Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

uliyatisAvatar border
TS
uliyatis
Tumbal
Tumbal

Sebuah senyuman misterius muncul di
wajah cantiknya, membuat seluruh bulu kudukku berdiri. Meniupkan perasaan takut di hati. Malam sudah tiba ketika aku mencoba menghindar dari pandangan tajam pemilik wajah cantik itu.

Senyum penuh misteri itu masih bertengger, menghias bibir ranumnya. Entah apa yang membawa perempuan berdarah indo itu ke tempat tinggal kami.

Tubuh semampai, kulit putih, hidung mancung dengan rambut setengah ikal, membuat ia menjadi primadona di kampung kami. Dipuja dan dikejar-kejar banyak pemuda. Bukan hanya yang berasal dari sekitar tempat tinggal kami saja. Tapi, juga berasal dari tempat lain.

Bulu romaku semakin merinding, tidak tahan melawan hawa dingin yang mengalir dari raganya. Meski cahaya lampu tepat berada di atas kepala, hawa dingin itu masih tetap memancar dari tubuhnya.

"Ris, boleh aku masuk?"

Walau rasa takut itu masih ada, aku berusaha menepisnya. Tidak enak dengan Mbak Lastri, nama wanita misterius itu. Aku pun mengangguk
dan mempersilahkan dia untuk masuk.

"Sendirian?"

Seketika aku terkesiap mendengar pertanyaannya. Ada debaran aneh mengganggu irama jantungku. Cukup lama, aku memandangi wajah cantiknya, mencoba menerka apa arti senyuman di balik pertanyaannya tadi.

"Ada Mas Endro, lagi di belakang."

Senyumannya seketika menghilang saat aku mengucapkan nama Mas Endro. Aneh. Wajah Mbak Lastri pun tidak terlihat secantik tadi. Ada apa ini? Berkali-kali aku mengucap istighfar dalam hati.

Wajah Mbak Lastri juga berubah semakin pias. Tangannya gemetaran, tidak mampu menjangkau perutku yang sedang membuncit. Aku sedang mengandung anak pertama. Sepertinya ia bermaksud mengusap perutku.

"Ada apa, Mbak?"

Dia menggeleng. Ada kecemasan terpancar dari sorot matanya. Buru-buru Mbak Lastri pamit. Seperti ada sesuatu yang membuatnya ketakutan. Aku bisa melihat keringat sebesar biji jagung membasahi dahinya yang mulus.

Tanpa berbasa-basi dia meninggalkanku sendiri. Bingung akan tindak-tindaknya yang aneh. Tidak seperti biasanya, ujarku lirih.

Meski diliputi misteri, aku membiarkan saja Mbak Lastri pergi. Usai kepergian dia, udara tidak lagi sedingin tadi. Suasana pun tidak begitu mencekam lagi. Semua kembali seperti biasa.

Aku lantas menggeleng, tidak mengerti fenomena apa yang terjadi. Sementara bayangan Mbak Lastri telah menghilang.

Tepukan Mas Endro di pundak, membuatku tersadar dari lamunan. Entah sudah berlama aku berdiri sambil menatap ke arah jalan.

"Ada apa, Ris? Tidak baik malam-malam termenung. Nanti bisa kesambat lho," tegur Mas Endro. Aku mengangguk saja. Tertunduk-tidak berani mengatakan yang sebenarnya.

"Ayo, tutup pintunya. Kamu harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Banyak hal-hal misterius yang terjadi akhir-akhir ini." Kembali Mas Endro menasehatiku.

Memang benar kata Mas Endro tadi. Beberapa hari lalu, Surti tetangga di ujung kampung, tiba-tiba ditemukan dalam keadaan meninggal. Bayi dalam kandungannya pun raib.

Entah apa penyebabnya. Tidak ada yang berani mereka-reka. Apalagi, menuding siapa pelakunya. Beberapa tetangga terdengar kasak-kusuk, menceritakan peristiwa ganjil itu.

Bukan hanya sekali itu saja. Warga kampung sebelah pun ada yang mengalami hal yang serupa. Menurut sesepuh kampung, ada orang yang sedang menuntut ilmu. Jadi membutuhkan banyak tumbal untuk menyempurnakan ilmu yang sedang dipelajarinya itu.

Bulu kudukku terus merinding, teringat perkataan mereka. Siapa yang tega menjadikan nyawa manusia sebagai tumbal atas ilmu-ilmu tersebut?

Aku menarik napas panjang. Menahannya sebentar dan mengeluarkannya perlahan dari mulut. Di kejauhan, terlihat Mbak Lastri mondar-mondar di salah satu tetanggaku yang juga sedang hamil tua.
Untuk apa ya Mbak Lastri mondar-mondir di sana? Kan Mbak Lastri tidak terlalu mengenal mereka. Jangan-jangan ada sesuatu dengan Mbak Lastri?

Kecurigaan sontak kuarahkan kepada perempuan cantik itu. Tidak biasanya dia berada di sana. Aku terus saja memperhatikan tingkah Mbak Lastri. Khawatir terjadi sesuatu pada penghuni rumah yang tengah dikunjungi secara diam-diam.

Rasa penasaranku pun membuncah. Membuat tidak ingin beranjak, meski sudah lumayan lama memperhatikan ia. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja diserang kantuk yang luar biasa. Aku sendiri bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba ingin merebahkan diri.

Akhirnya aku tertidur di atas sofa. Tidak sanggup lagi mengawasi gerak-gerik Mbak Lastri. Tidak mampu lagi memperhatikan setiap tingkahnya yang mencurigakan.

Suara adzan ashar membangunkanku dari tidur. Astagfrullah ...! Ternyata lumayan lama juga tertidur tadi. Beruntung Mas Endro belum pulang dari bengkel. Kalau tidak, pasti tidak enak rasanya.

Sesaat, aku memandang ke arah rumah tetangga tadi. Mbak Lastri sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Pasti dia sudah minggat dari tempat itu.

Suara adzan telah usai, aku segera berjalan menuju kamar mandi. Mandi, mengambil air wudhu dan bersiap menunaikan sholat ashar.

Belum lama menyelesaikan rakaat terakhir, suara jeritan terdengar dari arah sana. Isak tangis bercampur kemarahan terdengar jelas. Suara makian pun terdengar dari salah satu mulut mereka.

Rumah yang memiliki jarak kurang lebih 100 meter itu kini mulai ramai dikunjungi tetangga lain. Ibu-ibu, bapak-bapak, tua , muda berlomba menuju ke situ.

Semua penasaran ingin menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi. Aku juga ingin pergi ke sana. Tapi , berkali-kali Mas Endro sudah wanti-wanti untuk tidak sembarangan keluar rumah. Bau tubuhmu sekarang sedang wangi-wangina di penciuman mereka, Ris. Itu kata Mas Endro kemarin.

Antara percaya dan tidak, aku menanggapi perkataan Mas Endro kemarin. Namun, kejadian barusan mau tidak mau membuatku percaya pada akhirnya. Bahwa memang ada orang yang bersekutu dengan makhluk penghuni alam kegelapan.

Suara ketukan terdengar bertubi-tubi. Mas Endro yang melakukannya. Mukanya terlihat pucat saat menatapku. Dia benar-benar sangat cemas. Aku diperhatikan dari ujung ramput sampai ujung kaki, memeriksa apakah aku baik- baik saja atau tidak.


'Aku ndak apa-apa, Mas. Jangan terlalu cemas!'

Mas Endro sepertinya benar-benar khawatir dengan teror yang menimpa perempuan hamil di kampung kami. Wajahnya terlihat memucat, memendam kegelisahan. Segera kugenggam sepasang tangan kekar Mas Endro. Sekedar mengurangi kegelisahan yang terpendam.

"Mulai sekarang kamu harus lebih berhati-hati ya,Ris. Jangan terlalu percaya dengan orang asing!"

"Iya, Mas," ujarku lemah.

"Oh ya, Mas. Tadi siang aku melihat Mbak Lastri berdiri cukup lama di rumah tetangga kita itu. Entah apa yang dilakukan Mbak Lastri? Padahal dia kan tidak terlalu mengenal mereka."

Mas Endro terbelalak mendengar perkataanku barusan. Keningnya terlihat berkerut dengan alis terangkat. Apa sebenarnya yang dilakukan perempuan itu? Terdengar olehku desisan lirih Mas Endro.

Cukup lama dia terlihat seperti orang yang berpikir keras, jemari tangannya sesekali ditekuk dan ditautkan satu demi satu.


'Dari sekarang, jangan dekati Mbak Lastri lagi,Ris. Kalau tidak ada Mas, jangan pernah mau membuka pintu buat siapa pun.'

Aku tidak ingin terlalu banyak berkomentar dan mengiyakan saja perkataan mas Endro.Mungkin memang ada baiknya kalau lebih berhati-hati.

Tidak terasa waktu berlalu, sudah menginjak 2 minggu sejak peristiwa. mengerikan itu. Berkali-kali Mbak Lastri mencoba mendekatiku. Namun, aku selalu menemukan alasan untuk menghindarinya.

Di setiap sudut rumah pun, Mas Endro menempel rajah berisi beberapa ayat suci Al-Quran seperti ayat kursi, untuk melidungi dari sesuatu yang berasal dari alam gaib.

Aku menjadi lebih tenang saat ditinggal Mas Endro bekerja di bengkel. Memang jarak antara tempat tinggal kami dengan bengkel tidak terlalu jauh. Paling hanya sekitar 500 meter saja.

Hampir setiap saat , Mas Endro meluangkan waktu memeriksa keadaanku. Untuk berjaga-jaga saja, karena usia kandunganku sudah melebihi 9 bulan. Beberapa hari lagi, saat kelahiran bayi kami akan tiba.

Pagi ini, Mas Endro juga tidak ingin berangkat kerja. Kurang enak badan, katanya. Bisa saja, karena terkadang Mas Endro harus lembur menyelesaikan pekerjaan dari beberapa pelanggan yang minta agar kendaraan mereka segera bisa dipakai.

'Mas, udara pagi ini, dingin sekali, ya?'

Mas Endro tersenyum kecil menanggapi ucapanku. Laki-laki sederhana, berpenampilan apa adanya itu memberikan segelas air putih yang telah didoakan olehnya usai sholat subuh tadi.

"Minumlah, Ris! Semoga Gusti Allah melindungimu dari godaan makhlus astral," ucapnya seraya menyodorkan segelas air putih.

Aku pun segera menyeruput air putih itu. Rasa segar segera merasuk ke seluruh tubuhku. Pikiran pun kembali jernih, tidak lagi dikejar-kejar ketakutan.

"Apa sebaiknya Mas istirahat di rumah dulu hari ini."

"Sepertinya begitu, Ris. Badan Mas pegal-pegal semua."

Aku mengangguk-bahagia karena hari ini ada Mas Endro di rumah. Bisa mengurangi sedikit ketakutan akibat teror yag melanda akhir-akhir ini.


Sebuah seruan, menghentikanku yang sedang asyik mendengar beberapa potong ayat suci Al-Quran dari ponsel milik Mas Endro. Suara yang tidak asing lagi-Mbak Lastri yang mencoba untuk terus memanggil.

"Jangan hiraukan,Ris! Terus saja fokus pada Murotal itu." Suara Mas Endro, mengalahkan suara Mbak Lastri yang terus menggoda.

Aku menguatkan diri untuk tidak membalas panggilan perempuan cantik itu. Sementara langkah Mas Endro sudah tiba di depan pintu. Dari balik tirai jendela aku mengintip percakapan antara mereka berdua.

Mbak Lastri menatap Mas Endro dengan geram. Ada kemarahan terpancar dari netranya. Lututku tiba-tiba gemetar, melihat pemandangan di luar. Aku bisa merasakan ada juga kekesalan dari raut wajah Mas Endro.

Setelah menemui Mbak Lastri, Mas Endro bergegas masuk rumah. Sementara perempuan itu memandang nyalang ke dalam rumah, seolah tahu aku sedang bersembunyi di balik jendela.

"Ris, sepertinya benar dugaan Mas, kalau ada sesuatu yang janggal dengan sikap Mbak Lastri akhir-akhir ini."

Ucapan Mas Endro membuat lututku semakin gemetaran. Perasaan takut pun kian kuat menghantui. Kutelan air ludah yang terasa seperti menelan jamu pahit.

"Tidak apa-apa. Tidak usah ketakutan seperti itu. Nanti kita cari solusi secepatnyanya." Perkataan Mas Endro barusan membuatku dapat bernapas lega. Semoga saja kami bisa melewati teror dari Mbak Lastri ini.

Hari persalinan tinggal dua hari lagi. Mbak Lastri semakin sering saja lalu-lalang di depan rumah. Beberapa kali aku mendengar teguran dari tetangga sebelah dari dalam rumah, tapi Mbak Lastri begitu lihai berkilah. Berbagai macam alasan bisa ia utarakan.

Malam hari pun, entah mengapa aku menjadi sering mengigau. Mbak Lastri benar-benar bagai mimpi buruk buatku. Entah apa yang dilakukannya hingga tega meneror warga yang sedang hamil tua. Anehnya, kenapa warga sekitar tidak ada yang curiga. Apa karena wajahnya yang cantik dengan tutur bahasa lemah lembut. Sehingga tidak ada seorang pun yang percaya, kalau Mbak Lastrilah penyebab banyak kematian wanita hamil di tempat ini.

Seperti yang aku alami malam ini. Mas Endro sudah lama tertidur, saat sebuah lemparan cukup keras menghantam pintu. Membuat Jantungku berdetak sangat kencang. Untuk sepersekian detik aku hanya bisa mematung, tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Perlahan sekali, aku mengguncang-guncang tubuh Mas Endro agar ia segera bangun. Suamiku itu kaget dengan guncangan yang ternyata cukup keras itu.

"Ada apa sih, Ris! Ini masih jam 2 malam, lho. Mas, masih mengantuk."

"Tadi ada yang melempar pintu, Mas. Keras sekali!"

Sambil mengucek mata, Mas Endro turun dari tempat tidur. Sepertinya hendak memeriksa pintu depan. Aku beringsut membuntuti seraya memegang ujung kaos Mas Endro,


"Mas, hati-hati!" aku mengingatkan suamiku.

Dia hanya tersenyum sambil terus berjalan menuju jendela. Lampu di ruang tamu masih tetap mati. Sengaja tidak dihidupkan agar tidak terlihat dari luar.

Di depan jendela, kami berusaha mengintip siapa yang iseng malam-malam mengedor pintu rumah kami. Kakiku seketika gemetar saat melihat siapa yang tengah berdiri di depan pagar. Mbak Lastri! Tapi penampilannya benar-benar berubah. Rambut berantakan, wajahnya pun penuh bopeng, tidak cantik seperti yang kukenal.

"Mas ...," desisku lirih. Takut kedengaran perempuan itu.

"Tidak apa-apa. Tidak usah takut. Dia tidak akan berani masuk!"

Penjelasan Mas Endro sedikit mengurangi rasa takutku. Bagaimana pun, ini pengalaman yang mengerikan bagiku.

Aku tidak pernah menyangka, perempuan seperti Mbak Lastri bisa berpenampilan mengerikan seperti itu.

"Mas, apa yang terjadi dengan Mbak Lastri?" tanyaku ingin tahu.

"Sepertinya dia sedang menuntut ilmu hitam, yang membuatnya untuk tetap cantik dan muda."

Aku tertegun mendengar penuturan Mas Endro. Benarkah itu? Tidak pernah terbayang olehku.

"Apa Mbak Lastri bukan penduduk asli kampung kita, Mas?"tanyaku lagi. Benar-benar penasaran.

Mas Endro terdiam sejenak. Kemudian ia menceritakan seluruh kisah hidup Mbak Lastri. Di mana dulu dia dan keluarganya disingkirkan warga karena dianggap keluarga dukun yang berbahaya. Bisa menyantet dan menyebabkan banyak orang celaka.

Beruntung akhirnya Mbak Lastri bisa selamat dari amukan warga, meski kondisi tubuhnya dalam keadaan luka parah. Dia ditampung di salah satu warga yang merasa kasihan. Setelah beberapa waktu, Mbak Lastri ikut warga itu ke kota dan baru kembali kurang lebih 2 atau 3 tahun yang lalu.

Saat pulang kondisi fisiknya sudah berubah menjadi lebih cantik. Penampilannya pun tidak mencerminkan kalau dia adalah anak seorang dukun yang pernah diamuk massa.

Warga juga sudah melupakan peristiwa itu dan menerima kedatangan Mbak Lastri kembali. Tapi anehnya, setelah kepulangan Mbak Lastri, banyak perempuan hamil di sekitar kampung tewas dengan keadaan mengenaskan. Bayi yang dikandung pun ikut raib.

Aku tidak mampu bergerak, usai mendengar penjelasan Mas Endro. Sementara di luar Mbak Lastri seperti menggila, bolak-balik. Wajahnya menjadi semakin beringas. Tangannya mencoba pintu pagar. Tapi segera ditarik kembali.

Keputusasaan melanda dirinya kini. Kulit wajah mulus itu kini semakin menjijikkan. Penuh bekas luka. Membuat perutku tiba-tiba terasa mual.

Mas Endro memejamkan mata, seperti membaca sesuatu. Mataku tak berkedip memandang kejadian di luar. Tampak Mbak Lastri kian gencar membuka pintu pagar. Matanya semakin memerah, seperti biji saga. Kuku tajam mulai tersembul, membuat ia tampak seperti makhluk yang bersekutu dengan iblis.

Dadaku berdegup kencang. Ternyata ilmu Mbak Lastri lumayan tinggi. Dia berhasil melewati pintu pagar. Beruntung bunyi lantunan ayat suci Al-Quran dari musholla segera menghentikan langkahnya.

Tidak terasa subuh sudah menjelang. Hampir 2 jam lamanya Mbak Lastri bergumul, mencoba masuk. Sambil berteriak histeris, perempuan itu berlari menerjam rinai yang baru turun.

Perempuan yang dilanda dendam kesumat, menjadikan dirinya alat pemuas iblis. Memanfaatkan rasa sakit hatinya, sehingga rela mencari tumbal untuk sebuah keserakahan. Itu yang kudengar dari Mas Endro.

Aku semakin tercenung, menyaksikan peristiwa itu. Sementara semakin banyak warga mulai lewat menuju musholla. Sebentar lagi waktu subuh akan tiba, aku dan Mas Endro juga bersiap-siap melaksanakan sholat.

Pagi harinya banyak tetangga tidak menyadari drama yang terjadi tengah malam tadi. Semua seperti tersihir, terlelap dalam tidur. Bahkan teriakan histeris Mbak Lastri pun tidak terdengar. Mereka hanya sibuk kasak-kusuk mempertanyakan kebenaran cerita pada Mas Endro. Sementara keberadaan Mbak Lastri tidak ada yang tahu. Ia seperti lenyap di telan bumi.


Beberapa hari kemudian dari beberapa kerabat jauhnya diperoleh informasi kalau Mbak Lastri telah ditemukan tewas dalam keadaan mengerikan. Tubuhnya penuh luka cabikan, seperti terkena goresan benda-benda tajam. Akhirnya ia menjadi tumbal atas persekutuannya dengan iblis, akibat tidak bisa menyediakan tumbal berupa perempuan hamil.

Penuh rasa syukur, aku memandang langit yang mulai terang. Matahari telah lama berada di singgasananya. Panas teriknya telah menyusup ke seluruh penjuru, bersama ketenangan yang kini mengalir.

Aku tidak lagi diteror peristiwa misterius itu. Bahkan proses persalinan pun berjalan lancar. Satu hal yang membuatku bertambah yakin adalah bahwa Allah akan menjaga seluruh hamba-hamba-Nya yang tetap percaya dan berlindung pada-Nya.

Udara pagi menerpa lembut kulit tubuhku. Membuat buah cinta kami tergolek pulas. Kelahiran yang telah lama ditunggu akhirnya tiba jua. Meski pernah dilanda teror menakutkan. Aku bisa melewatinya dan berhasil lolos dari tumbal Mbak Lastri.


Curup, 12 Oktober 2019

Sumber foto: pixabay.com
https://pixabay.com/id/photos/fantas...gurun-2925212/
Diubah oleh uliyatis 05-02-2020 09:35
jenggalasunyi
cheria021
bejo.gathel
bejo.gathel dan 95 lainnya memberi reputasi
96
28.5K
382
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
uliyatisAvatar border
TS
uliyatis
#19
Memutus Perjanjian dengan Penghuni Bukit Terlarang
Tumbal


Bulan purnama hampir berbentuk bulat sempurna malam ini. Suara lolongan anjing liar terdengar panjang-memilukan. Seolah meneriakkan dan menyambut datangnya penghuni alam kegelapan.

Sayup-sayup terdengar suara erangan dari rumah Mbah Siem. Rintihan kesakitan, yang tidak tahu apa penyebabnya. Aku menajamkan pendengaran, hendak menyimak bunyi erangan itu. Kebetulan rumah perempuan tua itu, bersebelahan dinding denganku. Mbah Siem, ibu dari almarhum ayah.

Bunyi ringkikan kuda, tiba-tiba saja terdengar dari luar. Hei, di daerah sini tidak ada yang memelihara kuda, bagaimana bisa ada seekor kuda malam-maalam, ucapku tidak mengerti. Cuaca yang dari tadi biasa saja, seketika dilanda angin yang sangat kencang. Kemudian suara seperti benda jatuh mengakhiri tiupan putting beliung itu.

Perlahan, aku membuka sedikit saja tirai jendela, mencoba mengintip apa yang terjadi di depan rumah Mbah Siem. Alangkah terkejutnya, ketika aku melihat sesosok laki-laki tanpa kepala, duduk di atas seekor kuda putih, menghadap rumah Mbah Siem, sambil menenteng kepalanya.

Bibirku langsung terasa kelu, tidak mampu berkata sepatah kata pun. Untung, aku tidak lupa untuk mengucapkan istighar dalam hati. Sehingga tidak membuatku pingsan.

Entah mengapa malam ini aku bisa melihat pemandangan menyeramkan ini, hanya Allah yang tahu. Apa mungkin karena ada indera keenam yang tersembunyi dalam diriku? Aku sendiri juga tidak mengerti.

Sementara di luar, penumpang berkuda itu sudah lenyap, menghilang bersamaan dengan lenyapnya suara erangan Mbah Siem. Seketika naluri ingin tahu segera muncul untuk menyelidiki kasus ini. Semoga saja, Mbah Siem mau jujur bercerita mengenai peristiwa apa yang menimpanya.

Keesokan harinya, aku sengaja bertamu ke rumah Mbah Siem untuk mencari tahu apa yang terjadi malam tadi. Rumah Mbah siem masih terlihat sepi, saat aku berada di depan pintu. Ada perasaan bimbang merasuk agar membatalkan kunjungnaku ini. Aroma negati terasa sangat menusuk.

Aku mengetuk pintu rumah Mbah Siem perlahan. Setelah mengetuk beberapa lama, akhirnya Mbah Siem muncul juga. Wajahnya memucat-dengan tatapan kosong. Dia tidak menjawab salam yang kuucapkan. Malah, menatapku dengan gelisah.

“Ada apa,Siah? Pagi-pagi kok sudah ada di rumah si Mbah?” tanya perempuan berusia lanjut itu.

“Siah boleh masuk, Mbah?” Aku tidak menggubris pertanyaannya, malah meminta izin agar diperbolehkan masuk.

Mbah Siem, memang cukup dekatku, apalagi sejak berpulangnya Ayah setahun yang lalu. Ibu selalu menitipkanku pada si Mbah, bila berangkat bekerja ke kota sebelah.

“Apa kamu ndak sekolah hari ini, Siah?” tanya si Mbah lagi-berusaha menyelidik.

“Hari ini libur, Mbah. Ada rapat guru-guru di sekolah,” jawabku pendek.

Mbah Siem pun lalu mempersilahkan aku masuk ke dalam rumah. Suasana rumah Mbah Siem tampak lengang. Memang Mbah Siem tinggal sendiri, sejak kematian suami dan anak-anaknya. Kematian yang tidak wajar menurutku, tapi tidak pernah ditanggapi oleh ibu ketika aku mengungkitnya.

“Mbah, hari ini ndak jualan ke pasar?”

Mbah Siem menggeleng. Aku bisa melihat tubuhnya begitu letih-tidak ada gairah hidup. Padahal,Mbah Siem setiap pagi selalu bersemangat berangkat ke pasar.

“Mbah,sakit?” tanyaku semakin penasaran.

“Sedikit,Siah. Mbah pusing. Kebun kelapa dan palawija Mbah, dirusak orang.” Mbah Siem menceritakan perihal yang mengganjal dalam hatinya.

“Ya,udah . Mbah istirahat saja,” tuturku kemudian.

Mbah Siem hanya mengangguk,sementara bibirnya seperti mengucapkan sesuatu dalam hati. Aneh , tidak biasanya si Mbah bersikap seperti ini. Mbah, orangnya periang-tidak mudah mengeluh walaupun banyak masalah yang menimpa.

“Mbah …,” panggilku perlahan. Rasa ingin tahu tentang kejadian semalam, membuatku terpaksa bertanya.

“Ada apa, Nduk?” Beliau menarik napas sangat panjang.Terlihat ada beban berat yang menggantungi pikirannya.

“Mbah sakit apa malam tadi? Kok erangan si Mbah,sampai ke rumah?”

Mbah Siem memandangku sambil tersenyum kecut. Hanya sakit kepala biasa saja, ujar Mbah Siem menjelaskan. Tampaknya memang ada yang disembunyikan oleh Mbah Siem. Namun, aku tidak tahu lagi bagaimana mengorek keterangan lebih lanjut dari si Mbah.

“Mbah, Siah numpang ke kamar mandi dulu ya?” Entah mengapa, seperti ada yang membisikiku untuk menuju kamar mandi.

Mbah Siem tidak berkata apa-apa selain mengangguk, mengizinkan aku pergi ke sana. Benar saja,saat aku baru saja hendak menginjak lantai kamar mandi,seperti ada bayangan yang tiba-tiba melintas. Wajahku segera pias-terkejut melihat penampakan itu.

Seorang perempuan berambut panjang, cantik dan berwajah pucat. Seperti mirip seseorang, tapi aku lupa di mana pernah bertemu. Perempuan itu menatapku dengan pancaran kesedihan. Aku bisa melihat jelas, dia memang sengaja ingin memperlihatkan wujudnya di hadapanku.

“Kamu siapa ?” Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya aku berani bertanya.

“Aku, salah satu putri Mbah Siem, Siah? Kau bisa melihatnya di salah satu foto yang dipasang di dinding,” ujarnya menjelaskan.

Aku ternganga-takjub bisa bertemu dengan anak perempuan Mbah Siem yang meninggal kurang lebih 5 tahun yang lalu.

“Bulek … Bulek kan sudah meninggal?” tanyaku lagi terbata-bata.

Dia hanya tersenyum miris. Kemudian, dia menyuruhku untuk pergi ke kuburan dekat kebun Mbah Siem, nanti malam selepas magrib. Sebenarnya, aku ingin menolak tapi rasa penasaran ingin segera mengungkap peristiwa misterius ini,membuatku mengiyakan saja permintaan Bulek Kiem.

Akhirnya aku pun menyanggpi permintaan anak perempuan Mbah Siem. Setelah itu, wujudnya pun menghilang. Aku mengucapkan istifghar dalam hati. Benar-benar misteris, bisikku.

Setelah berbasi-basi sebentar dengan Mbah Siem, aku pun pamitan pulang. Aku harus lebih mempersiapkan mental dan fisik untuk menemui Bulek Kiem, putri Mbah Siem malam nanti. Aku masih dapat melihat dari ekor mata, Mbah Siem seperti memberi sinyal agar aku pasrah saja.

----------


Pekerjaanku hari ini benar-benar kacau. Perjumpaan dengan Bulek kIem tadi bermain di benak, membuatku lebih banyak termenung. Peristiwa yang mungkin selama ini menjadi tanda tanya besar bagiku, apakah bisa terkuak? Ah, entahlah. Biarlah Allah saja yang membimbingku untuk mengetahui hal ini.

Azan magrib baru selesai berkumandang, saat aku melangkah ke kamar mandi-mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajiban di ujung petang ini. Aku benar-benar menyerahkan seluruh tubuh dan pikiran-memohon petunjuk dan kekuatan menghadapi persoalan ini. Sementara langit sudah mulai diselimuti kegelapan. Beruntung, cuaca malam ini tidak mendung.

Perlahan aku ke luar rumah, menyusuri jalan kecil menuju kuburan keluarga yang terletak di ujung desa. Jaraknya hanya memakan waktui setengah jam saja dari rumah. Kebun kelapa yang berusia puluhan tahun itu terlihat sepi. Adanya sebuah pondok penjaga di tengah kebun, membuat aku sedikit tenang.

Aku sengaja bersembunyi di belakang sebuah pohon kelapa yang terletak tidak jauh dari kuburan Bulek Kiem. Menanti, kejadian apa selanjutnya yang harus kulihat.

Belum terlalu lama menunggu, sebuah bayangan berkelebat menghampiri tempatku berdiri. Benar saja bayangan itu milik Bulek Kiem. Dia memandangku dengan sebuah senyuman di wajah pucatnya. Heran, aku tidak merasa takut sedikit pun. Meski harus berhadapan dengan makhluk halus seperti Bulek Kiem.

Aroma bunga melati yang barasal dari arwah Bulek Kiem, menyengat penciumanku. Wajar saja, aku sedang berhadapan dengannya, jadi tidak mencium bau amis.

“Siah, maaf, Bulek harus melibatkanmu kali ini!” Ucapan bulek membuatku terkejut. Aku semakin bingung. Ada apa sebenarnya? Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan.

Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Bulek pun melanjutkan lagi perkataannya. Jiwamu sedang terancam, Siah. SI Mbah memberikanmu sebagai tumbal karena terikat perjanjian dengan penghuni bukit larangan.

“Apa …?” Wajahku sepertinya telah memucat kini. Tidak menduga sama sekali bakal menjadi calon korban persembahan makhluk-makhluk itu.

“Seharusnya, perjanjian itu sudah harus dihentikan, tapi tidak ada yang bisa menghentikannya. Apalagi makhluk itu terlalu kuat dan kejam. Sudah terlalu banyak jatuh korban.”

Aku tidak konsentrasi lagi mendengar perkataan Bulek Kiem. Lututku sudah terasa sangat lemas. Bagaimana kalau aku tidak bisa lolos dari incaran makhluk kegelapan itu? Apa yang akan terjadi pada kami? Sudah 5 nyawa yang hilang untuk dijadikan tumbal oleh Mbah Siem. Suami Mbah Siem, Bulek Kiem, Bude Parti, Siti anak Bude Parti, dan terakhir Ayah.

Siapa mereka sebenarnya, Bulek?” tanyaku pada akhirnya.

Mereka adalah makhluk-makhluk penunggu bukit di ujung kampung. Dulu, si Mbah meminta pesugihan pada mereka karena tidak kuat diejek sebagai orang miskin. Berhari-hari, Mbah bermeditasi memohon petunjuk, sehingga akhirnya berhasil menemukan pesugihan itu.

Setiap tahun, pada saat purnama ke sepuluh, Mbah harus membawa seorang tumbal untuk dipersembahkan di altar batu, di kaki bukit. Korban persembahan harus berasal dari keturunan Mbah dan tidak boleh orang lain, sebelum keturunan langsung benar-benar sudah habis ditumbalkan.

Aku bergidik mendengar penjelasan Bulek Kiem. Ketakutan membayang di pelupuk mata. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Bisikku pasrah. Tidak sadar aku mengucapkan ayat Kursi dan surat Alfatihah.

“Stop, Siah. Hentikan dulu bacaan itu. Panas!” Aku terkejut mendengar jeritan Bulek Kiem. Ternyata, bacaan itu berefek pada makhluk astral seperti Bulek.

Aku segera menghentikan bacaan itu karena melihat arwah Bulek Kiem berteriak kepanasan. Kemudian, dia melanjutkan cerita mengenai makhluk yang berasal dari kegelapan itu. Sebenarnya, Mbah tidak tega untuk mengorbankan aku, itulah mengapa si Mbah menjerit malam tadi. Hanya saja, Mbah tidak bisa berkutik saat berhadapan dengan makhluk tanpa kepala dari bukit terlarang.

“Apa Siah bisa memutus perjanjian ini, Bulek?” tanyaku lirih. Aku tetap percaya, kalau Allah pasti akan mau menolongku keluar dari kemelut ini. Keyakinan yang selama ini dilupakan dan ditinggalkan Mbah Siem.

“Siah harus bergegas melakukan berbagai persyaratan, untuk bisa terbebas dari perjanjian ini. Waktunya tidak lama lagi,” jawab Bulek Kiem masgul.Tampak kesedihan terpampang di matanya.

“Apa yang harus Siah lakukan, Bulek?”

Arwah itu pun lalu menjelaskan hal-hal yang harus kulakukan. Pertama, aku harus berpuasa selama tujuh hari ini, karena waktu persembahan tumbal tinggal tujuh hari lagi. Selama tujuh hari itu, aku tidak boleh makan barang-barang bernyawa seperti ikan atau daging. Aku juga dilarang memakai pakaian berwarna, harus memakai pakaian berwarna putih atau hitam saja.

Aku mengangguk saja mendengar persyaratan yang harus kujalani. Ditambah satu persyaratan lagi, ketika hari ke tujuh saat dilakukannya upacara pemenuhan perjanjian itu, aku tidak boleh menoleh ke belakang, meski dipanggil oleh si Mbah sekali pun.

Langit sudah semakin kelam, saat Bulek Kiem akhirnya kembali ke alam asalnya. Aku memandang kepergiannya dengan ucapan penuh terima kasih. Dia harus rela gentayangan agar tidak ada lagi keturunan kami yang menjadi korban pesugihan.

Sedikit bernapas lega, aku melangkah pulang. Baru aku sadari, mungkin itulah sebabnya, mengapa ibu lebih suka bekerja di luar kota dari pada harus menunggu nasib sebagai tumbal.

________

Selama tujuh hari menjelang waktu pemberian tumbal itu, aku melaksanakan semua persyaratan yang diutarakan Bulek Kiem kemarin. Memang sangat tidak mudah untuk melaksanakannya, godaan begitu banyak. Si Mbah seperti sengaja memberikan lauk daging dan ikan hampir setiap hari, belum lagi aneka pakaian baru berwarna-warni selalu disodorkan si Mbah saat pulang dari pasar.

Ada saja saat aku benar-benar tergoda dengan sajian enak-enak yang selalu diberikan si Mbah, tapi Alhamdulillah, Allah tetap menolongku, sehingga aku bisa menepis godaan itu. Apalagi, bayangan Bulek Kiem juga ikut mengawasi, sehingga akhirnya aku bisa melewati semua godaan itu.

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, sehingga tibalah saat aku memasuki penghujung hari ke tujuh. Di mana aku harus siap untuk dikorbankan si Mbah sebagai tumbal. Setelah salat Magrib, tiba-tiba gawaiku berdering, ternyata Ibu yang menelphon.

Suara tangis Ibu terdengar jelas dari seberang telephon. Aku berusaha menenangkan ibu yang terus menangis. Ibu hanya mengatakan kalau dia sangat menyanyangiku dan bersedia melakukan apa saia. Namun, si Mbah melarang karena memang ini adalah waktuku.

Aku berusaha membesarkan hati Ibu, kalau apa yang dilakukan beliau sudah cukup untukku. Ibu tidak bisa menjadi tumbal, karena bukan keturunan langsung si Mbah. Ayah yang ternyata menjadi korban pesugihan si Mbah. Itu menurut keterangan Bulek Kiem kemarin.

Sampai gawai kututup, isak ibu masih terus terdengar. Aku hanya bisa menghela napas panjanng sambil tetap berusaha membaca istifhar dan mengulang-ulang terus bacaan Alfatihah dan ayat Kursi. Pun dengan ayat-ayat yang lain.

Menjelang tengah malam, saat semua orang sudah mulai terlelap, di depan rumah terdengar suara ringkikan kuda. Pintu rumah tiba-tiba terbuka, pria tanpa kepala itu kembali muncul di hadapanku. Ingin pingsan rasanya, tapi bayangan Bulek Kiem seakan memberi kekuatan untuk mencegahku melakukannya.

Pria itu lalu menunjuk ke arahku dan mencoba membuat aku seperti tertidur. Namun itu hanya dalam pandangannya saja, sebenarnya aku masih melek. Tidak terpengaruh sihirnya. Itu karena aku telah menyelesaikan persyaratan itu.

Tubuhku pun diangkat ke atas kuda dan di bawa melayang melewati rumah-rumah sampai ke ujung bukit. Di sana telah terlihat si Mbah bersama beberapa makhluk penghuni bukit larangan itu. Bentuk makhluk itu tidak ada yang sempurna. Rata-rata mereka tanpa kepala.

Sebuah altar terbuat dari batu berada di tengah-tengah kerumunan mereka. Kain berwarna merah telah disiapkan untuk menutupi tubuhku. Mereka seperti mendendangkan nyanyian yang ingin membiusku untuk segera tertidur.

Aku harus bersyukur, masih bisa meminta pertolongan Allah untuk melewati permasalahan ini. Dari beberapa cerita yang pernah kudengar, memang tidak mudah untuk melepaskan diri dari pengaruh makhluk-makhluk kegelapan ini.

Saat waktu telah menunjukkan jam dua belas malam, cuaca bertambah semakin dingin. Nyanyian mereka pun semakin beraroma mistis. Terkadang terdengar seperti orang orang menangis, di lain waktu seperti orang menjerit. Aku masih bisa sadar berkat puasa selama tujuh hari ini.

“Ini sudah saatnya ,Siem!” Sebuah suara tiba-tiba terdengar, membuat nyayian itu berhenti. Aku yang telah diletakkan di atas altar, ditutupi kain merah kemudian. Tapi, entah mengapa, tiba-tiba saja tubuhku bergerak. Sebuah suara menyuruhku untuk segera berlari dan tidak boleh menoleh sedikitpun.

Aku menutup mata sembari membaca ayat apa saja yang bisa kubaca, sambil berlari kencang meninggalkan bukit terlarang. Tidak kuperdulikan kakiku yang lecet, menginjak kerikil atau pun rumput-rumput liar di sepanjang perjalanan.

Aku terus saja berlari. Beberapa tangan kekar-mencengkeram pergelangan kaki, mencoba menghentikan lajuku. Namun, seperti ada kekuatan lain yang melepaskan cengkeraman tangan mereka. Kekuatan yang semakin memicu kemarahan makhluk-makhluk astral itu.

Jeritan kemarahan dan sumpah serapah pun kian terdengar jelas di telinga. Mereka menyumpah akan mengambil nyawa Mbah Siem sebagai pengganti diriku, juga akan memutus perjanjian yang telah terjalin selama ini. Serta akan mengambil seluruh harta benda yang telah diberikan karena pesugihan itu.

Air mata menetes begitu saja saat mendengar erangan kesakitan dari Mbah, membuat aku ingin segera menghentikan lari. Namun lagi-lagi bayangan Bulek Kiem seperti menutup indera pendengaran dan segera menggeret tubuhku untuk menjauh.

Sehingga akhirnya tiba di suatu tempat di mana bayangan Bulek Kiem menghentikan lariku dan menyuruh agar segera membuka mata .Betapa terkejutnya, ternyata aku berada dekat kuburan ayah, yang letaknya tidak jauh dari kuburan Mbak Kiem. Suara-suara makhluk tanpa kepala itu tidak terdengar lagi.

“Apakah aku sudah selamat, Bulek?” tanyaku dengan napas yang masih memburu. Aku bisa merasakan detak jantung begitu kencang.

“Iya,Siah. Kamu sudah selamat sekarang. Tugas Bulek sudah selesai. Terima kasih sudah mendoakan Bulek selama ini.”

Aku hanya mampu tersenyum lirih. Ada sebuah dilema yang mengganggu pikirankku.Bagaimana dengan nasib,Mbah? Aku benar-benar tidak tahu.

Bulek KIem juga tidak mau berbicara lagi tentang hal itu. Dia hanya tersenyum sebelum menghilang dari pandanganku.

Pagi telah menjelang, saat arwah Bulek Kiem sirna. Sinar surya juga mulai menerangi semesta. Aku mengusap nisan Ayah dan Bulek Kiem, menghadiahkan mereka surat Alatihah dan Yasin ,untuk melapangkan jalan mereka di alam sana.

Setelah itu, aku berjalan dengan lunglai menuju rumah. Di otakku kembali berkecamuk-ingin mengetahui keadaan si Mbah. Dan khabar yang kudapatkan setelah tiba di rumah,adalah keberadaan Mbah yang tidak tahu di mana. Semua harta peninggalan si Mbah, termasuk kebun kelapa dan kebun palawija, ludes terbakar. Termasuk rumah si Mbah.

Aku hanya bisa menatap puing-puing rumah Mbah Siem dengan nanar. Tetesan air mata kembali menggenang di pipi, sementara tetangga berulang kali memelukku, bersyukur akhirnya aku bisa lolos dari peristiwa mengerikan ini.

Sejak peristiwa itu, akhirnya aku meninggalkan kampung di mana selama ini aku dilahirkan dan dibesarkan. Di kediaman Ibu, sesekali aku masih melihat seorang penunggang tanpa kepala berkuda putih, berdiri di depan rumah. Dia hanya berdiri saja di sana, dengan suara isak sesekali terdengar dari arahnya. Suara yang mirip suara si Mbah.

Apakah itu memang Mbah yang harus menjadi penggantiku, menjadi salah satu penghuni bukit terlarang itu? Aku juga tidak tahu. Semua sudah terjadi, dan Mbah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena telah bersekutu dengan iblis.

Sumber foto : pixabay.com
Diubah oleh uliyatis 25-10-2019 10:36
jenggalasunyi
itkgid
bejo.gathel
bejo.gathel dan 25 lainnya memberi reputasi
26
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.