venomwolfAvatar border
TS
venomwolf
Ternyata, Yang Keberatan Sampul “Jokowi Pinokio” Cuma Ngabalin
Cover di salah satu majalah tanah air sempat menggemparkan publik. Sampul itu berisi gambar wajah Presiden Joko Widodo dengan siluet hidung memanjang layaknya tokoh kartun Pinokio.

Cover majalah Tempo itu turut dibahas dalam Indonesian Lawyer Club (ILC) yang digelar TV One pada Selasa (8/10) malam. Cover tetap dibahas sekalipun tajuk yang diangkat “Siapa yang Bermain Buzzer?”.

Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Ilham Bintang turut hadir dalam acara itu. Dalam pemaparannya, dia menguraikan tidak ada yang keberatan dengan cover tersebut, termasuk dari pihak Istana.

Penegasan itu disampaikan setelah dirinya mengonfirmasi ke sejumlah pihak, termasuk melihat laporan di PWI.

"Mas (Budi Setyardi) saya tanya apakah ada bantahan atau keberatan dari Istana? Tidak ada. Di kantor PWI pun juga tidak ada. Yang keberatan tadi ini hanya Ngabalin," ujarnya.

Tenaga Ahli Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin yang ada dalam acara itu langsung bereaksi. Dia mengatakan bahwa tidak protes bukan berarti tidak sedang dalam masalah.

"Saya mau bilang, orang tidak protes itu bukan tidak ada masalah. Tapi orang tidak mau bikin masalah," sanggahnya.

Mendapat sanggahan tersebut, Ilham Bintang dengan tenang memastikan tidak ada pelecehan simbol negara dalam cover tersebut. Menurutnya, Jokowi sebagai kepala pemerintahan harus terbuka untuk dikritik.

“Karena sesungguhnya presiden adalah pejabat publik (yang) terbuka untuk dikritik," tegasnya.

https://rmol.id/amp/2019/10/10/40591...Cuma-Ngabalin-


INILAH Buzzer Istana Sesungguhnya, Terungkap di Acara ILC TVOne

Apa perbedaan buzzer dan influencer? Siapakah buzzer istana sesungguhnya? Benarkah Buzzer Istana ada di ILC?
Dan sejumlah pertanyaan serta jalannya diskusi Indonesia Lawyer Club dibahas dalam tulisan berikut ini: Catatan Ilham Bintang
PROGRAM Talkshow Indonesia Lawyers Club yang tayang di TVOne Selasa (8/10) malam menyajikan :” Buzzer, Siapa Yang Bermain”.
Seperti lazimnya tema yang disorot ILC adalah topik yang menarik perhatian publik selama sepekan. Produser ILC, Andriy Bima mengundang saya untuk ikut urun rembuk dalam diskusi itu.

Buzzer hari-hari ini memang merupakan topik hangat di tengah masyarakat, sampai sekarang. Menimbulkan kembali silang pendapat dua kubu yang dulu berseberangan : Kampret vs Cebong. Rupanya konflik itu masih berkelanjutan sampai sekarang.
Padahal, mestinya sudah reda sejak dua ponggawa mereka sudah bertemu. Berkali- kali.

• Full Time Persija Putri 2-1 Persib Bandung: Diwarnai Bentrok Antarsuporter
• Tampil di ILC Sudjiwo Tedjo Sindir Soal Honor, Ternyata Segini Bayarannya, Karni Ilyas Hanya Senyum

Mestinya tidak ada lagi kubu 01 maupun kubu 02. Seperti yang dideclare ponggawa kedua belah pihak, kini menjadi 03, mengusung sila 3 Pancasila: Persatuan Indonesia.
Memang ada banyak hal yang memantik perseteruan baru ini. Revisi UU KPK, UU KUHP, demonstrasi mahasiswa yang merenggut nyawa dua mahasiswa. Belum lagi tindakan represif aparat pengamanan saat aksi unjuk rasa mahasiswa pelajar, dan sebagainya.
Yang menambah gaduh adalah klaim-klaim dua kubu di media sosial. Seperti melanjutkan kisah lama mereka : saling mengaku difitnah.
Saling menuduh aktivitas di media sosial adalah buzzer piaraan mereka. Saling tuduh itu buzzer bayaran. Ada pembina diidentifikasi orang yang berasal dari Istana. Maka sebentar saja, populer dengan istilah Buzzer Istana.
Sikap beberapa media pers yang belakangan (kalau tak mau disebut berbalik) menunjukkan sikap kritis kepada Presiden Jokowi ikut menambah tajam perseteruan.
Pembela Jokowi pun terang-terangan menunjukkan kemarahan kepada pihak Majalah Tempo yang dalam tiga edisi terakhir menyajikan coverstory tentang Presiden. Gambar sampulnya dari “Pinokio “ hingga yang terbaru pose Jokowi tanpa kedudukan.
Di sinilah kejelian Karni Ilyas, Pemimpin Redaksi TVOne merangkap host ILC, yang mengangkat topik hangat itu. Pembicara diundang dari pihak yang berseteru, sama jumlahnya kedua pihak, dan sama pula kesempatan dan durasinya bicara.
Ada Ustaz Haikal Hasan, dari Istana Ali Mochtar Ngabalin, pegiat medsos Eko Khuntadi. Ada pula beberapa wakil partai Dahniel Azhar, Tsamara Amani. Dari Partai Berkarya, Vasco, Teddy Gusnadi dari PKPI, dan Arya Sinulingga. Juga saya, Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang.
Pakar media sosial Drone Emprit Ismail Helmy, jadi pembicara awal malam itu. Dia mengurai pengertian atau perbedaan influenser dan buzzer, nitizen dan istilah-istilah teknis khas media sosial.
Beruntung saya mendapat giliran terakhir berbicara, sebelum Menkominfo Rudiantara yang menjadi penutup ILC yang malam itu tayang hingga lewat malam.
Dengan begitu saya bisa menyimak silang pendapat antarpembicara dari dua kubu. Tidak ada kejelasan hingga akhir, debat sarat dengan saling lontar tuduhan. Cukup berimbang.

Yang sengsara malam itu Budi Setyarso, pemred Koran Tempo. Ia diperlakukan seperti pesakitan dari para pegiat media sosial. Sikap redaksional Tempo yang menyoal buzzer mengganggu demokrasi, direspons dengan sikap frontal penggiat medsos. Budi dicecar untuk membuka sumber berita yang membuat Tempo mengambil kesimpulan ada Buzzer Istana.
Budi makin terjepit oleh keberatan Ali Mochtar Ngabalin. Staf Deputi IV Kepala Sekretariat Presiden menyoal cover-cover Majalah Tempo yang menampilkan Jokowi. Terutama, cover gambar Pinokio.
Tibalah giliran saya bicara. Jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Karni Ilyas membagi durasi 30 menit untuk tiga pembicara yang tersisa: saya, Daniel dan Rudiantara. Sehingga saya harus mengatur bicara poinnya saja.
Saya mengatakan tanpa diminta, saya telah memeriksa beberapa edisi majalah Tempo. Sejauh penilaian, saya tidak menemukan pelanggaran kode etik jurnalistik. Produknya mematuhi prinsip kerja jurnalistik yang benar.
Saya juga tidak menemukan ada pelecehan simbol negara, karena sesungguhnya presiden memang bukanlah simbol negara seperti yang diatur dalam UU. Presiden adalah pejabat publik, dipilih oleh publik, oleh karena itu posisnya terbuka dikritik publik.
Sebagai media pers redaksi Tempo tentu tidak alergi pada kritik terhadapnya. Sebagaimana umumnya karakter pers pejuang, Tempo pasti mewarisi juga sikap rendah hati pendahulu wartawan, para pejuang printis pers. Yang selalu memikirkan mendahulukan rubrik suara pembaca setiap kali menerbitkan surat kabar. Itu menjelaskan mereka sangat terbuka untuk koreksi bahkan sampai penuntutan hukum.
Saya menanggapi pandangan pembicara seakan pers kebal hukum. “Kami tidak mungkin berbohong, soalnya ancaman yang kami hadapi 4 tahun penjara kalau membuat fitnah. Sedangkan Tempo cukup datang kepada Dewan Pers untuk minta maaf, selesai persoalan,” kata Eko Khuntadi.
Tentu saja itu keliru. Pers bukan tidak bisa dihukum. Ada UU yang mengatur mekanisme pengajuan keberatan kepada pers. Pertama, layangkan hak jawab kepada media, seperti yang dilakukan oleh Presiden SBY dulu.
Tak cukup? Bisa lanjut ke Dewan Pers. Tak puas di sini, bisa diteruskan kepada proses hukum.
“Saya kalau menyatakan mendukung kepada pemerintah, dimana salahnya?” tanya Eko.
Memang tidak salah menyatakan dukungan kepada pemerintah melalui media manapun. Pers juga tidak lantas melanggar apa pun kalau terus mengkritisi pemerintah. Itulah bagian dari warisan tokoh pers pendahulu kita. Kata PK Oyong, pendiri Kompas, wartawan bukanlah para pengabdi dan penjilat kekuasaan.
Ada pun Teddy Gusnadi sempat nyecar Budi untuk membuka sumber informasi Tempo sehingga mengambil kesimpulan ada “Buzzer Istana”. Ini jelas mustahil.
Perkara sumber berita itu diatur dalam kode etik jurnalistik. Sampai mati pun tidak akan mungkin dibuka. Selain diatur oleh kode etik, UU pun memberi jaminan terhadap hak tolak itu. Artinya di pengadilan saja pun, wartawan dapat menggunakan hak tolak.
Bukan hanya Teddy, bahkan Ngabalin pun tampaknya tidak tahu, wartawan bekerja dengan berpegangg pada kode etik jurnalistik. Itulah konsep operasional moral wartawan.
Menyalahi kode etik, tamatlah riwayat wartawan. Sebab itu menjadi martabatnya. Melanggar kode etik jurnalistik bagi media seperti Tempo itu sama dengan bunuh diri. Lebih berat dibandingkan melanggar hukum.
Inilah Buzzer Istana Sesungguhnya
Memang tidak ada pembicara segarang Ali Mochtar Ngabalin mempersoalkan Tempo malam itu. Secara terbuka dia menyerang Tempo dengan kata-kata amat kasar untuk dilakukan pejabat negara seperti dia.
Pakai cara intimidasi dan kata terkutuk segala untuk Tempo.
Karni Ilyas berkali- kali menegurnya. Tapi tak mempan.
Berulangkali dia menyatakan dirinya sebagai “abdi dalem” Presiden Jokowi dan oleh karena sangat terluka “junjungannya” ditampilkan dalam cover Pinokio.
Saya sebenarnya tak cuma kenal, tetapi cukup bersahabat dengan Ngabalin. Saya menyayangkan cara dia seperti banteng terluka menyampaikan keberatan. Seperti menutup mata terhadap aturan berurusan dengan media. Mestinya teks lawan teks, bukan teks dilawan intimidasi dan kutukan.
Budi menginformasi pernyataan saya. Sampai malam itu, belum ada surat pernyataan keberatan dari pihak Istana soal cover Tempo tersebut.
Tapi ini juga tak dihiraukan Ngabalin. “Buat apa lagi, orang sudah babak belur, kok,“ sahut dia.
“Tidak mengadu, bukan berarti tidak keberatan, “ sambung dia lagi menanggapi saya.
Rabu (9/10), pagi saya coba putar ulang rekaman video acara ILC. Para pembaca pun boleh lihat juga di saluran youtube secara lengkap.
Anda bisa lihat aksi Ngabalin yang begitu agresif mengagitasi publik. Seringkali menyerobot kesempatan berbicara pembicara lain.
Dia mendemonstrasikan politik “belah bambu”. Yang satu (pihak Presiden Jokowi) diangkat setinggi langit, sedangkan Budi Setyarso yang mewakili Tempo, “diinjak” habis sampai rata dengan tanah.
Dari adegan itu kita bisa simpulkan itulah Buzzer Istana sesungguhnya. Kenapa kita repot-repot mencarinya selama empat jam diskusi ILC?
Sebagai pejabat negara (yang masih aktif sampai nanti 19 Oktober menurut dia) rasanya sangat tidak etis Ngabalin mempertontonkan gaya otoriter di saat mencoba meyakinkan publik mengenai gaya egaliter Presiden Jokowi. Paradoksal.
Paradoks Ngabalin ini bukan hanya tidak etis, tetapi cukup memenuhi unsur pidana yang diatur dalam UU ITE. Mengintimidasi dan memperkusi lawan debat, ditambah pula dengan sumpah terkutuk.
Tetapi sampai tulisan ini diturunkan tidak ada informasi apakah pihak Tempo akan menyoal secara hukum. Mudah-mudahan tidak. Sebab Ngabalin kawan saya juga.
https://wartakota.tribunnews.com/201...tvone?page=all


0
1.3K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.2KThread40.4KAnggota
Tampilkan semua post
yellowmarkerAvatar border
yellowmarker
#1
Quote:


yup, motivasi mereka untuk bikin rusuh dibakar oleh korlap itu di dalam KPK emoticon-Berduka (S)
Diubah oleh yellowmarker 10-10-2019 00:39
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.