“Udah baca email, rip?”
Bang Boi buka suara nggak lama setelah gua masuk kedalam ruang kerja.
“Belon..” Gua menjawab singkat, sembari mengeluarkan laptop dari dalam tas dan menyalakannya.
“Email yang mana bang?” Gua lalu balik bertanya ke Bang Boi, sementara jemari gua masih sibuk scroll up-scroll down, mencari email yang dimaksud Bang Boi. Ya, karena gua bukan tipikal orang yang suka ‘baca’, jadi banyak banget email di inbox gua dengan status ‘unread’.
“Yang paling baru, dari Sonia…” Bang Boi memberikan informasi, menyebut nama salah satu staff senior dari divisi Talent Management. So, di kantor gua, bagian HR (Human Resources) terbagi atas dua sub-divisi, diantaranya Recruitment dan Talent Management. Tim Recruitment, as you may know, punya tugas untuk nyari calon karyawan, melakukan interview, urusan kontrak kerja dan absensi. Sementara, Talent Management punya tugas nge-treatment manusia-manusia yang ada dikantor ini. Misalnya; ngadain gathering, outing, training, dan urusan lain yang berhubungan dengan pengembangan diri para karyawan.
Gua lalu meng-klik email dengan Subjek: ‘Invitation: Townhall Meeting’ yang isinya kira-kira seperti ini:
Quote:
You have been invited to the following event: Townhall Meeting
‘Hi guys, nanti jam 3 sore akan ada townhall meeting di Fun Area lantai 38. Akan ada beberapa informasi penting yang akan disampaikan oleh Mr. Jason.
Please book your time,
Cheers’
Are you going: Yes | No | Maybe
Cukup lama buat gua untuk membaca isi dari email tersebut yang kemudian gua susul dengan menekan button ‘Yes’ diakhir email yang mengkonfirmasi kehadiran gua di event tersebut.
“Emang ada apaan bang?” Gua bertanya ke Bang Boi perihal adanya Town hall Meeting ini. Bang Boi hanya mengangkat bahu, tanda ketidak tahuannya.
“Alah, paling juga si Jason cuma ngomong ‘company is good, everything nice and smooth.. bla.. bla.. bla…” Bang Boi lalu berdiri dan menirukan gaya CEO kita saat tengah berbicara.
Town Hall Meeting sendiri merupakan istilah yang berasal dari negara-negara eropa dan Amerika sana untuk acara ‘kumpul-kumpul’ yang diadakan oleh kepala daerah, mewakili negara-nya. Biasanya digunakan untuk menyerap aspirasi masyarakat atau hanya sekedar berdiskusi perkara isu yang tengah hangat. Seperti namanya, dinegara asalnya, Town Hall biasanya diadakan di halaman balai kota. Namun, seiring berjalannya waktu, acara ini mengalami banyak perubahan, misalnya; lokasi. Banyak kota-kota di ‘barat’ mulai menggunakan public space untuk menyelenggarakan Town Hall, misalnya di perpustakaan, aula sekolah, gereja, bahkan di venue olahraga.
Nah, dikantor gua tempat gua bekerja, Town Hall lumrah digunakan para petinggi perusahaan untuk menyampaikan topik perihal masa depan perusahaan. Misalnya, sales atau hasil penjualan yang meroket, pengumuman adanya sistem baru atau bisa jadi peresmian fasilitas baru yang ada di kantor.
“Hari ini, bantuin anak-anak ngedit dulu rip..” Ujar Bang Boi, sementara wajahnya tetap memandang ke arah laptop.
“Emang ngga ada barang foto?” Gua bertanya.
“Ada, tapi backlog editan lagi banyak banget, foto pending aja dulu, minggu depan aja..” Ia kembali bicara, kali ini sambil meregangkan tangannya keatas, kemudian menguap.
“Yaudah…” Gua lalu menutup laptop dan bergegas menuju ke ruang editor.
Riuh rendah suara yang berasal dari berbagai sumber menyeruak begitu gua memasuki ruangan editor. Ruangan yang berukuran 6 meter persegi ini, biasanya diisi oleh 6-8 orang editor. Namun, sepertinya hari ini terlihat begitu ramai. Disalah satu sudut, terlihat Daus tengah duduk di lantai beralas karpet sambil bersandar ke dinding, disebelahnya terdapat beberapa anak editor yang sama-sama memegang ponsel dalam kondisi landscape. Suara dari ponsel mereka saling sinkron dah terdengar bersahut-sahutan; “Enemy Killing Spree..”
Sementara beberapa editor lain tengah berkumpul disalah satu meja sambil memandang ke arah monitor besar, dua orang diantaranya tengah memegang controller game wireless sambil sesekali mengutuk; “Anjing, bek gua ngapa lari mulu dah…”, “Curang lu yak, pemainnya lu edit, masa Messi larinya pelan bet…”
Gua lalu berjalan melintasi meja-meja kosong (karena penghuninya tengah bermain FIFA) menuju ke ujung meja, tempat dimana Ilham duduk. Gua lalu menarik kursi kosong disebelahnya dan mulai membuka laptop diatas meja; “Coy, bagi joblist…” Gua bicara ke Ilham, sementara yang gua ajak bicara masih menatap ke layar laptop sambil menyanyikan lagu ‘Takkan Ada Cinta yang Lain’-nya Dewa 19 menggunakan gitar yang berukuran sangat kecil, kami biasa menyebutnya dengan guitalele; Berukuran seperti Ukulele namun memilki 6 senar seperti gitar pada umumnya.
“Tak akan ada
cinayang lain, Pastikan cintaku hanya untukmu…” Ia bernyanyi, mengubah kata Cinta pada liriknya menjadi Cina. Meledek gua.
Setelah menghabiskan bait kedua lagu tersebut, ia meletakkan guitalele dipangkuannya.
“Magabut* lu yak?” Ilham bicara ke gua, sementara jari-jarinya memainka mouse, membuka sistem aplikasi ‘project management’. Ia memindahkan beberapa ‘task’ kedalam sebuah ‘board’ lalu meng-asign nama gua pada ‘board’ tersebut.
*Magabut : Makan gaji buta, istilah yang digunakan saat seseorang lagi nggak ada kerjaan.
“Palalu magabut, kata bang boi backlog lagi banyak…” Gua memberikan alasan mengapa gua kesini dan meminta pekerjaan padanya.
“Udah tuh, gua kasih yang gampang-gampang..” Ilham angkat bicara, kemudian mengetikkan kata kunci; ‘Kunci gitar Mawar Hitam-nya Tipe-Ex’ di kolom pencarian google dan kembali mulai bersenandung.
Gua berpaling ke arah laptop, dan membuka aplikasi yang sama seperti yang tadi digunakan oleh Ilham. ‘Ting’ sebuah ikon berbentuk lonceng berwarna merah berkedip di sudut kanan layar, menandakan adanya notifikasi ‘project’, Iya, sebuah notifikasi untuk ‘Board’ yang tadi dikirimkan oleh Ilham. Menit berikutnya, gua mulai berkutat dengan salah satu software pengolah gambar yang amat populer di Indonesia (Populer karena mudah dibajak) mengerjakan editan foto untuk barang-barang atau model yang entah beberapa hari/minggu yang lalu gua foto.
“Blon ketemu Marcella, rip?” Ilham tiba-tiba buka suara. Kali ini ruangan sudah berubah hening. Semua editor sudah duduk di meja-nya masing-masing, tenggelam dalam rutinitas pekerjaannya sambil menyumbat telinga mereka dengan earphone.
Gua menggelengkan kepala, merespon pertanyaan Ilham.
“Lu udah cari ke grogol?” Ilham kembali bertanya, kali ini merujuk ke rumah lama Marcella, kala masih tinggal dengan Opa-nya.
“Udah…”
Ingatan gua lalu kembali ke dua minggu yang lalu, kala itu, selepas bekerja, gua pergi kerumah lama Marcella, tempat ia sebelumnya tinggal bersama Opa dan Oma-nya. Namun, begitu tiba kesana, rumah tersebut kosong, tak berpenghuni, jangankan orang, setan pun tak nampak. Salah satu tetangga yang mengenali wajah gua lalu menyapa: “Eh, mas.. Ci Cella-nya kemana?”
“Lah, saya justru nyari dia..” gua menjawab
“Nggak kesini tuh, udah lama…” si tetangga lalu kembali bicara.
Gua lalu menitipkan pesan kepadanya, agar menghubungi gua segera begitu melihat Marcella datang kesini seraya memberikan nomor ponsel gua kepadanya.
---
Jam digital di laptop gua menunjukkan angka 12 tepat.
Ilham melepas earphone-nya yang tersambung ke laptop lalu berdiri; “Udah kelar berapa?”
“Dua belas…” gua menjawab.
“Dua belas? ngerjain dari jam 9, baru dapet 12?” Ilham kembali bertanya, kali ini dengan nada sedikit meledek.
“Lu mo ngambil katering nggak?” Ia bertanya ke gua
“Mau dong, sekalian…”Gua menjawab singkat sementara mata dan tangan gua masih berkonsentrasi mengerjakan editan. Tak seperti Ilham atau anak editor lainnya yang sudah ‘ngelotok’ dengan pekerjaan ini. Buat gua, untuk mengedit sebuah foto memakan cukup banyak waktu dan butuh konsentrasi cukup tinggi. Ya maklum basic pekerjaan gua kan Fotografer bukan Editor Foto.
Beberapa menit berikutnya Ilham sudah kembali dengan membawa dua kotak makanan, satu kotak diletakkan dimeja gua. Satunya lagi ia buka sembari duduk kembali di kursinya.
“Sedih juga ya jadi lu...” Ia bertanya, sementara kedua tangannya sibuk membuka kerupuk dalam kemasan.
“...”
“Besok kita ke jalan-jalan, nyari cewe..” Ujarnya
Gua masih nggak menggubris kata-katanya, mending makan.
---
Kira-kira Dua jam berikutnya, setelah mata jadi beraer, jari keram dan pergelangan tangan kaku, akhirnya 24 foto berhasil gua selesaikan. Saat itu, jam menunjukkan pukul 2.30 siang, gua menggelengkan kepala kekiri dan kekanan, meluruskan punggung, mencoba untuk melemaskan otot-otot. Saat menatap ke arah Ilham, ia tengah tersenyum kecim sambil menonton tayangan ulang serial ‘Bajaj Bajuri’ melalui kanal Youtube di laptopnya.
“Lah, lu udah kelar?” Gua bertanya kepadanya, sementara ia nggak menggubris, kedua telinganya disumpal menggunakan earphone. Gua lalu meraih salah satunya dan kembali bertanya; “Lu udah kelar?”
“Udah..” ia menjawab.
“Dapet berapa foto?” Gua kembali bertanya penasaran.
“72…” Ia kembali menjawab, singkat.
“What…?”
“...”
“Kalo gitu harusnya, nggak perlu ada Backlog, nah elu jam segini udah nonton youtube…” gua angkat bicara.
“Lah, kan bentar lagi mau Town Hall…” Ilham menjawab, memberikan alasan yang memang tadi sempat gua lupakan.
Dan, setengah jam kemudian kami sudah berada dilantai 38, disebuah ruangan cukup luas yang biasa digunakan karyawan untuk tenis meja, biliar, main PS atau hanya untuk sekedar bersantai di kursi kusus berbentuk ayunan yang banyak berada di area ini.
Saat gua dan Ilham tiba disana, ruangan tersebut sudah dipadati karyawan. Jika asal menerka, mungkin ada 200 hingga 300 orang yang berada disini. Disalah satu sudut, Bang Boi memanggil kami sambil melambaikan tangan. Gua dan Ilham lalu duduk disebelahnya.
Ruang berbentuk persegi ini berada disisi terluar gedung. Jadi para karyawan duduk membentuk setengah lingkaran menghadap ke arah jendela balkon. Dari tempat kami duduk, terlihat gedung-gedung pencakar langit lain yang berdiri angkuh seakan menantang langit. Ada satu space kosong yang kami kelilingi dan space tersebut nantinya akan diisi oleh si pembicara, dalam hal ini Mr. Jason si CEO. Dan seperti biasa, di momen-momen seperti ini, gua dan Ilham nggak terlalu peduli dengan materi yang dibawakan, biasanya kami hanya ngobrol atau bermain ponsel.
Namun, sepertinya ada hal yang terlihat amat penting akan disampaikan. Terlihat dari isi acaranya yang langsung dibuka oleh Mr. Jason-nya sendiri. Biasanya, acara akan dibuka oleh MC dari tim Talent Management, lalu disusul sambutan dari masing-masing BOD (Board of Director), barulah Mr. Jason akan angkat bicara.
“Hi Guys…, nice to be here… dan bla, bla, bla, bla…” Mr. Jason mulai bicara.
Gayanya? Persis seperti yang diperagakan Bang Boi pagi tadi. Gua dan Bang Boi saling pandang kemudian tertawa cekikikan, sementara Ilham terlihat begitu mendalami ucapan dari Mr. Jason, entah karena interest atau karena bingung dengan bahasa inggris yang digunakan.
Ditengah candaan antara gua dan Bang Boi, Ilham lalu menepuk-nepuk lutut gua. Kami lalu terdiam, Ilham menunjuk ke arah layar raksasa yang sengaja disiapkan. Dilayar tersebut diperlihatkan sebuah bangunan gedung lengkap dengan lansekap a-la ‘back to nature’, disudut kanan bawah layar terdapat logo salah satu raksasa konglomerasi yang menguasai kawasan BSD, Serpong.
“Apaan sih?” Gua bertanya ke Ilham.
“Makanya dengerin..” Ilham menjawab, sok alim
Begitu gua mulai ingin serius mendengarkan, sosok pembicara diambil alih oleh Pak Alfian yang meruapakan Director of Finance di kantor ini. Dikalangan kami, Pak Alfian kita beri julukan ‘War-Lok’ yang merupakan singkatan dari ‘Warga Lokal’, alasannya adalah Pak Alfian merupakan satu-satunya petinggi perusahaan yang ‘pribumi’, sisanya; Cina.
“Deg..deg..” War-lok mengetuk-ngetuk micophone dengan jarinya.
“Selamat sore semuanya!... So, seperti yang sudah disampaikan oleh Jason tadi. Selain untuk memudahkan kordinasi, kita baru saja dapet investai dalam jumlah besar dari xxxxxxxxx. Dan xxxxxxxxxx akan menyediakan fasilitas gedung baru untuk kita, gratis. Jadi, kemungkinan besar, awal bulan depan kita semua akan pindah ke daerah BSD, Serpong, Tangerang……”
“Whaaat…” Gua bicara setengah Cumiik.
“Berisik bet lu..” Ilham bicara ke gua, mewakili beberapa karyawan yang sepertinya juga merasa terganggu dengan pekikan gua, namun tak berani menegur, hanya memandang dengan mata tajam.
“Oke.. Ayo kita jalan-jalan cari cewek…” Gua lalu berbisik pelan ke arah Ilham.
---
“Lah, gua mah bisa abis di ongkos…” Gua ngedumel kepada Bang Boi, Ilham dan Daus dipelataran mini market di belakang kantor, sore itu menjelang Maghrib.
“Sama bang..” Ujar Daus yang rumahnya berlokasi di daerah Pesing.
Sementara, Bang Boi dan Ilham terlihat santai menanggapi berita pindahnya kantor. Ya, keduanya memang berdomisili di Bintaro, yang hanya setengah jam perjalanan ke BSD, Tangerang.
“Ini kan pertanda bagus buat lu rip…” Bang Boi angkat bicara
“Maksudnya bang?” Gua bertanya, kurang jelas dengan arah bicaranya.
“Lu, doa minta sama Tuhan, dikasih jawaban; Dilarang sama Bokap-lu, Marcella pergi dan kantor pindah… apa itu namanya kalo bukan jawaban dari Tuhan? emang bener takdir lu nggak ama Marcella..” Bang Boi menjelaskan
Ilham menggut-manggut mendengar penjelasan Bang Boi, kemudian angkat bicara; “Masuk Kadal, masuk kadal..”
“Kok masuk kadal dah bang…?” Daus mempertanyakan ucapan Ilham.
“Ya maksudnya masuk akal, dauuuus….” Ilham menggugat.
“Ya elu ngapa ngomongnya masuk kadal bang ilhaaaaaam…” Daus balik menggugat.
“Ya namanya juga plesetan dauuusssssss….”
“Emang ngapa diplesetin?” Daus kembali bertanya, sambil pasang tampang pura-pura bodoh.
“Biar Lucuuuuu….” Ilham dan Bang Boi menjawab bersamaan.
“Oooooh… gitar*..” Daus meng-oh-kan
“Jreeeeng….” Gua, Ilham dan Bang Boi menjawab bersamaan.
*Ini maksudnya plesetan dari “Oooh.. gitu..”
Belum selesai kami berempat tertawa terbahak-bahak, sebuah tepukan lembut dibahu mengagetkan gua.
“Ariiif, apa kabar…”
Gua menoleh.
“Eh, Fan.. lo kok disini?”