- Beranda
- Stories from the Heart
JATMIKO THE SERIES
...
TS
breaking182
JATMIKO THE SERIES
JATMIKO THE SERIES
Quote:
EPISODE 1 : MISTERI MAYAT TERPOTONG
Quote:
EPISODE 2 : MAHKLUK SEBERANG ZAMAN
Quote:
EPISODE 3 : HANCURNYA ISTANA IBLIS
Diubah oleh breaking182 07-02-2021 01:28
itkgid dan 26 lainnya memberi reputasi
25
58K
Kutip
219
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#125
PART 15
Quote:
Hari sudah larut malam. Kegelapan menyelimuti pemukiman di puncak bukit. Sesekali angin bertiup kencang membawa hawa dingin yang mencucuk sampai ke tulang. Pepohonan pinus di sekitarnya terayun-ayun begitu hebat, sampai menimbulkan bunyi berderak-derak mendebarkan.
Bu Endah masih terjaga. Ia mengambil keranjangnya duduk di kursi malas lalu mulai merajut. Pak Barda sang suami bertanya hati – hati dengan setengah berbisik.
“ Apakah ia tadi meminum obatnya sampai habis ?"
Tanpa menoleh sang isteri menyahut: "Tanpa sebutir pun yang tertinggal “
"Anak yang penurut dia itu "
"Penurut benar tidak juga. Ia sempat memprotes. Mengatakan bahwa setelah meminum obat itu badannya menjadi lemas, mengantuk lalu tertidur lelap sampai pagi menjelang. Aku bahkan hampir tidak mampu membujuknya. Kalau Usman tidak segera datang menolong. Ia tidak akan pernah menghabiskan obat itu”
Pak Barda bersungut – sungut, " Jika saja anak itu tidak bisa ditundukkan maka bayi yang sudah lama sama –sama kita harapkan tidak akan pernah jadi kenyataan"
"Jangan tergesa-gesa kata Usman pak. Nanti anak itu curiga"
Perempuan tua yang telah asyik merajut itu, mendadak menggoyang - goyangkan kepala. Lantas bersungut-sungut pada suaminya : “ Jangan berdiri mematung saja pak. Tolong garukkan belakang telingaku. Gatal sekali rasanya seperti dijalari ulat bulu...."
Pak Barda mendekati isterinya. Melalui bantuan cahaya lampu ia menemukan yang ia cari di belakang telinga bu Endah. Itupun setelah lebih dulu menyibakkan sebagian rambut perempuan tua itu. sehingga bagian yang gatal itu dapat terlihat dengan jelas. Sebuah lingkaran merah kehitam hitaman. Sebesar cincin.
Sambil menggaruk lingkaran yang ganjil itu pak Barda berbisik :
"Kau dengar apa yang tadi diucapkan pak Parlin tempo hari?"
"Kudengar pak."
"Akan terjadi perubahan besar di muka bumi jika bayi itu benar –benar lahir....”
"Benar. Akan terjadi perubahan besar di muka bumi ", isterinya mengiyakan.
Bu Endah masih terjaga. Ia mengambil keranjangnya duduk di kursi malas lalu mulai merajut. Pak Barda sang suami bertanya hati – hati dengan setengah berbisik.
“ Apakah ia tadi meminum obatnya sampai habis ?"
Tanpa menoleh sang isteri menyahut: "Tanpa sebutir pun yang tertinggal “
"Anak yang penurut dia itu "
"Penurut benar tidak juga. Ia sempat memprotes. Mengatakan bahwa setelah meminum obat itu badannya menjadi lemas, mengantuk lalu tertidur lelap sampai pagi menjelang. Aku bahkan hampir tidak mampu membujuknya. Kalau Usman tidak segera datang menolong. Ia tidak akan pernah menghabiskan obat itu”
Pak Barda bersungut – sungut, " Jika saja anak itu tidak bisa ditundukkan maka bayi yang sudah lama sama –sama kita harapkan tidak akan pernah jadi kenyataan"
"Jangan tergesa-gesa kata Usman pak. Nanti anak itu curiga"
Perempuan tua yang telah asyik merajut itu, mendadak menggoyang - goyangkan kepala. Lantas bersungut-sungut pada suaminya : “ Jangan berdiri mematung saja pak. Tolong garukkan belakang telingaku. Gatal sekali rasanya seperti dijalari ulat bulu...."
Pak Barda mendekati isterinya. Melalui bantuan cahaya lampu ia menemukan yang ia cari di belakang telinga bu Endah. Itupun setelah lebih dulu menyibakkan sebagian rambut perempuan tua itu. sehingga bagian yang gatal itu dapat terlihat dengan jelas. Sebuah lingkaran merah kehitam hitaman. Sebesar cincin.
Sambil menggaruk lingkaran yang ganjil itu pak Barda berbisik :
"Kau dengar apa yang tadi diucapkan pak Parlin tempo hari?"
"Kudengar pak."
"Akan terjadi perubahan besar di muka bumi jika bayi itu benar –benar lahir....”
"Benar. Akan terjadi perubahan besar di muka bumi ", isterinya mengiyakan.
Quote:
Sementara di dalam kamar Mia, Dito tampak serius mencermati dan membaca satu persatu sebuah bendel kertas dokumen yang terhampar di atas meja baca itu. Kerutan di keningnya tampak jelas sesekali mana kala ia mencoret – coret sebaris kalimat yang tengah di bacanya,Mia berdesah lirih di atas ranjang.
"Apakah kau merasa dingin Dito?"
"Hangat", jawab Dito pendek tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan matanya dari kertas – kertas yang masih ia cermati satu persatu.
“ Rasanya badan ku membeku."
“ Kau letih Mia. Mungkin juga karena cuaca. Ketika tadi aku menutup pintu langit dipenuhi mendung pekat. Tampaknya hujan akan turun?"
“ Aneh. Padahal tadi siang bahkan sampai sore begitu cerah”, Mia bergumam resah.
“ Apakah ini pertanda buruk Dito"
"Untuk petani yang sudah lama ditimpa kemarau penanda baik”
“ Aku tiba –tiba berubah pikiran dan menaruh kecurigaan Dito. Para penduduk disini. Sepertinya mereka saling berkaitan dan ada sesuatu misteri yang lebih besar dibandingkan dengan kasus yang tengah kita ungkap"
“ Mengapa?"
" Kau perhatikan Pak Barda dan bu Endah. Memang orang - orang tua yang ramah dan baik hati. Memperhatikan kita seperti memperhatikan anak-anak mereka sendiri. Tetapi suasana di sekitar rumah ini, Dito. Kadang - kadang membuatku takut dan serasa berada di alam lain yang sangat asing. Lebih-lebih tumpukan batu di bibir bukit itu....”
"Apakah kau pernah disakiti mereka. Apakah mereka mulai curiga dengan kehadiran kita?" tukas Dito dengan cepat. Ia tidak ingin membicarakan mengenai batu - batu besar yang salah satu berbentuk altar itu. Membayangkan tempat itu, ia sama takutnya dengan Mia.
"Tidak. Mereka semua orang baik "
"Jadi"
"Agak misterius itu saja. Jarang berkumpul satu sama lain. Lebih jarang lagi bergaul dengan pemukiman tetangga di bawah bukit. Tidak ada anak - anak kecil. Tidak ada suasana hiruk pikuk orang berkeluarga. Dan lebih tidak mengenakan lagi. Omongan mereka kalau kebetulan kami bertemu satu sama lain.... Dunia yang sudah rusak. Kiamat yang sudah menunjukkan pertanda segala macam. Pokoknya. Pembicaraan yang itu itu saja. Dengan harapan yang itu itu juga: suatu hari, akan ada perubahan," Mia bernafas tersengal-sengal.
"Apakah kau merasa dingin Dito?"
"Hangat", jawab Dito pendek tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan matanya dari kertas – kertas yang masih ia cermati satu persatu.
“ Rasanya badan ku membeku."
“ Kau letih Mia. Mungkin juga karena cuaca. Ketika tadi aku menutup pintu langit dipenuhi mendung pekat. Tampaknya hujan akan turun?"
“ Aneh. Padahal tadi siang bahkan sampai sore begitu cerah”, Mia bergumam resah.
“ Apakah ini pertanda buruk Dito"
"Untuk petani yang sudah lama ditimpa kemarau penanda baik”
“ Aku tiba –tiba berubah pikiran dan menaruh kecurigaan Dito. Para penduduk disini. Sepertinya mereka saling berkaitan dan ada sesuatu misteri yang lebih besar dibandingkan dengan kasus yang tengah kita ungkap"
“ Mengapa?"
" Kau perhatikan Pak Barda dan bu Endah. Memang orang - orang tua yang ramah dan baik hati. Memperhatikan kita seperti memperhatikan anak-anak mereka sendiri. Tetapi suasana di sekitar rumah ini, Dito. Kadang - kadang membuatku takut dan serasa berada di alam lain yang sangat asing. Lebih-lebih tumpukan batu di bibir bukit itu....”
"Apakah kau pernah disakiti mereka. Apakah mereka mulai curiga dengan kehadiran kita?" tukas Dito dengan cepat. Ia tidak ingin membicarakan mengenai batu - batu besar yang salah satu berbentuk altar itu. Membayangkan tempat itu, ia sama takutnya dengan Mia.
"Tidak. Mereka semua orang baik "
"Jadi"
"Agak misterius itu saja. Jarang berkumpul satu sama lain. Lebih jarang lagi bergaul dengan pemukiman tetangga di bawah bukit. Tidak ada anak - anak kecil. Tidak ada suasana hiruk pikuk orang berkeluarga. Dan lebih tidak mengenakan lagi. Omongan mereka kalau kebetulan kami bertemu satu sama lain.... Dunia yang sudah rusak. Kiamat yang sudah menunjukkan pertanda segala macam. Pokoknya. Pembicaraan yang itu itu saja. Dengan harapan yang itu itu juga: suatu hari, akan ada perubahan," Mia bernafas tersengal-sengal.
Quote:
Dito terdiam, tumpukan kertas yang sedari tadi ditekuninya didiamkan menumpuk tidak beraturan di atas permukaan meja. Di luar rumah guntur menggelegar tiba – tiba. Mia bergidik. Dengan mata nyalang ia memandang jendela kamar tidur. Tertutup tirai. Namun ventilasinya memperlihatkan cuaca yang hitam kelam, dan sesekali mendadak putih menyilaukan manakala petir sambar menyambar. Lewat tengah malam. hujanpun turun deras membadai. Topan seakan menggoncangkan rumah itu.
“Sudahlah. Mari kita tidur Mia. Aku harus menemui pimpinan redaksi pagi-pagi benar. Sehingga aku bisa pulang lebih awal. Bukannya kau ingin kita mulai penyelidikan ini?"
Tanpa menunggu persetujuan Mia, pemuda itu segera beranjak setelah sebelumnya merapikan lembaran kertas yang berceceran di atas meja. Tidak lama kemudian ia sudah meringkuk dan terdengar dengkurnya yang seperti bersaing dengan suara deru hujan di luar rumah.
Mata Mia tak mau terpicing. Mia gemetar ketika mendengar curah hujan yang bagai air bah menyapu atap rumah. Kaca jendela seakan mau pecah oleh hempasan angin topan. Kemudian...Guntur menggelegar lagi. Keras luar biasa. Sampai ranjang yang ia tiduri seolah terangkat dari lantai.
"Gempa!" Mia setengah berteriak. terduduk di ranjang.
Dito tetap saja terlelap.
Pelan - pelan ia bangkit dari tempat tidur. Guntur sudah berhenti. Hanya kilat yang sesekali masih menyambar disertai tiupan angin topan dan hujan badai yang seolah tidak akan mau berhenti. Malah semakin keras saja. Tirai jendela ia singkapkan. Namun hanya kegelapan yang ada di luar. Lalu bayangan samar - samar rumah tangga. Kalau tak salah rumah pak Jumadi. Menurut cerita bu Endah, dulunya bekas petani dan kini melonjak jadi penasihat di salah satu departemen pemerintah.
Banyak memiliki bintang jasa dan untuk itu terpaksa sering meninggalkan rumah dan isterinya yang sudah tua renta. Kemudian, isterinya pindah ke rumah salah seorang anak mereka di kota. Namun rumah itu tetap mereka tempati pada waktu-waktu tertentu. Sering kosong. Seperti malam ini. Tak ada cahaya apa - apa di dalam rumah tetangga itu. Tak ada kehidupan.
Mia beranjak ke ruang depan. Lantai tidak bergeming sedikitpun. Ah.... memang tidak ada gempa. Mungkin karena terlalu kesepian seorang diri. Ia merasa hujan kecil sebagai hujan badai. Tahu-tahu saja Mia telah menyingkap tirai jendela depan pavilyun. Kegelapan yang sama, butir - butir hujan yang sama. Dengan suara angin bersiut - siut sayup - sayup sampai ke telinga. Pepohonan di depan rumah tampak bergoyang - goyang di bagian daunnya yang rimbun. Tetapi batang - batangnya tetap utuh, tak tergoyangkan. Tak ada apa-apa lagi selain bayangan pepohonan itu.
Mia baru saja akan menutupkan tirai jendela dan bermaksud untuk tidur saja. Ketika petir menyambar di tengah kepekatan malam yang gelap gulita. Mia terkejut bukan main. Ia pegangi tirai kuat-kuat. Sehingga kaca jendela tetap telanjang di depan matanya. Sambaran kilat yang kedua kali. Tidak mengejutkan. Hanya menajubkan.
Kilat itu bersinar cukup lama. Cukup pula bagi Mia untuk melihat segala – galanya dengan cukup jelas. Tanaman bunga yang setengah rebah di pekarangan, pepohonan yang tegak dengan tangguh dan kokoh, lapangan rumput. Jalan setapak yang mendaki. Lalu tumpukan batu-batu besar di bibir bukit. Altar tampak menyala. Ah...bukan menyala. Melainkan terang benderang dalam jiatan lidah petir.
Dan di belakang altar di tonjolan batu yang paling tinggi, sosok tubuh yang sudah pernah ia lihat, muncul sekilas. Tinggi kekar dan hitam, dengan lehernya yang kutung tampak masih meneteskan darah segar. Di tangan kanan mahkluk itu tampak mengempit sebuah kepala. Mia melihat sepasang mata besar yang merah menyala –nyala yang kemudian lenyap, bersama hilangnya petir. Lalu, perlahan-lahan, hujanpun turut mereda.
Tergetar Mia karena perubahan suasana yang mendadak itu. Suara riuh rendah di luar rumah lenyap begitu saja. Tinggal sepi yang menganga seperti ada roh - roh jahat tertegun dalam kegelapan. Ingin rasanya Mia lari dari jendela. Bersembunyi di balik selimut di kamar tidur.
Betapapun Mia mencoba. Kakinya tetap saja terpaku di lantai. Bahkan tangannya yang menyingkap tirai jendela tak mampu ia gerakkan sama sekali. Nafasnya berdesah –desah mengeluarkan uap putih yang segera mengendap dipermukaan kaca jendela. Namun matanya yang terpentang lebar masih dapat melihat perkembangan yang terjadi di pekarangan.
Kemudian di sepanjang perbukitan. Meskipun pucat, cahaya rembulan yang kembali muncul cukup lantang memancarkan cahayanya. Kabut tipis seperti sutera putih merayap di atas rerumputan, merangkak malas sejauh mata memandang. Tiba di bibir bukit yang tinggi kabut itu tampak dengan susah payah merangkul tumpukan batu – batu hitam. Terutama batu yang paling menonjol kuat dan menjulang ke langit biru.
Berkedip mata Mia seketika. Ada sesuatu disana, agak ke sebelah kanan tumpukan batu misterius itu. Sesuatu itu bergerak lambat memanjat sebuah batu besar dan lebar. Mulut Mia terbuka lebar. Ingin menjerit karena kaget manakala sesuatu itu berdiri tegak memandang kian kemari dan berhenti tepat kearah rumah yang didiami Mia.
Ketika sesuatu itu bergerak turun. Mia terengah. Komat- kamit mulutnya membaca apa saja yang teringat untuk mengusir ketakutan yang kembali mendera. Sesuatu itu, makhluk berwujud manusia. Berjalan tersaruk -saruk dengan kaki - kaki tenggelam dalam pelukan kabut. Suram dan hitam.
Menjurus langsung ke tempat Mia mengintip. Di balik jendela.
Tidak jangaaan...." tahu – tahu saja mulut Mia dapat bersuara. Setelah kelu sejenak tadi.
"Jangan dekati aku...jangan kesini. Oh jangan...!"
Nalurinya untuk menyelamatkan diri mengerakkan otot - otot Mia yang tegang kaku. Syaraf – syaraf mulai pula bekerja. Demikian pula pembuluh darah serta denyut jantungnya. Tanpa sadar tirai yang ia cengkeram terlepas dan ia bertindak mundur. Selangkah, dua langkah, tiga, empat sambil berbisik mohon perlindungan.
Dito!" Dito!"
Kemudian disusul dengan putaran tubuh. Gerakan kaki yang semakin cepat. Berlari masuk ke dalam kamar tidur seraya berteriak histeris:
Ditooooo!"
Dito terbangun bukan oleh teriakan Mia. Melainkan oleh terkaman tubuh Mia yang terbang ke atas sofa, tempatnya meringkuk tertidur pulas. Lalu Mia memeluk Dito dengan sekujur tubuh bergetar hebat. Setelah mengucek - ucek mata sebentar, Dito menggapai tombol lampu.
Klik....!
Kamar tidur terang benderang menyilaukan. Dito terkesiap melihat wajah Mia yang pucat seperti kertas itu. Basah bersimbah peluh dingin.
“Ada apa Mia?"
“Didddi.. aaa menuju kkeee kemariii...”, Mia menceracau gugup.
“Dia!"
“Siapa?"
“Haaa -hantuuu .."
“Hantu? Astaga, Mia”
Dito perlahan - lahan dapat menguasai dirinya.
"Kau membuatku kaget saja. Hantu, hem..... Sejak kapan kau percaya pada hal - hal gaib yang menggelikan itu?”
“ Tak ada hantu, Mia. Tak ...."
"Ada. Diluar pintu!"
"Apa", Dito hampir saja tertawa terbhak -bahak. Namun iba kasihan melihat Mia yang sangat ketakutan itu menekan keinginan konyol itu. Ia menarik nafas panjang, kemudian bangkit dari tempat tidur.
"Baiklah." ia berkata lembut.
"Akan kulihat sebentar."
"Jangan!" Mia ketakutan.
"Alaaa, paling juga bayanganmu saja. Kalaupun pencuri, kukira ia itu tertalu nekad menyatroni rumah dimana aku menetap "
Dito tersenyum, dan berjalan keluar kamar tidur. Diam-diam Mia menguntit di belakangnya. Bukan karena ingin ikut. Melainkan semata- mata karena tidak mau ditinggal sendirian di kamar tidur.
“Sudahlah. Mari kita tidur Mia. Aku harus menemui pimpinan redaksi pagi-pagi benar. Sehingga aku bisa pulang lebih awal. Bukannya kau ingin kita mulai penyelidikan ini?"
Tanpa menunggu persetujuan Mia, pemuda itu segera beranjak setelah sebelumnya merapikan lembaran kertas yang berceceran di atas meja. Tidak lama kemudian ia sudah meringkuk dan terdengar dengkurnya yang seperti bersaing dengan suara deru hujan di luar rumah.
Mata Mia tak mau terpicing. Mia gemetar ketika mendengar curah hujan yang bagai air bah menyapu atap rumah. Kaca jendela seakan mau pecah oleh hempasan angin topan. Kemudian...Guntur menggelegar lagi. Keras luar biasa. Sampai ranjang yang ia tiduri seolah terangkat dari lantai.
"Gempa!" Mia setengah berteriak. terduduk di ranjang.
Dito tetap saja terlelap.
Pelan - pelan ia bangkit dari tempat tidur. Guntur sudah berhenti. Hanya kilat yang sesekali masih menyambar disertai tiupan angin topan dan hujan badai yang seolah tidak akan mau berhenti. Malah semakin keras saja. Tirai jendela ia singkapkan. Namun hanya kegelapan yang ada di luar. Lalu bayangan samar - samar rumah tangga. Kalau tak salah rumah pak Jumadi. Menurut cerita bu Endah, dulunya bekas petani dan kini melonjak jadi penasihat di salah satu departemen pemerintah.
Banyak memiliki bintang jasa dan untuk itu terpaksa sering meninggalkan rumah dan isterinya yang sudah tua renta. Kemudian, isterinya pindah ke rumah salah seorang anak mereka di kota. Namun rumah itu tetap mereka tempati pada waktu-waktu tertentu. Sering kosong. Seperti malam ini. Tak ada cahaya apa - apa di dalam rumah tetangga itu. Tak ada kehidupan.
Mia beranjak ke ruang depan. Lantai tidak bergeming sedikitpun. Ah.... memang tidak ada gempa. Mungkin karena terlalu kesepian seorang diri. Ia merasa hujan kecil sebagai hujan badai. Tahu-tahu saja Mia telah menyingkap tirai jendela depan pavilyun. Kegelapan yang sama, butir - butir hujan yang sama. Dengan suara angin bersiut - siut sayup - sayup sampai ke telinga. Pepohonan di depan rumah tampak bergoyang - goyang di bagian daunnya yang rimbun. Tetapi batang - batangnya tetap utuh, tak tergoyangkan. Tak ada apa-apa lagi selain bayangan pepohonan itu.
Mia baru saja akan menutupkan tirai jendela dan bermaksud untuk tidur saja. Ketika petir menyambar di tengah kepekatan malam yang gelap gulita. Mia terkejut bukan main. Ia pegangi tirai kuat-kuat. Sehingga kaca jendela tetap telanjang di depan matanya. Sambaran kilat yang kedua kali. Tidak mengejutkan. Hanya menajubkan.
Kilat itu bersinar cukup lama. Cukup pula bagi Mia untuk melihat segala – galanya dengan cukup jelas. Tanaman bunga yang setengah rebah di pekarangan, pepohonan yang tegak dengan tangguh dan kokoh, lapangan rumput. Jalan setapak yang mendaki. Lalu tumpukan batu-batu besar di bibir bukit. Altar tampak menyala. Ah...bukan menyala. Melainkan terang benderang dalam jiatan lidah petir.
Dan di belakang altar di tonjolan batu yang paling tinggi, sosok tubuh yang sudah pernah ia lihat, muncul sekilas. Tinggi kekar dan hitam, dengan lehernya yang kutung tampak masih meneteskan darah segar. Di tangan kanan mahkluk itu tampak mengempit sebuah kepala. Mia melihat sepasang mata besar yang merah menyala –nyala yang kemudian lenyap, bersama hilangnya petir. Lalu, perlahan-lahan, hujanpun turut mereda.
Tergetar Mia karena perubahan suasana yang mendadak itu. Suara riuh rendah di luar rumah lenyap begitu saja. Tinggal sepi yang menganga seperti ada roh - roh jahat tertegun dalam kegelapan. Ingin rasanya Mia lari dari jendela. Bersembunyi di balik selimut di kamar tidur.
Betapapun Mia mencoba. Kakinya tetap saja terpaku di lantai. Bahkan tangannya yang menyingkap tirai jendela tak mampu ia gerakkan sama sekali. Nafasnya berdesah –desah mengeluarkan uap putih yang segera mengendap dipermukaan kaca jendela. Namun matanya yang terpentang lebar masih dapat melihat perkembangan yang terjadi di pekarangan.
Kemudian di sepanjang perbukitan. Meskipun pucat, cahaya rembulan yang kembali muncul cukup lantang memancarkan cahayanya. Kabut tipis seperti sutera putih merayap di atas rerumputan, merangkak malas sejauh mata memandang. Tiba di bibir bukit yang tinggi kabut itu tampak dengan susah payah merangkul tumpukan batu – batu hitam. Terutama batu yang paling menonjol kuat dan menjulang ke langit biru.
Berkedip mata Mia seketika. Ada sesuatu disana, agak ke sebelah kanan tumpukan batu misterius itu. Sesuatu itu bergerak lambat memanjat sebuah batu besar dan lebar. Mulut Mia terbuka lebar. Ingin menjerit karena kaget manakala sesuatu itu berdiri tegak memandang kian kemari dan berhenti tepat kearah rumah yang didiami Mia.
Ketika sesuatu itu bergerak turun. Mia terengah. Komat- kamit mulutnya membaca apa saja yang teringat untuk mengusir ketakutan yang kembali mendera. Sesuatu itu, makhluk berwujud manusia. Berjalan tersaruk -saruk dengan kaki - kaki tenggelam dalam pelukan kabut. Suram dan hitam.
Menjurus langsung ke tempat Mia mengintip. Di balik jendela.
Tidak jangaaan...." tahu – tahu saja mulut Mia dapat bersuara. Setelah kelu sejenak tadi.
"Jangan dekati aku...jangan kesini. Oh jangan...!"
Nalurinya untuk menyelamatkan diri mengerakkan otot - otot Mia yang tegang kaku. Syaraf – syaraf mulai pula bekerja. Demikian pula pembuluh darah serta denyut jantungnya. Tanpa sadar tirai yang ia cengkeram terlepas dan ia bertindak mundur. Selangkah, dua langkah, tiga, empat sambil berbisik mohon perlindungan.
Dito!" Dito!"
Kemudian disusul dengan putaran tubuh. Gerakan kaki yang semakin cepat. Berlari masuk ke dalam kamar tidur seraya berteriak histeris:
Ditooooo!"
Dito terbangun bukan oleh teriakan Mia. Melainkan oleh terkaman tubuh Mia yang terbang ke atas sofa, tempatnya meringkuk tertidur pulas. Lalu Mia memeluk Dito dengan sekujur tubuh bergetar hebat. Setelah mengucek - ucek mata sebentar, Dito menggapai tombol lampu.
Klik....!
Kamar tidur terang benderang menyilaukan. Dito terkesiap melihat wajah Mia yang pucat seperti kertas itu. Basah bersimbah peluh dingin.
“Ada apa Mia?"
“Didddi.. aaa menuju kkeee kemariii...”, Mia menceracau gugup.
“Dia!"
“Siapa?"
“Haaa -hantuuu .."
“Hantu? Astaga, Mia”
Dito perlahan - lahan dapat menguasai dirinya.
"Kau membuatku kaget saja. Hantu, hem..... Sejak kapan kau percaya pada hal - hal gaib yang menggelikan itu?”
“ Tak ada hantu, Mia. Tak ...."
"Ada. Diluar pintu!"
"Apa", Dito hampir saja tertawa terbhak -bahak. Namun iba kasihan melihat Mia yang sangat ketakutan itu menekan keinginan konyol itu. Ia menarik nafas panjang, kemudian bangkit dari tempat tidur.
"Baiklah." ia berkata lembut.
"Akan kulihat sebentar."
"Jangan!" Mia ketakutan.
"Alaaa, paling juga bayanganmu saja. Kalaupun pencuri, kukira ia itu tertalu nekad menyatroni rumah dimana aku menetap "
Dito tersenyum, dan berjalan keluar kamar tidur. Diam-diam Mia menguntit di belakangnya. Bukan karena ingin ikut. Melainkan semata- mata karena tidak mau ditinggal sendirian di kamar tidur.
1980decade dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Kutip
Balas
Tutup