- Beranda
- Stories from the Heart
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)
...
TS
ayahnyabinbun
SURYA Dikala SENJA (Horor, Komedi)

Assalamualaikum semua.
Ini hanya goresan tinta imajinasi seorang lelaki tua yang telat menemukan hasratnya dalam hal menulis.
No Junk.
No Spam.
Pokoknya ikuti Rules dari Kaskus ya.
Cerita ini murni Fiksi, jadi kalau ada kesamaan nama tokoh dan tempat mohon di maklumi.
Terakhir.
Selamat menikmati bacaan ringan ini.
Spoiler for Prolog:
-Jakarta-
UGD RS di jakarta.
"Bagaimana istri saya sus!? " tanya seorang pria kepada suster yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Maaf pak masih kritis saya tidak bisa memberitahu lebih rinci kondisi istri bapak, itu wewenang dokter," jawab suster cepat kemudian dia berlalu meninggalkan lelaki itu.
Lelaki itu pun bersandar di tembok rumah sakit, raut mukanya terlihat lemas dan pucat kedua tangannya gemetar tatkala menutup wajahnya.
"Maafkan aku Naura, hiks, maafkan aku, " gumam lelaki itu sambil terisak menangis tersedu-sedu.
Seberkas cahaya membentuk sosok manusia berjongkok di depan lelaki itu, "jangan menangis sayang, ini memang sudah waktuku, jaga anak kita ya, dia ganteng seperti kamu, cup. " seru sesosok cahaya tersebut sambil mencium kening sang lelaki, dan cahaya itu pun berlalu bersama sesosok laki-laki berjubah putih yang menemaninya.
Lelaki itu mengangguk lesu sambil tersenyum tipis, melihat ruh istrinya menghilang menuju ufuk matahari dikala senja.
"Krieeek" suara pintu UGD terbuka, keluar seorang dokter dan beberapa suster menggendong seorang bayi.
"Pak Bagas, bayi bapak kami bersihkan dulu di ruang bayi ya pak, dokter ingin bicara dengan bapak," jawab suster dengan lemah lembut ke lelaki itu.
Lelaki itu pun berdiri, berjalan pelan menuju dokter yang menundukkan kepala di depan lelaki itu, gurat penyesalan terlihat dari wajah sang dokter.
"Sudah tidak apa-apa dok, saya sudah tahu, sehebat apapun anda tidak bisa melawan takdir, " jawab lelaki itu sambil menepuk pundak sang dokter.
"Ba-bagaimana bapak bisa tahu!? " jawab dokter dengan rona kebingungan.
Lelaki itu kemudian berlalu menuju ruangan bayi, langkah demi langkah terasa berat, tangisan tak terbendung dari kedua matanya, lelaki itu memukul-mukul dadanya agar menyisakan kelegaan saat ia bernafas.
"OOOEeeeK...OOOEEEEK...OOOEEEK," seketika tangis bayi memecah kesunyian lorong rumah sakit, lelaki itu mempercepat langkah demi langkahnya, terlihat seorang bayi sedang di gendong suster, menangis dengan kencangnya.
"Silakan pak di gendong anaknya, sudah saya bersihkan dedek bayinya," jawab suster ke lelaki itu.
Sang lelaki menerima si bayi dari tangan suster, menggendong dengan penuh kehati-hatian, sang bayi yang tadi menangis kencang seketika terdiam di pelukan lembut sang ayah.
"Mau di beri nama siapa pak bayinya?" tanya suster.
"Surya, Surya dikala senja. " jawab bapak Bagas lirih.
Spoiler for Chapter 1 : sang Surya:
Jakarta, 2018.
"TENG!! TENG!! TENG!!" bunyi bel terdengar hingga ujung jalan setapak depan sebuah sekolah, segerombolan anak tunggang langgang berlarian menuju gerbang sekolah tersebut.
Pak Kusni penjaga sekolah, merangkap satpam, merangkap manusia terlihat mendorong gerbang dengan kepayahan, faktor usia seperti menggerogoti tenaganya yang dulu seperti kuda jantan, nafasnya terdengar mengebu-gebu seperti pemain film erotis tahun 80an, padahal gerbang sekolahnya hanya ada satu, bayangkan bila sekolah ini memiliki 7 gerbang layaknya pintu neraka, mungkin senin beliau sudah di kebumikan.
Dari ufuk timur terdengar suara dengan lantang.
"HEI KUSNI!!! HENTIKAN!!! GUA MASIH MAU SEKOLAH KUSNI!!!"
Remaja itu berlari bersama gerombolan murid yang telat bagai babi hutan.
Pak Kusni yang sedang mendorong gerbang terdiam sesaat, lalu melihat asal suara tersebut, matanya melotot melihat remaja tersebut berlari seperti maling BH yang dikejar warga, dengan sisa tenaga tuanya di dorong gerbang itu dengan tergesa-gesa,
"bocah sialan itu tak boleh masuk..! TIDAK BOLEH MASUK..! YOU SHALL NOT PASS..!" gumam lelaki tua itu sambil mengutip kata-kata Gandalf Lord Of The Ring.
"SIALAN KAU KUSNI! GUA TIDAK AKAN KALAH DENGAN TUA BANGKA MACAM KAU KUSNI!!" teriak lagi remaja itu dengan lantang, langkah kakinya semakin kencang ia sampai lupa resleting celananya masih menganga memberikan sensasi cooling breeze di sekujur pangkal pahanya.
Mendengar itu Kusni geram, ia semakin menggebu-gebu mendorong gerbang, akan tetapi, "KREEK!!" suara tulang bergeser bersua, teriakan tertahan mengema di kalbu Kusni.
"AAARRRGGHH!! AMPUN GUSTI!! PINGGANGKU!!" sakit encok strata tiga Kusni kambuh, tubuh kusni tertahan gerbang, tanpa adanya gerbang mungkin tubuh Kusni akan tersungkur ke tanah, ada hubungan simbiosis mutualisme yang ironis antara Kusni dan gerbang.
"Pagi beh, kambuh?! AHAAY!" ejek remaja itu ke pak Kusni sambil berlenggang menuju kelas.
Sakit, malu, vertigo menjadi satu, itulah yang di rasakan Kusni sekarang, melihat murid itu berlalu membuat matanya berkaca-kaca seutas kata terucap dari bibir Kusni.
"Dasar bocah KAMPRET!!" Kusni tertahan mematung sambil menggenggam gerbang sekolah yang masih seperempat terbuka.
Kelas 2-A sudah di penuhi manusia-manusia unggulan, datang setiap pagi untuk mencari ilmu, bersiap-siap menatap masa depan dengan penuh harapan cemerlang, di belakang dua insan lelaki saling bercakap.
"Cok, film bokep yang kemaren elu kirim crash, kirim lagi dong bro," celoteh Bambang ke Ucok di baris belakang.
"BAH!! Handphone kau saza yang zadul Bams, buktinya zalan-zalan zaja tuh di hp ku, makanya beli hape zangan di pasar malam lai," jawab Ucok dengan logat medannya yang kental, sungguh percakapan yang menginspirasi kaum muda mudi INDONESIA.
"Eh eh eh, guru guru guru!" riuh anak-anak kelas 2-a, sesosok lelaki tinggi, atletis nan tampan terlihat di depan pintu, kemudian berlalu, berganti menjadi lelaki pendek, tambun dengan kepala botak di tengah layaknya lapangan bola, sekilas adegan tadi seperti iklan L-men yang gagal.
Pak Hartono masuk ke dalam kelas, melihat sekeliling kelas sambil menyapa.
"Pagi anak-anak!!", sapa pak Hartono.
"PAGI PAK GURUUU!!" Jawab murid-murid dengan serentak dan kompak.
Tiba-tiba seorang anak berdiri di depan pintu kelas, wajahnya terlihat kecapaian dan pucat.
"Yaaah! Telat!" ujar anak itu, pak Hartono menelisik dengan teliti anak yang terlambat itu, kemudian berujar "hei kamu! Berani kamu telat di jam saya! Kesini kamu!" perintah pak Hartono dengan galaknya, anak itu pun maju dengan perlahan, kepalanya menunduk malu tidak bisa menatap pak Hartono, "Push up 25 kali! Jikalau tidak sanggup silakan keluar kelas saya!!" ujar pak Hartono dengan tegas, ketika anak itu mengambil ancang-ancang untuk melakukan push up, sesosok mahkluk mengintip dari balik jendela di barisan pojok kanan belakang, matanya nanar namun tajam melihat situasi kelas.
"oke situasi aman," ujarnya dengan percaya diri, dengan mode silent ia menyelundupkan tasnya dari balik jendela menuju bangku belajar, lalu ia merangsek masuk dari celah jendela, bak ular kadut dengan licinnya ia masuk melewati celah lumayan sempit itu, setengah badannya sudah masuk ke dalam ruang kelas, tangan kirinya menyentuh meja kemudian ia mendorong sisa tubuhnya melalui tembok menggunakan tangan kanan, dengan sangat cepat dan tanpa satu makhluk pun mengetahui ia sudah masuk ke dalam kelas, dengan posisi menungging di atas meja, misi pun berhasil, ia turun dari meja kemudian menikmati pemandangan Budi yang sedang push up.
"Budi, terima kasih ya, tanpa elu sebagai pengalih perhatian gua ngak bisa sampai di dalam kelas, Budi, kamu, numero uno," gumam pria itu di dalam hati.
Iya, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Surya, anak dari bapak Bagas prakasa yang kalian liat kisah pilunya di prolog, anak ini tumbuh besar menjadi sosok lelaki tampan, pintar dan soleh, itu hanya menurut penuturan bapaknya sendiri.
Push up Budi sudah berada di angka 23 kali, keringat bercucuran dari kening sampai badan Budi, bahkan sampai muncul bercak basah di daerah selangkangannya, pergelangan tangannya mulai goyah, lututnya bergetar 4,5 skala richter, tubuh yang di rancang untuk main warnet seharian itu tidak mampu menerima push up lebih dari 20 kali.
"Pak, sudah ya pak, saya sudah tidak sanggup," nego Budi ke pak Hartono.
Pak Hartono sedikit terenyuh melihat Budi yang kecapaian, "aduh, kasihan kamu nak, ya sudah … tambah lima lagi push upnya, biar genap jadi 30," tutur pak Hartono dengan melepas topeng kesedihannya, mata Budi nanar namun kosong menatap lantai, terlihat raut penyesalan teramat sangat dari wajah Budi.
Pak Hartono mulai menuju meja ia mengambil daftar absensi lalu mulai mengabsen satu per satu muridnya, dimulai dari Ani, Deni dan seterusnya, murid-murid saling bersahutan saat nama mereka disebut pak Hartono, ketika mulut pak Hartono menyebut nama Surya, "HADIR PAK..!" sahut seseorang pemuda dari belakang dengan lantang.
Seisi kelas kaget, terperanga sambil menganga melihat Surya sudah di dalam kelas, pertanyaan dan praduga berkecamuk di hati mereka.
"Bagaimana ia bisa masuk!?"
"Sejak kapan ia ada di kelas?!"
"Kenapa aku ada di kelas ini!!" gumam Ari yang seharusnya masuk kelas 2-d.
semua perhatian itu berbanding terbalik dengan kondisi Budi yang tanpa perhatian satupun dari teman-temannya.
"Sakit, banget, tapi tak berdarah, sungguh biadab temen-temen gua, kata mereka kita teman sejati, selalu di hati, HILIH KINTHIL!!" ujar Budi di dalam hati kesal dengan teman-temannya.
Pelajaran berjalan setelah sesi absensi, pak Hartono mulai menjelaskan di depan kelas, suasana hening terasa, murid-murid mulai mendengarkan dengan seksama, kecuali Surya yang sedang terlelap di mejanya, posisinya yang berada paling belakang dan di tutupi Bambang yang jangkung dan Ucok yang bulat menjadikan tempat duduknya seperti vila di puncak, tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"TOK TOK TOK TOK" bunyi ketukan pintu memecah keheningan kelas, pak Zul sang kepala sekolah sedang berdiri dengan seorang gadis cantik nan manis di sebelahnya, "pagi pak, maaf ganggu kelasnya, ini ada murid baru kelas 2-a," ujar pak Zul, "oh iya pak, silakan neng masuk, perkenalkan diri dulu sama teman yang lain," jawab pak Hartono sambil mempersilakan gadis itu masuk.
Sesosok gadis manis memakai hijab putih berjalan perlahan menuju depan kelas, wajah manisnya terlihat malu-malu ketika bertatap muka dengan murid-murid kelas 2-A, "pagi semua, nama aku Naura kelana subhi, panggil saja Naura," jawab Naura sambil tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya, seketika itu juga rentetan panah asmara menusuk hati para lelaki di kelas 2-A, kecuali Surya yang sedang berkelana di pulau kapuk dan para murid perempuan yang menunjukkan ekspresi tersaingi secara jasmani dan rohani.
"kamu duduk di belakang ya nak Naura, soalnya bangku yang kosong cuman ada di sebelah sana, " ujar pak Hartono sambil menunjuk bangku disebelah Surya.
Naura pun berjalan menuju bangkunya, diiringi tatapan nakal murid laki-laki di kelas itu, ia kemudian duduk sambil mulai mengeluarkan peralatan belajarnya.
Bambang dan Ucok yang duduk di depan Naura pun sontak membalikkan badan untuk berkenalan.
"Hai Naura, namanya cantik secantik orangnya," puji Bambang dengan gaya sok coolnya.
"hei Naura, cantik kali kau, nanti pulang ku antar pakai motor ninja ku mau tak?" goda Ucok sambil menyisir jambul khatulistiwa miliknya.
Melihat gelagat kedua lelaki di depannya naura langsung ilfeel stadium akhir, didalam hatinya ia berteriak "TIDAAAAAAK..!" akan tetapi Naura hanya membalas dengan senyum malu tapi palsu ke kedua orang utan itu.
"ikh amit-amit jabang bayi, masa hari pertama di sekolah baru gua udah di godain cowok alay macem keset kayak gini, Ya tuhan salah apa hambamu ini, " ketus Naura di dalam hati.
"Jangan di anggap serius, mereka cuman bercanda."
"DEG...!!"
Rona wajah Naura terlihat terkejut, sebuah telepati terkirim langsung menuju fikirannya, ia mencari sumber telepati itu, dan matanya tertuju pada punggung lelaki teman sebangkunya, Surya.
Spoiler for Index:
PART 1
CHAPTER 1
CHAPTER 2
CHAPTER 3
CHAPTER 4
CHAPTER 5
CHAPTER 6
CHAPTER 7
CHAPTER 8
CHAPTER 9
CHAPTER 10
CHAPTER 11
CHAPTER 12
CHAPTER 13
CHAPTER 14
CHAPTER 15
CHAPTER 16
CHAPTER 17
CHAPTER 18
CHAPTER 19
CHAPTER 20
CHAPTER 21
CHAPTER 22
CHAPTER 23
CHAPTER 24
CHAPTER 25
CHAPTER 26
CHAPTER 27
CHAPTER 28
CHAPTER 29
CHAPTER 30
PART 2
CHAPTER 2.1
CHAPTER 2.2
CHAPTER 2.3
CHAPTER 2.4
CHAPTER 2.5
CHAPTER 2.6
CHAPTER 2.7
CHAPTER 2.8
CHAPTER 2.9
CHAPTER 2.10
CHAPTER 2.11
CHAPTER 2.12
CHAPTER 2.13
CHAPTER 2.14
CHAPTER 2.15
CHAPTER 2.16
CHAPTER 2.17
CHAPTER 2.18
CHAPTER 2.19
CHAPTER 2.20
CHAPTER 2.21
CHAPTER 2.22
CHAPTER 2.23
CHAPTER 2.24
CHAPTER 2.25
CHAPTER 2.26
CHAPTER 2.27
CHAPTER 2.28
CHAPTER 2.29
Diubah oleh ayahnyabinbun 29-05-2022 00:42
namakuve dan 116 lainnya memberi reputasi
115
161.2K
Kutip
916
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ayahnyabinbun
#549
Chapter 2.16
Spoiler for Rencana gila:
-Tap-
-Tap-
-Tap-
Suara gema langkah kaki kecil terdengar jelas dari arah lorong panjang disebuah gudang tua, temaram cahaya bulan purnama yang mengintip dari sela-sela pintu gudang yang telah usang menerangi tiap langkah-langkah kecil tersebut. Tiba-tiba sesosok anak kecil keluar dari celah pintu gudang sembari menenteng sesuatu di tangan kanannya.
Anak kecil itu berdiri diatas permadani rerumputan hijau didepan gudang usang yang telah terbengkalai dan dengan lugunya ia menoleh kekanan kekiri seakan mencari siluet seseorang di tengah gelapnya malam. Perlahan dari arah belakang sesosok naga hitam menembus pintu gudang dengan sebuah tubuh hitam tak berkepala yang tergigit di rahangnya.
"Zil buang tubuh itu, dasar jorok!!" seru sang anak kecil kepada Zil sang naga hitam itu dengan nada menyuruh.
Sang naga hitam segera mengangguk cepat seakan langsung mengerti kata-kata sang anak kecil dan ia segera melempar seekor tubuh siluman tak berkepala itu kesembarang arah. Tiba-tiba dari balik semak-semak muncul sesosok lelaki tinggi tegap menenteng senter di tangan kanannya.
"Ayah! Disini!" seru sang anak kecil sembari melambai-lambaikan tangan kirinya
"Sudah selesai? Kamu tidak terluka kan?" tanya sang ayah dengan rona khawatir.
Sang anak kecil bertolak pinggang seraya membusungkan dada dan dengan bangganya bersua, "Huahahahaha!! Ini sih mudah!" pungkasnya sembari menunjukkan kepala siluman hitam ditangan kanannya kepada sang ayah.
Sang ayah tersenyum lega sembari mengacak-acak pucuk kepala sang anak kecil, "ayo kita pulang," ajak sang ayah sembari meraih tangan kecil anaknya. Naga hitam dibelakang mereka perlahan membias dan perlahan merasuk kedalam raga Surya kecil. Kedua insan manusia itu berjalan menyusuri jalan setapak menuju kearah jalan raya.
"Ayah," seru Surya kecil yang kala itu tengah digendong dibelakang punggung sang ayah.
Bagas menoleh kearah suara seraya bersua, "Iya ada apa nak?" tanya sang ayah sembari berjalan pelan.
"Apakah Senja akan baik-baik saja berganti waktu dengan Surya?"
Sang ayah terdiam disaat mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Surya kecil.
"Jawab ayah," desak Surya kala itu.
"Iya … dia akan baik-baik saja, kan ada ayah yang menemaninya saat malam hari tiba," jawab sang ayah.
"Hmfh … Surya khawatir … kenapa sih kami berbeda? Bahkan diantara anak indigo lain aku dan Senja yang hanya memiliki satu tubuh juga dianggap berbeda," rajuk Surya kala itu.
"Loh bukannya bagus kalau berbeda? Banyak orang diluar sana yang ingin berbeda, bahkan mereka menempuh jalan yang salah hanya untuk menjadi berbeda," jelas sang ayah.
"Tapi Surya hanya ingin menjadi manusia normal ayah," runtuk Surya kala itu.
"Setiap manusia di dunia memiliki tujuan Surya, kamu juga berbeda itu karena memiliki tujuan," jelas sang ayah.
"Tujuan apa?"
"Entahlah … hanya kamu yang tahu tujuan hidup kamu," seru sang ayah.
"Hmmm... Kalau ayah tujuan hidupnya apa?" tanya Surya kecil kembali pada sang ayah.
"Kalau itu sudah jelas, ayah di dunia untuk melindungi kamu dan Senja," jawab sang ayah dengan senyum merekah di bibirnya.
"Oh … kalau begitu tujuan Surya juga sama deh! Surya akan melindungi ayah dan Senja, Surya akan menjadi semakin kuat hingga tidak ada satupun mahluk jahat yang akan mengganggu kita! Hehehe."
Surya membuka kedua matanya dengan malas, kedua tangannya terangkat seraya mengenjang merenggangkan sendi-sendi tulangnya, "HOAaam! Enghmmm ... Dimana ini? Duh laper," gumamnya sendiri sembari menggaruk-garuk lehernya yang sedikit gatal. Kala itu tubuh Surya sedang terduduk di sebuah dipan jerami dengan tas beruang teddy miliknya yang menjadi bantal disaat ia terlelap.
-BRAAK!!-
Pintu terbuka dengan paksa, sesosok gadis berkerudung putih terlihat berdiri di depan Surya sembari mengepal kedua tangan menahan aura amarah yang kian berkobar di tubuhnya.
Surya hanya bisa terdiam menatap gadis yang tengah berdiri diambang pintu tersebut … sesaat kemudian ia bersuara dengan histeris, "ka-kamu siapa? Aku ada dimana? A-aku siapa? Se-sepertinya aku insomnia … eh … amnesia, Mba tolong panggilkan ayah saya didepan," serunya sembari berakting hilang ingatan bak artis shitnetron.
"SURYAAAAAA!!!" pekik Naura dengan penuh emosi sembari melangkah panjang kearah Surya berada.
"Na-naura tu-tunggu dulu! A-aku bisa jelaskan! Ayah tolong!! AYAH!! AAAAAAA!!!" pekik Surya kala itu menyadari Naura yang semakin mendekatinya, dari dalam kamar tempat Surya berada hanya terdengar bunyi tamparan dan umpatan berpendar bersamaan teriakan kesakitan dari Surya.
Di sebuah tanah lapang tidak jauh dari desa Raksa Bagas tengah berkumpul dengan Luna bersamaan dengan putri Karina dan Popeng, jin kera kepercayaan sang putri, mereka sedang membahas kekalahan Arga sang jendral dan para prajurit pembebas pujakerana.
"Jadi … apakah mereka semua mati?" tanya Luna memecah keheningan.
"Menurut saksi mata yang selamat tidak ada satupun mayat di tempat pasukan pembebas Pujakerana," jawab Popeng sembari menundukkan kepala.
"Hmmm … berarti ada kemungkinan mereka masih hidup," desal Bagas sembari duduk disebuah kursi kayu.
"Maksud tuan Bagas jendral Arga dan para prajuritnya masih ada kemungkinan hidup?" tanya putri Karina.
Bagas menganggukkan kepalanya kemudian bersua, "kabar anda dan para tahanan kawah hitam yang kabur pasti sudah terdengar sampai ke kuping Gundara, jika dia pintar dia pasti akan menggunakan Arga dan para prajurit pembebas Pujakerana sebagai ganti pekerja di tambang kawah hitam," jelas Bagas kepada putri Karina.
"Lalu bagaimana dengan Saka dan Devan?" tanya Luna dengan rona wajah khawatir.
Bagas menatap manik mata Luna yang sedikit berkaca-kaca, "tenang saja, saya bisa pastikan mereka juga masih hidup, agen Other terlalu berharga untuk dibunuh, mereka berdua bisa menjadi batu loncatan agar Gundara bisa bernegosiasi dengan Other untuk memperluas wilayahnya sampai ke Batavia," jawab Bagas.
Luna terdiam mendengar penjelasan Bagas, rona sedikit lega tersirat dari wajahnya namun rasa bersalah tidak dapat ia singkirkan. Sekejap ia teringat kembali kata-kata terakhir dari Devan sebelum mereka berpisah.
"Pergilah … aku dan Saka akan baik-baik saja," seru Devan kala itu dengan senyum khas miliknya.
Dengan gontai Luna membungkukkan tubuhnya dan duduk di hamparan tanah lapang sembari menutup wajah cantik miliknya dengan kedua telapak tangannya.
"Yang jadi masalah sekarang adalah kita kekurangan pasukan untuk menyerang Pujakerana, pihak kita hanya memiliki para rakyat biasa dan beberapa penjaga, sedangkan Gundara memiliki ratusan jin hitam dibawah naungannya ditambah lagi Arga dan pasukannya sudah masuk kedalam ilmu gendam miliknya … hmmm … kemungkinan kita untuk menang adalah nol besar."
Putri Karina dan Popeng hanya bisa menundukkan kepala dengan lemas mendengar ujaran Bagas.
Tiba-tiba dari arah Desa datang Naura bersama Surya, Naura berjalan di depan sedangkan Surya mengekor di belakang dengan tangan Naura menjewer kuping kanan Surya sepanjang jalan.
"Aa-aa-aduh Ra! sakit Ra! Kuping aku bisa putus kalo di giniin terus," runtuk Surya memohon-mohon belas kasih Naura.
"Om Bagas … nih anaknya sudah aku bangunin," seru Naura sembari melepas jeweran tangannya di telinga Surya.
Surya segera berlari kecil kearah Bagas sembari bersimpuh di kaki sang ayah, "ayah tolongin Surya … ada nenek lampir," rajuk Surya kepada Bagas ayahnya.
Naura kembali mengepalkan kedua tangannya, "oh masih kurang!!" seru Naura.
"Waaaa!!" Surya segera berlari dan berlindung dibelakang punggung sang ayah.
"Surya … hentikan!" seru sang ayah melerai dua insan manusia tersebut.
"Hmfh … iya ayah," seru Surya, ia kemudian menatap tajam Naura dan menjulurkan lidah sembari mendelikkan manik matanya. Naura yang melihat itu hanya membuang muka sembari menyilangkan kedua tangannya di dada.
Bagas berdiri dari tempat duduknya kemudian menatap wajah Surya dan Naura, "Surya … Naura … ayah ingin bicara dengan kalian berdua," seru Bagas yang kemudian berjalan agak jauh dari posisi putri Karina dan Luna berada.
Bagas berjalan dengan Naura dan Surya yang mengekor dibelakang dirinya, dirasa sudah cukup jauh ia menghentikan langkahnya dan menatap kedua mata insan manusia didepannya.
"Naura … apa kamu tahu alasan Luna ke dimensi ini?" tanya Bagas langsung kepada Naura.
"Engh … saat pertama mereka mengajak Naura mereka bilang untuk mencari dan menjemput Senja karena Senja memiliki iblis Ifrit yang jika jatuh ke tangan yang salah bisa sangat berbahaya untuk umat manusia," jelas Naura kala itu.
"Hmmm … berarti selama ini mereka tahu tentang Ifrit, pantas saja mereka mengawasi gerak-gerik Senja," Bagas berganti menatap Surya.
"Apa?" tanya Surya pada sang ayah.
"Sekarang apa rencana kamu? Tolong jawab jujur sama ayah," seru Bagas, Naura hanya menatap bingung ayah dan anak di depannya.
Surya tersenyum penuh arti kemudian mendekatkan wajahnya kearah telinga Bagas dan membisikkan sesuatu kepada Bagas.
Manik mata Bagas membulat sempurna dengan rona tidak percaya dengan kata-kata yang dibisikkan pada telinganya.
"Kamu gila Surya!! Enggak … ayah enggak setuju dengan …"
Belum selesai sang ayah bicara Surya langsung menutup kedua telinganya dan bersenandung lantang, "LaLALALALA!! … enggak dengar … LALALALA!!" teriak Surya dengan lantang, Surya segera berbalik arah dan berjalan menuju tempat Luna dan putri Karina berada.
"Apa yang dibisikkan Surya om?" tanya Naura penasaran.
"Dia … sudah gila, anakku sudah gila!" Bagas bersua sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, ia segera berjalan menyusul Surya dan Naura mengekor dibelakangnya.
"Karina!" panggil Surya dari arah belakang.
"Iya tuan Surya, ada apa?"
Surya mendekatkan wajahnya kearah telinga Karina, seketika pipi Karina memanas berdekatan dengan Surya, ia membisikkan sesuatu di telinga sang Putri. Mata Karina membulat sempurna kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangan tanda tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Ba-bagaimana anda tahu tuan!?" tanya Karina dengan nada terkejut.
"Jadi ada bukan? Hehe," tanya Surya dengan senyum miring terukir di bibir tipisnya. Dengan keadaan masih syok Karina perlahan mengangguk-anggukkan kepalanya mengiyakan bisikan Surya.
"Bagus … jadi besok kita akan."
"Tunggu dulu Senja! Kamu tidak bisa bertindak gegabah seperti ini! Ini namanya bunuh diri!" seru Bagas yang datang mendekati Surya, "ayah kembali lagi ke dimensi ini untuk menjemput kamu dan membawa kamu pulang Surya, bukan untuk melihat anak-anak ayah mengorbankan dirinya ke dalam mulut harimau!!" pungkas sang ayah.
"Lalu apa rencana ayah?" tanya Surya tajam kepada sang ayah.
Bagas hanya bisa terdiam sembari menatap dalam manik mata Surya.
"Apa kita akan pulang dan membiarkan Gundara bertindak seenaknya seakan-akan semua akan kembali normal? Bagaimana dengan Karina dan rakyatnya? Bagaimana dengan agen Other yang tengah ditawan disana? Apa kita akan merelakan petunjuk kearah tubuh Senja begitu saja?" tanya Surya bertubi-tubi.
Bagas memejamkan matanya kemudian bersuara lantang, "ARGH! Baiklah! Ayah ikuti rencanamu, tapi jika pengelihatanmu ternyata salah kita mundur! Kamu mengerti Surya!" seru sang ayah.
Surya mengangkat tangannya memberi hormat kepada sang ayah, "SIAP Komandan!! Hehe," seru Surya sembari tersenyum lebar.
"Jadi apa Rencanamu Surya?" tanya Naura yang masih kebingungan dengan situasi ini.
"Besok kita semua akan menyerang Pujakerana! Hehe."
"APAA!!" pekik Naura dan Luna tidak percaya.
"Tunggu dulu, biar aku jelaskan, putri Karina silakan bicara," seru Surya.
Putri Karina berdiri menghadap keempat manusia didepannya, "dahulu semasa ayah hamba masih hidup beliau pernah memberitahukan kepada seluruh anak-anaknya tentang sebuah pintu rahasia, pintu tersebut berada di belakang kerajaan dan terhubung langsung kedalam istana," jelas Karina, ia kembali duduk sembari menundukkan kepalanya.
"Jadi rencana kamu kita semua menyusup kedalam istana Pujakerana dan ditangkap hidup-hidup?" tanya Luna dengan nada sarkas.
"Itu sama saja bunuh diri tau Surya!" timpal Naura.
"No! No! No! No! Kita menyusup bukan untuk bunuh diri, tapi untuk membebaskan para prajurit pembebas Pujakerana, termasuk Arga dan agen Other yang ditangkap Gundara, disaat mereka bebas kita akan melawan dari dalam dan membebaskan Pujakerana dari Gundara," seru Surya dengan penuh percaya diri.
"Lalu kamu mengharapkan Gundara akan mempersilakan kita membebaskan para tawanan begitu saja?" tanya Luna.
"Benar, penjagaan didalam kerajaan pasti sangat ketat," timpal Naura.
"Tenang saja, itu merupakan tugasku, aku akan menjadi pengalih perhatian di gerbang depan Pujakerana," seru Surya dengan senyum lebar sedangkan Bagas hanya bisa memijat keningnya.
#bersambung
-Tap-
-Tap-
Suara gema langkah kaki kecil terdengar jelas dari arah lorong panjang disebuah gudang tua, temaram cahaya bulan purnama yang mengintip dari sela-sela pintu gudang yang telah usang menerangi tiap langkah-langkah kecil tersebut. Tiba-tiba sesosok anak kecil keluar dari celah pintu gudang sembari menenteng sesuatu di tangan kanannya.
Anak kecil itu berdiri diatas permadani rerumputan hijau didepan gudang usang yang telah terbengkalai dan dengan lugunya ia menoleh kekanan kekiri seakan mencari siluet seseorang di tengah gelapnya malam. Perlahan dari arah belakang sesosok naga hitam menembus pintu gudang dengan sebuah tubuh hitam tak berkepala yang tergigit di rahangnya.
"Zil buang tubuh itu, dasar jorok!!" seru sang anak kecil kepada Zil sang naga hitam itu dengan nada menyuruh.
Sang naga hitam segera mengangguk cepat seakan langsung mengerti kata-kata sang anak kecil dan ia segera melempar seekor tubuh siluman tak berkepala itu kesembarang arah. Tiba-tiba dari balik semak-semak muncul sesosok lelaki tinggi tegap menenteng senter di tangan kanannya.
"Ayah! Disini!" seru sang anak kecil sembari melambai-lambaikan tangan kirinya
"Sudah selesai? Kamu tidak terluka kan?" tanya sang ayah dengan rona khawatir.
Sang anak kecil bertolak pinggang seraya membusungkan dada dan dengan bangganya bersua, "Huahahahaha!! Ini sih mudah!" pungkasnya sembari menunjukkan kepala siluman hitam ditangan kanannya kepada sang ayah.
Sang ayah tersenyum lega sembari mengacak-acak pucuk kepala sang anak kecil, "ayo kita pulang," ajak sang ayah sembari meraih tangan kecil anaknya. Naga hitam dibelakang mereka perlahan membias dan perlahan merasuk kedalam raga Surya kecil. Kedua insan manusia itu berjalan menyusuri jalan setapak menuju kearah jalan raya.
"Ayah," seru Surya kecil yang kala itu tengah digendong dibelakang punggung sang ayah.
Bagas menoleh kearah suara seraya bersua, "Iya ada apa nak?" tanya sang ayah sembari berjalan pelan.
"Apakah Senja akan baik-baik saja berganti waktu dengan Surya?"
Sang ayah terdiam disaat mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Surya kecil.
"Jawab ayah," desak Surya kala itu.
"Iya … dia akan baik-baik saja, kan ada ayah yang menemaninya saat malam hari tiba," jawab sang ayah.
"Hmfh … Surya khawatir … kenapa sih kami berbeda? Bahkan diantara anak indigo lain aku dan Senja yang hanya memiliki satu tubuh juga dianggap berbeda," rajuk Surya kala itu.
"Loh bukannya bagus kalau berbeda? Banyak orang diluar sana yang ingin berbeda, bahkan mereka menempuh jalan yang salah hanya untuk menjadi berbeda," jelas sang ayah.
"Tapi Surya hanya ingin menjadi manusia normal ayah," runtuk Surya kala itu.
"Setiap manusia di dunia memiliki tujuan Surya, kamu juga berbeda itu karena memiliki tujuan," jelas sang ayah.
"Tujuan apa?"
"Entahlah … hanya kamu yang tahu tujuan hidup kamu," seru sang ayah.
"Hmmm... Kalau ayah tujuan hidupnya apa?" tanya Surya kecil kembali pada sang ayah.
"Kalau itu sudah jelas, ayah di dunia untuk melindungi kamu dan Senja," jawab sang ayah dengan senyum merekah di bibirnya.
"Oh … kalau begitu tujuan Surya juga sama deh! Surya akan melindungi ayah dan Senja, Surya akan menjadi semakin kuat hingga tidak ada satupun mahluk jahat yang akan mengganggu kita! Hehehe."
Surya membuka kedua matanya dengan malas, kedua tangannya terangkat seraya mengenjang merenggangkan sendi-sendi tulangnya, "HOAaam! Enghmmm ... Dimana ini? Duh laper," gumamnya sendiri sembari menggaruk-garuk lehernya yang sedikit gatal. Kala itu tubuh Surya sedang terduduk di sebuah dipan jerami dengan tas beruang teddy miliknya yang menjadi bantal disaat ia terlelap.
-BRAAK!!-
Pintu terbuka dengan paksa, sesosok gadis berkerudung putih terlihat berdiri di depan Surya sembari mengepal kedua tangan menahan aura amarah yang kian berkobar di tubuhnya.
Surya hanya bisa terdiam menatap gadis yang tengah berdiri diambang pintu tersebut … sesaat kemudian ia bersuara dengan histeris, "ka-kamu siapa? Aku ada dimana? A-aku siapa? Se-sepertinya aku insomnia … eh … amnesia, Mba tolong panggilkan ayah saya didepan," serunya sembari berakting hilang ingatan bak artis shitnetron.
"SURYAAAAAA!!!" pekik Naura dengan penuh emosi sembari melangkah panjang kearah Surya berada.
"Na-naura tu-tunggu dulu! A-aku bisa jelaskan! Ayah tolong!! AYAH!! AAAAAAA!!!" pekik Surya kala itu menyadari Naura yang semakin mendekatinya, dari dalam kamar tempat Surya berada hanya terdengar bunyi tamparan dan umpatan berpendar bersamaan teriakan kesakitan dari Surya.
Di sebuah tanah lapang tidak jauh dari desa Raksa Bagas tengah berkumpul dengan Luna bersamaan dengan putri Karina dan Popeng, jin kera kepercayaan sang putri, mereka sedang membahas kekalahan Arga sang jendral dan para prajurit pembebas pujakerana.
"Jadi … apakah mereka semua mati?" tanya Luna memecah keheningan.
"Menurut saksi mata yang selamat tidak ada satupun mayat di tempat pasukan pembebas Pujakerana," jawab Popeng sembari menundukkan kepala.
"Hmmm … berarti ada kemungkinan mereka masih hidup," desal Bagas sembari duduk disebuah kursi kayu.
"Maksud tuan Bagas jendral Arga dan para prajuritnya masih ada kemungkinan hidup?" tanya putri Karina.
Bagas menganggukkan kepalanya kemudian bersua, "kabar anda dan para tahanan kawah hitam yang kabur pasti sudah terdengar sampai ke kuping Gundara, jika dia pintar dia pasti akan menggunakan Arga dan para prajurit pembebas Pujakerana sebagai ganti pekerja di tambang kawah hitam," jelas Bagas kepada putri Karina.
"Lalu bagaimana dengan Saka dan Devan?" tanya Luna dengan rona wajah khawatir.
Bagas menatap manik mata Luna yang sedikit berkaca-kaca, "tenang saja, saya bisa pastikan mereka juga masih hidup, agen Other terlalu berharga untuk dibunuh, mereka berdua bisa menjadi batu loncatan agar Gundara bisa bernegosiasi dengan Other untuk memperluas wilayahnya sampai ke Batavia," jawab Bagas.
Luna terdiam mendengar penjelasan Bagas, rona sedikit lega tersirat dari wajahnya namun rasa bersalah tidak dapat ia singkirkan. Sekejap ia teringat kembali kata-kata terakhir dari Devan sebelum mereka berpisah.
"Pergilah … aku dan Saka akan baik-baik saja," seru Devan kala itu dengan senyum khas miliknya.
Dengan gontai Luna membungkukkan tubuhnya dan duduk di hamparan tanah lapang sembari menutup wajah cantik miliknya dengan kedua telapak tangannya.
"Yang jadi masalah sekarang adalah kita kekurangan pasukan untuk menyerang Pujakerana, pihak kita hanya memiliki para rakyat biasa dan beberapa penjaga, sedangkan Gundara memiliki ratusan jin hitam dibawah naungannya ditambah lagi Arga dan pasukannya sudah masuk kedalam ilmu gendam miliknya … hmmm … kemungkinan kita untuk menang adalah nol besar."
Putri Karina dan Popeng hanya bisa menundukkan kepala dengan lemas mendengar ujaran Bagas.
Tiba-tiba dari arah Desa datang Naura bersama Surya, Naura berjalan di depan sedangkan Surya mengekor di belakang dengan tangan Naura menjewer kuping kanan Surya sepanjang jalan.
"Aa-aa-aduh Ra! sakit Ra! Kuping aku bisa putus kalo di giniin terus," runtuk Surya memohon-mohon belas kasih Naura.
"Om Bagas … nih anaknya sudah aku bangunin," seru Naura sembari melepas jeweran tangannya di telinga Surya.
Surya segera berlari kecil kearah Bagas sembari bersimpuh di kaki sang ayah, "ayah tolongin Surya … ada nenek lampir," rajuk Surya kepada Bagas ayahnya.
Naura kembali mengepalkan kedua tangannya, "oh masih kurang!!" seru Naura.
"Waaaa!!" Surya segera berlari dan berlindung dibelakang punggung sang ayah.
"Surya … hentikan!" seru sang ayah melerai dua insan manusia tersebut.
"Hmfh … iya ayah," seru Surya, ia kemudian menatap tajam Naura dan menjulurkan lidah sembari mendelikkan manik matanya. Naura yang melihat itu hanya membuang muka sembari menyilangkan kedua tangannya di dada.
Bagas berdiri dari tempat duduknya kemudian menatap wajah Surya dan Naura, "Surya … Naura … ayah ingin bicara dengan kalian berdua," seru Bagas yang kemudian berjalan agak jauh dari posisi putri Karina dan Luna berada.
Bagas berjalan dengan Naura dan Surya yang mengekor dibelakang dirinya, dirasa sudah cukup jauh ia menghentikan langkahnya dan menatap kedua mata insan manusia didepannya.
"Naura … apa kamu tahu alasan Luna ke dimensi ini?" tanya Bagas langsung kepada Naura.
"Engh … saat pertama mereka mengajak Naura mereka bilang untuk mencari dan menjemput Senja karena Senja memiliki iblis Ifrit yang jika jatuh ke tangan yang salah bisa sangat berbahaya untuk umat manusia," jelas Naura kala itu.
"Hmmm … berarti selama ini mereka tahu tentang Ifrit, pantas saja mereka mengawasi gerak-gerik Senja," Bagas berganti menatap Surya.
"Apa?" tanya Surya pada sang ayah.
"Sekarang apa rencana kamu? Tolong jawab jujur sama ayah," seru Bagas, Naura hanya menatap bingung ayah dan anak di depannya.
Surya tersenyum penuh arti kemudian mendekatkan wajahnya kearah telinga Bagas dan membisikkan sesuatu kepada Bagas.
Manik mata Bagas membulat sempurna dengan rona tidak percaya dengan kata-kata yang dibisikkan pada telinganya.
"Kamu gila Surya!! Enggak … ayah enggak setuju dengan …"
Belum selesai sang ayah bicara Surya langsung menutup kedua telinganya dan bersenandung lantang, "LaLALALALA!! … enggak dengar … LALALALA!!" teriak Surya dengan lantang, Surya segera berbalik arah dan berjalan menuju tempat Luna dan putri Karina berada.
"Apa yang dibisikkan Surya om?" tanya Naura penasaran.
"Dia … sudah gila, anakku sudah gila!" Bagas bersua sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, ia segera berjalan menyusul Surya dan Naura mengekor dibelakangnya.
"Karina!" panggil Surya dari arah belakang.
"Iya tuan Surya, ada apa?"
Surya mendekatkan wajahnya kearah telinga Karina, seketika pipi Karina memanas berdekatan dengan Surya, ia membisikkan sesuatu di telinga sang Putri. Mata Karina membulat sempurna kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangan tanda tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Ba-bagaimana anda tahu tuan!?" tanya Karina dengan nada terkejut.
"Jadi ada bukan? Hehe," tanya Surya dengan senyum miring terukir di bibir tipisnya. Dengan keadaan masih syok Karina perlahan mengangguk-anggukkan kepalanya mengiyakan bisikan Surya.
"Bagus … jadi besok kita akan."
"Tunggu dulu Senja! Kamu tidak bisa bertindak gegabah seperti ini! Ini namanya bunuh diri!" seru Bagas yang datang mendekati Surya, "ayah kembali lagi ke dimensi ini untuk menjemput kamu dan membawa kamu pulang Surya, bukan untuk melihat anak-anak ayah mengorbankan dirinya ke dalam mulut harimau!!" pungkas sang ayah.
"Lalu apa rencana ayah?" tanya Surya tajam kepada sang ayah.
Bagas hanya bisa terdiam sembari menatap dalam manik mata Surya.
"Apa kita akan pulang dan membiarkan Gundara bertindak seenaknya seakan-akan semua akan kembali normal? Bagaimana dengan Karina dan rakyatnya? Bagaimana dengan agen Other yang tengah ditawan disana? Apa kita akan merelakan petunjuk kearah tubuh Senja begitu saja?" tanya Surya bertubi-tubi.
Bagas memejamkan matanya kemudian bersuara lantang, "ARGH! Baiklah! Ayah ikuti rencanamu, tapi jika pengelihatanmu ternyata salah kita mundur! Kamu mengerti Surya!" seru sang ayah.
Surya mengangkat tangannya memberi hormat kepada sang ayah, "SIAP Komandan!! Hehe," seru Surya sembari tersenyum lebar.
"Jadi apa Rencanamu Surya?" tanya Naura yang masih kebingungan dengan situasi ini.
"Besok kita semua akan menyerang Pujakerana! Hehe."
"APAA!!" pekik Naura dan Luna tidak percaya.
"Tunggu dulu, biar aku jelaskan, putri Karina silakan bicara," seru Surya.
Putri Karina berdiri menghadap keempat manusia didepannya, "dahulu semasa ayah hamba masih hidup beliau pernah memberitahukan kepada seluruh anak-anaknya tentang sebuah pintu rahasia, pintu tersebut berada di belakang kerajaan dan terhubung langsung kedalam istana," jelas Karina, ia kembali duduk sembari menundukkan kepalanya.
"Jadi rencana kamu kita semua menyusup kedalam istana Pujakerana dan ditangkap hidup-hidup?" tanya Luna dengan nada sarkas.
"Itu sama saja bunuh diri tau Surya!" timpal Naura.
"No! No! No! No! Kita menyusup bukan untuk bunuh diri, tapi untuk membebaskan para prajurit pembebas Pujakerana, termasuk Arga dan agen Other yang ditangkap Gundara, disaat mereka bebas kita akan melawan dari dalam dan membebaskan Pujakerana dari Gundara," seru Surya dengan penuh percaya diri.
"Lalu kamu mengharapkan Gundara akan mempersilakan kita membebaskan para tawanan begitu saja?" tanya Luna.
"Benar, penjagaan didalam kerajaan pasti sangat ketat," timpal Naura.
"Tenang saja, itu merupakan tugasku, aku akan menjadi pengalih perhatian di gerbang depan Pujakerana," seru Surya dengan senyum lebar sedangkan Bagas hanya bisa memijat keningnya.
#bersambung
ariefdias dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Kutip
Balas