Kaskus

Story

ayaswordsAvatar border
TS
ayaswords
Kisah Nyata: SAYUNI (Extended)
Kisah Nyata: SAYUNI (Extended)

Quote:


Waktu berjalan sungguh cepat. Tak terasa sudah hampir satu minggu aku bekerja. Beruntung aku adalah tipe orang yang cepat berbaur dengan lingkungan sekitar—jadi menyesuaikan diri sengan orang-orang baru bukan masalah besar bagiku.

Beruntungnya, tempatku bekerja hanyalah perusahaan kecil, jadi jumlah karyawannya pun tidak lebih dari sepuluh orang. Dalam waktu singkat aku sudah kerasan dan akrab dengan semua orang.

Bentuk kantorku lebih mirip seperti rumah singgah dan memang terletak di tengah-tengah salah satu komplek perumahan di pusat kota. Setiap hari, aku bekerja disana bersama tim administrasi yang berjumlah 3 orang. Tidak banyak, tapi karena orangnya asyik-asyik, bersama mereka kantor kecil ini rasanya hangat dan ramai. Tim marketing lapangan juga datang sekali-kali kalau memang sedang tidak ada tugas diluar.

Semuanya berjalan cukup baik. Aku juga mulai berhasil melupakan hal-hal aneh yang terjadi padaku, karena kegiatan di kantor sudah cukup menguras energi. Walau selelah apapun tidur malamku masih tak nyenyak, aku berusaha tidak memikirkannya. Mungkin suatu saat nanti semuanya akan normal dengan sendirinya, begitu pikirku.

Sampai akhirnya, hari-hari itu datang.

Mulai hari senin itu, semua orang di kantor akan sibuk karena perusahaan kami sedang berpartisipasi dalam sebuah event. Hanya aku satu-satunya yang ditugaskan untuk menjaga 'kandang'; sehingga hampir selama sepekan aku akan selalu sendirian.

"Begitu ada kerjaan diluar event, aku bakal serahin ke kamu supaya kamu bisa handle." Kak Farah berusaha menghiburku. Ia tahu aku belum biasa sendirian di tempat kerja kami. Aku juga pernah mengatakan padanya kalau aku mudah bosan, aku lebih senang sibuk daripada diam saja—sedangkan selama hampir satu minggu menunggu sendirian di kantor, pasti tak akan banyak yang bisa kukerjakan. "Anak-anak marketing sekali-sekali pasti kesini buat printbrosur. Aku, Irwan sama Manda juga pasti gantian kesini kok buat ngecek."

Dengan hati-hati aku berkata, "Kak... apa aku gabisa ikutan aja? Atau gantian gitu... sama siapaaa gitu...?"

"Maaf, tapi gak bisa... anak-anak yang lain udah ngantri buat dikasih bagian di event ini. Karena kamu baru masuk, jadi terpaksa kamu yang ditumbalin," Kak Farah menjawab dengan senyum menyesal. "Cuma sampe jum'at, kok. Yang penting kantor gak kosong. Katanya Manda lagi cari OB baru juga buat gantiin yang lama, semoga minggu ini ketemu dan bisa mulai kerja biar kamu ada temen. Kalau bosen, kamu boleh browsing deh. Nonton film kek, apa kek. Asal jangan tidur, takutnya kita kedatengan tamu."

Aku tahu keputusannya sudah bulat. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menurut. Aku cukup sadar diri untuk tidak terlalu menunjukkan keberatanku—bisa-bisa dibilang tidak tahu diri, sudah dikasih kerjaan paling ringan tapi masih saja mengeluh.

Tapi... seandainya Kak Farah tahu kalau masalahnya bukan hanya aku mudah bosan.

Seandainya ia tahu bahwa 'tidak sibuk' dan 'tidak bersama banyak orang' mungkin akan membuatku sulit untuk tidak menghiraukan hal-hal aneh yang kualami.

Aku sangat ingin bercerita padanya, tapi tidak bisa. Siapa yang akan percaya hal-hal tak masuk akal begini? Orang normal pasti berpikir kalau aku hanya mengada-ngada—atau bahkan berpikir kalau aku mengidap stress berat hingga gangguan mental.

Jika bukan aku yang mengalaminya sendiri—jika aku mendengar cerita ini dari orang lain, aku juga akan berpikir seperti itu.

"Yaudah, aku caw, ya!" pamit Kak Farah, membuyarkan lamunanku. Kedua tangannya dipenuhi gembolan. "Kalau ada apa-apa kabarin aja. Hp kamu juga harus aktif terus, ya!"

"Siap, Kak!" jawabku, memasang senyum lebar. "Kak Irwan mana?"

"Udah di depan sih, nunggu di mobil, kayaknya. Daaaah!"

"Hati-hati ya, Kak!" Aku melambaikan tangan sampai Kak Farah berlalu. Lalu aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha menyemangati diri dan mengisi pikiranku dengan hal-hal positif.

Aku harus menyibukkan diri, aku harus menyibukkan diri, aku harus menyibukkan diri.

Belum lama aku duduk di kursi, membuka website perusahaan untuk melihat barangkali ada ruang untuk artikel baru yang bisa kuisi sambil mengulang-ngulang kalimat itu di kepala; tiba-tiba dari pintu ruanganku yang terhubung ke ruang penyimpanan, aku melihat Kak Irwan melintas dan masuk ke ruangan itu.

Apa ada yang tertinggal? Pikirku. Aku segera bangkit berdiri dan menghampirinya. Hendak membantu barangkali ia sedang mencari sesuatu.

"Kak I—," ucapanku seketika terpotong. Betapa terkejutnya aku karena tidak ada siapapun disana.

Ruangan itu kosong. Pintunya pun bahkan tidak terbuka. Seolah memang tidak ada orang yang baru saja masuk kesana.

Dengan cepat berlari kembali ke ruanganku, ke arah jendela, lalu melihat ke arah garasi.

Aku menelan ludah.

Mobil mereka sudah tidak ada. Mereka sudah pergi sedari tadi. Dan aku memang ingat aku mendengar suara mesin dan pintu pagar yang ditutup saat mereka pergi tadi.

Lalu... barusan itu apa lagi?

Sekujur tubuhku merinding. Aku tak bisa melepaskan pandanganku dari pintu ke ruangan penyimpanan. Kalau dia masuk, tentu dia akan keluar lagi, bukan?

Bagian belakang tubuhku mulai terasa panas lagi. "Nggak.” Aku berbicara pada diriku sendiri. Aku mencubit dan menepuk-nepuk pipiku. "Kamu cuma ngayal, Je. Jangan mikir yang aneh-aneh."

Saat itu, aku belum tahu hal buruk apa yang akan terjadi selanjutnya.

Spoiler for INDEX:
Diubah oleh ayaswords 24-11-2019 20:19
dhalbhooAvatar border
redricesAvatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 24 lainnya memberi reputasi
23
35.4K
296
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.9KAnggota
Tampilkan semua post
ayaswordsAvatar border
TS
ayaswords
#3
PART 12: Dia Mengikuti
Semula aku sempat mengira kalau hal-hal aneh yang terjadi padaku adalah karena rumah kos yang baru kutempati. Karena hampir semuanya terjadi saat aku sedang berada disana—pintu lemari yang membuka sendiri, barang-barang yang berpindah tempat, punggungku yang sering terasa panas dan perih, percobaan bunuh diri diluar kesadaran, tidurku yang tidak pernah nyenyak dan 'sesuatu' yang sering membangunkanku setiap seperempat malam.

Tapi saat ini, aku mulai berpikir kalau dugaanku salah.

Sepertinya 'sesuatu' itu mengikutiku. Dan lebih parah lagi, ia menyerangku saat aku sendirian.

Kupikir tempat kerjaku aman—aku sempat merasa lega karena sepertinya tak ada hal aneh yang terjadi padaku selama aku berada di kantor. Aku senang, akhirnya aku punya tempat yang bisa kujadikan sebagai pelarian. Namun sekarang saat aku benar-benar sendirian, rasanya tempat ini malah jauh lebih menakutkan dari tempat tinggalku.

Ini adalah hari ketiga yang kuhabiskan sendirian. Semakin hari, entah mengapa suasana kantor semakin mencekam. Aku tidak berhalusinasi dan mengalami hal-hal seram lagi. Namun, bulu kudukku seringkali tiba-tiba merinding karena, entahlah, sepertinya aku merasakan hawa-hawa yang aneh. Selain itu, nafasku seringkali tiba-tiba sesak dan aku selalu kepanasan—padahal suhu air conditioner selalu kupasang di angka 17.

Suara ketukan di pintu ruangan membuatku terkesiap. Aku tahu tidak ada alasan untuk paranoid akan hal-hal yang tidak perlu; namun sulit untuk tidak paranoid bila kau berada di posisiku saat ini.

Pintu geser ruanganku bergerak membuka sengan suara deritan yang tidak menyenangkan. Lalu sebuah kepala mengeluk dari baliknya.

"Jasmine, lo sendirian?" Kak Bimo menyapaku. Kak Bimo adalah salah satu tim marketing kami yang paling jarang menunjukkan batang hidungnya di kantor. Diam-diam aku membuang nafas lega. Hanya Kak Bimo rupanya, pikirku.

"Iya nih, Kak... cuma aku yang disuruh standby di kantor."

Selama beberapa detik aku menunggu jawabannya. Tapi ia bergeming. Sepertinya ia bahkan tidak memerhatikan jawabanku barusan. Aku tidak tahu apa ini hanya perasaanku atau bagaimana, tapi alih-alih menatapku sebagai lawan bicara satu-satunya disini, pandangan Kak Bimo malah terpaku ke... ke atas kepalaku?

"Kak?" panggilku.

"Eh, sorry..." jawab Kak Bimo, ketika akhirnya perhatiannya kembali padaku. Dengan langkah yang terkesan hati-hati ia menghampiri mejaku. "Jasmine, sorry nih kalau gue nanya begini..." ia menatapku. "Tapi... lo ini lagi ada masalah, ya?"

"Hah?" tanggapku, kaget karena ia bertanya begitu. "Ng... emangnya kenapa, Kak?"

"Aura lo beda aja." jawabnya.

"Eh... ngomong-ngomong, Kakak tumben kesini? Ada yang bisa aku bantu?" Sebisa mungkin aku mengalihkan pembicaraan. Aku sedang tidak ingin membicarakan apapun yang membuat pikiranku kembali dipenuhi hal-hal negatif.

"Eh... iya, ini, gue mau print brosur."

Aku mengambil flashdisk dari tangannya. "Oke. Kakak tunggu disini aja, duduk dulu. Biar aku yang kerjain."

Aku pun buru-buru pergi dari hadapannya.

Selama berada di ruangan cetak, aku berpikir keras. Apa maksud dari pertanyaan Kak Bimo tadi? Kenapa ia tiba-tiba bertanya begitu? Apa semua masalah yang sedang kualami tergambar dengan jelas di wajahku?

Setahuku aku berbicara padanya dengan senyum lebar; wajahku tidak menekuk sama sekali. Bagaimana bisa dia mengatakan kalau aku sedang ada masalah?

Hatiku bingung, tiba-tiba aku menyesal menghindari pertanyaannya tadi. Harusnya aku tanya saja apa yang ia tahu, dan mengapa ia sampai berkata begitu.

"Jas..."

"Ah!" Aku terlonjak kaget. Beberapa lembar kertas brosur sampai terlempar dari tanganku. Kak Bimo langsung membantuku memungutinya. "Maaf, Kak. Tadi aku ngelamun."

"Gak apa-apa, gue yang minta maaf udah ngagetin." ia menyerahkan kertas yang berhasil ia kumpulkan ke tanganku. "Biar gue aja yang print sendiri padahal."

"Gak apa-apa kok, Kak, aku malah seneng akhirnya ada kerjaan." Aku berusaha nyengir.

Kami terdiam dalam kesunyian yang panjang. Hanya suara print-an yang terdengar di sekitar kami.

Sampai akhirnya Kak Bimo menarik kursi di ujung ruangan dan duduk di dekatku.

"Jas, boleh minjem tangan lo gak?"

"Apa? Tangan?"

"Iya, tangan. Pinjem bentar. Gue gak akan macem-macem kok, tenang aja." Ia tersenyum.

Dengan ragu-ragu kusodorkan telapak tanganku—tentu saja bukan yang ada bekas lukanya.

Kak Bimo memegang pergelangan tanganku dengan sebelah tangannya. Lalu tangannya yang satu lagi ditelungkupkan sekitar tiga senti diatas telapak tanganku. Lalu matanya terpejam, dan mulutnya mengucap ayat-ayat Al-Qur'an.

Sesungguhnya aku sangat terkejut dan penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya. Namun aku harus menahan semua pertanyaanku sampai ia selesai. Aku merasa menginterupsinya saat ini bukanlah ide yang bagus.

Ditengah penantian, tiba-tiba saja panas itu kembali. Kali ini bukan hanya panas seperti yang kurasakan biasanya—tapi panas yang menyakitkan. Rasanya salah satu bagian di punggungku nyeri. Nyerinya semakin lama semakin tak tertahankan. Apa yang sedang terjadi padaku?

"Sakit ya?" tanya Kak Bimo tiba-tiba, melihat wajahku yang sedang meringis. "Maaf ya..." katanya sebelum meletakkan tarinya di salah satu titik di daerah punggungku. Saat ia melakukannya, aku tak tahan lagi untuk tak berteriak kesakitan.

"Disini kan?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk cepat, saking sakitnya sampai tidak bisa berkata apapun dan hanya bisa meringis.

Proses yang tidak kumengerti apa maksud dan tujuannya itu berlangsung sangat lama dan menyakitkan. Sampai akhirnya Kak Bimo melepaskan kedua tangannya dan menarik nafas panjang.

Badanku mengeluk lemah. Keringat bercucuran dari seluruh tubuhku. "Kak... barusan itu apa?"

"Gue abis 'bersihin' aura lo... sifatnya sementara, dan gak terlalu ngefek. Tapi seenggaknya bisa bantu perasaan lo lebih tenang selama beberapa hari."

Aku terbengong-bengong menatapnya. Tak tahu mesti berkata apa.

Ia terkekeh pelan. "Gue tahu kok apa yang lagi menimpa lo. Dan untungnya lo ini ada yang jagain kan? Dari keturunan ya?"

"Hah? Ja... jagain gimana, Kak?"

Kak Bimo terkejut dengan jawabanku. "Loh, jadi lo gatau?"

"Nggak... aku gak ngerti apa yang daritadi kakak omongin." jawabku jujur. "Maksudnya jagain... dan keturunan itu apa ya?"

"Ya Allah, Jas... lo beneran awam sama hal-hal ginian, ya?" ia menggaruk-garuk kepala. "Maksudnya ya... ya lo ada yang jagain... semacam makhluk gak kasat mata, tapi dia baik dan tugasnya emang jagain lo. Kalau sampe dia gak ada, mungkin saat ini hal yang buruk banget udah menimpa lo."

"Hal buruk...?" jantungku mulai berdentum tak karuan.

"Iya, Jas..." ia menatap mataku serius. "Saat ini, ada makhluk jahat yang lagi ngikutin lo kemana-mana."
Diubah oleh ayaswords 03-10-2019 13:53
Willy48
axxis2sixx
pulaukapok
pulaukapok dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.