beritapalestinaAvatar border
TS
beritapalestina
Bagaimana nasib agama di masa depan?


Agama-agama dilahirkan, tumbuh dan mati. 3.500 tahun lalu, agama Zoroastrianisme menjadi agama yang diikuti jutaan orang. Kini, agama ini sekarat dan hanya diikuti sedikit orang. Bagaimana nasib agama-agama lain?

Sebelum Muhammad, sebelum Yesus, sebelum Buddha, ada seorang Zoroaster. Sekitar 3.500 tahun yang lalu, pada Zaman Perunggu Iran, dia mendapatkan visi tentang satu-satunya Tuhan yang tertinggi.

Selang 1.000 tahun kemudian, Zoroastrianisme, agama monoteistik besar pertama di dunia menjadi kepercayaan resmi Kekaisaran Persia yang perkasa. Kuil-kuil apinya dihadiri oleh jutaan umat. 1.000 tahun setelah itu, kekaisaran runtuh, dan para pengikut Zoroaster dipaksa dan dimualafkan ke agama baru penakluk mereka, Islam.

Lalu 1.500 tahun kemudian, hari ini, Zoroastrianisme adalah kepercayaan yang sekarat. Jumlah para penyembah api kudusnya telah mencapai titik paling minim.

Kita menerima begitu saja keyakinan bahwa agama dilahirkan, tumbuh dan mati, tetapi anehnya kita juga abai terhadap kenyataan tersebut. Ketika seseorang mencoba untuk memulai agama baru, dia sering dianggap sebagai aliran sesat.

Ketika kita mengakui suatu iman, kita memperlakukan ajaran dan tradisinya sebagai suatu yang abadi dan sakral. Dan ketika sebuah agama mati, ia menjadi mitos, dan klaimnya atas kebenaran suci berakhir.
Kisah-kisah tentang panteon Mesir, Yunani dan bangsa Norwegia sekarang dianggap legenda, bukan lagi kitab suci.

Bahkan agama-agama besar masa kini pun sebenarnya telah melewati tahapan evolusi sepanjang sejarah.

Kekristenan awal, misalnya, adalah kepercayaan yang dulunya benar-benar sangat luas. Termasuk di dalamnya, dokumen-dokumen kuno berisi narasi tentang kehidupan keluarga Yesus dan bukti-bukti kebangsawanan Yudas. Butuh waktu tiga abad bagi agama Kristen untuk melakukan konsolidasi dan menyepakati sebuah kanon kitab sucinya.

Kemudian pada 1054, gereja itu terpecah menjadi Gereja Ortodoks Timur dan Katolik. Sejak itu, agama Kristen terus tumbuh dan terpecah menjadi kelompok-kelompok yang semakin berbeda, dari Quaker yang senyap hingga gereja Pentakosta yang menggunakan ular dalam khotbahnya.

Jika Anda yakin iman Anda telah berada di level kebenaran tertinggi, Anda mungkin menolak gagasan bahwa agama itu bisa saja berubah. Tetapi jika sejarah menjadi patokan, tidak peduli seberapa kuat kepercayaan kita saat ini, agama mungkin akan bertransformasi atau berubah pada waktunya ketika berpindah ke keturunan kita, atau menghilang begitu saja.




Jika agama telah melalui perubahan dramatis di masa lalu, maka perubahan apa yang akan mereka alami di masa depan? Apakah ada kebenaran pada klaim bahwa kepercayaan pada tuhan-tuhan dan dewa-dewa akan lenyap sama sekali? Dan ketika peradaban kita dan teknologinya menjadi semakin kompleks, mungkinkan bentuk pemujaan yang sepenuhnya baru akan muncul?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, titik awal yang baik adalah bertanya: mengapa ada agama?

Alasan untuk percaya

Satu jawaban terkenal datang dari Voltaire, filsuf Prancis abad ke-18, yang menulis: "Jika Tuhan tidak ada, maka sangat perlu untuk menciptakannya."

Karena Voltaire adalah kritikus yang sangat tajam terhadap organisasi agama, ucapan ini sering dikutip dengan sinis. Tapi faktanya, dia benar-benar jujur. Dia berpendapat bahwa kepercayaan pada Tuhan diperlukan agar masyarakat berfungsi, meskipun dia tidak menyetujui monopoli yang dipegang gereja atas kepercayaan itu. Banyak mahasiswa modern jurusan agama setuju.

Gagasan bahwa agama diperlukan untuk melayani kebutuhan masyarakat dikenal sebagai pandangan fungsionalis tentang agama. Ada banyak hipotesis fungsionalis, antara lain gagasan bahwa agama adalah "candu massa", yang digunakan oleh yang si kuat untuk mengendalikan orang miskin lemah. Ada pula proposal bahwa iman mendukung intelektualisme abstrak yang diperlukan untuk sains dan hukum.

Salah satu tema yang sering muncul adalah kohesi sosial: agama menyatukan sebuah komunitas, yang kemudian dapat membentuk kelompok perburuan, membangun kuil atau mendukung sebuah partai politik.

Kepercayaan-kepercayaan yang bertahan adalah "produk jangka panjang dari tekanan budaya yang luar biasa kompleks, proses seleksi, dan evolusi", tulis Connor Wood dari Pusat Pikiran dan Budaya di Boston, Massachusetts.

Gerakan keagamaan baru dilahirkan sepanjang waktu, tetapi sebagian besar tidak bertahan lama. Mereka harus bersaing dengan agama lain demi pengikut dan bertahan dari lingkungan sosial dan politik yang berpotensi melemahkan.

Dengan argumen ini, agama apa pun yang bertahan harus menawarkan manfaat nyata kepada penganutnya.


Kekristenan, misalnya, hanyalah salah satu dari banyak gerakan keagamaan yang muncul dan sebagian besar menghilang selama Kekaisaran Romawi. Menurut Wood, agama Kristen dibedakan oleh etos merawat orang sakit, yang berarti lebih banyak orang Kristen yang selamat dari wabah penyakit daripada orang kafir Roma.

Islam, juga, pada awalnya menarik pengikut dengan menekankan kehormatan, kerendahan hati dan kasih amal, kualitas yang tidak ditemukan di Arab Abad ke-7 yang terus bertikai.

Berdasarkan hal ini, kita dapat memprediksi bentuk yang diambil agama agar dapat memainkan fungsinya dalam masyarakat tertentu. Atau seperti yang dikatakan Voltaire, bahwa masyarakat yang berbeda akan menciptakan dewa-dewa tertentu yang berbeda sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.

Sebaliknya, kita mungkin memperkirakan jika masyarakat yang sama akan memiliki kepercayaan yang sama, bahkan jika mereka berkembang secara terpisah. Dan ada beberapa buktinya, meskipun tentu saja ketika membicarakan agama, akan selalu ada pengecualian.

Masyarakat pemburu dan peramu, misalnya, cenderung percaya bahwa semua benda, baik hewan, sayuran atau mineral, memiliki aspek supernatural (animisme) dan bahwa dunia dipenuhi dengan kekuatan supernatural (animatisme).

Mereka harus dipahami dan dihormati, dan moralitas manusia pada umumnya tidak menonjol secara signifikan. Pandangan dunia ini dapat diterapkan bagi kelompok-kelompok yang kecil yang tidak membutuhkan kode perilaku yang abstrak, tetapi harus memahami lingkungannya secara intim. (Pengecualian: Shinto, agama animisme kuno, masih dipraktikkan secara luas di Jepang yang sangat modern.)

Di ujung lain spektrum yang berbeda, sebagian besar masyarakat Barat setia pada agama-agama di mana ada satu tuhan yang mengawasi dan berkuasa dan kadang-kadang memaksakan instruksi moral: seperti Yahweh, Kristus, dan Allah.

Menurut psikolog Ara Norenzayan, kepercayaan pada "Tuhan-tuhan yang Maha Besar" inilah yang memungkinkan terbentuknya masyarakat sosial yang terdiri dari sejumlah besar orang yang tidak saling mengenal.

Apakah kepercayaan itu merupakan sebab atau akibat, hingga baru-baru ini masih diperdebatkan. Tapi yang jelas berbagi kesamaan keyakinan memungkinkan orang hidup berdampingan dengan (relatif) damai. Pemahaman bahwa kita sedang diperhatikan oleh Tuhan yang Maha Besar membuat kita harus memastikan untuk berperilaku baik.

Atau setidaknya, dulu pernah begitu. Sekarang, banyak masyarakat kita yang sangat besar dan multikultural: penganut banyak agama saling berdampingan satu sama lain - dan juga semakin banyak orang yang mengatakan bahwa mereka tidak beragama sama sekali.

Kita mematuhi hukum yang dibuat dan ditegakkan oleh pemerintah, bukan oleh Tuhan. Sekularisme sedang meningkat, dengan ilmu pengetahuan menyediakan media untuk memahami dan membentuk dunia.

Mengingat semua itu, ada konsensus yang berkembang tentang masa depan agama adalah bahwa, ia tidak memiliki masa depan.

Bayangkan jika tidak ada surga

Arus intelektual dan politik yang kuat telah menawarkan ide ini sejak awal abad ke-20. Sosiolog berpendapat bahwa kebangkitan sains mengarah pada "kekecewaan" masyarakat: jawaban supernatural untuk pertanyaan besar terasa tak dibutuhkan. Negara-negara komunis seperti Soviet Rusia dan China mengadopsi ateisme sebagai kebijakan negara dan bahkan tidak menyukai ekspresi keagamaan pribadi.

Pada tahun 1968, sosiolog terkemuka Peter Berger mengatakan kepada New York Times bahwa pada "abad ke-21, umat beragama cenderung ditemukan hanya dalam sekte kecil, berdesakan bersama untuk menolak budaya sekuler di seluruh dunia".

Sekarang setelah kita benar-benar berada pada abad ke-21, pandangan Berger tetap menjadi artikel pedoman bagi banyak sekularis. Para penerusnya tetap bertahan dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa di banyak negara, makin banyak orang menyatakan bahwa mereka tidak beragama.

Utamanya di negara-negara kaya dan stabil seperti Swedia dan Jepang, tetapi juga, yang lebih mengejutkan, di tempat-tempat seperti Amerika Latin dan dunia Arab. Bahkan di AS, yang sebelumnya merupakan pengecualian dari aksioma bahwa negara-negara kaya lebih sekuler, jumlah "tidak beragama" telah meningkat tajam.

Dalam Survei Sosial Umum 2018 tentang sikap masyarakat AS, "tidak ada agama" menjadi grup tunggal terbesar, mengalahkan jumlah penganut Kristen evangelis.


Meskipun demikian, agama tidak menghilang dalam skala global, setidaknya dalam hal jumlah.

Pada 2015, Pusat Penelitian Pew membuat model prediksi masa depan dari agama-agama besar dunia berdasarkan demografi, migrasi, dan konversi.

Bertentangan dengan data penurunan religiusitas yang tinggi, ia justru meramalkan peningkatan rata-rata jumlah penganut agama, dari 84% populasi dunia saat ini menjadi 87% pada tahun 2050. Muslim akan tumbuh dalam jumlah yang menyamai Kristen. Adapun jumlah mereka yang tidak berafiliasi dengan agama apa pun akan sedikit menurun.

Pola yang diprediksi Pew adalah "Barat akan semakin sekuler, namun di belahan dunia lain sisanya, agama justru tumbuh cepat". Agama akan terus tumbuh di tempat-tempat yang tidak stabil secara ekonomi dan sosial seperti sebagian besar sub-Sahara Afrika. Sebaliknya, kaum beragama akan menurun di tempat yang stabil.

Ini sesuai dengan apa yang kita ketahui tentang pendorong utama sisi psikologis dan neurologis para penganut agama. Ketika kehidupan sulit atau bencana melanda, agama tampaknya memberikan benteng pertahanan psikologis (dan kadang-kadang praktis).

Dalam sebuah penelitian penting, korban gempa bumi 2011 di Christchurch, Selandia Baru menjadi jauh lebih religius daripada orang Selandia Baru lainnya, yang secara umum menjadi sedikit kurang religius.


Kita juga perlu berhati-hati ketika menafsirkan apa yang orang maksudkan dengan "tidak ada agama". "Mereka yang tidak beragama" mungkin tidak tertarik pada agama yang terorganisasi, tetapi itu tidak berarti mereka ateis secara militan.

Pada tahun 1994, sosiolog Grace Davie mengklasifikasikan orang berdasarkan apakah mereka termasuk dalam kelompok agama dan/atau percaya pada posisi keagamaan. Penganut agama tradisional mengaku masuk dalam salah satu kelompok agama percaya pada posisi keagamaan. Ateis garis keras tidak melakukan keduanya.

Lalu ada orang-orang yang mengikuti agama tradisional tetapi tidak percaya. Seperti orang tua yang menghadiri gereja demi tempat bagi anak mereka di sekolah agama, mungkin. Dan, akhirnya, ada orang-orang yang percaya pada sesuatu, tetapi tidak termasuk kelompok mana pun.

Penelitian menunjukkan bahwa dua kelompok terakhir itu signifikan. Proyek Understanding Unbelief di University of Kent di Inggris melakukan survei selama tiga tahun di enam negara mengenai sikap mereka yang tidak percaya Tuhan itu ada ("ateis") dan mereka yang berpikir tidak mungkin untuk mengetahui apakah Tuhan itu ada atau tidak ("agnostik").

Dalam hasil sementara yang dirilis pada Mei 2019, para peneliti menemukan bahwa beberapa orang yang tidak percaya benar-benar mengidentifikasi diri mereka dengan label-label ini, sementara sejumlah minoritas signifikan lain memilih identitas agama.

Selanjutnya, sekitar tiga perempat ateis dan 9 dari 10 agnostik terbuka terhadap keberadaan fenomena supernatural, mulai dari astrologi hingga makhluk supernatural dan kehidupan setelah kematian. Orang-orang yang tidak percaya "menunjukkan keragaman yang signifikan" di berbagai negara.

Maka, ada banyak cara untuk menjadi orang yang tidak percaya, laporan itu menyimpulkan. Ini termasuk, khususnya, status yang banyak dipasang di situs kencan "spiritual, tetapi tidak religius". Seperti banyak klise, itu berakar pada kebenaran. Tapi apa sebenarnya artinya?

Para dewa tua kembali

Pada tahun 2005, Linda Woodhead menulis The Spiritual Revolution, di mana ia menggambarkan hasil studi intensif tentang kepercayaan di kota Kendal di Inggris.

Woodhead dan rekan penulisnya menemukan bahwa orang-orang dengan cepat berpaling dari agama yang terorganisasi, yang menekankan pada kemampuan menyesuaikan diri pada hal-hal yang sudah mapan, menuju praktik-praktik yang dirancang untuk menonjolkan dan menumbuhkan pemahaman individu tentang siapa diri mereka.

Jika gereja-gereja Kristen di kota itu tidak menerima perubahan ini, mereka menyimpulkan, jemaat-jemaat akan menyusut menjadi tidak relevan sementara praktik-praktik yang membimbing diri sendiri akan menjadi arus utama dalam sebuah "revolusi spiritual".

Hari ini, menurut Woodhead revolusi telah terjadi, dan bukan hanya di Kendal. Agama yang terorganisasi semakin berkurang di Inggris, tanpa diketahui bagaimana akhirnya nanti.

"Agama-agama akan berjalan dengan baik, dan selalu berhasil, ketika mereka mampu meyakinkan secara subyektif, ketika Anda memiliki perasaan bahwa Tuhan bekerja untuk Anda," kata Woodhead, sekarang profesor sosiologi agama di University of Lancaster di Inggris.

Dalam masyarakat yang lebih miskin, Anda mungkin berdoa untuk keberuntungan atau pekerjaan yang stabil.

"Injil kemakmuran" adalah pusat beberapa gereja besar Amerika, yang jemaatnya sering didominasi oleh jemaat yang tidak aman secara ekonomi. Tetapi jika kebutuhan dasar Anda terpenuhi dengan baik, Anda cenderung mencari kepuasan dan makna hidup.

Agama tradisional gagal mewujudkan hal ini,
khususnya ketika doktrin berbenturan dengan keyakinan moral yang muncul dari masyarakat sekuler. Kesetaraan gender, contohnya.

Sebagai tanggapan, orang-orang sudah mulai membangun kepercayaan pribadi mereka sendiri. Seperti apa agama-agama mandiri ini? Salah satu pendekatan adalah sinkretisme, pendekatan "ambil dan campur" yang menggabungkan tradisi dan praktik yang sering dihasilkan dari percampuran budaya.

Banyak agama memiliki unsur-unsur sinkretis, meskipun seiring waktu mereka berasimilasi dan menjadi praktik biasa. Festival seperti Natal dan Paskah, misalnya, memiliki unsur-unsur pagan kuno, sementara praktik sehari-hari bagi banyak orang di China melibatkan campuran agama Buddha, Taoisme, dan Konfusianisme Mahayana.



*gereja di jerman menggunakan kostum dan atribut jedi dalam pelayanannya

Gabungan lebih mudah dilihat dalam agama yang relatif muda, seperti Vodoun atau Rastafarianisme.

Alternatifnya adalah merampingkan. Gerakan-gerakan keagamaan baru sering berusaha untuk melestarikan prinsip inti agama yang lebih tua, sambil menanggalkan ornamen kuno yang mungkin membuat sesak.

Di Barat, satu bentuk yang diambil adalah ketika kaum humanis berusaha memperbaiki bentuk keagamaan. Ada upaya untuk menulis ulang Alkitab tanpa unsur supranatural, menuntut pembangunan "kuil-kuil ateis" yang didedikasikan untuk kontemplasi.

Dan "Sidang Minggu" bertujuan untuk menciptakan kembali suasana pelayanan gereja yang hidup tanpa merujuk kepada Allah. Tetapi tanpa akar-akar agama tradisional yang dalam, mereka sulit bertahan: Majelis Minggu misalnya, setelah ekspansi awal yang cepat, sekarang dilaporkan harus berupaya keras untuk mempertahankan momentumnya.


Tetapi Woodhead berpikir bahwa agama-agama yang mungkin muncul dari kekacauan saat ini akan memiliki akar yang lebih dalam.

Generasi pertama revolusi spiritual, yang dimulai pada 1960-an dan 1970-an, memiliki pandangan optimistis dan universal, dengan senang hati mengambil inspirasi dari agama-agama dari seluruh dunia. Namun cucu-cucu mereka yang tumbuh dalam dunia yang penuh tekanan geopolitik dan kecemasan sosial ekonomi lebih cenderung mengingat kembali masa lalu yang seharusnya lebih sederhana.

"Ada pergeseran dari universalitas global ke identitas lokal," kata Woodhead. "Sangat penting bahwa mereka adalah tuhan pribadinya, bukan sesuatu yang dibuat-buat."

Dalam konteks Eropa, ini memberikan panggung untuk kebangkitan minat pada paganisme. Menciptakan kembali tradisi "pribumi" yang setengah terlupakan memungkinkan pengungkapan kepedulian modern sambil mempertahankan semangat zaman.

Paganisme juga sering menampilkan dewa-dewa yang lebih mirip kekuatan membaur daripada dewa-dewa antropomorfik. Ini memungkinkan orang untuk fokus pada masalah-masalah yang mereka pedulikan tanpa harus melakukan lompatan iman kepada dewa-dewa supranatural.

Di Islandia, misalnya, kepercayaan Ásatrú yang kecil tetapi tumbuh cepat, tidak memiliki doktrin tertentu di luar perayaan di lingkup kebiasaan dan mitologi Norwegia Kuno, tetapi aktif dalam masalah sosial dan ekologi.

Gerakan serupa ada di Eropa, seperti Druidry di Inggris. Tidak semua cenderung liberal. Beberapa termotivasi oleh keinginan untuk kembali ke apa yang mereka lihat sebagai nilai-nilai "tradisional" yang konservatif. Dalam beberapa kasus, ini berbenturan dengan validitas keyakinan yang bertentangan.



*seorang perempuan praktisi agama druid sedang menari sebagai bagian dari ritual nya

lanjutan dibawah...
Diubah oleh beritapalestina 23-10-2019 03:07
0
3.4K
53
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.2KThread40.5KAnggota
Tampilkan semua post
beritapalestinaAvatar border
TS
beritapalestina
#16
Quote:


Quote:


http://m.viral.id/life/651792/23-Foto-Proses-Terbentuknya-Janin-di-Dalam-Rahim-ini-Sungguh-Menakjubkan

sperma+sel telur = gumpalan darah?

kemudian urutan nya tulang > daging> kulit?

sdh jelas buku yg katanya dari tuhan kok bisa salah? emang kalian pernah sadar tu salah? atau tau tp denial?

ya iya lah umatnya ga pny sikap kritis..wong cm dicuci otak orang tua dan guru agama
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.