pegangannya dari Gie. Winda juga berinisiatif untuk mencuci bekas piring yang dimakan agar mendapat nilai plus dari Gie.
“Kamu siap-siap gih buat mandi, aku nanti nunggu di dalem apa luar nih?”
“Yeee, maunya kamu itu mah di dalem. Nanti ya sayang, kalau udah muhrim” balas Winda sambil tersenyum, menepuk dagu Gie dengan jari telunjuknya.
* * * *
“Kamu nggak marah kan?” tanya Gie ketika melihat Winda yang baru saja bangun dengan matanya yang masih sayu, hendak mencuci muka.
“ITU KAN BAJU AKU! Kok kamu nyuci baju aku sih?” mata Winda terbelalak ketika melihat pakaiannya sedang dicuci oleh Gie di depan kamar mandi.
“Biar sekalian nona. Toh baju kamu tinggal satu pasang kan di koper buat kita berangkat ke Jogja nanti”
“Ya tapi kaaannnn~ kita kan bisa beli di toko baju sana. Ah kamu mah bener-bener mas, aku juga pernah kok nyuci baju di rumah, tapi…”
“Tapiii apa hayo?”
“Ya taunya sih aku pakai mesin cuci, hehehehehe. Tapi pakaian dalam aku nggak kamu cuci juga kan?” tanya Winda memastikan, derajat dirinya sebagai wanita yang harusnya bisa mengurus pakaiannya sendiri benar-benar dijatuhkan oleh Gie seketika di pagi itu.
“Aman kok mbak bosss, lagian itu juga bagian privat kamu. Toh aku rada takut sendiri kalau ngurusin pakaian dalem cewek, takut salah gimana-gimana”
“Hahahaha, sebegitunya ya?”
“Ya iya lah, kan wajib hukumnya itu. Biar nggak ada noda membandel. Hahahaha.Yaudah gih cuci muka atau kamu sekalian mandi gimana? Mumpung akunya ada di sini.”
“Iya ya, yaudah deh. Aku mandi dulu ya sayang. Cup”. Karena merasa aman karena tidak ada orang yang melihat, Winda pun mengecup pipi Gie. Gaya berpacaran Gie yang lebih keseharian, membuat Winda makin menyadari perhatian Gie yang begitu adanya, tidak dilebih-lebihkan.
* * * *
Selesainya mereka berdua berbenah sampai jam 1 siang, Winda dan Gie pamit kepada tante dan mbah Uti. Seperti halnya orang tua Jawa, entah itu Gie ataupun Winda, keduanya mendapatkan masing-masing sebuah petuah. Winda senang karena dirinya sudah banyak belajar dari mbah Uti dari segi pembelajaran hidup ataupun resep masakan kesukaan Gie, tidak lupa juga Winda mencium tangan tante gaul nan cantik. Dengan berat hati, Winda melambaikan tangan ketika angkutan yang sudah dipesan oleh tante sudah beranjak meninggalkan rumah di kampung.
“Windaa,,,”
“Eh iya mas, kenapa?”
“Kamu kenapa bohong sama aku? Sama mama juga lagi!”. Dengan nada serius Gie mencecar Winda dengan pertanyaan, Gie memang merasa ada yang janggal selama perjalanan ke stasiun. Selain Winda yang lebih banyak diam, Winda juga sering kelihatan cemas saat melihat layar handphone. Dari situ lah Gie berinisiatif untuk bertanya ke ibu Winda dengan toilet sebagai alasannya untuk menghubungi ibu Winda.
“Aku nggak ngerti cara pikir kamu. Aku juga mau ngabisin waktu berdua sama kamu, tapi nggak seharusnya aku bisa ngalahin tanggungjawab kamu ke mamah…… Aku emang nggak ngerti gimana rasanya punya mamah sama papah. Tapi aku bener-bener nggak suka cara kamu yang kayak gini.”
“…… maaf ya mas” Sambil menghela napas, Gie tidak ingin mempermasalahkannya lebih lanjut.
“Sekarang kita pulang langsung ke Jakarta ya. Tapi ada 2 masalah sekarang, yang pertama masalahnya tiket ke Jakarta tinggal yang eksekutif, kamu tahu sendiri kan harganya selangit. Aku tadi udah izin ke mamah buat nambah satu hari aja, karna mau cari harga tiket yang sesuai. Aku soalnya kurang tau kalau naik bis antar provinsi di sini gimana caranya. Untungnya mamah ngerti posisi aku yang udah ngajak kamu liburan, buat nolak bantuan mamah yang mau bayarin tiket pulang. Masalah yang ke 2 itu, kita udah terlanjur pamit lho sama mbah Uti, masa mau balik lagi. Aku takut malah orang rumah khawatir. Menurut kamu gimana sekarang?”
“Mau sewa hotel aja mas?”
“Yakin kamu?”
“Iya mas, daripada kita nunggu nggak jelas di stasiun kan? Aku masih ada pegangan kok”
“Yaudah, nanti kita patungan aja buat bayar hotelnya. Sekarang aku cari info hotelnya dulu ke tukang becak di sana” kata Gie sambil menunjuk kumpulan becak yang berada di luar stasiun. Setelah mendapat info dari orang sekitar stasiuan, mereka berdua pun berangkat ke hotel menggunakan becak. Selang 10 menit, becak pun berhenti di hotel yang terlihat cukup sederhana. Sambil menaiki tangga di hotel, akhirnya mereka berdua merebahkan diri setelah kecapaian harus mengangkut banyak oleh-oleh yang disiapkan oleh mbah Uti.
“Mas, maaf ya”
“Kamu telpon dulu mamah~”
* * * *
tet762 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas