- Beranda
- Stories from the Heart
The Game (Thriller)
...
TS
ningsiw878
The Game (Thriller)
THE GAME
(Thriller, Fiction)
(Thriller, Fiction)

Quote:
Apa kau tidak merasa hidup ini membosankan? Seperti terlalu monoton. Bahkan aku mulai merasa sekolah itu melelahkan. Tidak ada tantangan. Aku selalu ingin adrenalinku terpacu dan membuatku berteriak “Waw ini menyenangkan!”. Tak satu pun membuatku tertarik, hingga aku bertemu dia. Namanya Reol, dia adalah murid pindahan yang menyita perhatian seisi kelas dengan tampangnya yang persis seperti boneka, benar-benar imut.
Selepas bel istirahat berbunyi, dia langsung dikerumuni banyak orang. Layaknya artis yang terjepit di antara para wartawan. Berbagai pertanyaan pun terlontar untuknya.
“Reol, apa kau sudah punya pacar?” celetuk Iki sang ketua kelas. Sebagai laki-laki, dia cukup percaya diri dengan tampangnya yang memikat.
Di sana juga ada Pinkan yang tampak iri dan bertanya, “Apa rahasiamu bisa cantik? Jangan bilang karena oplas?”
“Rambut Reol sangat lembut, bagaimana bisa warnanya begitu hitam?” Rinrin ikut bertanya.
Aku bisa melihat tampang Reol yang cukup kebingungan untuk menjawab satu persatu pertanyaan yang tanpa henti menghujani dirinya. Pada akhirnya, rentetan pertanyaan bodoh itu hanya ia jawab dengan seulas senyum. Di sisi lain, aku terus memperhatikan mereka dari pojok tempat duduk. Berusaha menahan tawa atas aksi teman-temanku yang kelewat konyol.
“Timi, apa kau mendengarkanku?” tanya Sasya.
Segera aku melempar pandangan ke arah gadis yang saat ini berdiri di hadapanku. Entah sejak kapan gadis bermata sipit itu masuk ke kelasku. Dia itu teman masa kecil yang merepotkan, selalu menempel seperti permen karet. Aku sendiri heran mengapa bisa selalu satu sekolah dengannya. Satu-satunya yang kusyukuri saat SMA adalah kami tidak sekelas. Seandainya bukan karena permintaan ibu, aku tidak akan bersikap baik kepadanya.
“Eh? Ada apa?”
“Apa itu murid baru yang heboh dibicarakan?” tanya Sasya sambil menunjuk ke arah Reol. Aku pun langsung mengiyakan dengan satu anggukan. “Menurutmu apa aku lebih imut dari dia?”
Tanpa ditanya pun jawabannya pasti “Tidak”, sudah jelas Reol seratus kali lebih imut. Namun, itu bukan jawaban yang diinginkan Sasya. Aku tak mau melihatnya pulang sambil menangis dan mengadu pada ibuku.
“Sudah pasti kamu yang terimut,” jawabku bohong. “Memang perlu jawaban apa lagi?”
Mendengar jawabanku, Sasya langsung tersenyum puas.
Tiba-tiba saja Denis menghampiri kami. Dia membawa buku tebal panjang dan pulpen. Aku menatapnya penuh tanda tanya, tak biasanya Denis yang pendiam berinteraksi dengan orang lain.
“Timi, bisa kau menulis nomor teleponmu di sini?” minta Denis sambil menunjuk bagian kosong di bawah deretan nomor telepon lainnya.
“Tentu,” aku segera menulisnya. “Tapi untuk apa?”
“Ah, ini demi membantu teman baru kita agar tidak kesulitan menanyai tugas,” jawabnya antusias.
“Maksudmu untuk Reol?” tanya Sasya. “Kalau begitu biarkan aku ikut mengisinya, aku juga ingin berteman dengan Reol.”
Aku benar-benar tidak percaya bahwa pengaruh Reol sebesar ini. Dia memberi dampak luas, bahkan bagi si Denis. Hari ini kehadiran Reol berhasil menguncang satu sekolah. Meski terdengar berlebihan, tapi begitulah kenyataannya.
***
Tak ada yang lebih baik dari mandi tengah malam. Tubuhku jadi segar. Setelah berpakaian, aku mencoba mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk. Kemudian aku membaringkan tubuhku di kasur. Sebelum aku merasa benar-benar terlelap, ponselku berdering. Dengan setengah malas aku memeriksa pesan yang baru saja masuk.
“Apa kau ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan? Seperti membunuh kebosananmu yang menumpuk? Aku akan menunggumu di sekolah, tepatnya di kelas. Mari memainkan sebuah game malam ini.”
Selepas bel istirahat berbunyi, dia langsung dikerumuni banyak orang. Layaknya artis yang terjepit di antara para wartawan. Berbagai pertanyaan pun terlontar untuknya.
“Reol, apa kau sudah punya pacar?” celetuk Iki sang ketua kelas. Sebagai laki-laki, dia cukup percaya diri dengan tampangnya yang memikat.
Di sana juga ada Pinkan yang tampak iri dan bertanya, “Apa rahasiamu bisa cantik? Jangan bilang karena oplas?”
“Rambut Reol sangat lembut, bagaimana bisa warnanya begitu hitam?” Rinrin ikut bertanya.
Aku bisa melihat tampang Reol yang cukup kebingungan untuk menjawab satu persatu pertanyaan yang tanpa henti menghujani dirinya. Pada akhirnya, rentetan pertanyaan bodoh itu hanya ia jawab dengan seulas senyum. Di sisi lain, aku terus memperhatikan mereka dari pojok tempat duduk. Berusaha menahan tawa atas aksi teman-temanku yang kelewat konyol.
“Timi, apa kau mendengarkanku?” tanya Sasya.
Segera aku melempar pandangan ke arah gadis yang saat ini berdiri di hadapanku. Entah sejak kapan gadis bermata sipit itu masuk ke kelasku. Dia itu teman masa kecil yang merepotkan, selalu menempel seperti permen karet. Aku sendiri heran mengapa bisa selalu satu sekolah dengannya. Satu-satunya yang kusyukuri saat SMA adalah kami tidak sekelas. Seandainya bukan karena permintaan ibu, aku tidak akan bersikap baik kepadanya.
“Eh? Ada apa?”
“Apa itu murid baru yang heboh dibicarakan?” tanya Sasya sambil menunjuk ke arah Reol. Aku pun langsung mengiyakan dengan satu anggukan. “Menurutmu apa aku lebih imut dari dia?”
Tanpa ditanya pun jawabannya pasti “Tidak”, sudah jelas Reol seratus kali lebih imut. Namun, itu bukan jawaban yang diinginkan Sasya. Aku tak mau melihatnya pulang sambil menangis dan mengadu pada ibuku.
“Sudah pasti kamu yang terimut,” jawabku bohong. “Memang perlu jawaban apa lagi?”
Mendengar jawabanku, Sasya langsung tersenyum puas.
Tiba-tiba saja Denis menghampiri kami. Dia membawa buku tebal panjang dan pulpen. Aku menatapnya penuh tanda tanya, tak biasanya Denis yang pendiam berinteraksi dengan orang lain.
“Timi, bisa kau menulis nomor teleponmu di sini?” minta Denis sambil menunjuk bagian kosong di bawah deretan nomor telepon lainnya.
“Tentu,” aku segera menulisnya. “Tapi untuk apa?”
“Ah, ini demi membantu teman baru kita agar tidak kesulitan menanyai tugas,” jawabnya antusias.
“Maksudmu untuk Reol?” tanya Sasya. “Kalau begitu biarkan aku ikut mengisinya, aku juga ingin berteman dengan Reol.”
Aku benar-benar tidak percaya bahwa pengaruh Reol sebesar ini. Dia memberi dampak luas, bahkan bagi si Denis. Hari ini kehadiran Reol berhasil menguncang satu sekolah. Meski terdengar berlebihan, tapi begitulah kenyataannya.
***
Tak ada yang lebih baik dari mandi tengah malam. Tubuhku jadi segar. Setelah berpakaian, aku mencoba mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk. Kemudian aku membaringkan tubuhku di kasur. Sebelum aku merasa benar-benar terlelap, ponselku berdering. Dengan setengah malas aku memeriksa pesan yang baru saja masuk.
“Apa kau ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan? Seperti membunuh kebosananmu yang menumpuk? Aku akan menunggumu di sekolah, tepatnya di kelas. Mari memainkan sebuah game malam ini.”
Quote:

Quote:
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13 (END)
Diubah oleh ningsiw878 09-10-2019 18:22
someshitness dan 4 lainnya memberi reputasi
5
6.5K
35
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ningsiw878
#34
PART 13 (END)
“Jengkel dengan tangisan anak perempuan itu, Iki mengambil kaos kaki yang seminggu belum dicucinya dan disumpalkan ke dalam mulut bocah itu. Mereka semua tertawa, seolah ada badut yang tengah menghibur. Rinrin yang juga ingin ikut menyiksa anak perempuan itu tanpa pikir panjang meraih cangkir dan menyiramkan teh panas. Meski tak meninggalkan luka bakar, panasnya cukup untuk membuat kulitnya berubah merah. Kemudian, Denis mengeluarkan beberapa ulat dari kotak kayu yang sering di bawanya untuk memberi makan hewan peliharaannya. Sasya membantu Denis dan memasukkan ulat tersebut ke dalam pakaian anak perempuan itu. Anak perempuan itu menangis, tak mampu berteriak, menggeliat, kulitnya perih hingga dia bahkan ingin muntah beberapa kali.”
“Cukup!” potongku. “Hentikan ocehanmu itu! Sekarang!” Nadaku semakin meninggi.
“Menyedihkannya lagi, anak perempuan itu sempat berpikir bahwa Timi lah yang paling baik. Sayangnya, dia salah besar. Timi memang menghentikan teman-temannya untuk membully anak perempuan itu. Tetapi besok dan besoknya lagi bahkan hingga sebulan anak perempuan itu terus dibully oleh kelima temannya dan Timi tetap menjadi penonton. Lalu, pada suatu hari Timi membawa anak perempuan itu ke tempat yang sepi. Dia mengajaknya ke belakang sekolah. Untuk anak seusia Timi, dia adalah anak yang sudah berpikir cukup dewasa. Timi, bercerita kepada anak perempuan itu, bahwa hidup ini membosankan. Sekolah itu sebenarnya tidak berguna, seseorang yang pada dasarnya nakal sampai akhir pun akan tetap nakal. Orangtuanya terlalu sibuk bekerja dan memikirkan uang, Timi bilang dia tidak membutuhkan uang atau apapun, dia hanya merasa kosong. Meski tidak terlalu paham dengan pemikiran Timi, anak peremuan itu hanya diam dan terus mendengarkan. Kemudian Timi tiba-tiba berkata akan membantunya agar anak perempuan itu tidak dibully lagi. Dua hari kemudian anak itu menghilang. Bersamaan dengan itu, keenam anak itu bertengkar dan menyalahkan satu sama lain.
“Apa kau puas? Cepat beri tahu aku, kau dengar cerita itu dari siapa? Tidak mungkin orang yang sudah mati bisa menceritakannya!” teriakku menggila.
“Eh? Aku hanya bilang gadis itu menghilang dan kau bilang dia mati? Apa itu kau yang membunuhnya?” Sekali lagi Reol tertawa tanpa henti.
Bagaimana mungkin Reol tahu kejadian itu dengan spesifik? Mereka saja tidak tahu bahwa aku pernah membawa anak perempuan itu ke tempat yang sepi. Iya, memang benar karena aku lah anak perempuan itu mati. Aku hanya merasa bosan karena penyiksaan yang dilakukan teman-temanku itu terlalu ringan. Apa salahku? Aku hanya membantu agar anak perempuan itu tidak lagi disiksa oleh kelima temanku. Aku mendorongnya ke dalam sumur tua yang kering yang ada di belakang sekolah. Sangat menyenangkan ketika melempar kepalanya dengan batu dari atas dan kepalanya akan berdarah. Kadang aku melempar bebrapa serangga agar dia dapat memakannya. Sayangnya aku tidak pernah memberinya minum. Selain itu aku sudah membantunya keluar dengan menjulurkan tali yang dilumuri minyak. Dianya saja yang payah tak dapat memanjat dan berkali-kali jatuh hingga tubuhnya menghantam tanah. Sangat menyenangkan ketika melihatnya yang berusaha bertahan hidup. Aku tidak ingat sudah berapa lama mengurungnya di sumur, yang pasti dia terlihat sekarat dan mati begitu saja. Namun, mayatnya tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Aku tidak mau pusing memikirkannya. Setidaknya itu adalah hari-hari menyenangkan, dan sesudahnya aku kembali merasa bosan.
Lamunanku segera buyar. Aku kembali memfokuskan pikiranku. “Kalau memang aku yang membunuhnya lalu kenapa? Apa kau ingin lapor polisi? Lagipula kita ini sama-sama pembunuh,” ujarku sambil memelototinya.
“Akhirnya kau mengakuinya. Sayangnya anak itu belum mati dan dia tengah menuntut sebuah pembalasan dendam,” suara Reol jadi penuh penekanan.
Aku lengah, Reol mengayunkan kepalanya ke belakang dan menghantam kepalaku dengan keras. Dia berhasil melepaskan tangannya dan mendorongku hingga jatuh. Menendang palu yang kupegang hingga jauh dari jangkauanku. Kemudian dia balik menindih perutku. Mencengkram leherku lalu mencekiknya perlahan.
“Mungkinkah . . .” kata-kataku menggantung begitu saja.
“Iya, gadis yang kalian siksa itu aku! Pasti sangat mengejutkan, bukan? Kau bilang hidup ini membosankan? Lalu apa kau menikmati game yang telah kupersiapkan khusus untuk dirimu itu.”
Aku tersenyum, mengumpulkan suara untuk tetap bicara. “Tidak, aku sangat yakin dia sudah mati. Aku tidak tahu alasanmu berpura-pura menjadi dia. Well kalau kau bertanya tentang gamenya, aku akan menjawab itu cukup menyenangkan. Di dalam diriku ini memang tidak beres, hanya dengan menyaksikan darah kekosongan itu sedikit terisi. Jauh di dalam diriku aku sangat senang ketika melihat Pinkan mati begitu juga dengan Sasya. Selama ini aku hanya berpura-pura naif dan membiarkan pikiranku berargumen bahwa ini salah, bahwa aku tidak ingin membunuh dan pemikiran bodoh lainnya.”
Reol menggulung rambutnya, memperlihatkanku bagian samping dari lehernya. Terlihat ada luka bakar yang berukuran kecil di sana. Sekarang aku percaya bahwa dia adalah gadis itu. Dulu, ketika latihan menyalakan korek api kayu, Saysa meniup apinya dan menyulut korek api yang masih panas di leher anak perempuan itu.
“Aku senang karena kalian membunuh satu sama lain. Selama permainan, aku berusaha keras menahan diriku agar tidak menembaki kepala kalian semua dengan pistol. Kalau kalian langsung mati tanpa menderita, bukankah itu tidak adil? Penyiksaan yang kalian lakukan itu tidak pantas diterima manusia, itu adalah perlakuan yang terburuk dari yang paling buruk. Setiap hari, tidak, bahkan setiap detik aku berpikir untuk bunuh diri. Tapi kalau aku bunuh diri lalu apa? Kalian pasti akan tetap menjalani hidup dengan menyenangkan.”
Reol terlihat kehilangan ketenangannya. Betisnya yang membiru masih sanggup ia gerakkan. Seringai yang sama masih tergurat di wajahnya. Kalau kuperhatikan lagi wajahnya, aku masih tidak ingat wajah anak perempuan yang sering kami bully itu. Dia tak lebih dari mainan, jadi aku tidak pernah memperhatikan wajah anak perempuan itu dengan saksama. Sejujurnya aku tidak peduli lagi dengan identitas Reol yang sebenarnya, yang perlu dilakukan cukup bunuh, bunuh dan bunuh semua yang megganggu. Aku sudah mencengkram tangan Reol dan berusaha melepasnya dari leherku, namun dia gigih dan tak mau melepasnya. Dia terus mencekikku, membuat oksigen sulit mengalir ke otakku.
“Yang paling menyedihkannya ibuku tahu bahwa aku dibully dan dia hanya bilang agar aku harus tetap sabar dan bertahan di sekolah. Dia tidak mau terus-menerus mengurusi kepindahanku dan malu akan cemohan tetangga! Bahkan ibuku sendiri tidak menganggapku sebagai anak!” Reol berteriak di depan wajahku. Dia mengangakat kepalaku dan menghantamkannya ke lantai. Ouch, itu benar-benar menyakitkan.
Sungguh aku tidak peduli dengan penderitaannya. Aku tidak peduli juga dengan curhatannya. Aku menatap sekitar dan memikirkan ide untuk lolos dari gadis sinting ini. Jika aku bisa bebas darinya, akan kucincang dia menjadi potongan dadu dan membuangnya ke dalam kloset. Dia pantas menerimanya! Mengetahui fakta bahwa dia adalah gadis yang sama dengan gadis yang kusiksa dulu malah menguatkan tekadku untuk menghabisinya dan mengirimnya ke neraka.
Aku kehabisan ide. Keberuntunganku sepertinya sudah habis. Reol menghantamkan kepalaku yang kedua kalinya dan dia terus mengomel kalau dia tidak akan membuatku langsung mati tanpa menderita. Di tengah-tengah keputusasaan, aku mendengar sirine dari mobil polisi yang tengah mengepung bangunan ini. Bagus! Aku hanya perlu mengulur waktu hingga polisi menemukanku.
“Kalau kau berhasil hidup? Seharusnya kau menjauh dariku dan mencoba menjalani hidup senormal mungkin! Dasar sinting,” umpatku dengan suara yang sedikit tersendat.
Reol sedikit melonggarkan cengkramannya karena jika tidak aku pasti akan cepat mati. Aku yakin Reol juga mendengar suara sirine polisi tetapi dia tampak tenang dan sama sekali tidak takut denga polisi. Ah, dia memang sudah kehilangan akal jadi dia juga tidak takut dengan apapun lagi.
“Normal kau bilang? Aku sudah lama menjadi sinting! Yang selama ini kulakukan hanya berpura-pura bersikap normal. Luka yang kuterima dari enam tahun lalu memang sudah lama menghilang, tapi sakitnya masih mengalir hingga ke dalam tulangku! Setiap kali aku tidak ingin mengingat, itu malah teringat dengan jelas bersama dengan ekspresi kalian yang ingin kuludahi.”
“Baiklah sebelum aku meninggal, ada satu hal yang cukup membuatku penasaran. Bagaimana caramu keluar dari sumur itu?” tanyaku sambil berusaha mengulur waktu.
Mendengar pertanyaanku Reol semakin terlihat senang. “Itu karena Tuhan masih menyayangiku. Seseorang yang tengah melaksanakan tugasnya di sekitar situ menemukanku. Jadi dia menyelamatkanku dan mengangkatku menjadi anaknya.”
“Huahahaha . . .” dalam kondisiku yang tercekik dia malah mebuatku tertaawa terbahak-bahak. “Ya cerita yang mengharukan! Sebainya kau mengajukan ceritamu agar diangkat menjadi judul sinetron,” ejekku meremehkan.
Duar! Seseorang mendobrak pintu. Dilihat dari seragamnya jelas dia adalah seorang polisi. Sayangnya ini adalah kemenangan untukku. Aku tersenyum pada Reol dan dia balik tersenyum dengan lebar.
“Papa,” serunya dengan kegirangan.
Tunggu jadi maksudnya? Tidak, tidak ini sangat tidak masuk akal.
Pria paruh baya itu menyeret anjing pemburunya masuk dan terlihat khawatir. “Reol, apa kau baik-baik saja? Bukankah sudah Papa bilang untuk tidak buat terlalu banyak keributaan. Meskipun jabatan Papa tinggi ini akan sedikit sulit untuk dibereskan.”
Reol tertawa dan meludah ke wajahku. “Kau dengar itu? Papa akan membereskan segalanya. Maaf saja jika kau pikir kau akan selamat,” ujarnya penuh senyum kemenangan.
“Jadi apa yang akan kau lakukan dengan anak itu? Kita harus segera membereskannya. Astaga Reol, kakimu membiru. Apa ini ulah anak kurangajar itu!” Polisi itu segera menatap benci ke arahku.
“Papa, kenapa Papa tak melepas Blacki dan membiarkannya makan? Kurasa itu cara yang layak untuk membiarkan binatanang mati di tangan binatang.”
Apa maksudnya? Aku tidak bisa lagi mengolah informasi. Polisi itu terlihat melepaskan tali yang mengikat di leher anjing berwarna hitam itu dan memberikan sinyal agar anjing itu berlari ke arahku. Si polisi sialan itu membantu Reol berdiri dan dari kejauhan mereka menatapku yang tengah diterjang oleh si anjing keparat. Anjing yang mereka panggil Blacki itu terus-terusan meneteskan air liurnya. Kemudian dia menggigit luka pada bahuku. Giginya yang tajam merobek kulitku. Aku berusaha untuk lepas darinya namun dia semakin menggila dan menggiggit bahkan mengoyak tubuhku. Di saat itulah aku terpaksa menerima kenyataan, bahwa aku akan mati. Mati menyedihkan dan masuk ke dalam neraka.
End.
“Cukup!” potongku. “Hentikan ocehanmu itu! Sekarang!” Nadaku semakin meninggi.
“Menyedihkannya lagi, anak perempuan itu sempat berpikir bahwa Timi lah yang paling baik. Sayangnya, dia salah besar. Timi memang menghentikan teman-temannya untuk membully anak perempuan itu. Tetapi besok dan besoknya lagi bahkan hingga sebulan anak perempuan itu terus dibully oleh kelima temannya dan Timi tetap menjadi penonton. Lalu, pada suatu hari Timi membawa anak perempuan itu ke tempat yang sepi. Dia mengajaknya ke belakang sekolah. Untuk anak seusia Timi, dia adalah anak yang sudah berpikir cukup dewasa. Timi, bercerita kepada anak perempuan itu, bahwa hidup ini membosankan. Sekolah itu sebenarnya tidak berguna, seseorang yang pada dasarnya nakal sampai akhir pun akan tetap nakal. Orangtuanya terlalu sibuk bekerja dan memikirkan uang, Timi bilang dia tidak membutuhkan uang atau apapun, dia hanya merasa kosong. Meski tidak terlalu paham dengan pemikiran Timi, anak peremuan itu hanya diam dan terus mendengarkan. Kemudian Timi tiba-tiba berkata akan membantunya agar anak perempuan itu tidak dibully lagi. Dua hari kemudian anak itu menghilang. Bersamaan dengan itu, keenam anak itu bertengkar dan menyalahkan satu sama lain.
“Apa kau puas? Cepat beri tahu aku, kau dengar cerita itu dari siapa? Tidak mungkin orang yang sudah mati bisa menceritakannya!” teriakku menggila.
“Eh? Aku hanya bilang gadis itu menghilang dan kau bilang dia mati? Apa itu kau yang membunuhnya?” Sekali lagi Reol tertawa tanpa henti.
Bagaimana mungkin Reol tahu kejadian itu dengan spesifik? Mereka saja tidak tahu bahwa aku pernah membawa anak perempuan itu ke tempat yang sepi. Iya, memang benar karena aku lah anak perempuan itu mati. Aku hanya merasa bosan karena penyiksaan yang dilakukan teman-temanku itu terlalu ringan. Apa salahku? Aku hanya membantu agar anak perempuan itu tidak lagi disiksa oleh kelima temanku. Aku mendorongnya ke dalam sumur tua yang kering yang ada di belakang sekolah. Sangat menyenangkan ketika melempar kepalanya dengan batu dari atas dan kepalanya akan berdarah. Kadang aku melempar bebrapa serangga agar dia dapat memakannya. Sayangnya aku tidak pernah memberinya minum. Selain itu aku sudah membantunya keluar dengan menjulurkan tali yang dilumuri minyak. Dianya saja yang payah tak dapat memanjat dan berkali-kali jatuh hingga tubuhnya menghantam tanah. Sangat menyenangkan ketika melihatnya yang berusaha bertahan hidup. Aku tidak ingat sudah berapa lama mengurungnya di sumur, yang pasti dia terlihat sekarat dan mati begitu saja. Namun, mayatnya tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Aku tidak mau pusing memikirkannya. Setidaknya itu adalah hari-hari menyenangkan, dan sesudahnya aku kembali merasa bosan.
Lamunanku segera buyar. Aku kembali memfokuskan pikiranku. “Kalau memang aku yang membunuhnya lalu kenapa? Apa kau ingin lapor polisi? Lagipula kita ini sama-sama pembunuh,” ujarku sambil memelototinya.
“Akhirnya kau mengakuinya. Sayangnya anak itu belum mati dan dia tengah menuntut sebuah pembalasan dendam,” suara Reol jadi penuh penekanan.
Aku lengah, Reol mengayunkan kepalanya ke belakang dan menghantam kepalaku dengan keras. Dia berhasil melepaskan tangannya dan mendorongku hingga jatuh. Menendang palu yang kupegang hingga jauh dari jangkauanku. Kemudian dia balik menindih perutku. Mencengkram leherku lalu mencekiknya perlahan.
“Mungkinkah . . .” kata-kataku menggantung begitu saja.
“Iya, gadis yang kalian siksa itu aku! Pasti sangat mengejutkan, bukan? Kau bilang hidup ini membosankan? Lalu apa kau menikmati game yang telah kupersiapkan khusus untuk dirimu itu.”
Aku tersenyum, mengumpulkan suara untuk tetap bicara. “Tidak, aku sangat yakin dia sudah mati. Aku tidak tahu alasanmu berpura-pura menjadi dia. Well kalau kau bertanya tentang gamenya, aku akan menjawab itu cukup menyenangkan. Di dalam diriku ini memang tidak beres, hanya dengan menyaksikan darah kekosongan itu sedikit terisi. Jauh di dalam diriku aku sangat senang ketika melihat Pinkan mati begitu juga dengan Sasya. Selama ini aku hanya berpura-pura naif dan membiarkan pikiranku berargumen bahwa ini salah, bahwa aku tidak ingin membunuh dan pemikiran bodoh lainnya.”
Reol menggulung rambutnya, memperlihatkanku bagian samping dari lehernya. Terlihat ada luka bakar yang berukuran kecil di sana. Sekarang aku percaya bahwa dia adalah gadis itu. Dulu, ketika latihan menyalakan korek api kayu, Saysa meniup apinya dan menyulut korek api yang masih panas di leher anak perempuan itu.
“Aku senang karena kalian membunuh satu sama lain. Selama permainan, aku berusaha keras menahan diriku agar tidak menembaki kepala kalian semua dengan pistol. Kalau kalian langsung mati tanpa menderita, bukankah itu tidak adil? Penyiksaan yang kalian lakukan itu tidak pantas diterima manusia, itu adalah perlakuan yang terburuk dari yang paling buruk. Setiap hari, tidak, bahkan setiap detik aku berpikir untuk bunuh diri. Tapi kalau aku bunuh diri lalu apa? Kalian pasti akan tetap menjalani hidup dengan menyenangkan.”
Reol terlihat kehilangan ketenangannya. Betisnya yang membiru masih sanggup ia gerakkan. Seringai yang sama masih tergurat di wajahnya. Kalau kuperhatikan lagi wajahnya, aku masih tidak ingat wajah anak perempuan yang sering kami bully itu. Dia tak lebih dari mainan, jadi aku tidak pernah memperhatikan wajah anak perempuan itu dengan saksama. Sejujurnya aku tidak peduli lagi dengan identitas Reol yang sebenarnya, yang perlu dilakukan cukup bunuh, bunuh dan bunuh semua yang megganggu. Aku sudah mencengkram tangan Reol dan berusaha melepasnya dari leherku, namun dia gigih dan tak mau melepasnya. Dia terus mencekikku, membuat oksigen sulit mengalir ke otakku.
“Yang paling menyedihkannya ibuku tahu bahwa aku dibully dan dia hanya bilang agar aku harus tetap sabar dan bertahan di sekolah. Dia tidak mau terus-menerus mengurusi kepindahanku dan malu akan cemohan tetangga! Bahkan ibuku sendiri tidak menganggapku sebagai anak!” Reol berteriak di depan wajahku. Dia mengangakat kepalaku dan menghantamkannya ke lantai. Ouch, itu benar-benar menyakitkan.
Sungguh aku tidak peduli dengan penderitaannya. Aku tidak peduli juga dengan curhatannya. Aku menatap sekitar dan memikirkan ide untuk lolos dari gadis sinting ini. Jika aku bisa bebas darinya, akan kucincang dia menjadi potongan dadu dan membuangnya ke dalam kloset. Dia pantas menerimanya! Mengetahui fakta bahwa dia adalah gadis yang sama dengan gadis yang kusiksa dulu malah menguatkan tekadku untuk menghabisinya dan mengirimnya ke neraka.
Aku kehabisan ide. Keberuntunganku sepertinya sudah habis. Reol menghantamkan kepalaku yang kedua kalinya dan dia terus mengomel kalau dia tidak akan membuatku langsung mati tanpa menderita. Di tengah-tengah keputusasaan, aku mendengar sirine dari mobil polisi yang tengah mengepung bangunan ini. Bagus! Aku hanya perlu mengulur waktu hingga polisi menemukanku.
“Kalau kau berhasil hidup? Seharusnya kau menjauh dariku dan mencoba menjalani hidup senormal mungkin! Dasar sinting,” umpatku dengan suara yang sedikit tersendat.
Reol sedikit melonggarkan cengkramannya karena jika tidak aku pasti akan cepat mati. Aku yakin Reol juga mendengar suara sirine polisi tetapi dia tampak tenang dan sama sekali tidak takut denga polisi. Ah, dia memang sudah kehilangan akal jadi dia juga tidak takut dengan apapun lagi.
“Normal kau bilang? Aku sudah lama menjadi sinting! Yang selama ini kulakukan hanya berpura-pura bersikap normal. Luka yang kuterima dari enam tahun lalu memang sudah lama menghilang, tapi sakitnya masih mengalir hingga ke dalam tulangku! Setiap kali aku tidak ingin mengingat, itu malah teringat dengan jelas bersama dengan ekspresi kalian yang ingin kuludahi.”
“Baiklah sebelum aku meninggal, ada satu hal yang cukup membuatku penasaran. Bagaimana caramu keluar dari sumur itu?” tanyaku sambil berusaha mengulur waktu.
Mendengar pertanyaanku Reol semakin terlihat senang. “Itu karena Tuhan masih menyayangiku. Seseorang yang tengah melaksanakan tugasnya di sekitar situ menemukanku. Jadi dia menyelamatkanku dan mengangkatku menjadi anaknya.”
“Huahahaha . . .” dalam kondisiku yang tercekik dia malah mebuatku tertaawa terbahak-bahak. “Ya cerita yang mengharukan! Sebainya kau mengajukan ceritamu agar diangkat menjadi judul sinetron,” ejekku meremehkan.
Duar! Seseorang mendobrak pintu. Dilihat dari seragamnya jelas dia adalah seorang polisi. Sayangnya ini adalah kemenangan untukku. Aku tersenyum pada Reol dan dia balik tersenyum dengan lebar.
“Papa,” serunya dengan kegirangan.
Tunggu jadi maksudnya? Tidak, tidak ini sangat tidak masuk akal.
Pria paruh baya itu menyeret anjing pemburunya masuk dan terlihat khawatir. “Reol, apa kau baik-baik saja? Bukankah sudah Papa bilang untuk tidak buat terlalu banyak keributaan. Meskipun jabatan Papa tinggi ini akan sedikit sulit untuk dibereskan.”
Reol tertawa dan meludah ke wajahku. “Kau dengar itu? Papa akan membereskan segalanya. Maaf saja jika kau pikir kau akan selamat,” ujarnya penuh senyum kemenangan.
“Jadi apa yang akan kau lakukan dengan anak itu? Kita harus segera membereskannya. Astaga Reol, kakimu membiru. Apa ini ulah anak kurangajar itu!” Polisi itu segera menatap benci ke arahku.
“Papa, kenapa Papa tak melepas Blacki dan membiarkannya makan? Kurasa itu cara yang layak untuk membiarkan binatanang mati di tangan binatang.”
Apa maksudnya? Aku tidak bisa lagi mengolah informasi. Polisi itu terlihat melepaskan tali yang mengikat di leher anjing berwarna hitam itu dan memberikan sinyal agar anjing itu berlari ke arahku. Si polisi sialan itu membantu Reol berdiri dan dari kejauhan mereka menatapku yang tengah diterjang oleh si anjing keparat. Anjing yang mereka panggil Blacki itu terus-terusan meneteskan air liurnya. Kemudian dia menggigit luka pada bahuku. Giginya yang tajam merobek kulitku. Aku berusaha untuk lepas darinya namun dia semakin menggila dan menggiggit bahkan mengoyak tubuhku. Di saat itulah aku terpaksa menerima kenyataan, bahwa aku akan mati. Mati menyedihkan dan masuk ke dalam neraka.
End.
0