Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

UchieSucianiAvatar border
TS
UchieSuciani
Kujual Rahimku Demi Keluarga Suamiku
Kujual Rahim Demi Keluarga


Sumber gambar inspirasku.wordpress


Empat puluh hari sepeninggal suamiku, hampir setiap hari ada orang yang datang ke rumah. Awalnya aku kira mereka adalah sahabat mendiang suami, tapi ternyata dugaanku salah. Mereka ada debt colector dan orang-orang suruhan rentenir yang meminjamkan uang pada suamiku. Kaget? Tentu saja. Karena sepengetahuanku, mendiang suamiku adalah orang yang tidak suka berhutang. Dan yang membuatku lebih kaget lagi adalah nominalnya yang tidak masuk akal. Kalau ditotal semua hampir 150 juta, jumlahnya.

Ya ... Tuhan, untuk apa sebenarnya dia meminjam uang sebesar itu.

Belum lagi habis masa berkabung, sudah dihadang pula dengan masalah seperti ini. Bingung, bagaimana caranya harus mengembalikan uang itu. Sedangkan gajiku hanya cukup untuk biaya hidupku dan seorang anak.

Untuk meringankan beban pikiran, aku memilih mendatangi keluarga mendiang suami dan meminta saran pada ayah dan ibu mertua. Malang tak dapat dihindari, untung tak dapat diraih. Bukannya solusi, justru caci maki dan kenyataan pahit yang aku dapat.

Ternyata suamiku meminjam uang pada rentenir demi memenuhi nafsu dunia keluarganya sendiri tanpa sepengetahuanku, istrinya.

Ya Tuhan ....

Rasanya seperti ingin mati saja, menyusul kedua orang tuaku. Tak kuat rasanya menanggung beban ini. Mereka yang menikmati, mengapa aku yang harus membayar hutang-hutangnya?

Di tengah kemelut yang kuhadapi, aku terus memikirkan apa yang harus dilakukan demi membayar hutang peninggalan suamiku itu.
Tanpa sengaja aku membaca sebuah postingan, tentang seorang publik figur. Dia mempunyai kelainan orientasi seksual, sedang bahagia karena baru saja mengadopsi seorang bayi hasil dari meminjam rahim seseorang.

Mungkinkah? Antara terkejut dan senang, seolah mendapat angin segar untuk masalah yang tengah mendera, aku berselancar di dunia maya. Mencari akses untuk bisa "menjual" rahimku ini. Hanya ini cara satu-satunya agar aku bisa mendapatkan uang banyak dengan cepat.

Tiga hari berselang, ada seorang lelaki yang menghubungi via telepon. Dia bilang, dia dan pasangannya bersedia menggunakan jasaku. Tawar-menawar sempat terjadi, tapi akhirnya dia tidak jadi menggunakan jasaku sebab harga yang kuminta terlalu tinggi, begitu katanya. Huft

Hingga akhirnya suatu sore, seorang lelaki datang ke rumah. Kutaksir usianya baru menginjak angka 30an. Perawakannya tegap, tinggi, kulitnya sawo matang tapi bersih, wajahnya cerah. Sekilas mirip artis yang sering kulihat di layar kaca.

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" Tanyaku setelah mempersilahkannya duduk.

"Saya Fery, Mbak." Jawabnya sambil mengulurkan tangan. Aku menjabatnya dengan raut bingung. Karena kupikir mendiang suamiku tidak punya teman yang modelnya kece begini. Pun tidak mungkin dia suruhan rentenir sialan itu. Terlalu necis dan terlalu sopan, menurutku.

"Maaf, Mas. Ada perlu apa, ya?" Tanyaku.

Dia tersenyum, manis sekali.

"Begini, Mbak Yanti, saya menemukan postingan Mbak di grup BMG, betul kan, Mbak yang posting di sana?"

Ah, iya. Aku ingat, postingan di grup Bima Menginginkan Gatutkaca. Sebuah grup tertutup yang isinya adalah pasangan yang menginginkan anak.

"Iya, Mas. Saya posting sesuatu di sana," jawabku kikuk.

"Betul, Mbak Yanti ingin meminjamkan rahim Mbak?"

Aku mengangguk lemah, keyakinanku agak goyah, sebenarnya. Tapi kepalang tanggung.

"Berapa harga yang Mbak minta?" Lanjutnya.

Aku terkesiap, dia begitu to the point sekali.

"Seratus lima puluh juta rupiah saja, Mas" jawabku ragu. Sedangkan dia malah tersenyum sumringah.

"Dua ratus juta buat Mbak, tapi besok langsung ikut saya cek kesehatan. Gimana?"

Dan tanpa pikir panjang aku langsung menyetujuinya.

General check up sudah beres. Kini kami -aku dan Fery- menuju kantor pengacara yang sudah dia tunjuk untuk mengurus keperluan kami. Kami akan membuat pernyataan hitam di atas putih demi keabsahan kerjasama kami. Biar lebih jelas saja, katanya.

"Nanti, kalau semua sudah beres, Mbak Yanti bisa pindah ke apartemen saya." Katanya sambil menoleh padaku.

Ya ... Kami sudah banyak saling bercerita. Tentang alasanku meminjamkan rahim, juga tentang anakku yang terpaksa aku titipkan pada pamanku di kota sebelah. Dari situ pula aku tahu, bahwa istrinya mengalami lumpuh total, sedangkan keluarga Fery terus saja mendesak untuk segera memiliki momongan. Sehingga terpaksa Fery mengambil langkah ini.

Anehnya, Fery lebih memilih menggunakan jasaku dibanding memperistri wanita lain. Ah, itu bukan urusanku, sih, sebenarnya.

Setelah semua urusan beres, hasil cek kesehatan sudah keluar dan urusan dengan pengacara kelar, Fery benar-benar memboyongku ke apartemennya. Tidak ada siapapun di sana.

"Anggap saja rumah sendiri, ya, Mbak!" Katanya setelah menunjukkan isi apartemennya. Aku tersenyum mengiyakan.

"Ehm, lalu istri Mas, di mana?"

"Dia, di rumah."

"Mungkin saya akan jarang kemari, jadi semua kebutuhan Mbak sudah saya siapkan semuanya. Kalau mau masak silakan pakai saja apa bahan-bahan yang di dapur."

Dia berlalu meninggalkan apartemennya, meninggalkanku sendirian. Baiklah .... Bagaimanapun, keputusan sudah kuambil. Mau tidak mau aku harus menjalankan ini semua. Sudah tidak bisa mundur meskipun dia belum menyentuhku.

Ya, meskipun canggung, sepertinya aku harus membiasakan diri tinggal serumah dengan lelaki ini. Dia bukan suamiku, tapi dia akan jadi ayah untuk anakku.

#Tbc
#bbb
#fiksi
Diubah oleh UchieSuciani 07-10-2019 14:54
novalr16
irhayuayank
evisukmaniati13
evisukmaniati13 dan 72 lainnya memberi reputasi
71
24.9K
195
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.6KAnggota
Tampilkan semua post
UchieSucianiAvatar border
TS
UchieSuciani
#83
Kujual Rahimku Demi Keluarga Suamiku (2)
Kuputuskan untuk segera melunasi hutang pada rentenir-rentenir itu setelah Fery memberi sejumlah uang sesuai permintaanku. Aku tidak ingin menanggung malu karena para penagih itu pasti terus saja mendatangi rumahku. Ya... Meskipun aku tidak lagi tinggal di sana, rasanya itu tetap memalukan, bukan?

Sesuai dugaan, ketika kembali ke rumah ada beberapa orang yang tampak tengah menggedor-gedor pintu rumahku.

"Hey, Bang? Nih, saya lunasin hutang-hutang suami saya. Tolong setelah ini kalian jangan pernah datang lagi kemari karena urusan kita sudah beres!"

Mereka tertawa senang setelah menghitung jumlah uang yang kuberikan. Kemudian berlalu diiringi tawa kemenangan.

Ah, sial. Tinggal satu lagi hutang yang harus kulunasi.
Mudah-mudahan setelah semua ini hidupku akan kembali berjalan dengan normal.

Mengunjungi anakku, hal terakhir sebelum aku pulang ke apartemen dan menjalani takdirku sebagai ibu sewaan. Mau tidak mau aku harus berbohong pada paman, menutupi kenyataan yang sebenarnya. Berpamitan untuk bekerja sebagai TKW di luar negeri, itu yang aku bilang.

Dengan berat hati harus kutinggalkan anakku disana.

Memang benar, sekali kamu berbohong maka perlu kebohongan yang lain demi menutupi kebohongan sebelumnya.

"Hai, Mbak. Baru pulang?" Sapa Fery ketika aku sampai di apartemen.

Aku mengangguk kecil sambil tersenyum. Kemudian berlalu ke dalam kamar.

Setelah dua hari dia tak mengunjungiku, hari ini dia tiba-tiba muncul begitu saja.

"Ada yang ingin saya bicarakan dengan Mbak Yanti, bisa?" Tanyanya ketika aku hendak mengambil minum.

Setelah membersihkan diri rasanya pikiranku mulai terasa lebih segar.

"Ya?"

"Ehm, tentang kerjasama kita. Apa mbak sudah siap?"

Uhuk! Ya Tuhan, kerongkonganku sakit sekali.

Apa ini? Apa memang di se-to the point begitu? Bisa pake prolog nggak, sih?

Aku menggigit bibir bawahku demi menekan rasa gugup ini. Harus jawab apa?
Secepat ini? Apa aku siap?

Namun, jika tidak sekarang, kapan lagi? Siap tidak siap, aku harus siap mengingat ini memang yang harus aku lakukan. Mengandung dan melahirkan anaknya.

"Ten-tu saya siap," ucapku sambil tersenyum untuk menutupi kegugupan yang masih mendera.

Aku masih belum berani menatapnya. Tapi dari ujung mataku aku bisa melihat dia sedang menatapku sambil tersenyum.

Sial, jantungku mulai tak sehat.

Setelah makan malam sederhana kami, aku melanjutkan aktivitasku membersihkan meja makan plus mencuci semua peralatan makan kami tadi. Dia, masih duduk santai di sofa sambil menonton televisi.

Setelah semua beres, aku menghampirinya. Rasanya tidak ada salahnya, 'kan mengakrabkan diri?

Tidak mungkin aku akan terus bersikap canggung padanya. Mengingat kerjasama kami melibatkan keintiman. Yah, anggap saja membangung chemistry.

"Mau minum teh, Mas?" Tanyaku basa-basi.
"Enggak, deh. Makasih." Jawabnya singkat.

Dan begitulah. Kami ngobrol cukup lama, hingga kantuk menyerang.

"Malam ini, saya menginap di sini, ya?"

"Boleh, kan?"

Apa? Ini kan apartemennya, kenapa harus nanya aku? Hadeeh

Kujawab dengan anggukan kecil.

Baru saja selesai dari kamar mandi, aku dikagetkan dengan seorang lelaki yang sudah berbaring di ranjangku.

Ah, iya. Apartemen ini cuma ada satu kamar. Jadi sudah pasti dia tidur di sini. Mana mungkin dia tidur di sofa?

Oke, jadi inilah waktunya.
eja2112
idner69
idner69 dan eja2112 memberi reputasi
2
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.