- Beranda
- Stories from the Heart
Sarangkala (Kisah horor demit penculik bayi)
...
TS
endokrin
Sarangkala (Kisah horor demit penculik bayi)
Tanpa basa-basi lagi bagi agan dan sista yang sudah pernah membaca dongeng-dongeng saya sebelumnya kali ini saya ingin mempersembahkan sebuah dongeng baru

WARNING!!
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak mengcopy paste cerita ini. semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan mengerti bahwa betapa susahnya membuat cerita. Terima kasih
Quote:

Diubah oleh endokrin 11-11-2019 05:57
bagasdiamara269 dan 40 lainnya memberi reputasi
33
67.1K
Kutip
309
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
endokrin
#160
Quote:
CHAPTER 9
Letak kamar mandi bu warsih ada dibelakang rumahnya. Sebuah kamar mandi sederhana yang menempel dengan sumur. Sisinya terutup dengan bilik bambu yang sudah diselimuti lumut, tidak memiliki atap, air buangannya mengalir ke sebuah lubang galian yang juga terutup dengan bambu. Aroma tidak sedap tercium dari lubang pembuangan itu.
Kamu membantu bu warsih untuk mengambil air dari sumur. Kemudian dituangkan ke sebuah ember berwarna merah. Bu warsih tidak memiliki bak mandi, air tampungan dari sumur hanya disimpan pada ember-ember kecil.
Begitu kamu sampai didepan pintu mau keluar dari kamar mandi, langkahmu terhenti karena tiba-tiba bu warsih yang berada didepanmu menatapmu dengan tajam, kini tidak ada lagi senyum diwajahnya.
“Bu..”
Bu warsih tidak menjawab, hanya berjalan kesampingmu lalu masuk ke kamar mandi. Dia menutup pintunya, kepalanya sudah turun kebawah sehingga kamu tidak bisa lagi melihatnya dari luar.
Kamu berjalan beberapa langkah menjauhi kamar mandi, bukan hanya ingin memberikan bu Warsih privasi tapi juga untuk menghindari bau tidak sedap yang cukup menyengat dari lubang pembuangan.
Kamu berdiri disamping rumah. Keadaan gelap, cahaya hanya ada disebarang jalan didepan rumah. Pemandangan yang sama yang kamu lihat saat kamu tadi terbaring didalam rumah. Sunyi, bahkan angin malampun berhembus begitu lembutnya, terasa dinginnya ditengkuk kamu tapi tidak terlihat menggoyangkan dahan-dahan pohon. Bahkan tangkai bunga yang kecilpun tidak terlihat bergerak sama sekali, anginnya benar-benar bergerak dengan pelan.
Kamu melihat kehalaman depan. Sebuah keranjang bambu tampak mencolok diantara tanaman dan bunga-bunga. Tidak ada cahaya menyala disana. Kamu melihat lampu cempor yang berada disampingnya tergeletak, mungkin minyak tanah yang berada didalamnya sudah tumpak ke tanah.
Tiba-tiba sebuah benda kecil menimpuk keningmu, kamu tidak tahu dari mana arah datangnya karena keadaan disekitar tidak terlalu jelas, cahaya lampu yang berasa dari teras rumah bu warsih hanya cahaya remang-remang. Saat benda yang menimpuk keningmu jatuh tepat dibawah kakimu, kamu baru tahu bahwa itu adalah bawang merah.
Benda kecil kembali menimpuk keningmu, kali ini kamu bisa melihat dengan jelas benda kecil itu datang. Dari arah depan, tapi kamu tidak tahu bagaimana benda itu bisa mendarat dikening kamu lagi, jika dilempar seseorang seharusnya kamu bisa melihatnya tapi kamu tidak bisa melihat siapapun didepannya.
Benda kecil yang kedua kembali mendarat didekat kaki kamu, itu bawah putih. Bulu kuduk kamu mulai beridiri, apalagi setelah benda ketiga lagi-lagi menimpuk keningmu. Satu buah cabe merah, juga ikut jatuh didepanmu, kamu dengan reflek melangkah mundur. Kamu ingat benda-benda itu bukannya harusnya berada didalam keranjang bambu bersama ari-ari yang telah hilang.
Kamu mengambil ponsel dari dalam saku, menyalakan mode senternya, lalu menyorot setiap sudut-sudut gelap dihalaman rumah bu warsih. Kamu tahu seharusnya tidak melakukan hal itu, bagaimana kalau tiba-tiba senter ponselnya menyorot sesuatu yang mengerikan. Tapi kamu juga sadar, ketakutan oleh sesuatu yang belum kamu ketahui lebih mengerikan dan terasa sedikit bodoh.
Kamu tidak melihat apapun disetiap sudut gelap yang kamu sorot dengan cahaya ponsel. Merasa sedikit lega, tapi tidak menghilangkan rasa takutmu karena rasa penasaranmu belum terjawab. Sampai akhirnya sebuah benda kembali menghantam kepalamu dari arah belakang. Cukup keras sehingga membuat kamu mengeluarkan kata makian.
Sebuah piring kaleng kali ini tergelatak dibawah kaki kamu. Kamu mau berteriak mungkin ini ulah seseorang, sampai akhirnya kamu sadar merasa familiar dengan piring kaleng itu.
“Bismilah..bismilah..”
Tangan kamu gemetar, nafasmu tidak beraturan seperti orang yang baru saja menyelesaikan lari maraton. Kamu ingin melafalkan surat-surat dalam al-quran, tapi entah kenapa bibirmu malah mengucapkan bismilah berkali-kali. Rasa takut telah mengacaukan pikiran sehingga kamu tidak bisa mengendalikan tubuhnya
Kamu sedang ketakutan, dan tubuhmu terasa kaku bahkan untuk melangkah saja terasa begitu berat. Kamu mendengar sebuah suara, berbisik begitu dekat ditelinga sebelah kirinya. Kamu tahu suara siapa itu, kamu hampir medengarnya setiap hari jadi tidak mungkin salah lagi. Walaupun saura itu terdengar sedikit sengau seperti sedang menahan rasa sakit, tapi kamu tahu suara itu dengan pasti.
Suara itu memanggil nama kamu. Tubuhmu lemas, pantatmu ambruk ketanah. Kamu memeluk lutut, membenamkan wajah ke paha. Kamu bahkan tidak berani untuk menengok ke sebelah kiri, kamu sangat ketakutan karena kamu tahu suara siapa yang di dengarnya.
Kamu menangis, dada kamu terasa begitu sesak. Kamu ingin berteriak mengeluarkan suara tangisan sekeras mungkin, tapi kamu tidak bisa karena kamu takut. Takut oleh suara itu.
“Dewi, anakku.”
Suara itu kembali terdengar, bulu-bulu halus diseluruh tubuh kamu berdiri seketika seperti terkena sengatan listrik, tapi tentu saja penyebabnya bukan listrik tapi rasa takut. Kamu memeluk kakinya lebih erat lagi. Kamu mungkin berani melihat mahkluk misterius beberapa waktu lalu, tapi suara itu, kamu tidak sanggup.
“Bapak pergi pak.” Kata kamu dengan suara lirih.
Serindu-rindunya kamu dengan orang terdekatnya, tapi saat orang tersebut sudah meninggal dan hadir kembali dengan tidak sewajarnya, mustahil bagi kamu untuk tidak ketakutan.
Keadaan kembali sepi, tidak terdengar lagi suara. Tapi kamu belum berani mengangkat wajah. Kamu masih menangis mencoba melepaskan emosi lewat air mata. Entah berapa lama kamu duduk memeluk lutut, sampai akhirnya kamu sadar bahwa dirinya sedang mengantar bu Warsih ke kamar mandi.
Kamu memberanikan diri mengangkat wajah, melihat ke kiri dan kenan secara perlahan untuk memastikan tidak ada apapun disekelilingnya. Kamu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya merasakan ketakutan yang begitu hebat seperti sekarang. Pengalaman hantupun tak pernah dialaminya sebelum datang ke desa ini.
Dulu saat bapak kamu meninggal dengan tidak wajar, atau para tetangganya sering menyebutanya dengan istilah mati basah, bahkan kamu tidak merasakan sedikitpun ketakutan. Padahal paska kematian bapaknya, banyak beredar cerita-cerita dari orang-orang dikampungnya tentang kehadiran sosok bapak kamu yang menghantui beberapa warga.
Entah cerita itu benar atau tidak, kamu dan ibunya mustahil untuk tidak mendengar cerita yang sudah menyebar itu. Tapi kamu dan ibunya tak pernah mengalami apa yang diceritakan orang-orang kampung tersebut. Padahal setiap tengah malam kamu terbangun karena mendengar ibunya dikamar mandi sedang berwudhu.
Bukannya merasa takut, setiap kali kamu mendengar cerita hantu bapakmu dulu dengan tidak sengaja dari para tetangga, kamu justru merasa sedih. Bagaimana bisa ketika orang-orang sudah menghakiminya sampai mati, bahkan setelah menjadi mayatpun hukuman sosial masih saja menimpa bapaknya. Apakah begitu besarnya dosa seorang pencopet ?
Kesulitan yang dialami kamu setelah kematian bapaknya dulu bukan tentang ketakutan-ketakutan dan cerita-cerita hantu picisan. Tapi harus beradaptasi dengan suasana baru, ingatan-ingatan bersama bapaknya. Yang paling diingat kamu tentu saja bagaimana antusianya bapak kamu yang sudah mempersiapkan baju batik yang akan ia kenakan saat wisuda nanti bahkan sebelum kamu memulai kuliah.
Kalaupun ada ketakutan yang dialami kamu dulu adalah bukan bapaknya akan kembali muncul dalam sosok hantu. Tapi bagaimana kalau ibunya kimpoi lagi, bagaimana kalau ibunya dengan mudahnya melupakan bapaknya. Bagaimana kalau nanti bapak tirinya tak sebaik bapaknya dulu. Mungkin ketakutan itulah yang membuat kamu sedikit menjaga jarak dengan ibunya dan tidak seakrab dulu.
……………………………….
Kamu berusaha berdiri, kakinya terasa kaku mungkin karena terlalu lama duduk ditekuk sehingga darah tidak mengalir dengan lancar. Kamu melihat ke arah kamar mandi.
“Bu..”
Tidak ada jawaban.
“Bu warsih..” kamu mencoba sedikit mengencangkan suaramu dari sebelumnya
Masih tidak ada jawaban.
Kamu mulai khawatir,
Kamu ingin melangkah menghampiri bu warsih, tapi entah kenapa kamu merasa ragu. Kamu memanggil namanya lagi, dengan suara lebih keras lagi dari sebelumnya tentu saja, namun masih tidak ada jawaban.
Kamu ingin mengecek keadaan bu warsih kedalam kamar mandi, tapi entah kenapa ia punya firasat bahwa semuanya tidak baik-baik saja. Panggilannya tidak digubris, kamu merasa khawatir tentu saja. Rasa takut mendorong kamu untuk mundur dan memutuskan memanggil orang didalam rumah.
Saat kamu berjalan menuju ke depan rumah, persis beberapa satu meter didepan pintu masuk rumah bu warsih. Kamu melihat bahayangan hitam sekelebat. Bayangan itu terlihat loncat dari depan pintu menuju ke semak semak yang gelap. Kamu tentu saja kaget, kamu mau berlari tapi tempat yang paling aman sekarang ada didalam rumah bukan diluar sana.
Pintu rumah tampak terbuka setengah, padahal seingat kamu saat keluar tadi kamu menutup pintunya dengan rapat. Tapi tidak ada waktu untuk memikirkan hal seperti itu, kamu cepat masuk kedalam, dan membangunkan bidan Yuyun.
“Ada apa ?”
“Bu warsih bu, dia dikamar mandi.”
“Kamu yang mengantar.” Kata bidan yuyun dengan mata yang masih sembab sembari membuka selimut yang menutupi badannya.
“Iya bu, sudah lama dan belum juga keluar.”
“Kenapa ga dicek ?”
“Takut saya bu”
Bersambung.....
Jangan lupa like, comen, share and subcribe
regmekujo dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas
Tutup