- Beranda
- Stories from the Heart
JAMPE POPOTONGAN [KISAH NYATA]
...
TS
rosemallow
JAMPE POPOTONGAN [KISAH NYATA]
![JAMPE POPOTONGAN [KISAH NYATA]](https://s.kaskus.id/images/2019/10/14/10708448_201910140406130459.png)
Spoiler for Baca ini!:
PREV STORY << PELET PERAWAN [TAMAT]
PREV STORY << AMARAH DESA JIN [TAMAT]
JAMPE POPOTONGAN (JAMPI MANTAN SUAMI)
Seorang pemuda terduduk disebuah saung dengan beralas bambu yang dibuat sedemikian rupa hingga menjadi sebuah alas panggung dengan atap dari daun kelapa, ditengah sawah yang luas.
Pemuda itu memang terlihat sudah lumayan dewasa, belum menikah sama sekali. Umurnya diperkirakan sekitar 27-28 tahunan, dengan jenggot tebal tak memanjang, kulit coklat gelap dengan badan kurus berotot kering itu dikenal dengan nama Dedi. Tak banyak yang ia lakukan hanya merenungi nasibnya sekarang ini.
Mungkin tidak hanya ditanah sunda, tapi jika ada pemuda yang dengan umur yang sudah matang belum menikah itu menjadikannya sebuah masalah. Dedi sering minder karena dia tidak percaya diri dengan dirinya, dia sering berpikir jika fisik dan kemiskinannya adalah masalah utamanya sekarang.
Waktu itu tahun 2004, ketika aku masih SD berumur sekitar 8 tahun.
Suatu sore,
Bapakku datang kerumah dengan seseorang yang ku tahu sebelumnya, dan dia itu adalah dedi. Dedi hanya tersenyum kepadaku yang sedang makan dengan ibuku.
Bapakku duduk di kursi ruang tamu begitupun dedi yang duduk persis disebelahnya
"Diuk rada dituan atuh ded!" (Duduk agak kesana dong ded) ucap bapakku sembari tertawa kecil
Dedi hanya membalas senyum kemudian menggeser sedikit menjauh dari bapakku.
Umurku yang sekecil itu hanya menatap biasa melihatnya,
"Atuh mah, jieunkeun kopi atuh" (mah, buatin kopi dong!) Seru bapakku menyuruh ibuku yang baru saja selesai makan bersamaku.
Ibuku pergi ke dapur dan membuatkan kopi untuk bapak dan Dedi.
Singkatnya, dedi mulai bekerja dengan bapakku. Pikirku karena kasihan melihat keluarganya yang tidak terlalu berkecukupan dalam memenuhi kehidupannya sehari-hari.
Dedi tinggal bersama ibunya yang janda, adik laki-lakinya yang berbeda 6 tahun dengannya dan 3 keponakannya yang diketahui ibunya sedang bekerja di Arab saudi. Tapi jarang sekali memberikan uang kepada mereka. Maka dari itu seringkali mereka melakukan pekerjaan apapun tanpa mengeluh.
Meskipun dedi sering merasa minder, tapi dia juga sempat menyukai banyak wanita dikampung kami. Berkali-kali penolakan berujung dengan kesedihan yang dialami dedi. Meskipun begitu wanita kampungpun mempunyai selera yang sangat tinggi.
Karena bekerja dengan bapak, aku sering bertemu dengannya dirumah. Dedi adalah pemuda yang ramah, dia mempunyai etika yang sangat baik. Dia sangat murah senyum.
Hingga suatu ketika, wajahnya tidak seperti biasanya, dia hanya terdiam dengan ekspresi yang sedih. Hal itu memancing ibuku untuk bertanya keadaannya,
"Kunaon ded? Teu biasana?" (Kenapa ded? Gak biasanya) Tanya ibuku. Aku yang berada disitu pula sedang menonton Tv, menoleh sengaja dengan keingin tahuan yang besar
"Teu aya nanaon teh!" (Gak ada apa-apa teh!) Jelasnya kemudian tersenyum.
Ibuku hanya mengangguk tak memaksa dedi untuk bercerita.
Setelah menerima uang dari bapakku, dedipun pulang.
Sepulangnya dedi, uwakku datang kerumah dengan membawa makanan. Sudah tradisi dikampung ini untuk bertukar makanan.
Aku mendengar uwakku menceritakan hal tentang dedi dan keluarganya
"Nya eta, karunya si dedi" (kasian si dedi) kata uwakku memulai pembicaraan
"Oh heeuh, kunaon emang teh?" (Oh iya, kenapa emangnya teh?)
Aku terus menguping pembicaraan ibu dengan uwakku. Cerita yang lumayan panjang kudengar. Ternyata
"Ibunya dedi, yakni Bi Uun diganggu oleh beberapa warga, mereka membuang dagangan bi uun yakni ikan, bi uun memang sering berkeliling kampung untuk menjual ikan-ikan tapi entah mengapa seringsekali bi uun mendapat perlakuan buruk dari warga sekitar, mulai dari dibicarakan aibnya sampai diperlakukan tidak senonoh"
Para warga sering menganggap keluarga dedi itu sebagai hinaan, mereka seringkali menertawakan kondisi keluarga dedi. Rumah yang hampir seperti gubuk, berdindingkan bilik dan lantainya hanya tanah, membuat keluarganya menjadi bulan-bulanan iseng para warga.
Rumah mereka berada diujung persawahan dibatas hutan, jauh dari pemukiman warga lain. Aku sering melihat rumahnya ketika ku biasa mencari belalang disawah yang sudah dipanen. Tampak reot pikirku. Rumah itu nampak sudah tak layak lagi untuk dihuni.
Hingga suatu ketika, sebuah kejadian yang menjadi buah bibir dikampungku terjadi tidak jauh dari rumah dedi diperbatasan hutan dan persawahan dikampung ini.
Begini ceritanya...
2 orang anak laki-laki beumur kisaran 15 tahun berjalan melewati rumah dedi dengan satu buah golok yang dipegang salah satu anak itu, sebut saja Dian dan adang. Dian dan adang berniat mencari jambu mete atau kita sering menyebutnya Mede. Yang memang banyak tumbuh dihutan belakang rumah dedi.
Kala itu waktu sudah tengah hari, adzan dzuhur pun baru saja berhenti berkumandang. Dian dan adang tak pernah merasa ada hal yang aneh, ini memang hutan yang biasa mereka masuki ketika mencari buah atau kayu bakar.
Setelah melewati rumah dedi, mereka berdua hanya memandang rumah reot itu kemudian masuk kedalam hutan.
Dengan seksama mereka menghampiri setiap pohon jambu mete dan melihat-lihat keatas mencari buah yang sudah matang dengan warna jingga sampai merah segar. Banyak sekali buah yang mereka temukan, hanya saja daging buah tidak mereka ambil, mereka hanya mengambil biji-biji metenya untuk mereka bakar dan makan.
2 jam mereka berkeliling didalam hutan dengan pohon-pohon besar menjulang, lelah menangkap mereka. Direbahkannya badan mereka berdua diatas dahan pohon mangga yang tidak terlalu tinggi tapi berbatang besar
Berniat untuk beristirahat sejenak sebelum mereka pulang.
"Dang, sia pernah nempo jurig?" (Dang, kamu pernah lihat hantu?) Tanya dian iseng
Adang hanya menggeleng dengan potongan buah mangga mentah berada digigitannya.
"Hayang nempo embung?" (Mau lihat gak?) Kata dian meneruskan
"Embung teuing!" (Nggak mau lah) jawab adang cuek
"Ah borangan, yeuh ku aing bere nyaho mun sia hayang nempo jurig!" (Ah penakut, nih aku kasih tahu kalo kamu pengen lihat hantu!) Jelas dian bangun dari baringnya
"Ih pan cik aing geh embung!" (Ih kan kata gua juga gak mau!) Ketus adang
"Heeuh ges repeh, yeuh kieu carana!" (Udah diem aja, gini nih caranya) ujar dian memegang bahu adang.
Adang hanya terlihat sedikit panik sembari mengupas mangga mentah ditangannya.
"Sia botakan hulu sia, terus kerok halis sia, laju sataranjang terus ngaca! Tah sia bakal nempo jurig dikacana! Hahaha" (kamu botakin kepala kamu, terus cukur alis kamu, kemudian telanjang dan berkaca! Nah kamu bakal melihat hantu dikacanya! Hahaha) jelas dian diakhiri tawa yang sangat kencang.
Adang terlihat diam dan bingung" atuh etamah aing dian!" ( Itumah gua atuh dian) jelas adang sembari memukul dada dian hingga terjatuh dari dahan.
"Gedebuk" suara badan dian yang membentur tanah dengan dedaunan kering diatasnya. Dian hanya terus tertawa sambil mengeluh kakinya yang sedikit sakit.
"Modar sia!" (Rasain lu) kata Adang kemudian tertawa.
Tapi pada saat itu juga, adang tak mendengar suara dian yang tadi masih tertawa, dilihatnya ke bawah. Dian terlihat mengamati sesuatu dari kejauhan, itu membuat adang kemudian turun dari atas pohon.
"Yan, aya naon?" (Yan ada apa?) Tanya adang dibelakang dian sembari mengambil kantong keresek berisi biji jambu mete yang ia taruh diakar pohon mangga besar itu.
"Ssst, repeh... Itu naon nu hideung ngarumbay!" ,,(Ssst, diam... Itu apa yang hitam tergerai)
Bersambung
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART ENDING
Diubah oleh rosemallow 27-10-2019 21:03
minakjinggo007 dan 32 lainnya memberi reputasi
33
25K
175
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
rosemallow
#36
JAMPE POPOTONGAN [PART 4]
Bi uun berteriak dengan sangat keras, imas dan deden pun langsung berlari kembali masuk kedalam rumah dedi. Disana terlihat bi uun tersungkur jatuh diatas lantai tanah rumahnya, dedi hanya berdiri memandangi ibunya yang mengerang kesakitan karena badannya membentur tanah yang keras. Imas langsung berlari mengangkat badan bi uun dengan tergesa-gesa, sementara bi uun menepis tangan imas yang akan memegang lengannya. Bi uun terlihat tidak sudi dibantu oleh imas calon menantunya tersebut.
Deden memukul punggung dedi yang hanya berdiri melihati ibunya terjatuh, wajah dedi nampak kesal. Hingga deden tak memperdulikannya lagi, kemudian langsung membantu bi uun untuk bangun dan imas terlihat menghindar.
Dengan bantuan deden, bi uun diangkat untuk bangun dari jatuhnya. Kemudian membopongnya masuk kedalam kamar dan membaringkan bi uun dikasur.
Bi uun terlihat sangat melemah ketika deden menanyakan apa yang terjadi.
"Mak, kunaon bisa dihandap kitu?" (Mak, kenapa bisa dibawah gitu,?)
"Si dedi, si dedi ngadorong emak nepi ragag!" (Sidedi, si dedi mendorong emak sampai jatuh!)
Deden hanya mengangguk bingung.
Ternyata, setelah imas dan deden keluar dari rumah dedi. Bi uun dan dedi beradu argumen tentang pernikahannya ini. Tidak hanya yang terburu-buru tapi bi uun merasakan ada hal yang ganjil yang akan terjadi. Sementara itu dedi tidak mau mendengarkan keluhan bi uun yang terus memaksanya untuk mengundurkan rencana pernikahannya dengan imas. Saking kesalnya, dedi mendorong jatuh bi uun hingga badannya tersungkur diatas lantai tanah rumahnya.
-------
Hari demi hari berlalu,
Bi uun sudah pasrah dan tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Dia hanya akan menuruti semua rencana dedi atas pernikahannya. Selama itu pula dedi tidak mau berbicara dengan bi uun. Ambisinya hanya ingin cepat-cepat menikah saja dengan imas.
Hari pernikahanpun telah tiba,
Tidak ada kemewahan ataupun kemeriahan diacara pernikahan dedi dan imas. Mereka hanya melakukan ijab qabul saja, jadi yang datang ke pernikahan pun hanya beberapa orang dekat dedi saja serta keluarga deden, warga lain tak ada yang diundang bahkan tidak tahu jika dedi akan menikah.
Bi uun tak kuat menahan air matanya, ketika dedi berikrar nikah dengan imas dan syah menjadi pasangan suami istri.
Perasaan sedih bi uun kian bertambah, ketika dedi memutuskan untuk meninggalkan rumahnya dan tinggal bersama imas dirumah kontrakan kecil yang sudah disewanya. Kini bi uun hanya tinggal berempat dengan 3 ponakannya, sementara adik dedi yang memang sudah tak lagi tinggal dirumah menolak bi uun ketika diminta untuk tinggal kembali dirumahnya, adik dedi ini memutuskan untuk menjadi seorang marbot di mushola.
Hingga hal negatif yang dirasakan bi uun, perlahan mulai menunjukkan kengeriannya. Bukan terhadap keluarga bi uun tapi terhadap keluarga baru dedi dan imas.
------
2 bulan kemudian,
Dedi dan imas hidup dengan kebahagiaan, mereka sangat merasakan rasa senang yang teramat ketika mereka sudah syah menjadi pasangan suami istri. Cinta yang begitu besar mulai tumbuh diantara mereka berdua. Seperti dunia ini hanyalah milik mereka saja. Dedipun sekarang sudah mempunyai pekerjaan yang tetap, rezekinya baik dengan menikah dengan imas anggapan dedi.
Tetapi kebahagiaan itu, tidak nampak sama sekali dari wajah diana, anak dari imas dengan mantan suaminya. Diana menjadi seorang anak yang antisosial, disekolahpun ia tak terlihat bermain dengan anak sebayanya, dia lebih banyak menghabiskan waktu bermain sendirian, meskipun beberapa temannya yang lain slalu mengajaknya, pada akhirnya diana pun akan menolak. Tak berbeda, di rumah pun Diana lebih banyak diam. Hal ini membuat dedi sedikit kebingungan untuk bisa mendapatkan hati anak ini.
Hingga suatu malam,
Diana sudah tertidur pulas dikamarnya,
Terdengar riuh dikamar dedi dan imas. Mereka bercanda dan bermesraan sebagaimana sepasang suami istri. Hingga suara tawa mereka berubah menjadi desahan yang membuat suasana kamar itu nampak terasa panas.
Dedi mencumbu imas yang sedari tadi menggigit bibir bawahnya tanda ia tak sabar untuk melakukan hubungan intim dengan suaminya tersebut. Kadang imas mengejang merasakan kecupan demi kecupan bibir dedi disetiap jengkal tubuh imas.
Mereka memadu kasih dengan sangat hebat. Mereka tak takut riuh suara desahan demi desahan dan ranjang yang berdecit membangunkan diana. Mereka akan bersikap bodo amat dengan hal itu.
Akan tetapi,
Sejenak dedi berteriak dan membanting badannya jatuh dari ranjang ke atas lantai. Hal ini tak bisa dijelaskan dengan nalar dedi.
Mata imas seketika melotot dengan raut muka yang mengerut tanda murka. Mulutnya terus mengoceh dengan gertakan gigi yang bersuara bersautan dengan tubuhnya yang mengejang, berbeda dengan kejang karena nikmatnya kecupan dedi, tapi ini kejangan persis seperti orang yang sedang kerasukan. Kaki imas mengejang menendang-nendang dan tangannya menggenggam erat sprei kasur.
Dedi kebingungan melihat moment aneh ini, nafasnya terengah-engah dengan badan penuh keringat dan hanya memakai celana dalam saja. Ia memandang aneh melihat istrinya yang mulai nenggeram berteriak dengan mata melotot seperti akan keluar dari rongga tengkorak kepala imas. Imas terlihat murka seklaigus ketakutan, ia seperti melihat hal yang sangat menyeramkan.
Dedi tak kuat melihat pemandangan ini, hingga ia tersadar jika diana sudah berdiri membuka pintu kamar dedi. Ia terlihat pucat pasi dengan badan yang bergetar melihat kondisi ibunya seperti itu.

Dedi mencoba menahan badan imas yang meronta-ronta, diambilnya selimut dan ia bungkuskan ke tubuh imas yang sedari tadi tak memakai pakaian apapun, hingga teriakan imas didengar oleh para tetangga yang langsung menggedor pintu kontrakan dedi.
Dedi menyuruh diana untuk membukakan pintu, agar dia bisa mendapat pertolongan dari warga karena ia tak sanggup menahan badan imas lebih lama lagi. Dianapun berjalan dan membukakan pintu.
Bapak-bapak dan beberapa ibu-ibu masuk dengan tergesa-gesa dan masuk kedalam kamar dedi, kemudian mencoba dedi dan berusaha menanyakan hal ini
"Ded, pamajikan sia kunaon?" (Ded, istrimu kenapa?) Tanya pak syarif
"Teuing mang, tiba-tiba doang kieu weh!" (Gatau mang, tiba-tiba kaya gini) jawab dedi
"Geus sabaju heula sia, isin ka ibu2" (udah pakai baju sana, malu sama ibu-ibu) dedipun kemudian melepas genggamannya ditangan imas kemudian pergi untuk memakai bajunya.
Seorang ibu-ibu berkata lirih "doangna, panyakit epilepsi ieu mah! Soalna kejang-kejang kitu!" (Kayanya penyakit epilepsi ni, soalnya kejang-kejang gini) jelasnya
Semua warga pun mengangguk tanda mereka berpikiran sama dengan ibu-ibu tadi, merekapun mencoba untuk membawanya ke puskesmas dengan persetujuan dari dedi.
Kala itu aku hanya melihat tubuh imas dinaikan ke sepeda motor dengan dedi dibelakang memeluknya, sementara diana terlihat ditinggal dirumah dan ditemani oleh seorang ibu-ibu.
Kejadian ini, sebenarnya tak begitu banyak yang mempedulikannya tapi aku dan ibuku mulai bersimpati dengan keluarganya dedi, karena dibalik wajah cantiknya, imas ternyata mempunyai penyakit. Malang sekali nasib dedi... Pantas wajah imas nampak pucat dibeberapa waktu.
Malam ini hanyalah sebuah permulaan,
Bersambung...
PART 5
Deden memukul punggung dedi yang hanya berdiri melihati ibunya terjatuh, wajah dedi nampak kesal. Hingga deden tak memperdulikannya lagi, kemudian langsung membantu bi uun untuk bangun dan imas terlihat menghindar.
Dengan bantuan deden, bi uun diangkat untuk bangun dari jatuhnya. Kemudian membopongnya masuk kedalam kamar dan membaringkan bi uun dikasur.
Bi uun terlihat sangat melemah ketika deden menanyakan apa yang terjadi.
"Mak, kunaon bisa dihandap kitu?" (Mak, kenapa bisa dibawah gitu,?)
"Si dedi, si dedi ngadorong emak nepi ragag!" (Sidedi, si dedi mendorong emak sampai jatuh!)
Deden hanya mengangguk bingung.
Ternyata, setelah imas dan deden keluar dari rumah dedi. Bi uun dan dedi beradu argumen tentang pernikahannya ini. Tidak hanya yang terburu-buru tapi bi uun merasakan ada hal yang ganjil yang akan terjadi. Sementara itu dedi tidak mau mendengarkan keluhan bi uun yang terus memaksanya untuk mengundurkan rencana pernikahannya dengan imas. Saking kesalnya, dedi mendorong jatuh bi uun hingga badannya tersungkur diatas lantai tanah rumahnya.
-------
Hari demi hari berlalu,
Bi uun sudah pasrah dan tidak lagi bisa berbuat apa-apa. Dia hanya akan menuruti semua rencana dedi atas pernikahannya. Selama itu pula dedi tidak mau berbicara dengan bi uun. Ambisinya hanya ingin cepat-cepat menikah saja dengan imas.
Hari pernikahanpun telah tiba,
Tidak ada kemewahan ataupun kemeriahan diacara pernikahan dedi dan imas. Mereka hanya melakukan ijab qabul saja, jadi yang datang ke pernikahan pun hanya beberapa orang dekat dedi saja serta keluarga deden, warga lain tak ada yang diundang bahkan tidak tahu jika dedi akan menikah.
Bi uun tak kuat menahan air matanya, ketika dedi berikrar nikah dengan imas dan syah menjadi pasangan suami istri.
Perasaan sedih bi uun kian bertambah, ketika dedi memutuskan untuk meninggalkan rumahnya dan tinggal bersama imas dirumah kontrakan kecil yang sudah disewanya. Kini bi uun hanya tinggal berempat dengan 3 ponakannya, sementara adik dedi yang memang sudah tak lagi tinggal dirumah menolak bi uun ketika diminta untuk tinggal kembali dirumahnya, adik dedi ini memutuskan untuk menjadi seorang marbot di mushola.
Hingga hal negatif yang dirasakan bi uun, perlahan mulai menunjukkan kengeriannya. Bukan terhadap keluarga bi uun tapi terhadap keluarga baru dedi dan imas.
------
2 bulan kemudian,
Dedi dan imas hidup dengan kebahagiaan, mereka sangat merasakan rasa senang yang teramat ketika mereka sudah syah menjadi pasangan suami istri. Cinta yang begitu besar mulai tumbuh diantara mereka berdua. Seperti dunia ini hanyalah milik mereka saja. Dedipun sekarang sudah mempunyai pekerjaan yang tetap, rezekinya baik dengan menikah dengan imas anggapan dedi.
Tetapi kebahagiaan itu, tidak nampak sama sekali dari wajah diana, anak dari imas dengan mantan suaminya. Diana menjadi seorang anak yang antisosial, disekolahpun ia tak terlihat bermain dengan anak sebayanya, dia lebih banyak menghabiskan waktu bermain sendirian, meskipun beberapa temannya yang lain slalu mengajaknya, pada akhirnya diana pun akan menolak. Tak berbeda, di rumah pun Diana lebih banyak diam. Hal ini membuat dedi sedikit kebingungan untuk bisa mendapatkan hati anak ini.
Hingga suatu malam,
Diana sudah tertidur pulas dikamarnya,
Terdengar riuh dikamar dedi dan imas. Mereka bercanda dan bermesraan sebagaimana sepasang suami istri. Hingga suara tawa mereka berubah menjadi desahan yang membuat suasana kamar itu nampak terasa panas.
Dedi mencumbu imas yang sedari tadi menggigit bibir bawahnya tanda ia tak sabar untuk melakukan hubungan intim dengan suaminya tersebut. Kadang imas mengejang merasakan kecupan demi kecupan bibir dedi disetiap jengkal tubuh imas.
Mereka memadu kasih dengan sangat hebat. Mereka tak takut riuh suara desahan demi desahan dan ranjang yang berdecit membangunkan diana. Mereka akan bersikap bodo amat dengan hal itu.
Akan tetapi,
Sejenak dedi berteriak dan membanting badannya jatuh dari ranjang ke atas lantai. Hal ini tak bisa dijelaskan dengan nalar dedi.
Mata imas seketika melotot dengan raut muka yang mengerut tanda murka. Mulutnya terus mengoceh dengan gertakan gigi yang bersuara bersautan dengan tubuhnya yang mengejang, berbeda dengan kejang karena nikmatnya kecupan dedi, tapi ini kejangan persis seperti orang yang sedang kerasukan. Kaki imas mengejang menendang-nendang dan tangannya menggenggam erat sprei kasur.
Dedi kebingungan melihat moment aneh ini, nafasnya terengah-engah dengan badan penuh keringat dan hanya memakai celana dalam saja. Ia memandang aneh melihat istrinya yang mulai nenggeram berteriak dengan mata melotot seperti akan keluar dari rongga tengkorak kepala imas. Imas terlihat murka seklaigus ketakutan, ia seperti melihat hal yang sangat menyeramkan.
Dedi tak kuat melihat pemandangan ini, hingga ia tersadar jika diana sudah berdiri membuka pintu kamar dedi. Ia terlihat pucat pasi dengan badan yang bergetar melihat kondisi ibunya seperti itu.

Dedi mencoba menahan badan imas yang meronta-ronta, diambilnya selimut dan ia bungkuskan ke tubuh imas yang sedari tadi tak memakai pakaian apapun, hingga teriakan imas didengar oleh para tetangga yang langsung menggedor pintu kontrakan dedi.
Dedi menyuruh diana untuk membukakan pintu, agar dia bisa mendapat pertolongan dari warga karena ia tak sanggup menahan badan imas lebih lama lagi. Dianapun berjalan dan membukakan pintu.
Bapak-bapak dan beberapa ibu-ibu masuk dengan tergesa-gesa dan masuk kedalam kamar dedi, kemudian mencoba dedi dan berusaha menanyakan hal ini
"Ded, pamajikan sia kunaon?" (Ded, istrimu kenapa?) Tanya pak syarif
"Teuing mang, tiba-tiba doang kieu weh!" (Gatau mang, tiba-tiba kaya gini) jawab dedi
"Geus sabaju heula sia, isin ka ibu2" (udah pakai baju sana, malu sama ibu-ibu) dedipun kemudian melepas genggamannya ditangan imas kemudian pergi untuk memakai bajunya.
Seorang ibu-ibu berkata lirih "doangna, panyakit epilepsi ieu mah! Soalna kejang-kejang kitu!" (Kayanya penyakit epilepsi ni, soalnya kejang-kejang gini) jelasnya
Semua warga pun mengangguk tanda mereka berpikiran sama dengan ibu-ibu tadi, merekapun mencoba untuk membawanya ke puskesmas dengan persetujuan dari dedi.
Kala itu aku hanya melihat tubuh imas dinaikan ke sepeda motor dengan dedi dibelakang memeluknya, sementara diana terlihat ditinggal dirumah dan ditemani oleh seorang ibu-ibu.
Kejadian ini, sebenarnya tak begitu banyak yang mempedulikannya tapi aku dan ibuku mulai bersimpati dengan keluarganya dedi, karena dibalik wajah cantiknya, imas ternyata mempunyai penyakit. Malang sekali nasib dedi... Pantas wajah imas nampak pucat dibeberapa waktu.
Malam ini hanyalah sebuah permulaan,
Bersambung...
PART 5
Diubah oleh rosemallow 18-10-2019 19:04
banditos69 dan 14 lainnya memberi reputasi
15