She finds it hard to trust someone,
She's heard the words cause they've all been sung.
She's the girl in the corner,
She's the girl nobody loved.
But I can't, I can't, can't stop thinking about you everyday,
And you can't, you can't,
you can't listen to what people say.
They don't know you baby,
Don't know that you're amazing,
But I'm here to stay.
When you lose your way and the fight is gone,
Your heart starts to break
And you need someone around now.
Just close your eyes while I put my arms above you,
And make you unbreakable.
She stands in the rain, just to hide it all.
If you ever turn around,
I won't let you fall down now.
I swear I'll find your smile,
And put my arms above you,
And make you unbreakable.
I'll make you unbreakable.
Cause she's the girl that I never had,
She's the heart that I wanted bad.
The song I heard on the radio
That made me stop and think of her.
And I can't, I can't, I can't concentrate anymore.
And I need, I need,
Need to show her what her heart is for,
It's been mistreated badly,
Now her world has started falling apart,
Falling apart.
When you lose your way and the fight is gone,
Your heart starts to break
And you need someone around now.
Just close your eyes while I put my arms above you,
And make you unbreakable.
She stands in the rain, just to hide it all.
If you ever turn around,
I won't let you fall down now.
I swear I'll find your smile,
And put my arms above you,
And make you unbreakable.
You need to know that somebody's there all the time,
I'd wait in line, and I hope it yours.
I can't walk away 'til your heart knows,
That it's beautiful.
Oh, I hope it knows, It's beautiful.
When you lose your way and the fight is gone,
Your heart starts to break
And you need someone around now.
Just close your eyes while I put my arms above you
And make you unbreakable.
She stands in the rain, just to hide it all.
If you ever turn around,
I won't let you fall down now.
I swear I'll find your smile,
And put my arms above you,
And make you unbreakable.
Cause I love, I love, I love, I love you darling.
Yes I love, I love, I love, I love you darling.
And I'll put my arms around you,
And make you unbreakable.
Gua memandang cukup lama sosok wanita yang sedang berdiri dihadapan gua. Entah beberapa tahun tak bertemu, namun sosok Fani sepertinya tak berubah. Ia masih mungil (tentu saja), mata bulatnya masih menghiasai wajahnya dengan rambut panjang sebahu dan poni lurus yang sedikit menutupi dahi-nya. Hidungnya yang mungil terasa serasi dengan bibir tipisnya yang menarik. Ia merupakan senior gua di kampus dulu, dari sisi usia, ia setahun lebih tua dari gua, namun karena sosoknya yang mungil, banyak orang yang mengira sebaliknya.
“Lo ngapain disini?” gua bertanya kepadanya seraya berdiri dan menjulurkan tangan.
“Gua baru kelar interview.. Nah, lo sendiri ngapain disini” Fani bicara, sambil menyambar jabat tangan gua.
Gua masih nggak percaya bisa kembali bertemu dengan Fani, disini, saat seperti ini. Tubuh mungilnya, terbalut padanan kemeja cream bergaris dengan rock span dengan warna biru tua. Sebuah tas kecil tergantung di bahu-nya.
“Woi… Bengong aja..” Fani membuyarkan lamunan gua akan dirinya.
“Eh.. kenapa.. kenapa?” Gua balik bertanya
“Lo ngapain disini..?” Fani mengulang pertanyaan pertamanya.
“Ooh, gua kan kerja disini…” Gua menjawab
“Dimana?” Fani kembali mengajukan pertanyaan, yang lalu gua jawab dengan menunjuk salah satu gedung menjulang disudut langit, nggak begitu jauh dari tempat kami berdiri sekarang.
“Tadi gua juga abis interview disana, di xxxxxxxx” Ujar Fani
“Ooh.. trus gimana? diterima?”
“Belum tau, baru di interview sekali…”
Sementara itu, Ilham menarik-narik ujung celana jeans gua. Saat gua berbalik kearahnya, Ilham dan Daus memandang tanpa berkedip ke arah Fani dari tempatnya duduk saat ini. Bang Boi masih sibuk memandangi layar ponselnya, melakukan approval desain sambil menghisap dalam-dalam rokoknya. Seakan tak peduli dengan hadirnya Fani.
“Eh, Fan.. kenalin nih temen kerja gua.. Ini Daus, yang Ini Ilham, yang ini Bos gua; Bang Boi..” Gua lalu memperkenalkan Fani kepada mereka bertiga.
Fani lalu mengulurkan tangan sembari menyebutkan namanya; “Fani…” yang lalu disambut (ganas) oleh Daus dan Ilham. Sementara Bang Boi terlihat biasa saja, ia hanya menoleh sebentar, tersenyum ke arah Fani, sambil memperkenalkan dirinya “Halo… Rendra..” kemudian kembali tenggelam dalam layar ponselnya.
Samar terdengar suara Adzan saling bersahutan dari area perkampungan disekitar gedung. Bang Boi bangkit berdiri disusul Ilham dan Daus. Ya sudah jadi kebiasaan kami, saat tengah ‘kongkow’ sore, suara Adzan Maghrib akan jadi pertanda bahwa tongkrongan usai, kita akan rame-rame ke Mushola yang berada di basement, ya namanya juga tongkrongan syariah. Buat yang mau lanjut nongkrong bisa diteruskan diatas (dikantor), buat yang mau pulang, tinggal meluncur ke parkiran yang berada disebelah Mushola.
“Gua duluan ya bang..” Daus berkata ke gua sambil berlalu bersama Ilham dan Bang Boi yang keduanya melambaikan tangan tanda pamit.
Tersisa gua dan Fani berdua, berdiri, dalam diam, saling memandang ke arah berbeda.
“Lo nunggu dijemput?” Gua bertanya ke Fani, memecah keheningan, sekalian ngecek apakah dia ada yang jemput.
“Iya nih..” Ia menjawab singkat.
Wah, udah punya pacar, gua berujar dalam hati. Atau jangan-jangan, Fani udah punya suami. Tapi, entah kenapa gua sepertinya nggak punya nyali untuk menanyakan hal tersebut kepadanya.
“Lo balik kemana Fan?”
“Kerumah…” iya menjawab singkat sambil tersenyum.
“Iyalah, kalo ke dufan namanya piknik, bukan pulang..”
Nggak lama berselang, sebuah sepeda motor berhenti tepat dihadapan kami berdua, seorang laki-laki dengan helm tertutup membuka kacanya dan memandang kearah Fani.
“Eh, rif.. gua duluan ya, bokap gua udah jemput…”
“Oh oke..” Entah kenapa, gua merasakan sensai kelegaan yang luar biasa begitu mendengar Fani dijemput oleh ayahnya barusan.
“Fan, fan..” Gua memanggil namanya begitu ia baru mulai melangkah. Ia menoleh ke arah gua, sambil mengernyitkan dahinya, seakan bertanya : ‘ada apa?’
“Minta nomer lo dong..” sambil menyodorkan ponsel gua kearahnya, ia menyambutnya kemudian mengetikkan sesuatu disana, kemudian segera mengembalikan ponsel ke gua dan bergegas duduk di boncengan ayahnya.
Setengah berlari gua bergegas menyusul Bang Boi, Ilham dan Daus ke Mushola.
---
“Tadi siapa rip?” Bang Boi membuka obrolan begitu kami masuk kedalam lift selepas solat magrib.
“Teman kuliah bang…” Gua menjawab singkat.
“Cakep juga…” Ilham angkat bicara, sementara Daus kembali tenggelam ke layar ponselnya, bermain mobile game seperti biasa.
“Udah komplit itu jawaban doa-doa lu..” Bang Boi kembali bicara, menegaskan ucapan dia sebelumnya mengenai hubungan gua dengan Marcella, restu orang tua, kantor yang bakalan pindah dan pertemuan gua dengan Fani barusan.
“Tapi, lu sama Fani ‘sekantor’ kan?” Ilham bertanya. ‘Sekantor’ merupakan istilah yang biasa ia gunakan untuk mengganti kata ‘seagama’, agar lebih nyaman didengan orang lain.
“Iya.., ‘sekantor’..” Gua menjawab.
“Manteb udah itu bang, gas terus..” Daus nyeletuk, sementara matanya tak berpaling dari layar ponsel.
“Iya udah sikaat..” Kali ini Bang Boi yang menambahkan.
“Yeee.. kan gua belom tau, udah punya pacar belom tuh anak, atau jangan-jangan udah punya suami…” Gua bicara, memberikan gambara betapa sedikitnya informasi yang gua miliki tentang Fani.
“Ya, telpon lah ntar malem..” Ilham memberi usul.
Mendengar ucapannya barusan, gua lalu mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan mulai mencari nama Fani dari contact book.
‘Ini nomor gua. Arif’ gua mengetik pesan singkat dan mengirimnya ke nomor Fani.
---
Jam menunjukan pukul 9 malam, saat dengung pendingin ruangan hilang dari pendengaran. Satu persatu karyawan pamit sambil menggendong tas, menelusuri lorong kearah mesin absen di ujung sana. Didalam ruangan tersisa gua dan Bang Boi, sementara dari ruang studio terdengar riuh rendah suara Ilham, Daus dan beberapa anak lain tengah asyik bermain game.
“Nggak balik lu?” Bang Boi bertanya ke gua, sambil memasukkan laptopnya kedalam tas.
“Bentar lagi bang…” Gua menjawab, nggak berpaling dari layar laptop gua yang menampilkan tutorial editing video.
“Gua duluan ya..” Bang Boi pamit lalu bergegas meninggalkan ruangan.
Beberapa saat berselang, gua mematikan laptop dan bergegas untuk pulang. Menit berikutnya gua sudah berada di koridor lift yang saat ini gelap, karena beberapa lampu utama koridor sudah mati berbarengan dengan penyejuk ruangan yang sepertinya dipasang dengan sistem pengatur waktu.
‘Ting’ Lampu indikator diatas salah satu pintu lift berkedip. Gua menggeser tubuh gua tepat di hadapan pintu lift tersebut, bergegas untuk segera masuk begitu pintu terbuka.
Sinar dari dalam lift berpendar terang mengisi kegelapan di koridor tempat gua berdiri, lampu penerangan dari dalam lift memantul melalui dinding lift yang seperti cermin, membuat koridor tempat gua berdiri saat ini terang seketika. Dari dalam lift berdiri sosok yang familiar, sosok yang selama ini gua kenal; Marcella.
Begitu melihat gua dihadapannya, dengan cepat tangannya menekan tombol disisi-nya. Dengan cepat pintu lift menutup, gua lalu bergegas menekan tombol bertanda panah kebawah yang berada disisi pintu lift. Namun, gua terlambat. Pintu lift terlanjur tertutup. Gua, mencoba menekan tombol yang sama berkali-kali, berharap hal ini mampu membuat pintu lift tadi kembali terbuka, namun yang gua lakukan sia-sia, dan gua tau itu.
‘Ting’ Lampu indikator diatas pintu lift diseberang gua terbuka. Gua lalu berlari masuk kedalamnya dan buru-buru menekan tombol GF ‘Ground Floor’ disisi pintu.
Gua langsung berlari begitu pintu lift terbuka, mirip seperti banteng yang baru keluar dari kandang di ajang rodeo. Samar terlihat, Marcella tengah berjalan cepat kearah pintu utama.
Menit berikutnya gua berhasil menyusulnya dan berhenti tepat dihadapannya. Gua menunduk, mirip seperti posisi ruku’ dalam solat. Nafas gua masih tersengal-sengal akibat mengejarnya.
Marcella hanya memandang gua sebentar kemudian berjalan pelan melewati gua. Aroma parfumnya tercium, membuat gua tercekat, aroma yang amat gua kenali, yang selama ini menemani.
“Please, jangan gini cell…” Gua angkat bicara, sambil menoleh kearahnya yang sekarang berada dibelakang gua.
Marcella lalu menhentikan langkahnya. Gua kembali menghampiri dirinya. “Please..” gua bicara lirih di dekatnya.
“Gue nggak bisa lagi rif… hubungan kita emang udah nggak bisa dipaksain lagi…”
“Kasih gua kesempatan sekaliii lagi…” Gua memohon kepadanya, untuk berusaha meyakinkan keluarga gua.
Marcella menggelengkan kepalanya; “Gua nggak tau apa gua masih bisa tahan, nunggu hanya untuk tau kalo jawabannya adalah ‘nggak’...”
Gua terdiam. Marcella lalu meneruskan langkahnya, terlihat sesekali ia menyeka air mata yang menetes di pipinya.
“Tapi, lo jangan pergi dan tau-tau ilang gitu aja dong Cell.. ini kayak nggak adil buat gua” Gua bicara sambil mencoba menyamakan langkahnya.
Ia lalu berhenti.
“Trus, menurut lo, ini adil buat gue? perlakuan bokap lo adil ke gue? bahkan hidup aja terlihat nggak adil buat gue..”
“Tapi kan kita bisa ngobrol baik-baik..”
“Lho, selama ini emang kita ngobrol kurang baik gimana lagi?” Selepas bicara, Marcella kembali berjalan meninggalkan gua.
Sementara gua hanya bisa terdiam, kehilangan kata-kata. Gua memandang kearah Marcella yang berajalan menjauh, pandangan gua perlahan mulai samar. Butiran air mata memenuhi pelipis. Gua lalu kembali berlari mengejarnya.
Saat mulai mendekat, ia menghentikan langkahnya. “Please rif… jangan abisin waktu lo buat sesuatu yang nggak mungkin lo ubah…” Ia bicara pelan.
Gua meraih lengan dan memutar tubuhnya kearah gua. Saat ini, wajah kami saling berhadapan, dekat, sangat dekat, hingga gua mampu mendengar nafasnya yang memburu. Matanya yang sipit, terlihat indah walau penuh air mata. Gua lalu mencium bibirnya.
Ciuman pertama dan terakhir untuknya.
Trouble is a Friend- Lenka
Trouble will find you no mater where you go, oh oh
No Matter if you're fast no matter if you're slow, oh oh
The eye of the storm and the cry in the morn, oh oh
Your fine for a while but then start to loose control
He's there in the dark
He's there in my heart
He waits in the winds
He's gotta play a part
Trouble is a friend
Yeah trouble is a friend of mine. oh oh
Trouble is a friend but trouble is a foe, oh oh
And no matter what I feed him he always seems to grow, oh oh
He sees what I see and he knows what I know, oh oh
So don't forget as you ease on down the road
So don't be alarmed if he takes you by the arm
I won't let him win, but I'm a sucker for his charm
Trouble is a friend
Yeah trouble is a friend of mine, oh oh
Oh how I hate the way he makes me feel
And how I try to make him leave, I try
Oh Oh I try.
Quote:
Kalian juga bisa membaca tulisan gua yang lain disini