- Beranda
- Stories from the Heart
JAMPE POPOTONGAN [KISAH NYATA]
...
TS
rosemallow
JAMPE POPOTONGAN [KISAH NYATA]
![JAMPE POPOTONGAN [KISAH NYATA]](https://s.kaskus.id/images/2019/10/14/10708448_201910140406130459.png)
Spoiler for Baca ini!:
PREV STORY << PELET PERAWAN [TAMAT]
PREV STORY << AMARAH DESA JIN [TAMAT]
JAMPE POPOTONGAN (JAMPI MANTAN SUAMI)
Seorang pemuda terduduk disebuah saung dengan beralas bambu yang dibuat sedemikian rupa hingga menjadi sebuah alas panggung dengan atap dari daun kelapa, ditengah sawah yang luas.
Pemuda itu memang terlihat sudah lumayan dewasa, belum menikah sama sekali. Umurnya diperkirakan sekitar 27-28 tahunan, dengan jenggot tebal tak memanjang, kulit coklat gelap dengan badan kurus berotot kering itu dikenal dengan nama Dedi. Tak banyak yang ia lakukan hanya merenungi nasibnya sekarang ini.
Mungkin tidak hanya ditanah sunda, tapi jika ada pemuda yang dengan umur yang sudah matang belum menikah itu menjadikannya sebuah masalah. Dedi sering minder karena dia tidak percaya diri dengan dirinya, dia sering berpikir jika fisik dan kemiskinannya adalah masalah utamanya sekarang.
Waktu itu tahun 2004, ketika aku masih SD berumur sekitar 8 tahun.
Suatu sore,
Bapakku datang kerumah dengan seseorang yang ku tahu sebelumnya, dan dia itu adalah dedi. Dedi hanya tersenyum kepadaku yang sedang makan dengan ibuku.
Bapakku duduk di kursi ruang tamu begitupun dedi yang duduk persis disebelahnya
"Diuk rada dituan atuh ded!" (Duduk agak kesana dong ded) ucap bapakku sembari tertawa kecil
Dedi hanya membalas senyum kemudian menggeser sedikit menjauh dari bapakku.
Umurku yang sekecil itu hanya menatap biasa melihatnya,
"Atuh mah, jieunkeun kopi atuh" (mah, buatin kopi dong!) Seru bapakku menyuruh ibuku yang baru saja selesai makan bersamaku.
Ibuku pergi ke dapur dan membuatkan kopi untuk bapak dan Dedi.
Singkatnya, dedi mulai bekerja dengan bapakku. Pikirku karena kasihan melihat keluarganya yang tidak terlalu berkecukupan dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari.
Dedi tinggal bersama ibunya yang janda, adik laki-lakinya yang berbeda 6 tahun dengannya dan 3 keponakannya yang diketahui ibunya sedang bekerja di Arab saudi. Tapi jarang sekali memberikan uang kepada mereka. Maka dari itu seringkali mereka melakukan pekerjaan apapun tanpa mengeluh.
Meskipun dedi sering merasa minder, tapi dia juga sempat menyukai banyak wanita dikampung kami. Berkali-kali penolakan berujung dengan kesedihan yang dialami dedi. Meskipun begitu wanita kampungpun mempunyai selera yang sangat tinggi.
Karena bekerja dengan bapak, aku sering bertemu dengannya dirumah. Dedi adalah pemuda yang ramah, dia mempunyai etika yang sangat baik. Dia sangat murah senyum.
Hingga suatu ketika, wajahnya tidak seperti biasanya, dia hanya terdiam dengan ekspresi yang sedih. Hal itu memancing ibuku untuk bertanya keadaannya,
"Kunaon ded? Teu biasana?" (Kenapa ded? Gak biasanya) Tanya ibuku. Aku yang berada disitu pula sedang menonton Tv, menoleh sengaja dengan keingin tahuan yang besar
"Teu aya nanaon teh!" (Gak ada apa-apa teh!) Jelasnya kemudian tersenyum.
Ibuku hanya mengangguk tak memaksa dedi untuk bercerita.
Setelah menerima uang dari bapakku, dedipun pulang.
Sepulangnya dedi, uwakku datang kerumah dengan membawa makanan. Sudah tradisi dikampung ini untuk bertukar makanan.
Aku mendengar uwakku menceritakan hal tentang dedi dan keluarganya
"Nya eta, karunya si dedi" (kasian si dedi) kata uwakku memulai pembicaraan
"Oh heeuh, kunaon emang teh?" (Oh iya, kenapa emangnya teh?)
Aku terus menguping pembicaraan ibu dengan uwakku. Cerita yang lumayan panjang kudengar. Ternyata
"Ibunya dedi, yakni Bi Uun diganggu oleh beberapa warga, mereka membuang dagangan bi uun yakni ikan, bi uun memang sering berkeliling kampung untuk menjual ikan-ikan tapi entah mengapa seringsekali bi uun mendapat perlakuan buruk dari warga sekitar, mulai dari dibicarakan aibnya sampai diperlakukan tidak senonoh"
Para warga sering menganggap keluarga dedi itu sebagai hinaan, mereka seringkali menertawakan kondisi keluarga dedi. Rumah yang hampir seperti gubuk, berdindingkan bilik dan lantainya hanya tanah, membuat keluarganya menjadi bulan-bulanan iseng para warga.
Rumah mereka berada diujung persawahan dibatas hutan, jauh dari pemukiman warga lain. Aku sering melihat rumahnya ketika ku biasa mencari belalang disawah yang sudah dipanen. Tampak reot pikirku. Rumah itu nampak sudah tak layak lagi untuk dihuni.
Hingga suatu ketika, sebuah kejadian yang menjadi buah bibir dikampungku terjadi tidak jauh dari rumah dedi diperbatasan hutan dan persawahan dikampung ini.
Begini ceritanya...
2 orang anak laki-laki beumur kisaran 15 tahun berjalan melewati rumah dedi dengan satu buah golok yang dipegang salah satu anak itu, sebut saja Dian dan adang. Dian dan adang berniat mencari jambu mete atau kita sering menyebutnya Mede. Yang memang banyak tumbuh dihutan belakang rumah dedi.
Kala itu waktu sudah tengah hari, adzan dzuhur pun baru saja berhenti berkumandang. Dian dan adang tak pernah merasa ada hal yang aneh, ini memang hutan yang biasa mereka masuki ketika mencari buah atau kayu bakar.
Setelah melewati rumah dedi, mereka berdua hanya memandang rumah reot itu kemudian masuk kedalam hutan.
Dengan seksama mereka menghampiri setiap pohon jambu mete dan melihat-lihat keatas mencari buah yang sudah matang dengan warna jingga sampai merah segar. Banyak sekali buah yang mereka temukan, hanya saja daging buah tidak mereka ambil, mereka hanya mengambil biji-biji metenya untuk mereka bakar dan makan.
2 jam mereka berkeliling didalam hutan dengan pohon-pohon besar menjulang, lelah menangkap mereka. Direbahkannya badan mereka berdua diatas dahan pohon mangga yang tidak terlalu tinggi tapi berbatang besar
Berniat untuk beristirahat sejenak sebelum mereka pulang.
"Dang, sia pernah nempo jurig?" (Dang, kamu pernah lihat hantu?) Tanya dian iseng
Adang hanya menggeleng dengan potongan buah mangga mentah berada digigitannya.
"Hayang nempo embung?" (Mau lihat gak?) Kata dian meneruskan
"Embung teuing!" (Nggak mau lah) jawab adang cuek
"Ah borangan, yeuh ku aing bere nyaho mun sia hayang nempo jurig!" (Ah penakut, nih aku kasih tahu kalo kamu pengen lihat hantu!) Jelas dian bangun dari baringnya
"Ih pan cik aing geh embung!" (Ih kan kata gua juga gak mau!) Ketus adang
"Heeuh ges repeh, yeuh kieu carana!" (Udah diem aja, gini nih caranya) ujar dian memegang bahu adang.
Adang hanya terlihat sedikit panik sembari mengupas mangga mentah ditangannya.
"Sia botakan hulu sia, terus kerok halis sia, laju sataranjang terus ngaca! Tah sia bakal nempo jurig dikacana! Hahaha" (kamu botakin kepala kamu, terus cukur alis kamu, kemudian telanjang dan berkaca! Nah kamu bakal melihat hantu dikacanya! Hahaha) jelas dian diakhiri tawa yang sangat kencang.
Adang terlihat diam dan bingung" atuh etamah aing dian!" ( Itumah gua atuh dian) jelas adang sembari memukul dada dian hingga terjatuh dari dahan.
"Gedebuk" suara badan dian yang membentur tanah dengan dedaunan kering diatasnya. Dian hanya terus tertawa sambil mengeluh kakinya yang sedikit sakit.
"Modar sia!" (Rasain lu) kata Adang kemudian tertawa.
Tapi pada saat itu juga, adang tak mendengar suara dian yang tadi masih tertawa, dilihatnya ke bawah. Dian terlihat mengamati sesuatu dari kejauhan, itu membuat adang kemudian turun dari atas pohon.
"Yan, aya naon?" (Yan ada apa?) Tanya adang dibelakang dian sembari mengambil kantong keresek berisi biji jambu mete yang ia taruh diakar pohon mangga besar itu.
"Ssst, repeh... Itu naon nu hideung ngarumbay!" ,,(Ssst, diam... Itu apa yang hitam tergerai)
Bersambung
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART ENDING
Diubah oleh rosemallow 27-10-2019 21:03
minakjinggo007 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
25K
175
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
rosemallow
#98
JAMPE POPOTONGAN [PART 7]
“Ni, maneh nyaho ti saha?” (ni, kamu tau darimana?) ucapku penasaran.
“ti abah” (dari abah) jawab ani. Ani ini adalah tetangga abah sobir.
Aku tak menanyakan hal lain lagi. Aku berpamitan untuk keluar kelas kepada ani dan teman yang lain. Diluar kelas aku menatap bingung, penasaran siapa yang tega mengirimkan guna-guna kepada Imas? Apa masalah sebenarnya yang dihadapi oleh imas?
Entah apa yang aku pikirkan, disekolah aku melihat Diana. Yang sudah biasa dia akan bermain sendiri dibawah pohon sirsak yang tak terlalu besar. Aku menghampirinya, bermaksud untuk menanyakan suatu hal.

Entah ia takut atau apa? Dia melihatku dari kejauhan dan langsung berlari seolah menghindariku. Kaki ini merasa sangat ingin mengejarnya, tapi apa daya naluriku memilih untuk tetap diam.
Karena aku mengerti tidak mudah bagi Diana hidup dengan peristiwa-peristiwa aneh yang menimpa ibunya. Setelah aku melihat Diana sudah menghilang dibalik tembok kelas sekolah, akupun kembali berjalan menuju kelasku.
Setelah beberapa jam berlalu, waktu sudah menunjukkan saatnya untuk pulang.
Tergesa-gesa, aku berjalan pulang dengan setengah berlari. Karena tak ada yang menjemputku. Aku pulang melewati jalan pintas yang biasa aku lewati. Karena jarak sekolahku kerumah tidak terlalu jauh, jadi aku cepat sekali sampai kerumah.
Dari depan halaman rumahku, sudah terasa jika rumah sedang sepi. Pintu tertutup begitupun jendela yang biasanya terbuka. Ku lepaskan sepatu dengan duduk diatas teras kemudian menjinjingnya. Benar saja, pintu terkunci. Kusingkap kesed yang berada didepan pintu, disitulah tempat biasanya kunci rumah ibu taruh jika pergi keluar rumah. Lalu kubuka pintu dan kemudian masuk.
Sunyi,
Saatku menaruh sepatu diatas rak, kemudian kulempar tas keatas sofa ruang tamu dan langsung berlari ke dapur untuk mencari makanan. Harapanku sirna, ketika tak kudapati makanan apapun diatas meja makan. Tak pikir panjang, aku langsung pergi keluar dengan seragam yang masih kupakai, untuk mencari ibuku.
Setiap rumah saudaraku, ku hampiri menanyakan keberadaan ibuku. Tapi semuanya nihil, ibuku tidak ada dirumah saudaraku. Aku bingung, kesal dan kelaparan. Dengan cepat aku berjalan menuju rumah Lita, rencananya aku akan meminta makan ke uwakku yakni ibunya Lita. Setelah sampai dirumah Lita, ku lihat uwakku sedang duduk didepan rumahnya, aku datang berjalan sambil menangis.
"Wak, hoyong makan!?" (Wak, pengen makan!?) Kataku meringis dengan badan yang melemas.
Uwakku hanya tertawa sembari mengambil tanganku kemudian membawaku masuk kedalam rumah.
Setelah diambilkan makanan oleh uwakku, aku duduk di depan Tv sembari makan dengan sangat lahap. Ditengah keasyikanku menonton televisi, aku mendengar seseorang berteriak-teriak.
Sontak aku keluar dengan penasaran. Ku cari sumber arah suara itu, dan kusadari jika suaranya berasal dari belakang rumah lita. Dengan sisa nasi yang masih aku kunyah, aku berlari menghampiri sumber suara itu.
Beberapa orang keluar dari rumah mereka dan melihat kejadian yang tidak masuk akal ini. Semua warga melihat ngeri sekaligus malu. Aku perlahan mendekati kejadian apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika ku semakin dekat melangkah kulihat seseorang berlari dari arah rumah dedi.
Imas tanpa sehelai benangpun ditubuhnya, berlari keluar menampakkan jelas semua area vital tubuhnya sembari berteriak-teriak. Saat itu kemolekan tubuh imas yang sering warga dengar amatlah menggoda, terpampang jelas dilihat oleh semua warga, tak terkecuali aku.
Dalam bingung dan kaget, aku melihat ibuku berlari dibelakang imas sembari mencoba menahan tubuh imas yang memberontak. Ibuku berusaha menutup badan imas dengan badan beliau.
Hentakan pukulan tangan dan kaki imas satu persatu menghujam tubuh ibuku. Untungnya ibuku mempunyai postur tubuh yang besar, jadi beliau masih bisa menahan gempuran imas yang terlihat murka.
Tak hanya ekspresi yang marah, imas sesekali menunjukkan wajah yang tersenyum sembari cekikikan. Aku tak mengerti, tak ada warga lain yang mencoba membantu ibuku untuk menenangkan imas. Mungkin mereka merasa takut dengan tingkah imas yang sangat aneh seperti ini.
Kulihat dedi menangis meronta terduduk didepan teras rumahnya, ia menangis hebat seperti tak kuasa menahan ujian dalam hidupnya ini, ia terlihat sangat putus asa. Ia seolah pasrah dengan apa yang sudah terjadi.
Aku hanya terdiam, ingin aku menolong ibuku. Akupun tak tega melihat beliau kesusahan melawan berontaknya tubuh imas.
Akhirnya bi uun berlari membawa sebuah kain samping kemudian langsung melilitkannya ke tubuh imas dibantu oleh ibuku yang memeganginya. Kejadian ini sungguh tak bisa aku lupakan.
Setelah badan imas terbungkus kain dan mengikatnya, membuat badan imas tak bisa bergerak sama sekali. Kemudian ibuku dan bi uun langsung membawanya kembali masuk kedalam rumah.
Lagi, aku melihat seornag laki-laki yang tak kukenal. Wajahnya Nampak sama dengan lelaki yang kulihat saat kejadian imas menganggap dedi adalah seekor ular. Topi hitam yang menutup hampir setengah kepala dan wajahnya serta pakaian yang serba hitam itu membuatku berprasangka buruk.
Hingga kulihat lelaki itu menatap tegas ke satu arah, kulihat Diana menatap balik lelaki itu, kemudian Diana berlari masuk kedalam rumahnya. Saat itupula lelaki itu berlalu pergi.
Akupun langsung berlari masuk ke rumah imas untuk menemui ibuku.
Kulihat ibuku sedang terduduk disebelah imas yang terlihat sangat kelelahan dengan badan yang masih terbungkus kain, disebelahnya sudah banyak warga lain yang mengerumuninya. Aku berdiri persis disebelah ibuku sembari setengah memeluknya dan memandangi imas.
Wajahnya memang tetap terlihat cantik, dengan keringat dan rambut lurusnya yang basah matanya terpejam sendu. Sementara Dedi sedang ditenangkan oleh bapak-bapak lain.
Beberapa waktu berlalu, rumah imas kembali sepi. Ibu dan aku kemudian berpamitan untuk pulang kepada keluarga dedi. Bi uun tak hentinya mengucapkan terimakasih sembari memegang erat tangan ibuku. Ibu hanya tersenyum dan berusaha menenangkan bi uun kemudian pergi keluar dengan aku yang memegang erat dasternya.
Kamipun berjalan pulang,
“mah, kunaon deui teh imas itu?” (Mah, kenapa lagi teh imas?) tanyaku
“Duka, mamah ge gak ngerti!” (Gak tau, mamah juga gak ngerti!) jawab ibuku
“eh nya, tos makan can dek?” (eh iya, udah makan belum dek?) Tambah ibu
Aku hanya mengangguk.
Dan ternyata, kenapa ibuku bisa ada disana?
Singkatnya, imas menginginkan ibuku untuk pergi kerumahnya. Karena imas merasa ingin dimandikan, dia ingin mati. Imas sudah seperti tak kuat lagi menahan semua ini. Ia putus asa dan terus berdebat dengan dedi, agar dedi meninggalkannya. Karena imas merasa bukanlah seseorang yang bisa membahagiakan dedi lagi. Entah karena cintanya yang terlalu besar, dedi mantap tak akan meninggalkannya. Sampai kejadian yang sebenarnya memalukan itu terjadi.
Ditempat lain, di hari yang berbeda
Dedi terlihat duduk mengobrol dengan abah sobir dirumah abah sobir. Abah menjelaskan suatu hal kepada dedi dengan sangat serius.
Nampak wajah dedi tak kalah serius dengan wajah abah, matanya tegas menatap setiap gerakan bibir abah.
“Hah, Edan?” (Hah, Gila?) teriak dedi heran.
Bersambung...
PART 8
“ti abah” (dari abah) jawab ani. Ani ini adalah tetangga abah sobir.
Aku tak menanyakan hal lain lagi. Aku berpamitan untuk keluar kelas kepada ani dan teman yang lain. Diluar kelas aku menatap bingung, penasaran siapa yang tega mengirimkan guna-guna kepada Imas? Apa masalah sebenarnya yang dihadapi oleh imas?
Entah apa yang aku pikirkan, disekolah aku melihat Diana. Yang sudah biasa dia akan bermain sendiri dibawah pohon sirsak yang tak terlalu besar. Aku menghampirinya, bermaksud untuk menanyakan suatu hal.

Entah ia takut atau apa? Dia melihatku dari kejauhan dan langsung berlari seolah menghindariku. Kaki ini merasa sangat ingin mengejarnya, tapi apa daya naluriku memilih untuk tetap diam.
Karena aku mengerti tidak mudah bagi Diana hidup dengan peristiwa-peristiwa aneh yang menimpa ibunya. Setelah aku melihat Diana sudah menghilang dibalik tembok kelas sekolah, akupun kembali berjalan menuju kelasku.
Setelah beberapa jam berlalu, waktu sudah menunjukkan saatnya untuk pulang.
Tergesa-gesa, aku berjalan pulang dengan setengah berlari. Karena tak ada yang menjemputku. Aku pulang melewati jalan pintas yang biasa aku lewati. Karena jarak sekolahku kerumah tidak terlalu jauh, jadi aku cepat sekali sampai kerumah.
Dari depan halaman rumahku, sudah terasa jika rumah sedang sepi. Pintu tertutup begitupun jendela yang biasanya terbuka. Ku lepaskan sepatu dengan duduk diatas teras kemudian menjinjingnya. Benar saja, pintu terkunci. Kusingkap kesed yang berada didepan pintu, disitulah tempat biasanya kunci rumah ibu taruh jika pergi keluar rumah. Lalu kubuka pintu dan kemudian masuk.
Sunyi,
Saatku menaruh sepatu diatas rak, kemudian kulempar tas keatas sofa ruang tamu dan langsung berlari ke dapur untuk mencari makanan. Harapanku sirna, ketika tak kudapati makanan apapun diatas meja makan. Tak pikir panjang, aku langsung pergi keluar dengan seragam yang masih kupakai, untuk mencari ibuku.
Setiap rumah saudaraku, ku hampiri menanyakan keberadaan ibuku. Tapi semuanya nihil, ibuku tidak ada dirumah saudaraku. Aku bingung, kesal dan kelaparan. Dengan cepat aku berjalan menuju rumah Lita, rencananya aku akan meminta makan ke uwakku yakni ibunya Lita. Setelah sampai dirumah Lita, ku lihat uwakku sedang duduk didepan rumahnya, aku datang berjalan sambil menangis.
"Wak, hoyong makan!?" (Wak, pengen makan!?) Kataku meringis dengan badan yang melemas.
Uwakku hanya tertawa sembari mengambil tanganku kemudian membawaku masuk kedalam rumah.
Setelah diambilkan makanan oleh uwakku, aku duduk di depan Tv sembari makan dengan sangat lahap. Ditengah keasyikanku menonton televisi, aku mendengar seseorang berteriak-teriak.
Sontak aku keluar dengan penasaran. Ku cari sumber arah suara itu, dan kusadari jika suaranya berasal dari belakang rumah lita. Dengan sisa nasi yang masih aku kunyah, aku berlari menghampiri sumber suara itu.
Beberapa orang keluar dari rumah mereka dan melihat kejadian yang tidak masuk akal ini. Semua warga melihat ngeri sekaligus malu. Aku perlahan mendekati kejadian apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika ku semakin dekat melangkah kulihat seseorang berlari dari arah rumah dedi.
Imas tanpa sehelai benangpun ditubuhnya, berlari keluar menampakkan jelas semua area vital tubuhnya sembari berteriak-teriak. Saat itu kemolekan tubuh imas yang sering warga dengar amatlah menggoda, terpampang jelas dilihat oleh semua warga, tak terkecuali aku.
Quote:
Dalam bingung dan kaget, aku melihat ibuku berlari dibelakang imas sembari mencoba menahan tubuh imas yang memberontak. Ibuku berusaha menutup badan imas dengan badan beliau.
Hentakan pukulan tangan dan kaki imas satu persatu menghujam tubuh ibuku. Untungnya ibuku mempunyai postur tubuh yang besar, jadi beliau masih bisa menahan gempuran imas yang terlihat murka.
Tak hanya ekspresi yang marah, imas sesekali menunjukkan wajah yang tersenyum sembari cekikikan. Aku tak mengerti, tak ada warga lain yang mencoba membantu ibuku untuk menenangkan imas. Mungkin mereka merasa takut dengan tingkah imas yang sangat aneh seperti ini.
Kulihat dedi menangis meronta terduduk didepan teras rumahnya, ia menangis hebat seperti tak kuasa menahan ujian dalam hidupnya ini, ia terlihat sangat putus asa. Ia seolah pasrah dengan apa yang sudah terjadi.
Aku hanya terdiam, ingin aku menolong ibuku. Akupun tak tega melihat beliau kesusahan melawan berontaknya tubuh imas.
Akhirnya bi uun berlari membawa sebuah kain samping kemudian langsung melilitkannya ke tubuh imas dibantu oleh ibuku yang memeganginya. Kejadian ini sungguh tak bisa aku lupakan.
Setelah badan imas terbungkus kain dan mengikatnya, membuat badan imas tak bisa bergerak sama sekali. Kemudian ibuku dan bi uun langsung membawanya kembali masuk kedalam rumah.
Lagi, aku melihat seornag laki-laki yang tak kukenal. Wajahnya Nampak sama dengan lelaki yang kulihat saat kejadian imas menganggap dedi adalah seekor ular. Topi hitam yang menutup hampir setengah kepala dan wajahnya serta pakaian yang serba hitam itu membuatku berprasangka buruk.
Hingga kulihat lelaki itu menatap tegas ke satu arah, kulihat Diana menatap balik lelaki itu, kemudian Diana berlari masuk kedalam rumahnya. Saat itupula lelaki itu berlalu pergi.
Akupun langsung berlari masuk ke rumah imas untuk menemui ibuku.
Kulihat ibuku sedang terduduk disebelah imas yang terlihat sangat kelelahan dengan badan yang masih terbungkus kain, disebelahnya sudah banyak warga lain yang mengerumuninya. Aku berdiri persis disebelah ibuku sembari setengah memeluknya dan memandangi imas.
Wajahnya memang tetap terlihat cantik, dengan keringat dan rambut lurusnya yang basah matanya terpejam sendu. Sementara Dedi sedang ditenangkan oleh bapak-bapak lain.
Beberapa waktu berlalu, rumah imas kembali sepi. Ibu dan aku kemudian berpamitan untuk pulang kepada keluarga dedi. Bi uun tak hentinya mengucapkan terimakasih sembari memegang erat tangan ibuku. Ibu hanya tersenyum dan berusaha menenangkan bi uun kemudian pergi keluar dengan aku yang memegang erat dasternya.
Kamipun berjalan pulang,
“mah, kunaon deui teh imas itu?” (Mah, kenapa lagi teh imas?) tanyaku
“Duka, mamah ge gak ngerti!” (Gak tau, mamah juga gak ngerti!) jawab ibuku
“eh nya, tos makan can dek?” (eh iya, udah makan belum dek?) Tambah ibu
Aku hanya mengangguk.
Dan ternyata, kenapa ibuku bisa ada disana?
Singkatnya, imas menginginkan ibuku untuk pergi kerumahnya. Karena imas merasa ingin dimandikan, dia ingin mati. Imas sudah seperti tak kuat lagi menahan semua ini. Ia putus asa dan terus berdebat dengan dedi, agar dedi meninggalkannya. Karena imas merasa bukanlah seseorang yang bisa membahagiakan dedi lagi. Entah karena cintanya yang terlalu besar, dedi mantap tak akan meninggalkannya. Sampai kejadian yang sebenarnya memalukan itu terjadi.
Ditempat lain, di hari yang berbeda
Dedi terlihat duduk mengobrol dengan abah sobir dirumah abah sobir. Abah menjelaskan suatu hal kepada dedi dengan sangat serius.
Nampak wajah dedi tak kalah serius dengan wajah abah, matanya tegas menatap setiap gerakan bibir abah.
“Hah, Edan?” (Hah, Gila?) teriak dedi heran.
Bersambung...
PART 8
Diubah oleh rosemallow 22-10-2019 16:10
banditos69 dan 16 lainnya memberi reputasi
17