- Beranda
- Stories from the Heart
[TAMAT] Always Be My Baby
...
TS
saleskambing
[TAMAT] Always Be My Baby
![[TAMAT] Always Be My Baby](https://s.kaskus.id/images/2019/03/21/8577467_201903211113170946.png)
Mulustrasi, sumber
Tokoh dan karakter di cerita ini diambil dari cerita ini, boleh dibaca dulu biar tau, tapi lebih baik nggak usah.
Spoiler for Part 1:
Aku menurunkan bocah kecil ini dari gendongan, sedikit berjongkok agar bisa merapikan setelan seragamnya yang agak sedikit berantakan, lalu mulai memandangnya, persis seperti apa yang sedang dilakukan oleh orang tua lain yang juga ada di sini.
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
"Baiklah jagoan, sepertinya aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Sekarang tegakkan kepalamu dan berlarilah ke sana, lalu taklukkan tempat sialan bernama sekolah itu! "
Aku menepuk pelan bahu lelaki kecil yang kini sedang berdiri di depanku, memberinya kata kata penyemangat seperti yang biasa kujumpai di film film, lalu mengusap pelan kepalanya. Sementara bocah kecil yang tahun ini genap berusia lima tahun itu terlihat sedang tersenyum. Entah sedang apa, bahagia karena ini hari pertamanya masuk TK mungkin, atau justru menertawakan kata kata yang baru saja diucapkan ayahnya. Aku tidak tahu pasti, tapi apapun itu, ekspresi yang ia tunjukkan sebenarnya masih lebih baik. Jagoan kecilku itu hanya tersenyum santai di hari pertamanya berbaur dengan banyak orang, dia juga tidak menangis lalu meraung raung saat melihat sosok satpam sekolah yang wajahnya cukup menyeramkan, persis seperti yang terjadi saat dulu pertama kali ayahnya masuk sekolah.
Masih sambil tersenyum, dia kemudian mencium telapak tangan kananku. Lalu dengan semangatnya berbalik dan berlari menuju ruang kelas yang letaknya tak jauh dari tempatku berjongkok di hadapannya tadi. Sempat terdengar samar samar dia mencibirku, yang hanya kurespon juga dengan sebuah senyuman tipis.
"huu dasar ayah, kebanyakan nonton film.. " Ucapnya riang sambil berlari. "nanti jangan lupa jemput Irfan yaa yaahh.."
Aku mengacungkan jempol kepadanya tanda setuju, lalu mulai bangkit dan berdiri untuk berjalan meninggalkan gedung sekolah. Berjalan di antara banyaknya orang tua yang juga sama sama sedang mengantar buah hatinya untuk mulai belajar dan mengenal lingkungan yang baru. Sedikit banyak aku mulai mengamati mereka satu persatu, ada yang sibuk mewanti wanti anaknya supaya nggak jajan sembarangan, ada yang sibuk membujuk anaknya supaya mau sekolah, sampai ada yang ikut ikutan nangis karena anaknya juga nangis gara gara nggak mau ditinggal. Yang secara tak langsung juga membuat aku tersenyum dan bersyukur, karena setidaknya jagoanku nggak se-'ribet' dan se rewel anak anak mereka.
Saat sudah berada di luar gedung dan bersiap untuk melangkahkan kaki menuju parkiran, mataku menatap sosok yang sepertinya sudah tidak asing lagi di pikiran dan kepalaku. Pandanganku menangkap sosok yang tak mungkin bisa kulupakan seumur hidup meski ada begitu banyak hal yang berubah dari penampilannya. Dari kejauhan, sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku karena dia terlihat masih sibuk menggendong gadis kecil yang meski aku benci mengakuinya, tapi memang terlihat begitu mirip dengannya.
Aku sebenarnya tidak begitu percaya saat melihat sosoknya lagi setelah sekian lama. Aku juga beberapa kali mengerjapkan mata karena masih berpikir kalau mungkin aku hanya salah lihat. Tapi semakin lama aku memerhatikannya, aku semakin yakin bahwa mataku sama sekali tak bermasalah.
Mengurungkan niat untuk meninggalkan tempat ini, aku kemudian mulai berjalan mengikutinya. Tentu sambil menjaga jarak agar dia juga tak menyadari keberadaanku. Aku terus mengikutinya, memperhatikan setiap langkah dari kaki jenjangnya, dan meski dia terlihat sedang terburu-buru, entah kenapa setiap langkah kakinya terlihat begitu menawan dimataku. Rambut hitamnya yang ikut bergerak seirama juga tak luput menambah daya tariknya. Seolah setiap gerakan tubuhnya memang sengaja diciptakan sebagai sebuah karya seni, yang selalu bisa dilihat dan dikagumi keindahannya dari sisi manapun.
Dia akhirnya berhenti tepat di depan ruang kelas yang beberapa saat yang lalu juga menjadi tempatku melepas kepergian jagoan kecilku. Secara perlahan aku mulai berjalan mendekatinya, meski aku juga masih bingung kata kata seperti apa yang nanti akan kuucapkan ketika sudah berada dihadapannya.
Wanita itu terlihat sedang mengatakan sesuatu kepada gadis kecil yang ada di depannya, mengusap usap kepalanya sebentar lalu mencium kedua pipinya. Dengan senyum ceria gadis kecil itu kemudian berlari menuju ruang kelas, meninggalkan entah kakaknya, tantenya, atau bahkan mungkin mamanya yang masih berjongkok di hadapannya.
Aku berjalan semakin mendekat, dia kemudian mulai bangkit dari posisinya. Kita akhirnya saling berpandangan saat dia sudah bangkit berdiri dan membalikkan badan. Bersamaan dengan itu, jantungku mulai berdegup lebih kencang. Dan aliran darahku mulai berdesir cepat dari ujung kaki ke ujung kepala.
Aku menatap matanya selama beberapa saat, mata sipit nyaris segaris itu selalu saja mampu membiusku saat ia tengah mencoba membuka matanya lebar lebar. Mata yang sedari dulu selalu membuatku yakin, bahwa tatapan mata indahnya memang hanya tercipta untukku.
"hh.. h.. hai.. ceell.. "
Setelah beberapa saat tertawan oleh tatapan matanya, aku akhirnya mampu membuka suara. Hanya sapaan kecil memang, tapi aku berharap bahwa sapaan itu mampu membuatnya menggerakkan bibir manisnya. Mampu membuatnya bersuara dan membiarkanku mendengarkan suara indah yang dulu selalu kurindukan.
"eh.. h.. hai.. faan.. "
Dia akhirnya membalas kata kataku, aku cukup senang mendengar suaranya, meski hanya kata kata itu yang dia ucapkan. Ada keheningan yang terjadi setelah itu. Dia masih terlihat bingung dengan semua yang terjadi di hadapannya, sementara aku juga masih belum bisa berkata atau melakukan apapun selain hanya bisa memandang wajahnya.
Aku kembali menatap matanya lekat lekat, dan kembali tenggelam dalam tatapan matanya yang terasa begitu meneduhkan. Tatapan mata yang seolah juga menyeretku kembali ke masa itu, ke satu masa di mana semuanya masih terlihat begitu mudah bagi kita...
***
Taman Bawah Jembatan Kutai Kartanegara, 13 tahun yang lalu.
"kamu mau bilang apa, faan..? "
Aku masih memandang matanya lekat lekat, entah kenapa jantungku seperti berdetak lebih cepat setiap kali hendak mengucapkan kata kata itu kepadanya. Mata itu selalu saja berhasil membiusku, membuatku kehilangan semua kata dan keberanian yang sedari tadi sudah kubangun. Berganti dengan tatapan pasrah yang seolah menjadi pertanda kalau aku telah benar benar takluk di hadapannya, takluk dengan semua pesonanya yang memang sangat sulit untuk ditolak.
Tak ingin berlama lama kalah oleh pesonanya, kemudian aku mulai meraih kedua tangannya. Aku mulai menggenggam kedua telapak tangannya dengan cukup mantap. Tangan mungil berwarna putih itu terasa begitu hangat, jauh berbeda dengan kedua telapak tanganku yang telah banjir keringat dingin.
Aku kembali memandang bola matanya dalam dalam, hingga aku bisa melihat bayangan wajahku sendiri di bola mata hitamnya. Setelah cukup mengumpulkan keberanian, aku mulai mengambil nafas panjang dan menghembuskankannya secara perlahan. Untuk kemudian mengucapkan kata kata itu padanya.
"aku suka sama kamu, cell.. Aku cinta sama kamu, Marcellaa.. "
Meski masih sedikit was was dengan jawaban seperti apa yang sebentar lagi keluar dari bibir manisnya, tapi aku sudah cukup lega karena sudah bisa mengungkapkan semua perasaanku padanya. Yah walau mungkin akhirnya dia tak memiliki sedikitpun perasaan padaku, setidaknya aku masih percaya, bahwa hakikatnya cinta itu harus tersampaikan, bukan terbalaskan. Tapi jauh di lubuk hati terdalam, aku tetap berharap dia juga punya perasaan yang sama denganku.
Marcella masih memandangku dengan tatapan yang entah apa maksudnya, tapi sedikit banyak aku mengerti, mungkin dia juga masih tidak begitu menyangka kalau saat ini aku sedang 'menembak'nya. Mengingat selama beberapa tahun kita saling mengenal, mungkin ini adalah kali pertama aku mengucapkan kata kata yang konteksnya serius kepadanya.
"kamu barusan bilang apa fan? "
"aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu Marcella.. "
Aku sedikit menaikkan intonasi dan nada bicaraku, hingga beberapa siswa yang sedang mencorat coret seragam SMA nya sontak melirik ke arah kita berdua. Marcella nampak tersipu saat menyadari bahwa kini sudah ada banyak pasang mata yang mulai memerhatikan kita. Tapi untungnya, setelah itu dia malah terlihat sedang tersenyum, senyum yang entah apa maksudnya. Tapi terlihat seperti sebuah pertanda bagus untukku.
"Setelah semua yang udah kita lewati, bohong banget kalau aku ga ada perasaan sama kamu fan.. "
Marcella membalas genggaman tanganku, dia masih terlihat sedang menyunggingkan senyuman. Dan yang terjadi kemudian benar benar tidak pernah kusangka. Marcella nampak mengeluarkan air mata, tetapi kemudian dia malah menarik tanganku dan membenamkan seluruh wajahnya didadaku. Hingga kini wangi aroma tubuhnya seolah bercampur dengan bau keringatku.
"aku juga cinta sama kamu, Irfaan.. "
Aku memeluk tubuhnya dengan cukup erat, tidak cukup peduli meski mungkin pelukanku sedikit membuatnya tak nyaman. Juga tak cukup peduli meski sekarang sudah mulai banyak yang bersiul dan menyoraki apa yang sedang terjadi di antara kita. Yang ingin kulakukan saat itu mungkin hanyalah menahannya selama mungkin, mendekapnya seolah dia takkan pernah terlepas lagi, dan meyakinkannya bahwa pelukanku akan selalu ada untuknya.
Tak ada yang lebih menyenangkan memang, dibanding mengetahui kalau orang yang kita sayang ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Marcella adalah gadis yang kuidam idamkan sejak lama, butuh keberanian dan usaha ekstra untuk mendapat perhatian lebih darinya. Karena selain aku, tentu banyak laki laki yang juga tertarik kepada gadis yang terlampau menawan seperti dirinya. Dan aku merasa jadi lelaki yang paling beruntung di dunia, saat tau bahwa dia juga punya perasaan yang sama padaku. Saat tau bahwa ternyata dia juga menaruh hati padaku, lelaki biasa saja yang bahkan setelah lulus SMA ini masih bingung mau ke mana.
Menjadi pacar Marcella adalah sebuah kebahagiaan, sekaligus kebanggaan tersendiri bagiku. Kebahagiaan karena setelah sekian lama hidup 'menjomblo', aku akhirnya merasakan betapa menyenangkannya memiliki seorang pacar. Dan sebuah kebanggaan karena dalam perlombaan untuk mendapatkan hatinya, aku berhasil menyingkirkan banyak lelaki, yang bisa dibilang kebanyakan dari mereka memiliki potensi dan 'tampang' yang lebih menjanjikan daripada aku. Sedikit banyak itu juga yang membuat aku yakin, dan percaya bahwa kita bisa melewati semuanya. Meski setelah ini kita akan terpisah oleh jarak yang cukup jauh karena memilih untuk mengejar cita cita dan impian kita masing masing terlebih dahulu.
Awalnya aku (atau mungkin lebih tepatnya kita) merasa yakin, bahwa kita mampu melewati semuanya dengan baik. Aku tak pernah berpikir bahwa jarak adalah masalah yang harus disikapi dengan serius selama hati kita masih sama sama yakin. Tanpa sadar bahwa akhirnya 'jarak' itu sendiri yang membuat keyakinan dihati kita seolah makin meluntur.
Sekuat apapun kita mencoba untuk terus bertahan, akhirnya yang pergi akan tetap pergi. Dan sekuat apapun keyakinan kita, setiap cerita pasti memiliki dua ujung percabangan. Satu ujung yang membuat kita tertawa bahagia di akhir cerita, dan ujung lain yang hanya bisa membuat kita meneteskan airmata kesedihan. Dan sayangnya, ujung kisah kita berdua adalah akhir cerita yang tak pernah diinginkan dan diharapkan oleh siapapun..
***
"hei.. kamu kenapa sih fan? malah senyum senyum gitu.. "
"eh, nggak kenapa napa kok cell.. "
Marcella menegurku saat kita sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan ruang kelas. Dia menegurku karena mungkin saat itu wajahku lebih terlihat seperti orang idiot saat tersenyum di hadapannya. Dan aku akui itu, entah kenapa aku selalu saja bersikap bodoh setiap kali ada di depannya. Padahal yang baru saja terlintas di benakku adalah semua kenangan manis tentang dirinya, yang sekarang sudah tidak mungkin bisa terulang lagi. Sesuatu yang sebenarnya akan sangat bertolak belakang, jika aku malah menanggapinya dengan senyum senyum nggak jelas seperti tadi.
"haha, oh iya cell. Yang tadi ituu.. emm, anak kamu ya? " Ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan dan mencairkan suasana. Meski mungkin akan terdengar sedikit tidak mengenakkan bagiku, andai gadis kecil yang wajahnya cukup manis tadi memang benar benar buah hatinya.
"yaa gitu deh.. " Ucap Marcella sembari mengangguk, lalu mulai bangkit dan berjalan menuju ruang kelas untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya lewat jendela. "kenapa fan, muka kita berdua mirip ya? "
"iya, sama sama cantikk.. "
"haha, kamu ga berubah ya fan.. " Balasnya sambil tertawa kecil. "kalau kamu, lagi nganterin anak majikan ya? "
"haha, kamu juga nggak berubah cell. Udah ganteng gini kenapa masih dikira sopir aja sih.. "
"haha oke oke, biar aku tebak.. " Masih sambil sedikit tersenyum, Marcella kemudian memandang kearah kelas lewat jendela. Telunjuknya juga terlihat sedang menunjuk sosok seorang bocah, yang tengah asik berlari mengejar seorang gadis kecil. "Yang itu, pasti anak kamu. Iya kan, fan? "
"hahaha, you know me so well, cell.. "
"namanya siapa fan? " Tanyanya lagi.
"Irfan.. " Jawabku singkat.
"hah? " keningnya mulai terlihat sedikit berkerut.
"iya, emang Irfan. Muhammad Irfan Junior. "
"ahahahaha.. " Marcella spontan tertawa mendengar apa yang baru saja kuucapkan.
"kenapa, terlalu narsis ya cell? " Tanyaku, sementara Marcella masih terlihat sedang terkekeh. Dia bahkan sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.
"Haha, selain narsis. Kamu juga ga kreatif fan, pantesan kelakuannya mirip banget sama papanya. Eh namanya Juga sama, haha.. "
"hehe, kalau gadis kecil itu, namanya siapa cell? " Tanyaku padanya. "Aku pengen tau se kreatif apa kamu ngasih nama buat gadis lucu kaya dia. Bukan Marcella Junior, atau Little Marcella kan? "
"haha ya bukanlah. Namanya Thalia fan.. "
"hmm.. cukup kreatif, sepertinya nama Thalia emang cocok buat gadis secantik dia. " Ucapku memuji. "terus, nama lengkapnya? "
Marcella tidak langsung menjawab kata kataku, dia malah kembali menutup mulutnya, dan lagi lagi malah tertawa.
"Hehe, Nathalia Marcella Putri.. "
"Wahahaha.. "
Kita kemudian saling tertawa, menertawakan hal yang sebenarnya 'nggak lucu lucu amat' dan tak harus direspon secara berlebihan seperti ini. Tapi perlahan aku bisa menerima dan memakluminya, mengingat saat pertemuan terakhir kita, yang malah berakhir dengan deraian airmatanya. Dan aku cukup senang, karena saat kita bertemu lagi, aku sudah tidak melihat lagi lelehan airmata yang membasahi wajah cantiknya.
Saat ini aku mungkin bukan lagi menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Aku mungkin juga bukan lagi sosok seorang pemenang di hadapannya. Tapi setidaknya, aku tidak pernah menyalahkan siapapun apalagi menyesali semuanya. Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu dengannya, aku tak pernah menyesal pernah jatuh cinta padanya, dan aku juga tak pernah menyesal meski akhirnya aku harus melepaskannya. Karena aku tahu, kebahagiaan bisa datang saat kita bisa saling merelakan. Kebahagiaan tidak akan datang andai kita terus memaksakan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan. Dan cinta memang bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku bahagia melihatnya bahagia, dan aku yakin dia juga punya pandangan yang sama. Karena kita juga sama sama berjuang untuk kebahagiaan kita masing-masing. Meski pada akhirnya kita tidak bisa terus bersama dan saling membahagiakan.
Beberapa saat kemudian, bel pulang sekolah akhirnya berkumandang. Menandakan berakhirnya jam pelajaran, dan sepertinya juga menandakan berakhirnya kebersamaan kita.
Irfan dan Thalia kemudian keluar secara bersamaan dari ruang kelas yang sama. Aku dan Marcella kemudian berjalan menghampiri keduanya. Mereka terlihat lumayan akrab meski baru beberapa saat yang lalu saling berkenalan. Marcella kemudian meraih telapak tangan gadis kecilnya, lalu mengajaknya pulang.
"Dadaahh Irfan, aku pulang dulu yaa.. "
Bersama mamanya, gadis kecil itu kemudian mulai berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih berada disana untuk saling bercengkrama sejenak.
"Bagaimana jagoan, ayah nggak harus menghadap ke ruang kepala sekolah karena kamu menonjok wajah temanmu yang kelewat ngeselin kan? " Ucapku didepannya sambil sedikit mencubit batang hidungnya. Sementara bocah kecil itu tidak langsung menjawab kata kataku, dan masih asik memandangi pasangan ibu dan anak yang baru saja berlalu.
"yah.. "
"hmm.. "
"Thalia cantik ya yah.. "
"hahaha dasar bocah gemblung, tau aja sama yang bening bening." Aku kembali mencubit hidungnya, berharap bahwa gerakan ku itu bisa menambah sedikit tingkat kemancungan hidungnya. Lalu kembali memanggil Marcella yang masih belum berjalan terlalu jauh.
"hoi cell.. "
Mendengar kata kataku, Marcella kemudian menoleh. "kenapa fan? "
"hmm.. walau kita nggak bisa sama sama, tapi kita masih bisa 'besanan' kan, cell? " Ucapku sedikit tertawa, mengutip kata 'besan'. Sementara Marcella juga terlihat tengah tersenyum.
"haha, kita lihat aja fan. Seberapa hebat si 'Irfan Junior'.. "
Masih sambil tersenyum, Marcella kemudian berbalik, menggendong Thalia, lalu kembali berjalan menjauh. Meninggalkan aku dan Irfan yang masih terdiam memandanginya.
"cantikan mana bro, Thalia, atau mamanya? "
"Bilangin bunda aahh, ayah disekolah godain tante tante cantiikk.. "
"hahaha, anak kambing. Bisa aja nyari objek palakan, ya udah yok. Kamu mau apa? Mainan baru? Baju baru? " Aku kemudian mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya dan berjalan meninggalkan gedung sekolah. Untuk kemudian berniat mencari sogokan yang pas untuk menutup mulutnya.
"Atau, bunda baru kaya mamanya Thalia? "
Quote:
You'll always be apart of me
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
And I'm part of you indefinitely
Girl don't you know you can't escape me
Ooh darling, 'cause you'll always be my baby
🎶 Always Be My Baby - David Cook
Diubah oleh saleskambing 19-11-2025 13:09
jenggalasunyi dan 58 lainnya memberi reputasi
55
57.9K
Kutip
335
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
saleskambing
#222
Part 10
Die a Happy Man - Thomas Rhett
Spoiler for :
"Hai ceweekk.. Sendirian aja nih. Mau pulang ya, bareng abang aja yuk.. "
Sore ini, dengan mengendarai vespa tua yang sedari SMA selalu menemani kemanapun aku pergi, aku menjemput Dhara pulang dari rumah sakit tempatnya bekerja. Berbeda dengan hari hari biasanya, sore ini doi memintaku untuk menjemputnya dengan kendaraan roda dua yang sekarang udah makin sering mogok ditengah jalan ini. Entah kenapa, males berurusan dengan macet, biar lebih ngirit ongkos, atau emang lagi pengen nostalgia mengenang saat kita masih sama sama labil dulu mungkin. Dan sebagai seorang suami siaga tentu saja dengan senang hati aku melakukannya untuk istri tercinta. Jangankan cuma menjemputnya dengan vespa tua, dia minta dijemput pake kereta kencana, plus pengawal pengawalnya juga aku jabanin kok.
"cewek cewek.. emaknya bocah nih.. " Ucapnya sambil menahan senyum, lalu meraih helm minimalis berwarna putih yang ku sodorkan padanya.
"haha, abis keliatan kaya masih abege sih.. " Sahut ku juga sambil tersenyum, lalu mulai menarik tuas gas motor yang suaranya bisa bikin kuping pengeng ini. "yaudah, sekarang emaknya bocah yang cantikk ini mau dianterin kemana? abang siap nganterin kemana aja, asal jangan pulang ke kahyangan ya, belom ada trayek nya soalnya, haha.. "
"haha apaan sih.. " Balasnya gemas sambil mencubit pinggang ku. "kita ke pinggiran Mahakam aja yuk, nungguin sunset. "
"hehe, yaudah. Pegangan yang kenceng yaa.. " Ucapku sambil melajukan motor secara perlahan. "ntar jatuh terus ilang lagi, kan susah kalo harus nyari istri lagi.. "
"iya, soalnya udah ga ada cewe yang mau sama cowo jelek, dekil, item, terus gak modal kaya kamu.. "
"haha, jujur banget sih.. "
Aku kemudian mulai membawa motor tua pabrikan Italia ini secara perlahan, membelah ramainya jalanan yang penuh dengan orang orang yang baru saja pulang bekerja seperti ini memang perlu sedikit kesabaran lebih karena semua pengen menang sendiri, semua pengen cepet sampai rumah supaya bisa segera berkumpul bersama keluarga masing masing. Beberapa kali motorku yang sedikit 'ngadat' juga jadi sasaran klakson kendaraan yang ada dibelakang, yang hanya kita tanggapi dengan tertawa lepas karena ya mau gimana lagi, naik motor tua seperti ini emang harus ekstra sabar dan sedikit 'nebelin' kuping.
Setelah beberapa saat bertarung dengan ramainya jalanan, motor yang kita tumpangi akhirnya sampai juga di sebuah taman kecil yang ada di pinggiran sungai Mahakam. Sebuah taman yang sedari dulu sudah menyimpan banyak kenangan untukku, baik kenangan indah maupun kenangan yang tidak mengenakkan. Disinilah pertama kali aku jatuh cinta pada Dhara, taman ini adalah tempat dimana dulu Dhara pernah menolak cintaku, dan disini jugalah tempat dimana aku menggenggam tangan Marcella dan mengutarakan semua perasaanku padanya, sebelum akhirnya ditempat ini juga kita mengakhirinya. Kesannya, seperti nggak ada tempat lain ya. Tapi ya mau gimana lagi, dulu tempat hang outekonomis seperti ini adalah tempat yang paling bersahabat untuk golongan anak kos yang kantongnya 'cekak' sepertiku.
Aku termenung sejenak sesaat setelah memarkirkan motor karena ingatanku seperti kembali berputar, tempat ini memang sudah banyak berubah dibanding sejak pertama kali aku datang kesini. Tetapi semua seolah masih sama, kenangan kenangan itu seperti masih tersimpan rapi di setiap sudut tempat ini. Dan entah kusadari atau tidak, aku tersenyum mengingat itu semua. Ada seberkas senyum yang tersungging saat mengingat semua yang telah terjadi, hingga membuat aku lupa kalau sekarang Dhara sudah duduk di salah satu bangku kayu yang ada disana dan sedang memanggilku untuk segera menghampirinya.
"hei.. ngapain sih, senyum senyum gitu.. "
Aku kemudian duduk tepat disampingnya, menggerakkan tangan kananku agar bisa meraih dan merangkul bahu sebelah kanannya, lalu mencoba menatap jauh kedepan, kearah pulau kumala yang sekarang sudah banyak berubah dibanding saat aku masih sma dulu. Berbeda dengan saat kita masih sma dulu dimana dia sering 'sok' jual mahal saat aku mulai merangkulnya seperti ini, kali ini sama sekali nggak ada penolakan darinya. Sekarang juga sudah nggak ada lagi bermacam macam omelan yang terdengar dari bibirnya, tanganku jelalatan lah, kurangajar lah, suka nyari nyari kesempatan lah. Justru sekarang sepertinya dia menikmati kondisi kita yang seperti ini. Dimana kita bisa begitu dekat tanpa ada interupsi apapun, meski aku yakin sebenarnya tubuhku sedang tidak bersahabat untuk diajak saling berdekatan seperti ini karena seharian ini aku belum sempat mandi.
"haha, dulu sebelum punya anak, kita sering banget ya, pengen cepet cepet punya anak supaya bisa diajak jalan jalan bareng kayak keluarga kecil yang disana.. " Aku menunjuk sebuah keluarga kecil dengan anak seumuran Irfan yang sedang menikmati sore hari tak jauh dari tempat kita duduk. "Tapi giliran udah punya anak, malah lebih sering dititipin ke orang tua.. "
"hmm, iya ya yah.. " Sahutnya sambil tersenyum tipis. "Jahat banget kita ya.."
"mana orang tuaku terus lagi yang kebagian ngemong Irfan.. "
"hehe, abis anak kita dablek sih, niru ayahnya.. " Dhara kembali tersenyum, lalu mencubit pelan batang hidungku.
"yee padahal dulu bundanya juga pecicilan, masa ayahnya doang sih yang disalahin.. " Aku membalas senyumnya, mencubit pelan pipinya yang kemerahan, lalu kembali menariknya agar kembali menyandarkan kepalanya di bahuku.
"biariin.. yang penting kan banyak yang suka. wlee.. "
"hahaha, istri siapa sih ini.. kepedean banget. "
Aku kembali mendekapnya, mendekapnya tanpa takut kalau tiba tiba ada satpol PP yang sedang merazia pasangan muda mudi seperti beberapa tahun lalu saat kita masih jadi anak sekolah. Ternyata nikah itu enak, kita nggak perlu kucing kucingan lagi sama satpol PP saat mau mojok.
"yaahh.. laper. "
"hehe, sama. Masa mau pulang sih, makan mie ayam yang ada disana aja yuk.. "
"hmm.. yaudah deh.. "
Bangkit dari posisi yang sebenarnya udah 'pewe', kita berdua kemudian beranjak menuju gerobak mie ayam yang ada dipinggir jalan tak jauh dari tempat kita duduk. Sebuah lapak mie ayam yang dulu sering menjadi tempat terakhirku untuk menghilangkan lapar, selain nasi kucing, mie instan, nebeng dirumah Dhara, atau butiran prom*g.
Sembari menunggu pesanan kita datang, aku dan Dhara menghabiskan waktu dengan berbincang, membicarakan hal hal remeh untuk sekedar membunuh waktu dan supaya aku bisa lebih lama menatap wajahnya.
"nih mie ayam awet banget ya yah, dari jaman kita masih sma sampe sekarang masih mangkal disini aja.. "
"iya, dari jaman kita masih friendzone-an nih mie ayam udah ada disini kan.. "
"bunda sebenarnya kasian lho sama bapak penjualnya, udah lumayan berumur gitu tapi tiap hari masih jualan aja.. " Ujar Dhara, yang ternyata didengar oleh sang penjual saat beliau sedang mengantar pesanan kami.
"yaah, namanya juga cari makan mba. Makannya tiap hari, yaa jualannya juga tiap hari, hehe.. " Bapak penjual yang kira kira berusia pertengahan lima puluh tahun itu menyodorkan dua mangkuk berisi mie ayam dan gorengan pangsit kepada kita. "oh iya, ini, monggo, silahkan dinikmati mie nya.. "
"makasih ya paak.. " Ucap kita hampir bersamaan, sebelum kemudian Dhara melanjutkan kata katanya. "jadi, tiap hari ya pak jualan disini? "
"yaa gitu deh.. "
"ga capek pak tiap hari jualan sendirian gini? " Sambil menikmati mie nya, Dhara kini sudah beralih profesi menjadi wartawan dadakan.
"haha ya pernah toh mba, capek kan manusiawi.. " Sahut pak mie ayam sambil sedikit tersenyum menampilkan deretan giginya yang sudah mulai jarang. "tapi yang penting ya disyukuri aja, semuanya kan sebenarnya bukan cuma soal uang. Bapak tiap hari kesini juga sambil nyari hiburan, daripada dirumah nggak ngapa ngapain. Ketemu sama banyak orang, ngobrol ngobrol sama mereka, terus ngeliatin muda mudi kaya kalian, hahaha bapak jadi berasa muda lagi.. "
"haha, terus keluarga bapak? anak atau istri bapak? "
Raut wajah bapak mie ayam terlihat sedikit berubah saat Dhara menanyakan perihal keluarga beliau. Wajahnya yang tadi terlihat sumringah mendadak berubah menjadi agak sendu. Melihat perubahan itu, aku spontan menyenggol Dhara. Sedikit menyalahkannya karena mungkin nggak seharusnya dia menanyakan hal itu pada beliau. Yang hanya dia balas dengan mengangkat bahu, tanda dia sendiri juga nggak tau kenapa bisa gini.
"istri bapak udah meninggal lima tahun lalu, kena kanker.. "
"maaf ya paak.. " ucap Dhara kemudian, sementara bapak mie ayam hanya mengangguk. Tetapi kemudian beliau kembali bersikap seperti biasa.
"tapi anak bapak ada tiga, semuanya ada di Jawa. Yang pertama ada di ITB, yang kedua di IPB, sama yang terakhir karena biar agak jauh dari kakak kakaknya, dia milih di ITS.. "
"wih kereeen, kuliah semua pak? "
"enggak, ya jualan mie ayam juga. hehe.. "
"hehe.. " Dhara spontan menggigit sendok.
"hehe.. " Aku menggigit mangkok. Sementara bapak mie ayam masih terlihat cengar cengir.
"hehe, yaudah mas, mba. Silahkan dilanjut makannya, saya tak bikinin pesanan orang dulu.. "
Bapak mie ayam itu kembali berjalan ke arah 'station' nya, kebetulan saat itu sedang ada pembeli lain yang menyambangi lapak sederhananya. Sementara aku dan Dhara masih menikmati sajian mie ayam yang ternyata rasanya lumayan juga ini.
"haha emang enak, dikerjain tukang mie ayam.. " ucapku menggoda Dhara.
"apaan sih.. " Sahutnya. "tapi aku masih salut lho sama bapak itu, semangatnya buat nyari rejeki patut dikasih jempol, ngga kaya ayah, huu.. "
"haishh.. aku lagi kan yang kena.. "
"haha.. becanda kok yaah."
Setelah menikmati semangkuk mie ayam dan segelas teh hangat, aku dan Dhara kemudian kembali berjalan menuju pinggiran Mahakam. Bersiap untuk menunggu datangnya sunset yang mungkin sebentar lagi akan tiba. Kali ini kita berpindah agak sedikit bergeser dari tempat tadi karena sudah ditempati orang lain. Ke sebuah bangku yang letaknya ada dibawah jembatan Mahakam yang baru, tempat dimana dulu aku pernah me-'nembak' Marcella. ah, lagi sama Dhara kenapa malah inget Marcella sih..
"haha, inget ga yah? "
"apa? "
"dulu disini juga kan, tempat ayah 'nembak' Cella? "
"haha, masih inget aja. Kan dulu juga bunda yang bantuin.. "
"haha, oh iya. Tadi di rumah sakit bunda ketemu Cella lho yah.. "
"hah? Ketemu Cella? "
"iya, Cella. Marcella, mantan terindah kamuu haha. " Dhara menggodaku, yang hanya kubalas dengan mencubit hidungnya. "tapi tau ga yah dia abis dari poli apa? "
"engga, nggak penting juga sih.. " Jawabku pura pura cuek. "emang abis dari poli apa? "
"emm.. abis dari poli kandungan.. "
"HAHH? POLI KANDUNGAN??? "
Sore ini, dengan mengendarai vespa tua yang sedari SMA selalu menemani kemanapun aku pergi, aku menjemput Dhara pulang dari rumah sakit tempatnya bekerja. Berbeda dengan hari hari biasanya, sore ini doi memintaku untuk menjemputnya dengan kendaraan roda dua yang sekarang udah makin sering mogok ditengah jalan ini. Entah kenapa, males berurusan dengan macet, biar lebih ngirit ongkos, atau emang lagi pengen nostalgia mengenang saat kita masih sama sama labil dulu mungkin. Dan sebagai seorang suami siaga tentu saja dengan senang hati aku melakukannya untuk istri tercinta. Jangankan cuma menjemputnya dengan vespa tua, dia minta dijemput pake kereta kencana, plus pengawal pengawalnya juga aku jabanin kok.
"cewek cewek.. emaknya bocah nih.. " Ucapnya sambil menahan senyum, lalu meraih helm minimalis berwarna putih yang ku sodorkan padanya.
"haha, abis keliatan kaya masih abege sih.. " Sahut ku juga sambil tersenyum, lalu mulai menarik tuas gas motor yang suaranya bisa bikin kuping pengeng ini. "yaudah, sekarang emaknya bocah yang cantikk ini mau dianterin kemana? abang siap nganterin kemana aja, asal jangan pulang ke kahyangan ya, belom ada trayek nya soalnya, haha.. "
"haha apaan sih.. " Balasnya gemas sambil mencubit pinggang ku. "kita ke pinggiran Mahakam aja yuk, nungguin sunset. "
"hehe, yaudah. Pegangan yang kenceng yaa.. " Ucapku sambil melajukan motor secara perlahan. "ntar jatuh terus ilang lagi, kan susah kalo harus nyari istri lagi.. "
"iya, soalnya udah ga ada cewe yang mau sama cowo jelek, dekil, item, terus gak modal kaya kamu.. "
"haha, jujur banget sih.. "
Aku kemudian mulai membawa motor tua pabrikan Italia ini secara perlahan, membelah ramainya jalanan yang penuh dengan orang orang yang baru saja pulang bekerja seperti ini memang perlu sedikit kesabaran lebih karena semua pengen menang sendiri, semua pengen cepet sampai rumah supaya bisa segera berkumpul bersama keluarga masing masing. Beberapa kali motorku yang sedikit 'ngadat' juga jadi sasaran klakson kendaraan yang ada dibelakang, yang hanya kita tanggapi dengan tertawa lepas karena ya mau gimana lagi, naik motor tua seperti ini emang harus ekstra sabar dan sedikit 'nebelin' kuping.
Setelah beberapa saat bertarung dengan ramainya jalanan, motor yang kita tumpangi akhirnya sampai juga di sebuah taman kecil yang ada di pinggiran sungai Mahakam. Sebuah taman yang sedari dulu sudah menyimpan banyak kenangan untukku, baik kenangan indah maupun kenangan yang tidak mengenakkan. Disinilah pertama kali aku jatuh cinta pada Dhara, taman ini adalah tempat dimana dulu Dhara pernah menolak cintaku, dan disini jugalah tempat dimana aku menggenggam tangan Marcella dan mengutarakan semua perasaanku padanya, sebelum akhirnya ditempat ini juga kita mengakhirinya. Kesannya, seperti nggak ada tempat lain ya. Tapi ya mau gimana lagi, dulu tempat hang outekonomis seperti ini adalah tempat yang paling bersahabat untuk golongan anak kos yang kantongnya 'cekak' sepertiku.
Aku termenung sejenak sesaat setelah memarkirkan motor karena ingatanku seperti kembali berputar, tempat ini memang sudah banyak berubah dibanding sejak pertama kali aku datang kesini. Tetapi semua seolah masih sama, kenangan kenangan itu seperti masih tersimpan rapi di setiap sudut tempat ini. Dan entah kusadari atau tidak, aku tersenyum mengingat itu semua. Ada seberkas senyum yang tersungging saat mengingat semua yang telah terjadi, hingga membuat aku lupa kalau sekarang Dhara sudah duduk di salah satu bangku kayu yang ada disana dan sedang memanggilku untuk segera menghampirinya.
"hei.. ngapain sih, senyum senyum gitu.. "
Aku kemudian duduk tepat disampingnya, menggerakkan tangan kananku agar bisa meraih dan merangkul bahu sebelah kanannya, lalu mencoba menatap jauh kedepan, kearah pulau kumala yang sekarang sudah banyak berubah dibanding saat aku masih sma dulu. Berbeda dengan saat kita masih sma dulu dimana dia sering 'sok' jual mahal saat aku mulai merangkulnya seperti ini, kali ini sama sekali nggak ada penolakan darinya. Sekarang juga sudah nggak ada lagi bermacam macam omelan yang terdengar dari bibirnya, tanganku jelalatan lah, kurangajar lah, suka nyari nyari kesempatan lah. Justru sekarang sepertinya dia menikmati kondisi kita yang seperti ini. Dimana kita bisa begitu dekat tanpa ada interupsi apapun, meski aku yakin sebenarnya tubuhku sedang tidak bersahabat untuk diajak saling berdekatan seperti ini karena seharian ini aku belum sempat mandi.
"haha, dulu sebelum punya anak, kita sering banget ya, pengen cepet cepet punya anak supaya bisa diajak jalan jalan bareng kayak keluarga kecil yang disana.. " Aku menunjuk sebuah keluarga kecil dengan anak seumuran Irfan yang sedang menikmati sore hari tak jauh dari tempat kita duduk. "Tapi giliran udah punya anak, malah lebih sering dititipin ke orang tua.. "
"hmm, iya ya yah.. " Sahutnya sambil tersenyum tipis. "Jahat banget kita ya.."
"mana orang tuaku terus lagi yang kebagian ngemong Irfan.. "
"hehe, abis anak kita dablek sih, niru ayahnya.. " Dhara kembali tersenyum, lalu mencubit pelan batang hidungku.
"yee padahal dulu bundanya juga pecicilan, masa ayahnya doang sih yang disalahin.. " Aku membalas senyumnya, mencubit pelan pipinya yang kemerahan, lalu kembali menariknya agar kembali menyandarkan kepalanya di bahuku.
"biariin.. yang penting kan banyak yang suka. wlee.. "
"hahaha, istri siapa sih ini.. kepedean banget. "
Aku kembali mendekapnya, mendekapnya tanpa takut kalau tiba tiba ada satpol PP yang sedang merazia pasangan muda mudi seperti beberapa tahun lalu saat kita masih jadi anak sekolah. Ternyata nikah itu enak, kita nggak perlu kucing kucingan lagi sama satpol PP saat mau mojok.
"yaahh.. laper. "
"hehe, sama. Masa mau pulang sih, makan mie ayam yang ada disana aja yuk.. "
"hmm.. yaudah deh.. "
Bangkit dari posisi yang sebenarnya udah 'pewe', kita berdua kemudian beranjak menuju gerobak mie ayam yang ada dipinggir jalan tak jauh dari tempat kita duduk. Sebuah lapak mie ayam yang dulu sering menjadi tempat terakhirku untuk menghilangkan lapar, selain nasi kucing, mie instan, nebeng dirumah Dhara, atau butiran prom*g.
Sembari menunggu pesanan kita datang, aku dan Dhara menghabiskan waktu dengan berbincang, membicarakan hal hal remeh untuk sekedar membunuh waktu dan supaya aku bisa lebih lama menatap wajahnya.
"nih mie ayam awet banget ya yah, dari jaman kita masih sma sampe sekarang masih mangkal disini aja.. "
"iya, dari jaman kita masih friendzone-an nih mie ayam udah ada disini kan.. "
"bunda sebenarnya kasian lho sama bapak penjualnya, udah lumayan berumur gitu tapi tiap hari masih jualan aja.. " Ujar Dhara, yang ternyata didengar oleh sang penjual saat beliau sedang mengantar pesanan kami.
"yaah, namanya juga cari makan mba. Makannya tiap hari, yaa jualannya juga tiap hari, hehe.. " Bapak penjual yang kira kira berusia pertengahan lima puluh tahun itu menyodorkan dua mangkuk berisi mie ayam dan gorengan pangsit kepada kita. "oh iya, ini, monggo, silahkan dinikmati mie nya.. "
"makasih ya paak.. " Ucap kita hampir bersamaan, sebelum kemudian Dhara melanjutkan kata katanya. "jadi, tiap hari ya pak jualan disini? "
"yaa gitu deh.. "
"ga capek pak tiap hari jualan sendirian gini? " Sambil menikmati mie nya, Dhara kini sudah beralih profesi menjadi wartawan dadakan.
"haha ya pernah toh mba, capek kan manusiawi.. " Sahut pak mie ayam sambil sedikit tersenyum menampilkan deretan giginya yang sudah mulai jarang. "tapi yang penting ya disyukuri aja, semuanya kan sebenarnya bukan cuma soal uang. Bapak tiap hari kesini juga sambil nyari hiburan, daripada dirumah nggak ngapa ngapain. Ketemu sama banyak orang, ngobrol ngobrol sama mereka, terus ngeliatin muda mudi kaya kalian, hahaha bapak jadi berasa muda lagi.. "
"haha, terus keluarga bapak? anak atau istri bapak? "
Raut wajah bapak mie ayam terlihat sedikit berubah saat Dhara menanyakan perihal keluarga beliau. Wajahnya yang tadi terlihat sumringah mendadak berubah menjadi agak sendu. Melihat perubahan itu, aku spontan menyenggol Dhara. Sedikit menyalahkannya karena mungkin nggak seharusnya dia menanyakan hal itu pada beliau. Yang hanya dia balas dengan mengangkat bahu, tanda dia sendiri juga nggak tau kenapa bisa gini.
"istri bapak udah meninggal lima tahun lalu, kena kanker.. "
"maaf ya paak.. " ucap Dhara kemudian, sementara bapak mie ayam hanya mengangguk. Tetapi kemudian beliau kembali bersikap seperti biasa.
"tapi anak bapak ada tiga, semuanya ada di Jawa. Yang pertama ada di ITB, yang kedua di IPB, sama yang terakhir karena biar agak jauh dari kakak kakaknya, dia milih di ITS.. "
"wih kereeen, kuliah semua pak? "
"enggak, ya jualan mie ayam juga. hehe.. "
"hehe.. " Dhara spontan menggigit sendok.
"hehe.. " Aku menggigit mangkok. Sementara bapak mie ayam masih terlihat cengar cengir.
"hehe, yaudah mas, mba. Silahkan dilanjut makannya, saya tak bikinin pesanan orang dulu.. "
Bapak mie ayam itu kembali berjalan ke arah 'station' nya, kebetulan saat itu sedang ada pembeli lain yang menyambangi lapak sederhananya. Sementara aku dan Dhara masih menikmati sajian mie ayam yang ternyata rasanya lumayan juga ini.
"haha emang enak, dikerjain tukang mie ayam.. " ucapku menggoda Dhara.
"apaan sih.. " Sahutnya. "tapi aku masih salut lho sama bapak itu, semangatnya buat nyari rejeki patut dikasih jempol, ngga kaya ayah, huu.. "
"haishh.. aku lagi kan yang kena.. "
"haha.. becanda kok yaah."
Setelah menikmati semangkuk mie ayam dan segelas teh hangat, aku dan Dhara kemudian kembali berjalan menuju pinggiran Mahakam. Bersiap untuk menunggu datangnya sunset yang mungkin sebentar lagi akan tiba. Kali ini kita berpindah agak sedikit bergeser dari tempat tadi karena sudah ditempati orang lain. Ke sebuah bangku yang letaknya ada dibawah jembatan Mahakam yang baru, tempat dimana dulu aku pernah me-'nembak' Marcella. ah, lagi sama Dhara kenapa malah inget Marcella sih..
"haha, inget ga yah? "
"apa? "
"dulu disini juga kan, tempat ayah 'nembak' Cella? "
"haha, masih inget aja. Kan dulu juga bunda yang bantuin.. "
"haha, oh iya. Tadi di rumah sakit bunda ketemu Cella lho yah.. "
"hah? Ketemu Cella? "
"iya, Cella. Marcella, mantan terindah kamuu haha. " Dhara menggodaku, yang hanya kubalas dengan mencubit hidungnya. "tapi tau ga yah dia abis dari poli apa? "
"engga, nggak penting juga sih.. " Jawabku pura pura cuek. "emang abis dari poli apa? "
"emm.. abis dari poli kandungan.. "
"HAHH? POLI KANDUNGAN??? "
Quote:
If I never get to see the Northern Lights
Or if I never get to see the Eiffel Tower at night
Oh, if all I got is your hand in my hand
Baby, I could die a happy man
Or if I never get to see the Eiffel Tower at night
Oh, if all I got is your hand in my hand
Baby, I could die a happy man
Die a Happy Man - Thomas Rhett
Diubah oleh saleskambing 19-12-2024 12:39
jenggalasunyi dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas