Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:




Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.

-- Maxwell.




Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 00:30
someshitness
bukhorigan
evywahyuni
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.3K
185
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Tampilkan semua post
ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
#128
Madness
Gue bukan orang yang pintar dalam bermain peran. Gue tidak bisa berpura-pura menyukai atau tidak menyukai sesuatu apalagi seseorang. Gue tidak bisa seperti Papa yang memilih diam di Sydney saat Diajeng kecil akhirnya mengaku dan Papa hanya memasang wajah all-smiley-happy-face nya.

Gue juga bukan orang yang bisa diam menyimpan masalah. Gue tidak bisa diam menunggu waktu yang tepatuntuk menyelesaikan masalah.

Gue juga bukan seperti Papa yang bisa meninju seseorang tepat di jantung dengan "hey Dis, kamu adalah Goddess buatku, the sexiest and the hottest woman alive! Our sex is all super great and makes me crave you more and more. I love the things you do with your fingers, your mouth, your everything! I love how your body always speaks the ancient language that put me under your spell, leaving me with nothingness but love and desire! Tapi, besok malam kamu ga usah pulang ke rumah lagi ya, Sayang. Kamu juga ga boleh ketemu darah daging kamu sampai waktu yang aku tentukan. Sederhana: aku sudah tau apa yang kamu lakukan terhadap anak kita. Kita akan bicara saat aku sudah mau bicara, tapi saat ini aku menimbang bejatnya perbuatan kamu di depan Diajeng, aku putuskan tidak ada pertemuan atau perbincangan. Kamu punya waktu satu malam untuk packing. Never see us again until I say so!"

Kira-kira begitulah Papa mengusir Mama jutaan tahun silam dan Mama menurut karena kharisma Papa bukan mainan. Saat Papa marah, hal terbaik yang dilakukan adalah memberinya ruang atau akan percuma karena orang seperti Papa adalah orang yang rasional dan realistis, dia memiliki segabrek fakta runut untuk menjelaskan kemarahannya. Mengkonfrontasinya apalagi berusaha menjelaskan masalah dari sisi terdakwa hanya akan membuat keadaan makin buruk. Menghadapinya saat marah sama saja bunuh diri dengan rasa malu.

Mama juga cerdas akan keadaan saat itu.

Gue tidak bisa demikian. Gue tidak bisa seperti Papa.

Gue tidak bisa berjalan lagi setelah mendengar pengakuan Maxwell. Gue hanya bisa ndeprok dan menangis di antara salju yang semakin deras. Lalu Maxwell juga tidak mengajak gue pergi, ikut ndeprok di hadapan gue.

Rasa sesak di dalam dada tidak luruh dengan teriakan demi teriakan. Maxwell berusaha mendekap gue sekuat yang dia mampu, seperti Papa saat memeluk gue kala di Sydney "seandainya tubuhku dan tubuhmu bisa manunggal, biarlah aku yang akan membawa beratnya beban yang hatimu rasakan, merasakan sakit yang kamu tanggung! Jika aku harus bertanda tangan pakta dengan iblis untuk membebaskanmu dari rasa sakit, aku rela menghabiskan seluruh masaku di neraka, Diajeng!"

Mengapa gue harus merasakan ini juga? Saat gue berusaha belajar menjadi pasangan yang terbaik untuk suami gue, seperti Papa yang sudah menjadi yang terbaik buat Mama, kenapa gue tetap harus menerima kutukan ini? Dimana letak salah gue? Dimana letak kekurangan yang tak bisa gue perbaiki sehingga gue harus dihukum seperti ini?

Dunia gue runtuh. Runtuh bersama salju bulan Januari.

"Lets go!" Ajak Max saat baju kami sudah basah dan salju sudah menumpuk di rambut, bahu dan pangkuan kami.

Gue tidak bisa berdiri.

"Lets go." Ajaknya lagi. Gue masih tak bergerak.

Maxwell jongkok di hadapan gue dan menarik kedua lengan gue ke pundaknya. Dalam diam dia menggendong gue yang tak bisa berhenti menangis di punggungnya.

Dia bukakan pintu mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Tubuh yang terasa tanpa tulang ini diam tak berkutik dalam sisa isak yang tersusul air mata berikutnya. Max mengambil kaos, celana dan hoodienya di jok belakang lalu menyerahkannya ke gue. Dia sendiri juga basah kuyup dan ganti baju dengan setelan kaos dan celana training juga.

Maxwell tidak mengarahkan mobil untuk pulang ke rumah. Dia hanya terus menyetir, melewati highway demi highway, berhenti mengisi bensin, lalu melanjutkan menyetir di antara salju yang terus turun. Tanpa suara, tanpa musik, dia terus menyetir dan gue masih menangis, berhenti sejenak, menangis lagi.

Kami berdua memang suka long drive without destination, getting lost on the road.

"Have a drink! Its chocolate milkshake with cream and chocochips, your favourite." Max menyerahkan segelas minuman hangat.

"Do you want to eat something?"

Gue menatap kafe di hadapan kami lalu mengangguk. Kami berdua tidak lapar, kami hanya ingin duduk di dalam.

Sepiring french fries dan ikan Barramundi berbalut tepung tersaji di hadapan kami, lengkap dengan setengah jeruk lemon dan saus tartar.

"Hows it?" Gue memperhatikan tangan Maxwell yang tampak masih merah dan perih.

"Its fine." Jawabnya mengambil beberapa kentang goreng dan memasukkannya ke dalam mulutnya sekaligus. Ia peluk bahu gue dengan lengannya yang lain.

"Gue tau lo kurus, tapi ga nyangka sekurus ini." Dia amati tubuh gue sambil memijit-mijit bahu gue.

"Udah lama banget lo ga pake baju-baju gue." Tambahnya.

"Tell me the story." Lirih gue. Mata gue terasa sangat berat, namun hati gue lebih berat lagi.

"Wait here!" Max meninggalkan gue sebentar dan kembali dengan satu pak Marlboro dan koreknya. Ia keluarkan sebatang dan memberikannya ke gue, lalu ia selipkan juga satu batang di bibirnya.

"Yakin lo mau denger sekarang?" Suara Max sudah serak dan hilang diujung kalimat. Penunjuk suhu di dalam kafe menunjukkan -7°C dan salju masih merintik membuat jalanan tampak putih dengan dua garis hitam sejajar di tengahnya.

"I dont know."

Max merapikan rambut gue.

"The Boys, lo udah jenguk mereka?" Tanya gue. Entah ada berapa ribu liter air mata di dalam mata gue karena ini tak bisa berhenti mengalir meskipun mata gue sudah terasa perih dan pegal.

"Udah. Claire dateng tiap hari buat ngasih makan juga."

"Claire?"

"Sitternya The Boys yang baru."

"Kemana Tessa?" Tessa adalah anak tetangga kami yang baru kelas dua SMA dan mencari sampingan mengajak jalan-jalan anjing para tetangga. Dia sudah menjadi sitter The Boys sejak gue mulai kerja.

"Dia sibuk." Jawab Max singkat.

"Tell me Max, gue ga tau siap apa enggak, tapi gue gabisa ngerasain yang lain selain sakit hati juga."

"It won't make any difference, aint it?"

Gue mengangguk dan meletakkan kepala di pundak Max.

"Gue udah ngajuin cuti seminggu buat liburan ke Dublin sama Nick dan Liam. Hari Jumat dua minggu lalu, gue harusnya berangkat ke Dublin, tapi ga jadi gara-gara Chris (Bos Hans dan Max) ngajak meeting dadakan. Nick sama Liam berangkat ke Dublin duluan. Malem itu kami meeting di kantor, habis meeting Chris ngajak minum di pub."

Max berhenti dan mempererat pelukannya. Gue tau pub mana yang ia maksud karena Chris memang sering mengajak mereka minum disitu. Pub favorit Chris yang tak jauh dari kantor dan memiliki koleksi bir dari berbagai negara termasuk Bintang.

"Gue balik duluan karena flight gue jam 6 pagi. Hans ga bawa mobil, mobilnya mau dipinjem Will buat poto prewed katanya. Hans bilang mau pulang sama yang lain, jadi gue tinggalin dia......seharusnya gue ga pulang malem itu Dee. Seharusnya gue nungguin dia. Seharusnya gue tarik aja dia balik bareng gue." Max mendesah menyesal.

Seketika gue paham kemana ini akan berlanjut. Dan gue hanya bisa memeluk kedua lutut sambil membenamkan wajah di antaranya. Ingin menyuruh Max berhenti tapi gue tetap ingin mendengarnya.

"Hans mabuk."

Suara Max bergetar dengan pernyataan singkatnya.

"Gue baru mau tidur Dee, habis mandiin Lexi dan beresin rumah, gue liat di grup WA ada poto-poto yang di share sama Beth tentang party mereka yang malah lanjut ke club. Gue telepon Hans ga diangkat, gue telepon yang lain katanya Hans lagi ga sama mereka. Gue susul ke club, jam satu malem."

"Terus?"

"Di pintu masuk club, gue ketemu sama temen gue sebelum gue ketemu sama temen-temen kantor. Dia liat Hans pergi sama Jovannie."

"Jovannie?? Jo???"

"Yes Dee, The Jo."

Quote:

Kembali ke real time story,

"How Max?"

"Gue tanya-tanya mereka kemana, ga ada yang tau....gue keliling hotel dan motel malem itu, sebanyak yang gue mampu Dee. Sampe jam lima pagi gue nyariin mereka. Gue cancel lagi flights gue hari itu. Gue capek."

Gue bisa merasakan desperatenya Maxwell malam itu. Tentu saja ini bukan di film-film yang mereka akan memberikan informasi tentang pengunjung kamarnya begitu saja.

Tapi gue kenal Maxwell dan dia akan tetap menanyakan pertanyaan bodoh dengan menunjukkan foto Hans dan Jovannie ke petugas lobby, "ada tamu bernama Hansen Wanker atau Jovannie Hoe? Ini potonya!"

Dan resepsionis akan bilang "Mene ketehe, Nying! Eh Nying, ngapain lo kepo? Bini lo? Pacar gay lo? Mampus lo diselingkuhin! Gantung diri aja sana!"

Jantung gue seperti berada di tangan gue, detaknya masih ada namun terasa dingin dan melemah.

Taukah kalian saat kita sakit hati, tubuh kita juga bisa merasakan sakit juga? Saat hati sangat sakit, perut, kepala bahkan seluruh tubuh bisa ikut sakit dan gemetar.

"And then?"

Maxwell memeluk gue dengan kedua lengannya. Masih duduk sebelahan, dia cium kepala gue berkali-kali. Setiap tarikan nafasnya terdengar berat.

"Gue ga nemuin Hans."

Gue makan french fries di hadapan kami yang sudah mendingin.

"Mau gue pesenin lagi?"

Gue mengangguk. Tak lama kemudian sepiring kentang dengan burger datang di hadapan kami. Max tidak melanjutkan ceritanya. Gue juga tidak menanyakan apa-apa. Gue lapar. Max juga. Kami makan semua makanan yang terhidang di depan kami dalam diam.

"Wanna hit the road again?" Tawarnya setelah selesai makan. Gue mengangguk.

"I have a place to go."

Gue tidak mengerti maksudnya namun gue juga tidak ingin menanyakan apa-apa. Gue tatap jalanan di depan kami dengan salju yang masih juga tidak berhenti. Rambu-rambu LED pengingat suhu dan kondisi jalanan terpasang hampir setiap beberapa kilometer. Mobil polisi dan ambulan juga berpatroli malam ini. Beberapa mobil tergelincir ke pinggir jalan.

Maxwell keluar dari Route A1. Terus melaju hingga tiba di Newcraighall lalu masuk ke dalam lokasi perumahan dan berbelok di salah satu rumah yang tidak gue kenal atau pernah kami datangi sebelumnya.

"We're here."

Gue amati rumah di depan kami. Sebuah rumah kecil dua lantai dengan model Georgian House. Terlihat tua, klasik dan antik. Sangat Inggris Kuno. Lampu depan yang menyala memperlihatkan dinding batu berwarna abu-abu beserta empat jendela besar dengan kotak-kotak kecil berlis putih.

"Lo suka?"

Gue melihat wajah Max yang masih mengamati rumah di depan kami. Tampak sangat lelah.

"Its beautiful." Jawab gue. Max mengajak turun. Gue pun mengikutinya.

"RUFFFF!! RUUFFFF!! RUFFFF!!!"

Lexi, Vin dan Gen menyambut kami saat pintu terbuka, lalu berebut mencium gue dan Max. Gue kebingungan melihat The Boys ada di dalam sini. Gue amati isi rumah yang masih penuh kardus-kardus yang belum terbuka.

"Apa ini Max?"

Max menarik tangan gue.

"Ada dua kamar, satu di bawah, satu di atas. Terserah lo mau yang mana. Dua-duanya udah ada kasurnya, cuma belum gue rapihin aja."

Max menyalakan lampu kamar di lantai satu. Kasur baru terhampar di lantai dengan plastik yang masih belum terbuka. Di atasnya ada sprei, quilt dan bantal yang juga masih di dalam plastiknya. Tak ada apa-apa di kamar selain kasur dan perangkatnya.

"Max?"

Dia tidak menatap gue. Dia masih melihat ke arah kasur di lantai, matanya berkaca-kaca lagi.

"Lets stay here, Dee."

Allahu Akbar!!

Gue bersimpuh di lantai dan menangis. Gue keluarkan semua energi yang tersisa untuk berteriak sekencang-kencangnya. Just like Little Dee.

Malam itu, Maxwell tidak berhasil menemukan Hans.

Maxwell menyerah, dia kembali pulang ke kontrakan kami di Dean Village dengan lesu dan menyesal....hanya untuk mendapati Hans dan Jo ada di kamar kami, di atas ranjang yang hanya gue tiduri bersama Hans...


Diubah oleh ladeedah 17-10-2019 11:57
kicquck
kicquck memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.